User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 
crispindeviterbo
 
Pada tanggal 13 November 1668 di kota Viterbo, sebuah kota yang terletak 80 km sebelah utara Roma, seorang bayi laki-laki lahir dari Ubaldo Fioretti dan Marcio. Kedua orang tua itu segera mempermandikan bayi itu dan memberi nama Petrus. Sayang sekali tidak lama kemudian ayah Petrus meninggal dunia. Masa depan Petrus dibayangi oleh mendung kelam. Namun Tuhan tidak tinggal diam, saudara Ubaldo, yaitu Fransiskus mengulurkan tangan kepada mereka.
Ibu Petrus dikenal sebagai seorang wanita yang saleh dan setia. Ia selalu mengajarkan Petrus berdoa dan berbuat amal. Ketika Petrus masih berusia 5 tahun, ibunya mengantar Petrus ke sebuah tempat suci ‘Madonna della Quercia’. Di tempat ini ibunya mempersembahkan Petrus kepada Ratu Surgawi. Setelah dewasa, pamannya membekali Petrus dengan ketrampilan khusus, yaitu membuat dan memperbaiki sepatu di tokonya sendiri.

Pada musim semi tahun 1693, masyarakat mulai cemas karena sudah lama tidak turun hujan dan tanah mulai kering kerontang. Penduduk mulai mengadakan perarakan. Para novis Kapusin (biarawan Fransiskan) yang berjubah coklat tidak mau ketinggalan mengikuti perarakan itu. Di saat itulah Petrus terpikat hatinya oleh para Kapusin muda. Maka ia pun memutuskan untuk masuk dalam biara Kapusin. Ia tidak mempunyai keinginan menjadi imam, tetapi hanya mau mengabdikan diri sebagai seorang bruder Kapusin seperti santo Feliks dari Kantalisia yang meninggal dunia di Roma tahun 1587. Cita-cita luhur itu terus berkobar di dalam diri Petrus.

Keluarganya amat berat hati menerima keinginan Petrus ini, terlebih ibunya yang telah menginjak usia senja. Ia juga tidak senang kalau Petrus yang cukup berpendidikan itu hanya menjadi seorang bruder Kapusin, yang pada masa itu kebanyakan masih buta huruf. Namun, dengan suara yang meyakinkan ia mengingatkan ibunya: “Ibu, engkau sendirilah yang dahulu telah mempersembahkan aku kepada Bunda Maria. Mengapa kini Ibu tidak mengizinkan saya mengambil keputusan demi masa depan yang juga akan dipersembahkan kepada Tuhan dan bunda-Nya?” Mendengar hal itu hati ibunya jadi tersentuh dan pasrah, “Kalau begitu, pergi dan layanilah Tuhan dan Bundamu!”

Kendatipun telah memperoleh izin dari keluarganya, Petrus masih mengalami kesulitan sebelum memasuki biara di Palanzana. Melihat keadaan tubuhnya yang lemah dan sering sakit-sakitan, Magister Novisiat (pembimbing anggota muda), hendak menolak Petrus. Syukurlah setelah berunding dengan para pater lainnya, akhirnya Petrus diberi kesempatan untuk menjalani masa percobaan.

Bertepatan dengan Pesta St. Magdalena tanggal 22 Juli 1693, akhirnya Petrus mengenakan jubah seorang Kapusin. Sejak itu namanya diganti dengan Krispin, sebagai penghormatan kepada Santo Krispinus pelindung tukang sepatu. Krispin diberi tugas bekerja di kebun. Seringkali ia mencangkul dari pagi hingga petang. Kemudian ia mendampingi bruder untuk meminta makanan dan kebutuhan lain di kota. Tugas itu diberikan kepadanya untuk melihat apakah anak muda yang lemah itu sanggup berjalan kaki sepanjang hari, menahan sengatan matahari, diguyur air hujan, sementara ia memikul karung di pundaknya? Ternyata Krispin berhasil mengatasi setiap cobaan dengan tabah. Tahun yang amat berat ini dilewatinya dengan tekad baja, dan bahkan ia sering pula mendorong saudara-saudaranya seperjuangan. Keramahan dan kesederhanaan, serta pembawaannya yang riang gembira, meneguhkan iman para novis dan bahkan juga frater-frater yang telah berkaul. Lambat laun magister yang keras itu mulai berubah sikap. Krispin kini justru dipuji karena sikap pelayanan dan karya cinta kasihnya yang mengagumkan sehingga ia diangkat sebagai “novis teladan” di novisiat Palanzana.

Setelah mengucapkan kaul hidup membiara, Krispin memasuki dunia baru yang diidam-idamkan. Krispin ditugaskan menjadi tukang masak di Ralfa yang terletak 70 km dari Viterbo. Kehadiran Krispin di Ralfa mengubah suasana yang dingin menjadi hangat, suasana sedih menjadi gembira.

‘Kemiskinan dan kesederhanaan’ merupakan semboyan hidupnya yang utama. Di samping itu hidupnya dijiwai oleh kebaktian yang sangat mengagumkan terhadap Bunda Maria. Ia mendirikan altar kecil bagi ‘Bunda dan Nyonya’ di dapurnya. Di altar itu diletakkan lukisan Maria dan setiap hari ia menghiasi dengan bunga segar serta lillin yang selalu terang benderang. Dengan demikian wajah dapur jadi menyerupai kapel.

Suatu hari seorang ibu yang selalu menghadiri Misa di biara Kapusin jatuh sakit. Ia meminta Krispin untuk menjenguknya. Pada akhir kunjungannya, Krispin menyentuh kepala orang sakit itu dengan medali ‘Maria Dikandung Tanpa Noda’ yang tergantung pada tasbihnya. Segera keadaan ibu itu pulih. Sejak saat itu Bruder Krispin dikenal bukan sekedar sebagai tukang masak, tetapi juga sebagai ‘tukang pembuat mukjizat’ yang laris. Ketika wabah penyakit menular menyerang Ralfa, Krispin banyak menggunakan waktunya untuk mendampingi orang sakit, tanpa melalaikan kewajiban utamanya sebagai juru masak di biara. Sebelum berangkat biasanya ia mengisi kantongnya dengan minyak zaitun, buah kastanye, dan buah-buah kering seraya memohon berkat Bunda Maria agar buah-buah ini menghasilkan sesuatu yang baik. Doanya dikabulkan, banyak mukjizat terjadi melalui pengobatan Bruder Krispin.

Beberapa tahun kemudian Krispin dipindahtugaskan ke Albano. Dalam biara yang besar itu Krispin ditugaskan kembali untuk mengurus dapur. Banyak orang-orang berkelas tinggi dan sejumlah tamu datang ke daerah tersebut untuk berlibur di dekat tempat peristirahatan Paus di musim panas, Castle Gandolfa.

Suatu hari pengawal Paus Clemens XI merayakan Misa Kudus di biara Kapusin. Tiba-tiba ia terserang penyakit kejang. Segera ia dibawa menemui Bruder Krispin, yang kemudian mempersembahkan kekejangannya kepada Allah dengan perantaraan Bunda Maria di dapurnya. Bruder Krispin tidak berbuat banyak, ia hanya memberikan setangkai bunga dari potnya, sambil berkata “Kunyahlah ini tuan, Madonna (Bunda Maria) telah memberkatinya.” Sang pengawal mentaatinya dan dengan sekejap penyakitnya lenyap. Setelah kejadian itu Paus ingin berbicara dengan Bruder Krispin secara pribadi. Paus Clemens XI sangat menghormatinya. Peristiwa itu membuat Krispin menjadi terkenal, penduduk kota menjadi gempar dan ingin mendekatinya. Krispin yang tak suka popularitas itu akhirnya mengusulkan kepada pembesar untuk memindahkannya. Seluruh lapisan masyarakat, anggota dewan kota, bahkan pembesar Gereja menentang rencana itu, mereka menginginkan Krispin tetap di Albano. Akan tetapi, pembesar ordo menerima permohonannya; Krispin dipindahkan dari Albano. Ia sangat senang menerima keputusan itu, sebab ia tidak lagi menjadi “pusat perhatian” yang dipandang sebagai unsur yang membahayakan dirinya.

Pada awal Mei 1703, Krispin tiba di Monte Rotondo. Di tempat ini ia menerima tugas besar yaitu mengolah kebun sayur-mayur yang luas. Ia menunaikan kewajibannya dengan kegembiraan yang meluap. Cucuran keringatnya membuahkan hasil yang tak terduga sebelumnya. Kelimpahan panenannya tidak hanya dinikmati oleh saudara dina di dalam biara, tetapi juga dinikmati oleh banyak orang miskin yang setiap hari menunggu makanan di pintu gerbang. Di tempat kerjanya yang baru, Bruder Krispin menyediakan tempat khusus bagi Bunda Allah. Ia mendirikan sebuah kapel sederhana dengan balok, ranting, jerami dan tikar.

Di kebun Krispin terdapat aneka ragam tanaman yang tumbuh dengan sangat subur. Suatu malam datanglah dua orang pencuri yang mengisi karung mereka denngan kol. Akan tetapi, dua orang pencuri muda itu tertangkap oleh para biarawan. Seluruh penghuni biara berkumpul untuk merundingkan hukuman apa yang akan diberikan kepada mereka. Namun, Bruder Krispin datang membawa ‘cinta kasih’. Ia tidak memberi hukuman tetapi membiarkan mereka pergi dengan membawa barang curiannya.

Enam tahun di Monte Rotondo, rasanya jauh lebih menyenangkan daripada bekerja di Albano. Ia sangat senang mengerjakan sesuatu yang berharga bagi Allah dan sesama. Sungguh ia puas dengan kedudukannya sebagai hamba yang rela melakukan segala pekerjaan dina. Pernah ia mengatakan, “Saya adalah keledai biara, seorang binatang degil yang tak boleh banyak beristirahat.”

Pada bulan Januari 1710, Bruder Krispin mendapat tugas baru di Orvietto sebagai pengumpul derma. Hari demi hari ia turun ke jalan untuk meminta keperluan hidup sehari-hari seperti roti, anggur, dan minyak bagi saudara-saudaranya di biara. Baik hujan atau pun panas terik, ia selalu berjalan dengan telanjang kaki dan tanpa mengenakan topi. Dari waktu ke waktu dengan semangat kepasrahan kepada Allah ia mengadu untung. Bersama karung di pundak ia menjelajahi daerah-daerah pegunungan di sekitar Orvieto. Masyarakat baik tua mau pun anak-anak sangat senang pada Bruder Krispin, dan mereka senantiasa mengundangnya untuk beristirahat di rumah mereka.

Mengingat biaranya terletak di daerah yang cukup tinggi dan hanya ada sebuah jalan dari pusat kota ke tempat itu maka Bruder Krispin mendapat hak istimewa untuk menginap di sebuah pondok kecil di Orvietto. Malam demi malam dilewatinya dalam ruangan yang sempit. Ia tidur di atas ranjang kayu beralaskan jerami. Walaupun begitu, di kamarnya yang sempit ini tak jarang ia memberikan pula tempat penginapan bagi orang sakit dan anak yatim piatu. Di tempat tinggalnya yang darurat ini, ia menjalankan persahabatan dengan mereka yang sakit melalui perawatannya.

Setiap orang mengenalnya dan ia mengenal mereka semua. Ia dipandang sebagai sahabat karib semua orang. Tak jarang masyarakat menyapanya, “Sampai jumpa orang kudus kecil!“ Kardinal Philip Gualtieti menyebutnya ‘pertapa jalanan kota’ sebab sudah sering ia tenggelam dalam doa di jalanan-jalanan kota. Teman-teman Krispin seringkali harus menarik lengan baju jubahnya untuk memberitahukan bahwa seseorang ingin menyalaminya.

Krispin ingin menjadi keledai biara, seorang bruder kecil, hamba dari sekian banyak orang di kota, dan pengantara Allah dengan manusia. Semangatnya yang menggebu-gebu dan kerendahan hatinya yang ramah ditopang oleh keyakinannya yang kokoh akan bantuan Allah, membuat hidupnya selalu dalam tuntunan berkat Allah.

Bruder Krispin melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan bagi kaum fakir miskin. Tak seorang pun luput dari perhatiannya. Mengunjungi orang sakit merupakan salah satu karya kerasulannya; dengan demikian ia menyembuhkan banyak orang sakit. Selain itu Bruder Krispin juga meluangkan waktunya untuk mengunjungi penjara-penjara. Di sana ia menghibur para penghuni rumah tahanan, membela perkaranya, dan menghimbau agar para penjaga penjara memperlakukan mereka dengan lemah lembut dan rasa hormat. Cintanya membara terhadap mereka yang lemah, khususnya kepada orang-orang miskin yang datang kepadanya. Cintanya yang berkobar terhadap mereka tampak dalam setiap tindakannya. Ia bukan hanya membawa roti, buah kastanye, dan tembakau bagi mereka, melainkan juga mengatur keluarga-keluarga agar secara bergiliran mengantarkan makanan yang enak-enak bagi orang-orang miskin itu.

Sekali pun permohonan Krispin untuk pergi ke daerah misi selalu ditolak, ia menganggap dirinya sebagai seorang misionaris bagi orang miskin dan kelompok tak berpendidikan. Selama perjalanan ke seluruh desa di sekitar Orvietto biasanya ia juga mengajarkan ajaran-ajaran pokok iman Kristen kepada anak-anak petani miskin. Krispin sangat disukai masyarakat kecil dan sederhana.

Pater Michelangelo seorang pengkhotbah dari istana kepausan menggambarkan Bruder Krispin sebagai seorang yang riang, tulus hati, tetapi sekaligus juga serius. Dia sangat menghargai Sakramen Tobat dan menganggapnya sebagai hal yang sangat hakiki dalam hidup rohaninya.

Pada usia menjelang 80 tahun, Bruder Krispin masih sering melakukan pantang dan puasa untuk kesembuhan orang-orang yang dilayaninya dan ia sering menyiksa diri hingga mengeluarkan darah demi penebusan dosa umat manusia. Dalam hidupnya Bruder Krispin menyimpan sebuah permohonan tunggal, yaitu agar dapat hidup dan menderita lebih lama lagi sehingga penderitaan dan malapetaka lenyap dari permukaan bumi ini. Hingga akhirnya, pada tanggal 11 Mei 1750, sepulang dari sebuah kunjungan, Bruder Krispin diserang demam yang sangat ganas. Dokter yang merawatnya menjelaskan bahwa Bruder Krispin tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Akan tetapi, Bruder Krispin mengharapkan sebelum meninggal dia dapat lebih dahulu mengikuti perayaan St Felix yang jatuh pada tanggal 18 Mei, dan Tuhan mengabulkan permohonannya.

Pesta St Feliks dirayakan secara meriah tanggal 18 Mei 1750. Bruder Krispin melewati malam itu dengan sangat bahagia bersama St. Feliks. Pagi harinya tanggal 19 Mei, dengan tenang dan damai Bruder Krispin mengarahkan pandangannya kepada lukisan Yesus yang tersalib dan Bundanya sambil minta berkat yang terakhir. Seluruh anggota biara mengelilingi Bruder Krispin. Tepat pukul 14.30 waktu setempat, tanpa melalui banyak pergulatan Bruder Krispin tertidur nyenyak untuk selama-lamanya. Usianya genap 82 tahun, dan selama 57 tahun hidupnya dihabiskan dalam biara Kapussin. Ketika berita kematiannya tersiar, maka mengalirlah rombongan orang yang melayat dari seluruh pelosok menuju biara di Kapusin.

Dewasa ini jenazah Krispin disemayamkan dalam sebuah peti jenazah tepat berhadapan dengan makam rekan seperjuangannya yang ia teladani yaitu St.Feliks dari Kantalissia. Pada tanggal 26 Agustus 1806 Bruder Krispin dinyatakan sebagai Beato dan pada tanggal 20 Juni 1982, Sri Paus Yohanes Paulus II menyatakan Beato Krispin sebagai “orang kudus “ dari Viterbo.
www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting