Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

 

“Pada suatu kali ketika murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang dan mengatakan kepada Yesus: "Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?" Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. Tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah koyaknya. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula.”

(Mrk 2:18-22).


Perikop Kitab Suci: Ibr 5:1-10; Mrk 2:18-22

Berefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

  • Ketika orang baru saja menikah, ditahbiskan menjadi imam, berkaul hidup membiara, belajar atau bekerja pada umumnya bergairah, gembira dan bahagia dalam melaksanakan tugas pengutusan atau menghayati panggilannya. Namun seiring dengan perjalanan waktu serta harus menghadapi aneka tantangan dan hambatan dalam hidup dan kerja kegairahan, kegembiraan dan kebahagiaan tersebut mengalami erosi atau bahkan hancur berantakan. Orang merasa bosan, jenuh dan tidak terpesona lagi terhadap apa-apa yang biasa-biasa saja atau setiap hari bertemu dan hidup serta bekerja bersama dengan pribadi-pribadi yang itu-itu juga. “Anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula”, demikian sabda Yesus, maka jika anggur baru disimpan dalam kantong yang sudah tua dengan sendirinya akan berantakan semuanya. Ketika kita kurang bergairah, berbahagia dan ceria dalam hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita ada kemungkinan kita tidak berjiwa baru sebagaimana diharapkan, yaitu mengikuti dan menghayati dengan setia janji-janji yang pernah kita ikrarkan. Jika demikian adanya maka kita selayaknya berani berpuasa atau bermatiraga. Puasa atau mati raga antara lain berarti mengendalikan gairah atau nafsu raga sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan sesuai dengan selera atau keinginan diri sendiri. Apa-apa yang menjauhkan diri kita dengan Tuhan dan sesama  harus kita tinggalkan atau buang, itulah salah satu bentuk mati raga, entah itu makanan, minuman, cara berpikir, cara merasa, cara bersikap, cara bertindak , dst. Sebaliknya jika kita senantiasa bersama dan bersatu dengan Tuhan yang menjadi nyata bersama, bersahabat dan bersaudara dengan siapa pun atau apa pun kiranya kita tidak perlu berpuasa atau mati raga. Salah satu tujuan mati raga atau puasa lahir adalah untuk “mengalahkan diri, maksudnya supaya nafsu taat kepada budi, dan semua kemampuan-kemampuan yang lebih rendah makin tunduk kepada yang lebih luhur” (St. Ignatius Loyola, LR no 87).
  • “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan”(Ibr 5:7), demikian berita tentang Imam Besar. Sebagai orang beriman kita dipanggil untuk menghayati imamat umum kaum beriman, dan rasanya kita juga dipanggil untuk “mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia”  serta hidup saleh. Saleh yang dalam bahasa Jawa “sumeleh” berarti “patuh dan bersandar kepada Allah Yang Maha Esa. Manusia sebagai hamba hanya lah berusaha dan keberhasilannya tergantung Kuasa Tuhan yang maha Esa, maka dengan sumeleh ini manusia di harapkan tak mudah putus asa dan teguh dalam usahanya”.(anonim). Marilah baik dalam hidup, bekerja atau tugas apa pun dan di mana pun kita kita senantiasa menyandarkan diri kepada Allah dan tidak pernah putus asa atau lesu ketika harus menghadapi aneka tantangan dan hambatan. Ingatlah, sadari dan hayatilah bahwa segala sesuatu tergantung dari Allah, maka bersama dan bersatu dengan Allah kita akan mampu menghadapinya atau mengatasinya. Bersama dan bersatu dengan Allah kita senantiasa akan berhasil atau sukses dalam melaksanakan tugas pengutusan atau menghayati panggilan kita. Kita semua dipanggil untuk menghayati imamat umum kaum beriman maksudnya antara lain adalah mempersembahkan diri seutuhnya dan segala sesuatu kepada Allah, serta meneruskan rahmat atau berkat Allah kepada sesama manusia dan ciptaan-ciptaan lainnya di dunia ini.

 

“Demikianlah firman TUHAN kepada tuanku: "Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu."Tongkat kekuatanmu akan diulurkan TUHAN dari Sion: memerintahlah di antara musuhmu! Pada hari tentaramu bangsamu merelakan diri untuk maju dengan berhiaskan kekudusan; dari kandungan fajar tampil bagimu keremajaanmu seperti embun” (Mzm 110:1-3)

 

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting