User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

3.  Menjadi seperti Seorang Anak Kecil

Tuhan Yesus mengajar kita  supaya dalam hubungan  dengan Allah, kita menjadi seperti anak kecil: Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan  menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sedangkan barangsiapa yang merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Surga” (Mat.18:2-4).

Apa yang dimaksud menjadi seperti anak kecil itu? Yang jelas, Tuhan tidak menghendaki kita menjadi kekanak-kanakan, melainkan supaya kita memiliki sikap seorang anak terhadap ayah-ibunya. Anak itu menerima keadaan ketergantungannya dari orang tuanya dengan bersahaja, tanpa takut atau kuatir, tetapi mengharapkan segala sesuatu dari mereka. Kondisi kita di hadapan Allah sama seperti keadaan seorang anak kecil, namun toh ada bedanya. Ketergantungan kita terhadap orang tua suatu ketika akan berhenti, sedangkan ketergantungan kita terhadap Allah tetap untuk selama-lamanya.

Seorang anak, waktu kecilnya tergantung seluruhnya dari orang tuanya, baik dalam hal makan, minum, maupun dalam hal-hal lainnya. Namun bila anak itu tumbuh dan menjadi besar, suatu ketika ia tidak akan tergantung lagi dari orang tuanya, bahkan orang tuanya dapat tergantung dari dia. Namun tidak demikian keadaan kita di hadapan Allah, dalam segalanya kita tetap tergantung dari Allah. Seluruh ada kita tergantung dari  Allah. Bila Allah melupakan kita satu detik saja, kita akan kembali ke dalam ketiadaan.

Hal itu lebih benar pula dalam kehidupan rohani. Kita tidak dapat melakukan satu perbuatan baik atau bahkan satu pikiran baikpun bila tanpa rahmat Allah. Seperti dikatakan Santo Paulus: “Allahlah yang memberikan kepada kita baik kemauan mau-pun pekerjaan menurut kerela-anNya” (Flp.2:13). Untuk menghendaki sesuatu yang baik saja, kita membutuhkan rahmat Allah, apalagi untuk mengerjakannya. Ketergantungan kita kepada Allah dan rahmat ini diungkapkan oleh Tuhan Yesus dalam perumpamaan pokok anggur dan ranting-rantingnya (bdk. Yoh.15:1-8). Dengan tegas Yesus mengatakan, bahwa tanpa Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa: “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh.15:5).

Mengingat semua yang telah disebutkan di atas, jelaslah mengapa kita di hadapan Allah harus bersikap seperti seorang anak kecil. Bagaimana konkretnya? Kita harus pasrah total kepada Allah dan mengharapkan segalanya dari Dia, bahkan juga bila kita suatu ketika jatuh dalam dosa. Seorang anak kecil mengharapkan segala sesuatu dari orang tuanya, kebutuhan makan, minum, pakaian, juga kalau sakit, dan segala kebutuhan lainnya, bahkan sebelum anak itu meminta kepada orang tuanya. Apa yang akan terjadi jikalau ada seorang anak kecil yang baru dimandikan dan diberi pakaian bersih oleh ibunya lalu pergi bermain-main dan kemudian jatuh di tempat basah dan mengotori pakaiannya? Bukankah ibunya, walaupun mungkin jengkel sejenak, akan segera memandikan dia lagi dan memberi pakaian yang baru kepadanya?

Kalau manusia saja dapat bersikap dan berbuat demikian terhadap anak-anaknya, betapa lebihnya Allah Bapa kita kalau kita percaya dan pasrah kepadaNya. Karena itu Tuhan Yesus bersabda: “Adakah seorang daripadamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepadaNya” (Mat. 7:9-11; bdk. Luk.11:11-13).

Jadi, bagaimanakah sikap kita seharusnya? Seperti seorang anak kecil di hadapan Bapa surgawi kita harus:

Percaya total kepada Allah serta mengharapkan segalanya dari Dia, baik dalam bidang jasmani maupun rohani, tanpa ketakutan dan kekuatiran. Kita harus mendekati Dia seperti seorang anak kecil mendekati bapaknya, dengan penuh kepercayaan. Sebagaimana seorang bapak mencukupi segala kebutuhan anaknya, demikian pula kita harus berharap kepada Allah, bahwa Dia akan memberikan kepada kita segala sesuatu yang kita perlukan, baik dalam bidang jasmani maupun rohani. Sebagaimana Allah memberi makan burung-burung di udara dan mendandani bunga-bunga di ladang, betapa lebihnya Ia akan memelihara kita, karena kita lebih berharga daripada semuanya itu (bdk.Mat. 6:25-34). Apa yang kita butuhkan harus kita minta dengan rendah hati kepada Bapa, tetapi sekaligus dengan penuh kepercayaan: “Bapamu sudah tahu apa yang kamu butuhkan, sebelum kamu meminta kepada-Nya” (Mat. 6:8). Demikian pula dalam bidang rohani kita harus mengharapkan segala pertolongan dan bantuan dari Allah. Yesus tahu, bahwa kita adalah ranting-ranting pada pokok anggur, yaitu Dia sendiri. Dia tahu bahwa ranting-ranting itu menerima kehidupan dari batang dan Ia akan selalu mengalirkan kehidupan ilahi itu ke dalam diri kita, asalkan kita tetap berpaut kepada-Nya dalam kepercayaan.

Kalau Dia mengajarkan kita berdoa: “Berilah kami rezeki hari ini,” yang dimaksudkan-Nya bukan hanya rezeki jasmani atau duniawi belaka, melainkan juga rezeki rohani, yang kita perlukan setiap saat. Dengan penuh kepercayaan kita harus mengharapkan rezeki rohani itu dari Dia setiap hari. Karena itu cukuplah bila kita berdoa setiap hari: berilah kami rezeki pada hari ini. Jangan berdoa mohon rezeki untuk satu minggu, satu bulan, satu tahun. Berdoalah saja setiap hari: “Berilah kami rezeki pada hari ini”, hanya untuk hari ini saja, juga bila kita mengalami saat-saat gelap, mohonlah: "Berilah kekuatan untuk hari ini saja, berilah ketekunan untuk hari ini saja.” Hiduplah pada saat ini, karena saat inilah yang nyata, sedangkan kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, sebab masa depan kita ada dalam tangan Tuhan yang lebih dahulu mengasihi kita, sedangkan yang sudah lewat ya sudah lewat, sudah tidak ada lagi.

Ini tidak berarti bahwa kita tidak harus berusaha. Tidak! Kita harus berusaha sekuat tenaga dan melakukan segala sesuatu, namun sekaligus sadar bahwa segala-galanya tergantung dari Allah. Secara konkret sikap yang tepat ialah: Berusahalah sekuat tenaga dan lakukanlah segala sesuatu seolah-olah semuanya tergantung daripadamu, namun serahkanlah seluruh keberhasilannya kepada Allah, karena Dia yang menguasai segalanya dan tahu apa yang paling baik bagi kita.

Berharap akan kerahiman Allah dengan penuh kepercayaan sebagaimana seorang anak kecil yang mengotori bajunya yang bersih datang kepada ibunya sambil menangis, demikianlah hendaknya kita, bila terjadi bahwa kita mengotori baju pembaptisan kita dengan dosa:

“Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supa-ya kamu jangan berbuat dosa,  namun jka seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang peng-antara kepada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil” (1 Yoh.2:1).

Kita  memang tidak ingin berbuat dosa, tetapi karena kelemahan kita, kadang-kadang kita masih terjatuh dalam dosa. Kalau demikian kita tahu, bahwa kerahiman Allah tidak terbatas dan bahwa Ia lebih besar dari hati kita , seperti yang dikatakan oleh Santo Yohanes: “Demikian  pula kita boleh menenangkan hati kita dihadapan Allah, sebab jika dituduh olehnya (catatan: maksudnya suara hati kita setelah berdosa), Allah adalah lebih besar daripada hati kita dan mengetahui segala sesuatu” (1 Yoh. 3:19-20).

Hal itu memang sesuai dengan apa yang jauh sebelum itu telah dikatakan Allah sendiri lewat nabi Yesaya. Betapa pun besarnya dosa itu, asal kita dengan penuh kepercayaan kepada kerahiman-Nya datang kepada-Nya, segala dosa itu betapa pun besarnya, akan dihapuskanNya. “Marilah, baiklah kita mengadakan perhitungan!” firman Tuhan. Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju. Sekalipun dosamu merah seperti kain kesumba akan menjadi putih seperti bulu domba. (Yes.1:18).

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting