User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

PELAKU FIRMAN

Dalam perjalanan menuju ke Yerusalem, seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus tentang apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal (bdk. Luk 10:25). Ahli Taurat ini tentu saja tidak menanyakan sesuatu yang tidak diketahuinya, namun ia ingin mencobai Yesus dan mendengar penjelasan-Nya. Dia menyebut Yesus sebagai "guru," salah satu sebutan untuk mereka yang memiliki otoritas dalam hal keagamaan. Dia mengharapkan Yesus memberikan jawaban untuk pertanyaan yang sudah sering ditanyakan.

Trampil dan sekaligus lembut, Yesus memulai penjelasannya dengan sebuah pertanyaan, "Apa yang tertulis dalam Hukum Taurat?" (ay. 26). Secara tak langsung Dia bertanya, "Apa yang kau ketahui atau mengerti dari Hukum Taurat tentang hal itu?" Menjawab ini, si ahli Taurat mengutip doa Ibrani, Shema (Ul 6:4-5) dan menghubungkannya dengan Im 19:18 . Kedua perintah dalam ayat-ayat itu ("Kasihilah Tuhan Allahmu" dan "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri") dihubungkan dengan kata kunci kasih. Dari jawabannya, tampak bahwa sebenarnya “secara teori” si ahli Taurat ini sudah mengetahui jawaban pertanyaannya. Dan, Yesus memang membenarkan jawabannya, “Jawabmu itu benar” (Luk 10:28). Akan tetapi, Yesus tidak berhenti sampai di situ, Ia melanjutkan, “perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup". Yah, mungkin kita sering “seperti si ahli Taurat” ini yang secara teori mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, namun tidak melakukannya. Di sini Yesus menegaskan bahwa untuk memperoleh hidup kekal (keselamatan) tidak cukup jika kita hanya mengerti kehendak Tuhan. Kita harus menjadi pelaksana Sabda Tuhan, bukan hanya pendengar atau perenung-Nya.

 

St. Yakobus mengatakan,

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (Yak 1:22-25).

 

“... UNTUK MEMBENARKAN DIRINYA....”

Menyadari kekurangannya ini, si ahli Taurat mulai “membenarkan dirinya” dengan mengajukan pertanyaan, “Dan siapakah sesamaku manusia?" (Luk 10:29). Dengan demikian, ia mau mengatakan bahwa ia tidak melakukan perintah cintakasih ini karena ia tidak mengenal atau mengetahui siapa sesamanya. Dia tidak mau dengan rendah hati dan jujur mengakui bahwa ia bersalah karena tidak melaksanakan perintah cintakasih. Jika ia rendah hati, saat Yesus mengatakan, “Jawabmu itu benar, perbuatlah demikian” (Luk 10:28), ia bisa saja menjawab dengan sederhana (apa adanya), “Terima kasih, Guru, dan maafkan aku karena aku memang belum melaksanakan perintah ini.”

Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita mempunyai kerendahan hati dan kejujuran yang cukup untuk mengakui kekurangan dan kesalahan kita? Ataukah, kita sibuk membela diri, bahkan tidak segan-segan berbohong untuk membenarkan diri? Bisa terjadi, karena seseorang “terbiasa” membela diri dan berbohong, maka sikap buruk ini menjadi sesuatu yang spontan dan refleks dia lakukan, tanpa sedikit pun menengok pada kebenaran. Orang demikian lama-lama tidak tahu lagi apa itu kebenaran. Jawab Yesus kepada mereka: "Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu” (Yoh 9:41). Alasannya sederhana: orang yang merasa sehat tidak akan mencari obat.

Menghadapi si pembenar diri ini, dengan sabar Yesus menjawab pertanyaannya tentang “siapakah sesamaku” dengan menceritakan sebuah perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati.

 

MENGENALI “SAUDARAKU”

Dalam cerita ini, musafir yang dikenal melalui pakaian, perkataan, dan sikapnya sebagai seorang Samaria, menghentikan keledainya, dan dengan sepenuh hati mengulurkan tangannya membantu si korban penyamun. Dia tidak peduli apakah korban yang terluka itu orang Yahudi, Romawi, Yunani, atau Siria. Baginya, orang yang telanjang, terluka, dan setengah mati itu adalah seorang saudara yang membutuhkan pertolongan. Dia siap membayar biaya yang diperlukan oleh pemilik penginapan untuk merawat orang tersebut di penginapan selama beberapa hari. Orang Samaria ini pasti memberi pakaian juga. Orang Samaria tersebut tidak melakukan perbuatan kasih dan kemurahan atas dasar timbal-balik. Dia dapat saja meminta si pasien ini, setelah dia sembuh, untuk membayar kembali biaya yang telah dikeluarkannya. Bahkan, si orang Samaria yang baik hati ini tidak memusingkan apakah si pasien akan berterima kasih sesudah mengetahui siapa yang telah menolongnya, mengingat masyarakat seringkali menjauhi orang Samaria dan memandangnya hina dan rendah. Perbuatan orang Samaria ini menggambarkan pengorbanan yang tulus dalam hal uang, harta milik, resiko kesehatan dan keamanan, dan banyak waktu untuk menunjukkan kasih dan perhatian yang sungguh-sungguh.

Dalam suatu kesempatan seorang imam mengajukan sebuah pertanyaan, “Menurutmu, siapakah orang yang tidak buta itu?” Macam-macam jawaban bermunculan, antara lain, orang yang tidak buta adalah orang yang bisa membedakan siang dan malam; orang yang bisa membedakan warna putih dan warna merah; orang bisa mengetahui mana gelas dan mana ember; dll. Dan, si imam mengatakan, “Orang yang tidak buta adalah orang yang saat memandang sesamanya dapat mengenalinya, ‘Dia saudaraku.’”

 

KASIH: HUKUM YANG UTAMA

Dalam cerita itu, Yesus mengisahkan seorang yang dirampok dan dipukuli hingga setengah mati. Seorang imam melihatnya, tetapi ia tidak mau menolong. Ia lewat begitu saja. Mungkin ia berpikir bahwa orang itu sudah mati, sehingga ia tidak mau menyentuhnya. Bagi seorang imam, menyentuh jenazah akan membuat dia najis dan tidak dapat melayani di Bait Allah. Bagi dia, melayani altar Tuhan lebih penting daripada perbuatan cintakasih dan doa lebih penting daripada menolong orang lain. Kemudian, datang seorang Lewi. Ia juga tidak berbuat apa-apa karena mencemaskan keselamatannya sendiri. Karena itu, ia mencari jalan lain. Akhirnya, datanglah seorang Samaria. Ia tidak peduli dengan perbedaan sosial, politik, dan agama dengan korban yang menderita. Ia juga tidak peduli dengan keselamatannya sendiri. Apa yang dilihatnya adalah orang yang membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, dengan segera ia memberikan bantuan.

Perumpamaan ini memberikan suatu gambaran lengkap mengenai pemuridan Kristen, khususnya tentang kasih kepada Tuhan dan sesama. Keduanya digabungkan untuk melukiskan jalan kepada kehidupan kekal yang diberikan dalam jawaban ahli Taurat. Selama pelayanan-Nya di dunia, Yesus mengajarkan tuntutan yang melampaui Hukum Taurat, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Dalam khotbah di Bukit, perintah ini tidak berhenti sampai pada kata “sesamamu manusia,” tetapi memasukkan juga kata musuh, "Kasihilah musuhmu" (Mat 5:44; Luk 6:27).

Si ahli Taurat yang mengajukan pertanyaan tentang “siapa sesamaku” pada Yesus, secara tidak langsung mempermasalahkan atau mempertanyakan tentang batasan-batasan kasih dan pemenuhan tuntutan Hukum Taurat. Dia ingin mengetahui di mana atau kepada siapa seharusnya kasih itu diberikan. Dalam perumpamaan ini, apakah seseorang yang tidak dikenal, yang dirampok, dipukul, sehingga telanjang dan setengah mati dapat disebut “sesama”?

Perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati ini juga menentang suatu “pola sikap” yang salah pada jaman itu. Antara orang Samaria dan orang Yahudi terdapat semacam permusuhan atau semacam “tembok pemisah”. Orang Samaria dijauhi dan dipandang rendah oleh orang Yahudi, dan tak jarang orang Samaria berlaku tidak bersahabat terhadap orang Yahudi (bdk. Luk 9:52-53; Yoh 4:9). Maka, dalam perumpamaan ini Yesus mengajarkan suatu pola sikap baru, pola sikap Kristiani yang memancarkan kasih tanpa pandang bulu melalui figur seorang Samaria yang baik hati. Dengan perumpamaan ini, Yesus melakukan suatu perombakan,

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:44-48).

Jadi, Yesus menegaskan bahwa tidak ada orang yang bukan sesama. “Sesama” bukanlah soal darah atau kebangsaan atau persekutuan keagamaan. “Sesama” ini ditentukan oleh sikap yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. Di dalam perumpamaan ini “sesama” ini tampil bukan sebagai pribadi yang menarik, melainkan sebagai orang yang menderita, penuh dengan darah, telanjang, dan hampir mati. Dia tidak dapat mengembalikan usaha, kasih, uang, dan pakaian yang diberikan kepadanya. Dia memerlukan pertolongan dan tidak dapat membayar kembali.

Menghindari sesama berarti mendatangkan murka ilahi, karena perbuatan tersebut melanggar kedua Hukum Utama, yaitu Hukum Kasih pada Tuhan dan sesama. Imam dan orang Lewi mengetahui dengan baik perintah Allah ini, dan si ahli Taurat dapat menafsirkannya bagi orang lain. Sementara, si orang Samaria dengan melaksanakan kasih menunjukkan bahwa ia meng-“hidup”-i hukum itu. Tindakan orang Samaria ini telah menekankan kasih kepada sesama.

 

IBU TERESA DARI KALKUTA: SEBUAH TELADAN PEMBAWA DAN CERMIN KASIH ALLAH

Dalam kehidupan yang konkrit dapat kita lihat dalam diri Ibu Teresa dari Kalkuta. Ia menerima panggilan Allah untuk melayani Dia dalam diri orang-orang yang termiskin dari para miskin pada tahun 1946 dengan cara yang sederhana, yaitu merawat orang yang sakit dan yang hampir mati yang ditemuinya di sepanjang jalan di Kalkuta. Walaupun sejak tahun 1944 (saat ia menjadi kepala sekolah) ia mengidap penyakit TBC, tetapi semangatnya tetap menyala untuk melayani Allah di atas segala sesuatu melalui orang-orang miskin. Ia melayani Yesus dalam diri kaum miskin, merawatnya, memberi makan dan pakaian, dan mengunjunginya. Ibu Teresa berkata, ”Yesus ingin menolong dengan berbagai hidup kita, kesepian kita, perjuangan kita, susah payah kita, kematian kita. Hanya dengan menjadi satu dengan kita, Dia telah menebus kita. Kita diperkenankan untuk berbuat yang sama: semua kesepian orang miskin, kemiskinan material dan spiritual mereka, semuanya harus ditebus, dan kita harus mengambil bagian, karena hanya dengan menjadi satu dengan mereka kita dapat menebus mereka, yakni dengan membawa Allah ke dalam kehidupan mereka dan membawa mereka kepada Allah.” Kita melihat dalam diri Ibu Teresia bahwa ia tumbuh dalam cinta kepada Yesus. Ia berkata, ”untuk melakukan hal ini kita harus terus mencintai dan mencintai, memberi dan memberi, hingga cinta itu melukai diri kita. Itulah jalan yang dilakukan Tuhan Yesus.”

 

“PERGILAH, DAN PERBUATLAH DEMIKIAN!”

“Pergilah, dan perbuatlah demikian!” (Luk 10:37). Perintah ini merupakan panggilan untuk menunjukkan belas kasihan kepada semua orang yang tidak beruntung yang terbaring di “jalan ke Yerikho” dalam kehidupan manusia. Bagi Yesus, sesama adalah setiap orang yang membutuhkan bantuan dan pertolongan. Bagi orang Samaria, sesama adalah orang yang dirampok penyamun, yang terkapar tidak berdaya di pinggir jalan.

Namun, bagi kita gambaran tentang sesama seringkali tidak jauh berbeda dengan pemahaman ahli Taurat. Sesama seringkali adalah teman-teman atau orang-orang sekampung, sesuku, atau teman-teman yang kita kenal atau saudara-saudara kita. Sesama, bahkan sering dibatasi hanya pada mereka yang senang dengan kita, yang setuju dengan pemikiran kita, atau yang selalu memuji dan mendukung kita. Perikop ini membuka wawasan kita, bahwa sesama adalah mereka yang membutuhkan bantuan dan uluran tangan kita di mana saja dan kapan saja. Entah mereka yang miskin, yang menderita, yang kesepian, yang membutuhkan simpati dan empati kita, mereka-mereka itulah sesama kita. Kita dipanggil untuk berada bersama mereka. Kita dipanggil untuk membantu mereka yang memerlukan pertolongan.

St. Yohanes dari Salib mengatakan bahwa pada akhir senja hidup kita, kita akan diadili berdasarkan cintakasih. Sejauh mana kita menghidupi cinta kepada Allah dan sesama secara konkrit kepada orang-orang yang ada disekitar kita? Yesus sebagai orang Samaria yang murah hati yang merupakan teman dan saudara dari semua orang dari berbagai tingkatan hidup, bangsa, dan suku bangsa. Pesan yang diajarkan Yesus melalui perumpamaan ini, Yesus mau mengatakan bahwa jika kita mau memperoleh kehidupan kekal maka kita harus pergi ke luar sana dan berbuat serupa.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting