User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

Setelah melepas lelah dan mengenyangkan perut yang lapar, kami pun melanjutkan pendakian kami. Tanjakan yang semakin terjal, jurang yang menganga di sisi jalan, ransel di punggung yang terasa semakin berat, semua itu membuat nafas kami makin tersengal dan keringat membasahi sekujur tubuh walau malam itu sebetulnya sangat dingin. Termometer kami menunjukkan suhu 5oC! Akhirnya menjelang subuh, kami tiba di leher gunung. Kami sudah tak tahan lagi dengan ransel yang terasa begitu berat membebani punggung kami, maka beramai-ramai kami tanggalkan ransel itu di tanah dan menarik nafas dalam-dalam. Seketika itu juga kami merasakan kelegaan dan sejuknya hawa pegunungan. Saat itu baru kami sadari betapa indahnya pemandangan alam di sekitar kami. Langit bersemu jingga membiaskan sinar surya yang akan segera terbit, burung-burung pagi berkicau riang, dan bunga-bunga edelweiss yang putih mungil berseri bertaburan di padang rumput yang hijau itu. Aroma rumput segar sangat menentramkan hati kami.

Menanggalkan ransel…? Padahal di dalam ransel itulah kami gantungkan seluruh hidup kami selama pendakian ini. Makanan, pakaian, minuman, peralatan yang dibutuhkan, pokoknya segalanya. Akan tetapi, setelah ransel diletakkan di tanah, kami justru merasa ringan dan bahagia. Dalam kehidupan sehari-hari, adakah sebetulnya yang juga memberatkan langkah-langkah hidup kita? Ya, ada tentu saja. Tak lain tak bukan adalah topeng! Sadarkah Anda bahwa ada topeng tebal yang kita pakai setiap hari? Memang dengan memakai topeng itu kita merasa lebih aman. Hidup kita seolah bergantung pada topeng itu. Namun, sampai kapan? Akan tiba harinya kita merasa topeng itu begitu tebal dan memberatkan hingga akhirnya kita pun meledak tak terkendali. Ada baiknya setelah doa penyembuhan batin, kita meneliti diri kita sendiri, topeng-topeng apa sajakah yang selama ini kita kenakan. Ada seseorang yang terluka waktu kecil akibat sikap orang tua yang selalu menuntut agar ia meraih prestasi terbaik. Akibatnya ia selalu memakai topeng sebagai orang yang sempurna tak bercacat. Ia menjadi tak pernah ambil resiko karena takut sekali berbuat salah, dan tidak berani mengakui dengan sportif apabila kesalahannya diketahui orang lain. Ada juga orang yang memakai topeng badut, yaitu selalu melucu dan disenangi semua orang karena kejenakaannya. Padahal sebetulnya itu semua adalah topeng agar ia mendapatkan perhatian dan kasih dari orang lain karena waktu kecil ia kekurangan kasih sayang dan selalu bermain sendirian tanpa ada yang menemani.

Topeng-topeng itu memang membuat hidup kita terasa aman. Akan tetapi, hanya sementara waktu saja. Lama-kelamaan kita akan kelelahan sendiri karena topeng itu terasa begitu berat membebani hidup kita. Seorang ibu yang sudah 21 tahun tinggal serumah bersama mertuanya datang dan mengeluh belakangan ini tiba-tiba merasa jenuh dengan pekerjaannya dan hidupnya pun sama sekali tak bergairah. Setelah digali lebih dalam, ternyata sebetulnya ibu ini kelelahan dengan topeng yang harus dikenakannya selama 21 tahun ini agar ia tampak baik dan sempurna di mata mertuanya. Dan nyatanya, kini ia merasa sulit untuk bisa mengasihi mertuanya itu dengan tulus.

Kenalilah kini topeng-topeng apa saja yang Anda pakai selama ini, dan ambillah langkah berani untuk melepaskannya. Topeng yang kita pakai, menghalangi orang lain untuk melihat kita apa adanya. Kita tutupi kekurangan dan kelebihan kita, kesedihan dan kegembiraan kita, kekuatan dan ketakberdayaan kita, seolah-olah kita memakai topeng yang berkata kepada setiap orang, “Jangan ganggu aku! Biarkan aku hidup dalam duniaku sendiri!” Topeng ini menghalangi terciptanya hubungan yang tulus antara kita dan sesama, dan bahkan lebih parah lagi, juga hubungan kita dengan Allah. Seorang wanita karir yang sukses memakai topeng sebagai perempuan yang super sibuk, tak memberi kesempatan kepada siapa pun untuk mendekatinya. Karena ia tahu, di sebuah pojok jiwanya yang gelap ada masa lalu yang menyakitkan, yang ingin ia sembunyikan; tak ingin ada seorang pun yang mengetahuinya. Setiap orang yang berusaha mendekatinya, dibuatnya terpental dengan sikapnya yang ketus atau kata-katanya yang menyakitkan. Dari sini kita lihat, betapa kejamnya topeng-topeng itu menghancurkan relasi kita dengan sesama. Sebaliknya, betapa indahnya hubungan yang bisa kita jalin dengan sesama apabila topeng itu kita lepaskan. Kita membuka diri apa adanya, membiarkan orang lain masuk dan terlibat dalam kehidupan kita, dan kita pun leluasa memberikan diri kepada orang lain dengan hati tulus dan apa adanya. Pada saat topeng terlepas itulah, walau kita tidak pindah rumah, kita dapat melihat dunia baru yang lain, panorama kehidupan yang lebih indah, seperti rombongan pendaki yang dapat menikmati kicau burung dan lembutnya bunga edelweiss setelah melepaskan ransel.

Pendakian dilanjutkan, langkah demi langkah, tanjakan demi tanjakan, tiba-tiba terbentanglah di hadapan kami lautan pasir yang luas tak bertepi. Rupanya puncak Gunung Slamet ini merupakan gundukan pasir yang tandus, tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Dan ternyata pula, pendakian puncak ini jauh lebih berat daripada babak-babak sebelumnya. Pasir yang betul-betul lepas itu membuat kami merosot dua langkah setiap kali kami menanjak satu langkah. Belum lagi kebul debu pasir dari teman-teman di depan kami, menyakitkan hidung dan memedihkan mata. Dengan menggertakkan gigi kami terus mendaki sambil memandang ke garis puncak yang sudah kelihatan untuk menyemangati kaki-kaki yang sudah hampir menyerah. Namun, alangkah kecewanya kami karena setelah sampai di garis itu, ternyata itu belumlah puncak. Jadi, bagian atas gunung ini seperti undak-undakan. Dari bawah kami kira garis itu puncak, ternyata setelah sampai hanya berupa dataran sedikit, kemudian masih ada lagi tanjakan terbentang di mata kami, menantang untuk didaki. Begitulah kami tertipu hingga berkali-kali. Namun, kami terus mendaki dan mendaki.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting