User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Dentang denting lembut lonceng gereja terdengar di kejauhan. Mimi melirik jam kecil di sampingnya, “Wah, sudah pukul duabelas.” Tangannya pun mulai membuat tanda salib dan lantunan Doa Malaikat mengalir perlahan penuh hikmat dari mulutnya. Selesai berdoa ia memandang sekeliling. Tembok putih, perawat dan dokter berbaju putih, tempat tidur bersepreikan putih, semua serba putih. “Kapan aku bisa sembuh dan keluar dari rumah sakit ini, Tuhan?” keluh Mimi yang sudah cukup lama harus berbaring di rumah sakit karena penyakitnya.

Sementara seorang pemuda sedang duduk terpekur di sebuah pojok ruangan. Pipi kanannya masih terasa sakit akibat pukulan yang belum lama diterimanya. Padahal memar-memar di bagian tubuh lainnya masih membekas jelas. Matanya menatap nanar, air matanya sudah kering sejak lama. Yang dirasakannya saat itu hanyalah kelelahan yang amat sangat, lelah lahir maupun batin. “Dia memfitnah saya, Tuhan. Kapan saya bisa bebas dari penjara ini? Nyatakanlah keadilan-Mu, ya Allah.”

Begitu banyak penantian yang harus kita alami dalam hidup ini. Menanti untuk sembuh, menanti untuk bebas, menanti penderitaan berlalu, menanti masalah terselesaikan, menanti untuk lulus sekolah, menanti seseorang, menanti kenaikan pangkat, menanti kendaraan umum, dan seribu satu penantian lainnya. Orang bilang menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak enak. Akan tetapi, toh orang tak dapat menghindar dari yang namanya “menunggu” itu.

Masa Adven juga merupakan masa penantian. Namun, berbeda dengan penantian-penantian lainnya, Masa Adven adalah masa penantian yang penuh harapan. Ada suatu keyakinan yang teguh bahwa penantian ini akan berujung pada suatu kemanisan, yaitu perjumpaan dengan Yesus Kristus yang lahir sebagai Bayi mungil di dunia.

Sesungguhnya, hidup kita ini pun merupakan Masa Adven, yaitu masa penantian akan perjumpaan dengan Yesus Kristus dari muka ke muka di keabadian. Betapa indahnya jika setiap penantian kita dalam hidup ini, dijadikan sebagai masa-masa adven yang kecil, yaitu penantian akan Yesus Kristus dalam berbagai peristiwa kehidupan. Dengan demikian hidup kita menjadi sebuah Masa Adven yang panjang, yang terdiri dari berbagai masa adven kecil-kecil yang kita lalui dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana caranya mewujudkan hal ini? Mazmur akan menolong kita untuk menjadikan masa-masa penantian itu sebagai masa penantian yang penuh harapan. Jika kita melihat Mazmur dengan teliti, akan ditemukan ada banyak Mazmur yang mengungkapkan perasaan manusia yang bersandar dengan penuh harapan kepada Allah. Mazmur ini disebut sebagai Mazmur Harapan atau bisa juga dikatakan sebagai Mazmur Kepercayaan.

Kepercayaan atau ungkapan iman ini tidak lain merupakan kepasrahan yang lahir dari harapan akan adanya seorang “Engkau” yang dapat diandalkan. Kepercayaan ini mencapai kepenuhannya saat jiwa mengalami perjumpaan dengan Sang “Engkau”. Perjumpaannya dengan “Engkau” ini membuatnya mampu melalui segala frustasi dan kekecewaannya. Di saat-saat ketakberdayaan, ia justru menemukan adanya suatu potensi kekuatan berlipat ganda dalam dirinya, yang tak lain karena adanya Sang “Engkau” bersamanya.

“Engkau” adalah panggilan akrab untuk seorang pribadi yang memiliki hubungan dekat dengan kita. Manusia adalah pribadi yang membutuhkan relasi. Tanpa berelasi jiwanya mati. Sungguh penting menemukan seorang “Engkau” dalam kehidupan ini. Pada saat seseorang berjumpa dengan seorang “Engkau”, saat itulah ia mulai merealisasikan panggilan hidupnya dan kepenuhan pribadinya. Thomas Merton mengatakan tidak seorang manusia pun yang dapat menjadikan dirinya sebagai sebuah pulau terasing. Hidup sendirian, menutup diri dalam pulau pribadinya, akan membuat jiwa semakin lama semakin sakit dan akhirnya mati.

“TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kej 2:18)
Sang “Engkau” yang menjadi sumber kehidupan, pendamping sepanjang sejarah manusia, Gereja, dan umat kristiani, tidak lain adalah Allah.
Mazmur yang tergolong dalam Mazmur Harapan atau Mazmur Kepercayaan ini adalah Mzm 3, 4, 11, 16, 23, 27, 41, 62, 121, 131, 139.


1. Sang Pemazmur dan Tuhannya

Mazmur ini mengungkapkan keakraban bangsa Israel dengan Sang Engkau yang berada di surga. Sang Engkau ini mencurahkan kasih-Nya kepada bangsa Israel sehingga terjalinlah hubungan yang semakin lama semakin mendalam antara Tuhan dan umat-Nya. Bagi bangsa Israel, kasih Allah ini sudah teruji, tidak mungkin berubah, setia selamanya. Oleh karena itu, tak heranlah mereka sangat percaya kepada-Nya.

Sang Pemazmur mengalami betapa ketika “Engkau-Engkau” yang lain pergi meninggalkannya, ia tak akan pernah sendirian, karena ada satu “Engkau” yang selalu mendampinginya. Dialah Allah. Sekalipun semua orang meninggalkannya, ia membaringkan diri dengan tenang dalam perlindungan-Nya.

 

“Aku membaringkan diri, lalu tidur; aku bangun, sebab TUHAN menopang aku!” (Mzm 3:6)

     Bahkan sekalipun ayah dan ibunya meninggalkan dia, Tuhan akan menyambutnya.

“Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.” (Mzm 27:10)


Menyerahkan diri kepada suatu pribadi sama sekali bukanlah suatu kelemahan, sebaliknya merupakan suatu kekuatan. Manusia terbiasa mengandalkan banyak hal dalam hidupnya. Harta, kenalan, nama baik, kekuasaan, dan banyak hal lainnya menjadi pegangan yang digenggam erat-erat oleh manusia dalam mengarungi hidupnya. Akan tetapi, berpasrah kepada Tuhan berarti melepaskan seluruh pegangannya itu, bersandar kepada Tuhan. Untuk itu, dibutuhkan kekuatan dan keberanian yang besar untuk melepaskan segala sesuatu yang selama ini diandalkan, dan percaya kepada Tuhan saja.

2. Doa yang dalam, mengungkapkan pengalaman akan Allah yang sejati

Bagaikan litani sang pemazmur dengan konstan selalu menyerukan nama Allah. Ia selalu kembali kepada Tuhan untuk menggantungkan harapan. Dengan pasti ia selalu bersandar kepada Allah karena ia telah melihat sejarah keselamatan umat Israel yang sarat dengan campur tangan Allah. Kesadaran yang besar akan kasih Allah yang tak pernah meninggalkan umat-Nya, memberikan kehidupan rohani yang mendalam bagi pemazmur. Imannya bertumbuh seiring dengan semakin sadarnya ia akan kasih Allah. Ini semua terungkap dalam Mazmur Kepercayaan.

Mazmur ini mengajarkan kita untuk berdoa baik dalam kelompok maupun pribadi dengan doa yang intim dan pribadi kepada Allah yang pernah berkata, “Akulah Tuhan, Allahmu.” (Im 25:38, Im 22:33) Mazmur ini mengungkapkan iman dan kasih mereka yang kokoh kepada Allah. Mereka tahu Allah dapat diandalkan untuk menyandarkan hidup mereka karena Allah tidak pernah tertidur.

’Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap. Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.” (Mz.121:3-4)

 

3. Mazmur 139


3.1 Pendahuluan

Dari ayat 19-22 dapat diketahui bahwa sang pemazmur sedang berada dalam ancaman. 

"Sekiranya Engkau mematikan orang fasik, ya Allah, sehingga menjauh dari padaku penumpah-penumpah darah, yang berkata-kata dusta terhadap Engkau, dan melawan Engkau dengan sia-sia. Masakan aku tidak membenci orang-orang yang membenci Engkau, ya TUHAN, dan tidak merasa jemu kepada orang-orang yang bangkit melawan Engkau? Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku.”

(Mzm 139:19-22)

 

Mazmur ini berangkat dari permohonan si pemazmur yang ingin dibebaskan dari tekanan-tekanan si jahat. Diperkirakan ia dituduh secara tidak adil dan ditekan.

 

“Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm 139:23-24)


3.2 Tuduhan yang salah atau tersesat?

Dari ayat 24 kita dapat melihat ada sesuatu yang dalam di balik doa pemazmur ini. Bisa jadi sebetulnya musuh yang menekan itu berada di dalam dirinya sendiri. Seringkali kita merasa begitu tertekan dan tak berdaya karena kelemahan-kelemahan yang ada di dalam diri kita.

 

“Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.” (Rm 7:14)

 

“Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” (Rm 7:19)

 

Bagi mereka yang bersungguh-sungguh ingin hidup berkenan di mata Allah, daya tarik-menarik antara dua kutub kebaikan dan kejahatan di dalam diri ini tentu saja cukup menekan.

 

“Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rm 7:22-24)

 

Sesungguhnya setiap orang harus berjuang untuk mengatasi setiap kelemahan dan cacat celanya. Jalan menuju surga itu memang sempit, tidak ada yang jalan yang lebar dan mudah. Yang ada adalah rahmat Allah selalu cukup untuk setiap orang.

 

"Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna."

(2Kor 12:9)

 

Oleh karena itu, yang dapat dilakukan adalah tetap hidup dalam doa dan pencarian akan Allah. Kehidupan iman tidak lain merupakan pencarian dan jawaban “Ya” terhadap setiap tanda-tanda ilahi dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan anak manusia bagai labirin yang penuh dengan lorong-lorong yang panjang dan membingungkan dengan hawa kematian di mana-mana. Tegangan antara roh dan daging seolah mengancam kehidupan rohani jiwa dari waktu ke waktu.

Walaupun demikian, yang penting dalam hal ini adalah terus mencari sekalipun dengan resiko tersesat. Barangsiapa tidak pernah tersesat, mungkin ia memang tidak pernah mencari. Pemazmur dalam hal ini adalah seorang peziarah yang sedang berjalan mencari dan menuju Allah.


3.3 Dari Allah yang mahatahu ke Allah yang dikenalnya

 Pemazmur menyadari bahwa Allahnya adalah Allah yang mahatahu. Hal ini terungkap dalam ayat 1 sampai 6.

“TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh.  Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN. Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku. Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.” (Mzm 139:1-6)

Sang Pemazmur menjerit kepada Allah yang mahatahu bahwa ia tidak bersalah, “Engkau mengenal aku, ya Allah, Engkau mengenal aku.” Pemazmur masuk ke dalam permenungan bahwa Allah ini bukan sekedar Allah yang ada di surga tetapi lebih dari itu, Ia juga adalah Allahnya. Inilah jalan baginya untuk keluar dari kesedihan dan kesendirian.

Allah tahu akan segalanya. Ia bukan hanya tahu tentang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, melainkan juga mengetahui segala kesulitan dan ketakutannya. Pemazmur kini berjumpa secara langsung dengan Allah, yang telah lama didengarnya dari para leluhurnya turun temurun sejak zaman Abraham. Hal ini membangkitkan keterpesonaan dalam diri pemazmur yang melihat Allah merupakan misteri dari segala misteri. Ia yang mengetahui segalanya tak dapat diketahui seutuhnya, melampaui segala pemahaman manusia mana pun di bumi (ayat 6).

Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. Jika aku berkata: "Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,"maka kegelapan pun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.” (Mzm 139:7-12)

Menyadari kemahatahuan dan kemahahadiran Allah, pemazmur pun mengalami kelegaan. Ia sadar Allah selalu ada di sisi-Nya sebagai Bapa yang sangat mengasihi anak-Nya. Untuk pertama kalinya ia menemukan dirinya dicintai.

3.4 Mungkinkah aku menjauh?

 Allah mahahadir di mana pun dan kapan pun. Pemazmur menyadari tidak ada tempat yang terlalu jauh bagi Allah dan tidak ada kegelapan yang dapat menyembunyikannya. Peribahasa Arab mengatakan, “Tuhan dapat melihat semut hitam di atas batu hitam di malam yang gelap pekat.”

 

“...mata Tuhan seribu kali lebih terang-benderang dari pada matahari dan memandang segala tingkah laku manusia serta menembus sampai ke sudut yang paling tersembunyi.” (Sir.23:19)


Pemazmur merasakan tangan Allah yang mengurungnya, tetapi bukan untuk menyakitinya melainkan untuk memegang dan menuntunnya. (ayat 10)

3.5 Tuhan, Engkaulah penciptaku

“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.” (Mzm 139:13-18)


     “Bagaimana mungkin Allah pencipta tertarik padaku?” Sang Pemazmur menemukan dirinya sebagai ciptaan yang dikehendaki Allah. Ia tidak berbicara soal teori terjadinya manusia tetapi sungguh merasakan dan mengalaminya. Dengan takjub ia melihat kejadiannya yang mengagumkan sejak dikandung ibu. Semua ini membuatnya merasakan kehangatan tangan Allah yang membentuknya.

Mata Allah dengan setia memandangnya sejak masih dalam kandungan ibu. Bahkan hari-harinya semua tertulis dalam kitab-Nya. Kesadaran ini memberikan kekuatan untuk menjalani hari demi hari, segelap apa pun hari itu dan sesulit apa pun.

Ayat 17 sebagaimana ayat 6 mengungkapkan kekaguman yang luar biasa dari pemazmur. Ia dibawa kepada pengalaman akan Allah yang amat luhur. Ini adalah suatu pengalaman pribadi yang melampaui segala teori abstrak dan teologis. Pengalaman ini tidak sekedar membuatnya mengerti akan kebesaran Allah dan kemahakuasaan-Nya, tetapi lebih-lebih akan cintakasih Allah kepadanya.

Ayat 13 mengungkapkan ketika pemazmur dalam kandungan ibu, sedangkan ayat 15 mengungkapkan ketika dalam kandungan bumi. Sejak kandungan ibu hingga kandungan bumi Allah melihat semuanya, baik sebagai embrio dalam rahim ibu hingga sebagai tulang belulang dalam tanah. Allah sungguh tak terpahami. Sekalipun selesai menghitung pasir yang tak terhitung banyaknya, Allah masih di sana.


4. Penutup

     Sang Pemazmur merasa aman karena kedekatannya dengan Allah. Ia pasrah sepenuhnya kepada Allah. Dengan tenteram ia membaringkan diri karena percaya Allah menjaganya.

     Demikianlah setiap masa penantian yang tidak menyenangkan akan menjadi masa penantian yang penuh harapan, di kala kita dapat bersama sang pemazmur datang kepada Allah dan bersandar kepada-Nya. Dengan demikian, kita tidak hanya memasuki Masa Adven setahun sekali, tetapi menjalani kehidupan ini sebagai sebuah Masa Adven, masa kita menantikan perjumpaan dengan Yesus Kristus, Juruselamat dan Tuhan Kita. Segala kepahitan, kesedihan, penderitaan, dengan tabah kita jalani dengan harapan penuh, Tuhan akan menjadikan semua indah pada waktunya.

 

Sr. Maria Skolastika P.Karm

salah satu penulis di situs carmelia.net

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting