User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Kesabaran yang kita bicarakan di sini adalah suatu kebajikan supernatural yang memampukan kita menanggung penderitaan-penderitaan, baik fisik maupun moril, dengan ketenangan hati demi cinta kepada Allah dan dalam persatuan dengan Tuhan kita, Yesus Kristus.

Father Tanquerey dengan indahnya mengatakan: “kita semua mempunyai penderitaan yang cukup untuk menjadikan kita orang-orang kudus, tetapi masalahnya adalah apakah kita tahu bagaimana menerima dan merangkul penderitaan sebagaimana mestinya.” Banyak orang mengeluh apabila menderita, ada yang mengutuk, kadang-kadang mereka mengutuk Penyelenggaraan Ilahi. Sebabnya adalah karena mereka tidak mengerti kebaikan, dan berkat yang dapat diperoleh melalui penderitaan. Mereka tidak mampu menderita dengan sabar. Betapa jauh bedanya dengan St. Yohanes dari Salib dan Venerabilis Libermann yang melewati sebagian besar hidup mereka dalam penderitaan, danjutaan orang-orang lain yang telah memilih untuk meneladan Yesus yang menderita.

Itulah sebabnya St. Paulus berulang kali menasihatkan agar kita mempraktikkan kebajikan tersebut. “Kenakanlah belas kasihan ... dan kesabaran” (Kol 3:12). Kitajuga baca dalam Ibrani 10:36, “Sebab kamu memerlukan ketekunan (kesabaran) untuk melakukan kehendak Allah.” Dan Tuhan tak henti-hentinya mendorong para Rasul untuk mempraktikkannya.

Sebagaimana sudah disebut di atas, objek dari kebajikan kesabaran adalah penderitaan fisik dan moril. Penderitaan-penderitaan fisik itu datangnya melalui penyakit, kelemahan-kelemahan, kecelakaan, dan lain-lain. Penderitaan moril, yang kadang kala lebih menyakitkan, dalam jiwa-jiwa yang kuat antara lain disebabkan oleh kesalahan-kesalahan mereka sendiri. Penderitaan ini bisa juga karena menemukan cacat cela diri sendiri, yang bolak-balik muncul kendatipun mereka sudah membuat niat-niat baik.

Di sini saya berbicara tentang kesalahan-kesalahan dan jiwa-jiwa yang kuat dan yang bersungguh-sungguh, yang dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. Karena denganbantuan rahmat Allah, selalu mungkin bagi mereka untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang sungguh disengaja. Mengapa rahmat seperti itu tidak diberikan kepada jiwa kalau memang Allah begitu mengharapkan kesucian kita? Sehubungan dengan kesalahan “karena kelemahan” yang ingin kita buang atau singkirkan, Bapa Surgawi kadang-kadang membiarkan kita mengalami kelemahan kita untuk waktu yang lama, bahkan untuk seumur hidup. Walaupun sudah banyak berdoa, membuat fiat-fiat, sudah berhati-hati, sesudah mengalami sukses-sukses yang bersifat sementara, kita mungkin mendapati bahwa kita tetap sama saja seperti dahulu.

Jiwa yang serius malah lebih bersedih kalau menyadari ketidakmampuannya untuk mengatasi kelemahannya, karena dia menyadari bahwa sesamanya menderita oleh karena ketidaksempurnaannya itu. Pada saat itulah dia bisa tergoda untuk mengeluh, menggerutu kepada Tuhan, menyerah kepada kecenderungan-kecenderungannya yang buruk, dengan dalih bahwa perjuangannya sia-sia dan bahwa cita-cita yang diharapkannyatidak bisa dicapainya.

Itulah saatnya untuk mengingat apa yang dikatakan St. Theresia dan Kanak-Kanak Yesus tentang anak kecil. Karena anak itu tidak bisa berdiri di atas kaki-kakinya yang kecil, anak kecil itu berusaha memanjat tangga untuk mencapai ibunya, padahal Ia belum bisa berdiri.

Karena diterangi karunia Pengetahuan, karunia Pengertian dan Nasihat, jiwa tahu bahwa ia samasekali tidak berdaya kecuali kalau jiwa dibantu oleh Roh Allah. Jiwa tidak heran sedikit pun bila melihat bahwa segala usahanya sia-sia.

Sebaliknya, jiwa tahu bahwa Yesus dan Bapa Surgawi menghendaki bahwa bahkan sudah dalam hidup ini jiwa akan mencapai puncak kekudusan dan bahwa hanya melalui karya Roh Allah sajalah jiwa akan mencapai tujuannya. Dia tahu bahwa Roh Kudus ini pasti menyelesaikan karya pengudusan di dalam dirinya apabila jiwa rela dan mau membiarkan dirinya digerakkan oleh Roh Kudus; dan bahwa jiwa harus membuka hati dengan baik untuk menerima karya Roh Ilahi itu dengan semakin menyadari ketidakberdayaannya dan kehinaannya, dan ketidakmampuannya untuk berbuat sesuatu dari dirinya sendiri.

Itulah sebabnya maka jiwa itu tidak heran lagi apabila melihat bahwa usahanya nampak sia-sia. Tetapi jiwa bertekun dalam perjuangan dan akan terus berusaha selama Allah belum berkenan membebaskan dia dan kelemahan-kelemahannya. Jiwa yakin bahwa saat akan tiba, di mana dalam kerahiman-Nya, Bapa Surgawi akan membebaskannya untuk selamanya dan penyakit rohaninya. Sementara itu, seperti Santa Joan dArc, jiwa terus berjuang meskipun kadang-kadang kalah, karena dia sungguh-sungguh yakin bahwa pada akhimya dia akan menang karena kemurahan Allah.

Motivasi-motivasi yang membuat jiwa menanggung penderitaan-penderitaan dengan hati yang tenang, artinya tanpa kepahitan terhadap Allah maupun terhadap siapa pun juga, adalah sepenuhnya supernatural dan diterima dan Roh Kudus yang menjiwai orang itu.

Jiwa pasrah, bukan saja karena jiwa perlu menyerah atau tunduk, danbukan pula karena pemberontakan tak ada gunanya, ini juga motivasi yang baik, tetapi ini termasuk cara kodrati/alamiah; jiwapun tidak pasrah melulu karena mau memberi silih atas dosa-dosa dan mau masuk surga, ini motivasi yang lebih rohani, meskipun untuk keuntungan diri sendiri. Tetapi, jiwa menerima’ nasibnya, menerima keadaannya, karena digerakkan oleh cinta—meskipun bukan melulu cinta saja yang mendorongnya. Jiwa senang karena Allah berkenan memakainya sebagai kelebihan atau penyambung kemanusiaan, seperti kata-kata yang dipakai Beata Elisabeth dan Tritunggal, atau sebagai ‘roda kelima dari sebuah kereta’ (peribahasa Flemish).

Jiwa senang karena Allah nampaknya ingin melanjutkan karya penebusannya demi kemuliaan Allah, Bapa-Nya dan demi keselamatanjiwa-jiwa; di dalamjiwa itu, di dalam tubuh itu, di dalam hati itu. Seperti St. Paulus, jiwa bersukacita karena ia dipanggil untuk menggenapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus bagi Tubuh-Nya, yaitu Gereja (bdk. Kol 1:24).

Adalah suatu kenyataan, bahwa Yesus tetap hidup di dunia di dalam anggota-anggota Gereja yang didirikan-Nya, dan bagi kita ini adalah suatu “privilegi” yang tak terungkapkan bahwa kita termasuk di dalamnya. Jasa-jasa-Nya menjadi jasa atau pahala bagi kita berkat penderitaan-Nya dan kasih-Nya; ketaatan-Nya yang sempurna menjadi milik kita. Sebaliknya penderitaan-penderitaan kita adalah juga penderitaan-penderitaan-Nya, dan melalui penderitaan-penderitaan ini Dia tak henti-hentinya memuji dan memuliakan Bapa-Nya dan menyelamatkan manusia.

Betapa terhibumya jiwa yang kuat bila menyadari bahwa Yesuslah yang menderita di dalamdia, Yesuslah yang direndahkan dalam dia, bahwa Yesuslah yang digoda oleh setan—seperti ketika Dia digoda di padang gurun dan dalam Sengsara-Nya. Kalau kita merenungkan ini, maka segala cobaan, entah apa pun itu, akan menjadi indah dan malah akan kita rindukan—bahkan yang paling menghinakan sekalipun. Tentu saja bukan demi penderitaan itu sendiri, tetapi karena bagi kita penderitaan itu menjadi kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam Sengsara dan Penderitaan Juruselamat kita.

Seperti diungkapkan St. Theresia dan Kanak-Kanak Yesus, “Terberkatilah orang yang murni hatinya. Mereka seringkali dikelilingi duri-duri, tetapi Yesus paling senang apabila menemukan bunga mawar di tengah duri-duri, mereka itulah kesayangan-Nya. Bersama St. Paulus, St. Theresia dan tak terbilang banyaknya para kudus yang lain, marilah kita dalam semangat doa belajar menghargai nilai yang tak terkatakan dan manfaat dan penderitaan dalam segala bentuknya. Daripada menggerutu, marilah kita dengan bantuan rahmat Allah, menyambutnya dengan sukacita rohani dan bahkan dengan senyum, seperti yang dilakukan St. Theresia. Itulah Sebabnya Venerabilis Libermann menyebut penyakit epilepsinya sebagai penyakit tercinta”.

Kelapangan hati

Apa yang sudah disebutkan tentang kesabaran, dalam arti tertentu, dapat diterapkan juga pada kelapangan hati. Menurut St. Thomas dari Aquino, kelapangan hati adalah kebajikan supernatural yang memampukan kita untuk dengan tenang—artinya tanpa mengeluh atau tanpa kepahitan, menunggu terwujudnya kehendak Allah Yang Maharahim dan tercapainya pengudusan pada jiwa.

Jiwa yang diterangi oleh Roh Kudus tidak ragu-ragu tentang rencana dan kehendak Allah dalam dirinya. Jiwa tahu bahwa Allah ingin agar dia menjadi seorang kudus dan seorang kudus yang terkenal”. Jiwa sering ingat akan Sabda Yesus kepada para Rasul, “Hendaklah kamu sempuma seperti Bapamu di surga adalah sempuma” (Mat 5:48).

Jiwa tahu bahwa satu-satunya yang dikehendaki Allah adalah agar rencana dan kehendak-Nya terlaksana di dalam dirinya. Itulah karya Roh Kudus, karya Bapa, dan karya Putra. Peranan jiwa adalah untuk berharap melampaui segala pengharapan, untuk berjuang dengan tekun agar panggilan kepada kesempurnaan terpenuhi, tanpa mengharapkan untuk mencapai tujuan itu dengan bersandar pada usahanya sendiri. Tetapi jiwa menyadari bahwa dalam usahanya jiwa hanya ingin menyenangkan Bapa Surgawi, menyatakan kehendakbaiknya kepada-Nya dan kerinduannya yang besar untuk melaksanakan atau menjawab dengan baik kehendak-Nya bahkan sudah dalam dunia ini; dan jiwa dengan tenang menantikan “saat Allah”.

Bagi jiwa ini tidak jadi soal apakah dia sering gagal. Jiwa tahu bahwa “saat Allah” akan tiba dan bahwa Roh Kudus kemudian akan memenuhi apa yang tidak dapat dicapai melalui permohonan dan perjuangan selama bertahun-tahun.

Karena itu, kelapangan hati, bagi kita adalah sebagai bunga, puncak mekarnya bunga atau kepenuhan kebajikan. Pengharapan di dalam jiwa yang seutuhnya berupa penyerahan diri kepada Roh Kudus. Jiwa merasa aman, terjamin, bahwa karena kerahiman Allah segala kehendak-Nya akan terpenuhi pada saat yang ditentukan-Nya. Karena kepastian ini, maka jiwa menikmati damai sejahtera yang tak dapat diganggu oleh sesuatu apa pun.

Maka sekali lagi kita diperhadapkan dengan “Jalan Kecil” St. Theresia dan Kanak-Kanak Yesus. Jalan ini normal, karena inilah jalan kecil yang diilhamkan Roh Kudus, yang tidak mungkin akan melawan diri-Nya sendiri.

Maka marilah kita mengikuti jalan itu dengan penuh keyakinan dan penyerahan total seorang anak kepada Allah. Jangan membiarkan kegagalan, atau kesulitan menyedihkan hati kita. Marilah kita berjuang dengan berani, dengan bersandar pada janji-janji Tuhan, dengan keyakinan bahwa kita akan menang pada saat yang ditentukan oleh Penyelenggaraan Ilahi.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting