User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

The Hymn from Mass of Pentecost

Come, thou Holy Spirit, come!

And from thy celestial home

Shed a ray of light divine!

Come, thou Father of the poor!

Coe, thou source of all our store!

Come, within our hearts to shine!

Thou of comforters the best;

Thou, the soul’s most welcome guest;

Sweet refreshment here below;

In our labor, rest most sweet;

Grateful coolness in the heat;

Solace in the midst of woe.

O most blessed light divine,

Shine within these hearts of thine,

And our inmost being fill!

Where thou art not, man hath naught,

Nothing good in deed or thought,

Nothing free from taint of ill.

Heal our wounds, our strength renew;

On our dryness poor thy dew;

Wash the stains of guilt away;

Bend the stubborn heart and will;

Melt the frozen, warm the chill;

Guide the steps that go astray.

On the faithful, who adore

And confess thee, evermore

In the sevenfold gift descend;

Give them virtue’s sure reward;

Give them thy salvation, Lord;

Give them joys that never end.

          Himne Pentakosta di atas, yang dinyanyikan pada setiap Hari Raya Pentakosta, menandai suatu era baru dalam Gereja Katolik; suatu era yang boleh dikatakan sebagai era pembaruan hidup baru dalam Roh Kudus.


Latar Belakang

Secara umum diterima bahwa semuanya bermula dari dua orang awam di Universitas Duquesne, Pittsburgh, Pennsylvania, yang meskipun pada waktu itu sudah aktif dalam kegiatan pelayanan parokial dan liturgis, merasa bahwa ada sesuatu yang masih kurang dalam pelayanan mereka, yakni kemampuan untuk mewartakan Injil dengan keyakinan dan kuasa seperti yang dimiliki oleh para jemaat awali. Mereka pun mulai saling mendoakan agar dipenuhi juga oleh kuasa yang sama, dipenuhi dengan karisma-karisma Roh Kudus untuk kepentingan Gereja. Selain doa-doa pribadi, mereka juga membuat komitmen untuk mendaraskan Himne Pentakosta setiap hari.

Selama satu tahun itu mereka terus mendoakan himne tersebut setiap hari. Lalu pada bulan Februari 1967, bersama sekitar duapuluh orang lainnya, yang terdiri dari dosen dan mahasiswa dari Universitas tersebut, mereka mengadakan week-end khusus untuk memohon pembaruan hidup rohani bagi mereka, suatu perjumpaan pribadi dengan Kristus yang hidup. Sebelum itu, mereka telah mempersiapkan diri sungguh-sungguh, antara lain dengan membaca dua buku, yakni GIft of Tounges (John Sherrill) dan The Cross and the Switchblade (David Wilkerson), yang berisikan kesaksian akan pengalaman-pengalaman pentakostal yang terjadi pada zaman mereka sendiri serta empat bab pertama dari Kisah Para Rasul. Terjadilah dalam retret itu, seorang demi seorang mereka mengalami apa yang disebut Pembaptisan Roh Kudus. Bersamaan dengan itu muncul aktivitas-aktivitas Karismatik yang lumrah terjadi pada zaman para rasul, seperti: bahasa roh, nubuat, pembedaan roh, dan kuasa untuk mengusir setan. Peristiwa Pembaptisan Roh Kudus atau Pencurahan Roh Kudus atas beberapa orang ini merupakan awal dari gerakan pembaruan karismatik Katolik yang sekarang ini telah meluas ke mana-mana. Sebagai perbandingan, pada tanggal 1 Januari 1973, hanya enam tahun setelah Duquesne week-end, jumlah persekutuan doa karismatik Katolik yang tercatat di Communication Center di Notre Dame sudah mencapai di atas 1000: 855 di AS, 65 di Kanada, dan 85 lainnya tersebar di seluruh dunia.

Pada tanggal 13 April 1972, Uskup Joseph Bernardin, Sekretaris Jendral dari Konperensi Nasional Para Uskup Katolik AS mengirimkan kuesinoer kepada seluruh uskup di AS, meminta tanggapan atas gerakan pentakosta dalam Gereja ini. Tanggapan para uskup tersebut rata-rata sangat baik, mencantumkan fakta adanya penekanan akan doa dan kesucian pribadi, tuntutan akan pertobatan terus-menerus, dan peningkatan penghayatan dan penghormatan terhadap sakramen-sakramen dan devosi-devosi gerejani. Namun, di pihak lain mereka mengingatkan akan adanya bahaya emosionalisme, anti-intelektualisme, indiferentisme, kesombongan rohani, dan skisma. Bahaya-bahaya ini akan kita lihat pada bagian terakhir tulisan ini.

Istilah Pentakostalisme

Istilah lain untuk Gerakan Karismatik Katolik adalah Gerakan Pentakosta dalam Gereja Katolik. Sebenarnya istilah yang kedua ini lebih tepat dan hanya untuk lebih membedakan gerakan ini dari gerakan-gerakan dari gereja-gereja pentakosta, dipakailah istilah Gerakan Karismatik Katolik. Karena itu, kita perlu melihat pengertian ‘pentakostalisme’.

‘Pentakostalisme’ erat kaitannya dengan:

1.  peristiwa pentakosta yang dialami para rasul, yang menandai kelahiran Gereja,

2.  karisma-karisma Roh Kudus

         


1. Peristiwa Pentakosta

Untuk memahami lebih lanjut tentang pembaruan yang dimulai pada pertengahan abad ke-20 dalam Gereja Katolik ini, kita pertama-tama harus menarik latar belakangnya sampai pada pengalaman para rasul awali. Sebenarnya apa yang dialami oleh para rasul awali? Turunnya Roh Kudus atas diri mereka diawali suatu pengalaman doa yang mendalam, kerinduan akan janji Tuhan sendiri. Dalam sikap penantian penuh pengharapan itulah, Roh Kudus turun dan benar-benar mengubah seluruh diri mereka. Petrus yang sebelumnya takut dan menyangkal Kristus, setelah Pencurahan berani mewartakan Kristus kepada begitu banyak orang (Kis 2). Roh Kudus turun sekalian dengan segala karunia dan karisma demi pelayanan kepada umat-Nya.

Dalam perkembangan sejarah, pengalaman-pengalaman pentakosta yang ditandai dengan keterbukaan besar kepada Roh Kudus mulai memudar dalam Gereja. Kegiatan-kegiatan dalam Gereja menjadi sangat ritualistis dan formalistis. Suasana spontanitas dalam penghayatan sakramen hampir-hampir tidak ditemukan lagi. Suasana itu terus terasa sampai abad ke-21. Menyadari akan hal ini, Paus Yohanes XXIII mulai merencanakan untuk menyelenggarakan suatu Konsili, yang kita kenal sekarang dengan Konsili Vatikan II. Sebagai persiapan Konsili, Paus berdoa untuk suatu pembaruan baru dalam Roh Kudus, suatu pengalaman Pentakosta jemaat awali atas seluruh Gereja. Waktu itu sekitar awal 1960-an. Pembaruan Karismatik Katolik kiranya merupakan salah satu wujud penting jawaban atas doa Paus yang suci tersebut. Jauh sebelumnya pada awal abad ke-duapuluh, tepatnya pada malam tahun baru 1900, Paus Leo XIII telah mengangkat tangan mewakili Gereja untuk berdoa kepada Tuhan, "Baharuilah Gereja-Mu pada masa ini dengan suatu Pentakosta baru…"

Inti dari pembaruan sebenarnya hanya menghidupkan lagi apa yang sebenarnya dimiliki terus oleh Gereja, namun yang sekaligus kurang disadari atau ditekankan, yakni keterbukaan terhadap Roh Kudus dan karunia-karunianya, seperti yang menjiwai para jemaat awali. Dan Roh Kudus, melalui Pembaruan Karismatik Katolik, pada gilirannya memberikan pengalaman akan Allah serta kerinduan akan persatuan dengan Tuhan dalam doa yang rutin dan mendalam, serta semangat untuk melayani-Nya demi kasih kepada-Nya.

Seperti kita lihat di atas, gerakan pembaruan ini tidak muncul secara otomatis dalam Gereja Katolik. Gerakan ini juga dipengaruhi oleh munculnya gerakan-gerakan Pentakosta dalam gereja-gereja Protestan pada era kristianitas modern. Yang patut mendapat perhatian khusus adalah kejadian dalam Sekolah Kitab Suci Charles Parham di Topeka, Kansas, pada tanggal 1 Januari 1901 (bersamaan dengan gaung doa Paus Leo XIII). Dalam suatu pelayanan doa, seorang murid sekolah tersebut, Nona Agnes Ozman, merasa terdorong untuk meminta Parham menumpangkan tangan ke atas kepalanya, seperti yang tertulis dalam Perjanjian Baru, sehingga ia dapat menerima karunia Roh Kudus. Parham menyanggupinya, dan Agnes mengalami suatu pengalaman rohani yang luar biasa. “Seolah-olah aliran air kehidupan terpancar dari lubuk jiwaku yang terdalam,” ceritanya kemudian. Saat itu ia mulai berbicara dalam bahasa aneh, yang keesokan harinya diakui seorang Bohemia sebagai bahasa daerahnya.

Gerakan pentakosta mulai merebak ke mana-mana. Pada dekade ‘70-an saja, jumlah anggota Gereja Pentakosta sudah mencapai 20 juta, menempatkannya sebagai “kekuatan ketiga” dalam dunia Kristen, di samping Katolik dan Protestan. Pada tahun ‘50-an gerakan ini memasuki babak baru, yakni mulainya spiritualitas mereka diterima oleh Gereja-Gereja yang sudah berdiri sebelumnya, seperti Episkopal, Lutheran, dan Methodis. Akhirnya, penekanan akan keterbukaan Roh Kudus, inti dari spiritualitas pentakosta, diterima juga oleh anggota-anggota Gereja Katolik, dimulai dalam Duquesne week-end. Meskipun demikian, tetap ada perbedaan penghayatan dalam Gereja Katolik dibandingkan dengan gereja-gereja pentakosta umumnya. Pertama, tentu dalam penghayatan sakramen-sakramen dan integrasi spiritualitas klasik Gereja Katolik ke dalam spiritualitas karismatik sehingga sangat memperkaya penghayatan pengalaman pentakosta umat Katolik. Selain itu, berdasarkan latar belakang para pencetusnya dan Konsili Vatikan II, pembaruan Karismatik Katolik sejak semula merupakan suatu ‘gerakan’ pembaruan, bukan usaha mendirikan sekte baru dalam Gereja sehingga gerakan ini tidak pernah bermaksud memisahkan diri dari Gereja. Memang dalam kenyataannya, ada orang-orang yang sebelumnya terlibat dalam gerakan ini menyeberang atau bahkan mendirikan gereja baru. Namun, menurut hakekatnya, gerakan ini bertujuan untuk memperbaharui Gereja dalam kuasa Roh Kudus. Beberapa poin di bawah ini merupakan kriteria sikap orang-orang yang berada dalam semangat dasar Pembaruan ini. Sikap-sikap berikut tidak boleh dilupakan setiap orang yang terjun ke dalam Pembaruan ini.

a.  Menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan secara intensif lewat doa-doa, sakramen-sakramen, dan Sabda-Nya sendiri.

b.  Cinta pada sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi dan Sakramen Tobat.

c.  Taat dan hormat kepada pihak hirarkhi, terutama uskup, sebagai wakil Kristus di dunia.

d.  Memiliki kerinduan untuk melayani Tuhan demi kepentingan jemaat, baik lewat doa-doa safaat maupun karya cintakasih.

Pembaruan ini membawa kita pada pemahaman akan Kasih Tuhan yang tanpa batas melalui pengalaman akan Allah yang hidup. Memang masih banyak karya Allah dalam Gereja yang membawa manusia pada kesucian hidup, tetapi tidak dapat disangkal bahwa dengan Pembaruan ini, banyak yang dibawa kepada pertobatan serta pengalaman akan Allah secara personal. Hubungan pribadi inilah yang menjadi inti hidup seorang Kristen. Selain itu, kita juga disadarkan kembali akan panggilan kita yang luhur dan mulia yaitu: menjadi serupa dengan Kristus. Agar menjadi serupa dengan Kristus kita harus diubah ke dalam Kristus dengan hidup menurut Kehendak-Nya dalam arti hidup menurut terang dan amanat Injil. Sehingga kita dapat menjadi Kristus bagi orang lain baik dalam perkataan, pikiran, perbuatan, perasaan, maupun kehendak. Sehingga bukan lagi kita yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalam kita


2. Karisma-karisma Roh Kudus

Karisma-karisma atau karunia-karunia Roh Kudus memegang peranaan yang penting dalam Pembaruan Karismatik. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium,12 mengatakan bahwa "…semua karisma, dari yang besar sampai yang sederhana, yang telah diberikan oleh Allah harus disambut dengan rasa syukur dan terhibur terutama yang sesuai dengan kebutuhan Gereja." Konsili menambahkan bahwa karisma-karisma yang luar biasa tidak boleh dikejar dengan ceroboh dan bahwa mereka yang mempunyai wewenang dalam Gereja berhak mengadakan penilaian mengenai keaslian karisma-karisma dan pemanfaatannya secara benar. Mereka memiliki tugas khusus tidak untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji semuanya dan untuk mempertahankan yang baik. (bdk. 1 Tes 5:12.19-21)

Dengan menemukan karisma-karisma asli dan memanfaatkan secara tepat maka Gereja kita akan diperkaya dengan dinamisme (kekuatan) Roh Kudus dengan pelayanan-pelayanan beraneka ragam yang begitu dibutuhkan Gereja pada saat ini. Karisma-karisma adalah penting dan perlu. Karisma-karisma tersebut merupakan karya Roh Kudus.

Berkenaan dengan ini, Kardinal Ratzinger mengatakan bahwa apa yang dikisahkan dalam Perjanjian Baru mengenai karisma-karisma sebagai tanda-tanda kedatangan Roh Kudus bukan hanya merupakan suatu sejarah kuno yang sudah tertutup untuk selama-lamanya. Sebaliknya karisma-karisma ini akan selalu dialami lagi pada zaman sekarang secara aktif dan berkobar-kobar. Kita bisa berdosa karena kelalaian apabila kita menyangkal pentingnya karisma-karisma dan bila kita menolak atau menggesernya. Namun, kita juga bisa berdosa dengan mementingkannya secara berlebih-lebihan dan membuatnya menyimpang dari tujuannya demi hidup Gereja.

Maka, di satu sisi, sikap kita mengenai karisma-karisma ini harus terbuka dan penuh penghargaan. Demikianlah dikatakan Paus Paulus VI, "Semoga dengan berkat Allah, Tuhan sekali lagi mencurahkan hujan karisma-karisma yang membuat Gereja subur, indah dan ajaib, juga membuat Gereja mampu untuk mempengaruhi, termasuk menarik perhatian dan menimbulkan keheranan dunia profan, dunia yang semakin disekularisasi." (10 Oktober 1974). Akan tetapi, di sisi lain, tidak boleh dilupakan bahwa buah Roh Kudus yaitu Cintakasih lebih penting dari karisma-karisma. Selama Cintakasih yang merupakan buah Roh Kudus belum berkuasa dalam diri kita (bdk. Yoh 5:22), kita belum bisa berbicara mengenai Pembaruan yang sebenarnya. Gereja dan dunia akan berubah jika kita dipenuhi dengan Cintakasih Ilahi dan jika kita mencintai seperti Yesus telah mencintai kita (bdk. Yoh 13:35)

Bagaimanapun luarbiasanya karisma-karisma itu, akan sia-sia saja bila tidak menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan, yakni manusia-manusia baru yang telah diperbaharui dengan hidup baru dari Injil, yaitu hidup dalam Cintakasih: "Aku memberikan kepadamu suatu perintah baru: 'Seperti Aku mencintai kamu demikianlah kamu harus saling mencintai'" (Yoh 13: 34) Senada dengan ini seperti dikatakan St. Paulus: "Jadi, berusahalah memperoleh karunia-karunia yang paling utama dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi, yaitu Cintakasih." (lih. 1 Kor 12:31-13:1-13)

Namun, kita juga harus menghindari ekstrim yang berlawanan, yang mengatakan bahwa tidak perlu lagi ada karisma-karisma. Mengenai hal ini Rasul Paulus berkata: "Kejarlah Kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh terutama karunia bernubuat." (1 Kor. 14:1) Rasul Petrus menambahkan: "…sehingga dengan karisma-karisma itu kita bisa melayani seorang akan yang lain sesuai dengan karunia yang diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari Kasih karunia Allah yang beraneka ragam. (1 Ptr. 4:10)

Supaya lebih jelas kita perlu membedakan antara dua macam karunia-karunia Roh Kudus menurut fungsinya:

1.  Karunia-karunia untuk menguduskan manusia (gratum faciens): ini adalah bentuk utama dan mutlak perlu untuk keselamatan dan agar manusia berubah menjadi obyek Cintakasih Ilahi. Tanda bagi mereka yang memiliki karunia-karunia ini adalah kehadiran di dalam diri mereka, buah-buah roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. (Gal. 5:22.23) Semuanya harus ada dalam diri seorang pengikut Kristus yang sejati.

2.  Karunia-karunia untuk memperkaya manusia dengan hak-hak istimewa dan khusus (gratis data) demi pembangunan jemaat dan pewartaan Kerajaan Allah. Karunia-karunia seperti inilah yang kita sebut sebagai karisma-karisma. Kehadiran karisma-karisma ini tidak harus ada dalam setiap orang Kristen.

Jadi, adalah suatu kesalahan besar apabila kita secara eksklusif menekankan karisma-karisma dan kurang menghargai Rahmat Pengudus, yang justru merupakan yang paling penting. Namun, setiap karisma pemberian Roh Kudus juga merupakan anugerah adikodrati yang tidak ternilai, yang merupakan sarana efektif untuk pelayanan kristiani. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kedewasaan suatu pembaruan terletak pada usaha untuk selalu menjaga suatu keseimbangan secara tepat serta tahu memberi tempat kepada setiap karunia itu sesuai dengan nilainya.

Dasar Teologis

Dasar teologis dari pembaruan ini adalah Hidup Trinitaris (berdasarkan Allah Tritunggal). Di dalam Pembaruan dalam Roh harus hadir visi atau wawasan Trinitaris seperti yang diungkapkan dalam Konsili Vatikan II: "Gereja adalah ungkapan rencana kasih Bapa dalam zaman yang menghendaki agar semua orang diselamatkan dan sampai pada pengetahuan akan kebenaran secara penuh (1 Tim. 2:4) dan untuk mencapai tujuan ini maka 'pada waktu kepenuhan zaman Bapa telah mengutus Putera-Nya yang telah lahir dari seorang wanita untuk menebus kembali mereka yang telah berada dibawah hukum agar kita menerima hidup sebagai anak-anak angkat' (Gal 4:4–5).”

Kristus adalah Kepala Tubuh, yaitu Gereja (Ef. 5:23). Ia telah diserahkan demi Gereja, untuk menguduskannya (Ef. 5:25–27). Setelah menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan Bapa kepada-Nya di dunia, Ia mengutus Roh Kudus untuk menguduskan Gereja terus-menerus dan untuk memberikan kepada orang-orang beriman jalan kepada Bapa (LG, 4).

Dasar utama Teologis dalam Pembaruan Karismatik terletak dalam misteri Allah Tritunggal dan khususnya untuk semakin mengenal pribadi Roh Kudus dan keaktifan-Nya yang tak dapat diganti, yang tanpa henti-hentinya hadir dalam Gereja dan dalam setiap diri kita. Melalui Roh Kuduslah, Bapa menghidupkan semua yang mati karena dosa. Ia tinggal dalam Gereja dan dalam hati orang-orang yang beriman. Bagaikan dalam suatu kenisah, Ia membimbing kita ke dalam suatu kebenaran, mempersatukan, memerintah, dan menganugerahi berkat berbagai karunia-karunia hirarkis dan karismatis.

Pembaruan dalam Roh telah memberikan banyak sumbangan dengan menekankan terus-menerus pentingnya keaktifan Roh Kudus sebagai Jiwa Gereja. Pribadi Roh Kuduslah yang mendapat tempat utama dalam gerakan pembaruan ini, dan bukan karisma-karisma.

Persekutuan Doa

Paus Yohanes Paulus II menulis dalam Ensiklik Dominum et Vivificantem: "Zaman kita yang sulit sekarang ini secara khusus membutuhkan Doa. Beberapa gerakan dewasa ini memprioritaskan doa dan pembaruan hidup Rohani. Ini adalah suatu fakta yang penuh arti dan hiburan." Waktu bersama beberapa uskup Perancis berbicara tentang Persekutuan Doa, beliau berkata: "Kita dapat berbicara mengenai suatu Rahmat yang datang pada waktu yang tepat untuk menguduskan Gereja, memperbaharui selera doa di dalam Gereja." Dan dalam konperensi Internasional Pembaruan Karismatik beliau menambahkan: "Kekuatan dan kesuburan Pembaruan memberikan suatu kesaksian mengenai kehadiran kuat kuasa Roh kudus yang bekerja dalam Gereja setelah Konsili Vatikan II. Roh Kudus telah membimbing Gereja sepanjang segala masa dan membangkitkan bermacam-macam karunia di tengah orang beriman. Berkat Roh Kudus Gereja dapat menjaga kekuatan hidup dan semangat muda dan Pembaruan Karismatik merupakan suatu bukti nyata dari vitalitas Gereja pada zaman sekarang ini."

Persekutuan Doa merupakan salah satu unsur paling penting dari Pembaruan Dalam Roh. Di situlah, pada umumnya orang Katolik mulai mengenal Pembaruan. Di dalamnya mereka membagi-bagikan doa bersama dengan saudara dan saudari mereka secara spontan di bawah bimbingan Roh Kudus dengan suatu kesadaran yang jelas akan kehadiran Yesus seperti yang dijanjikan-Nya kepada mereka yang berkumpul dalam nama-Nya. (Mat. 18:20) Apabila persekutuan doa dilakukan seturut Sabda Allah, semakin lama Sabda Allah akan semakin dalam menembus budi dan hati manusia dan menjadi pelita dan terang bagi jalan hidup manusia. (Mzm. 109:105) Dalam persekutuan doa, pujian dan penyembahan mendapat tempat yang utama.

Dari buah-buahnya: pertobatan, pertumbuhan rohani, kesembuhan lahir dan batin, serta penerimaan banyak kebaikan lain menunjukkan betapa pentingnya persekutuan doa. Namun, persekutuan doa sekali-kali tidak boleh sampai menggantikan tempat utama perayaan-perayaan liturgis, terutama Misa Hari Minggu. Persekutuan Doa yang baik justru akan semakin menumbuhkan cinta akan sakramen-sakramen. Selain itu, Persekutuan Doa juga tidak bisa menggantikan tempat doa pribadi atau saat-saat berada sendirian dengan Tuhan di dalam keheningan.


Bahaya-bahaya yang Dapat Muncul

Hakekat dari Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik adalah baik. Namun, dalam praktiknya tetap ada bahaya-bahaya yang harus diwaspadai. Ekses-ekses berikut inilah yang menjadi batu sandungan dan menjadi polemik berkepanjangan dari orang-orang yang merasa tidak senang dengan gerakan pembaruan ini.

1.  Emosionalisme: terlalu menekankan gejala-gejala emosional dalam ibadat, misalnya menangis menggerung-gerung, melompat-lompat, dan sebagainya. Memang, penyembahan dan pujian yang baik juga sering melibatkan unsur emosional, namun pada prinsipnya Roh Kudus tidak akan mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan emosional yang mengganggu suasana pada umumnya. Roh Kudus adalah Roh yang tertib.

2.  Anti-intelektualisme: penggunaan sarana akal budi untuk menilai atau untuk mengatasi masalah dipandang sebagai suatu kekurangan iman. Contoh: menolak pergi ke dokter kalau sakit karena 'percaya' bahwa Tuhan sendiri dapat menyembuhkan penyakitnya. Akal budi sesungguhnya adalah karunia Tuhan juga, yang dapat digunakan sebagai sarana demi kebaikan umat-Nya.

3.  Indiferentisme: menganggap semua ibadat kepada Tuhan itu sama saja, asalkan dilakukan dalam iman untuk menyembah Kristus. Misalnya, tidak membedakan antara KRK dan Perayaan Ekaristi atau antara kebaktian di gereja yang satu dan gereja yang lain.

4.  Kesombongan rohani: menganggap diri lebih suci daripada orang-orang yang tidak terlibat dalam gerakan pembaruan.

5.  Skisma: pemisahan diri dari Gereja Katolik; bisa dengan menyeberang ke gereja lain atau mendirikan gereja sendiri. Skisma erat kaitannya dengan gejala indiferentisme dan kesombongan rohani.

Penutup

Walaupun tidak sempurna, semoga tulisan singkat ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting