Print
Hits: 9280

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Salam dalam Kasih Kristus,

Pertama-tama ijinkan saya menuangkan pengalaman kesaksian iman yang sungguh-sungguh telah terjadi dalam hidup keluarga kami. Nama saya Fanny Suruadji. Pada tahun ini saya akan berusia 38 tahun.

Tahun 2002 usia perkawinan kami menginjak tahun yang ke-7 dan kami sudah dikaruniai Tuhan seorang putri yang lucu bernama Ranyssa yang telah berusia lima tahun. Bagi saya dan suami, memiliki seorang anak sudah cukup. Terlebih bila mengingat saya pernah mengalami keguguran yang menyakitkan dengan masa pemulihan yang cukup lama, saat melahirkan Ranyssa pun, usia kandungan saya hampir mencapai sembilan bulan tiga minggu, dan saya harus melewati proses persalinan yang sangat menyakitkan. Semua itu membuat kami berdua sangat mensyukuri apa yang dititipkan Tuhan dan sekaligus membuat kami tidak berkeinginan memiliki tambahan anak.

Namun, apa yang kami rasakan itu hanya dari sudut pandang kami sebagai orang tua. Kami tidak pernah menanyakan perasaan anak kami, Ranyssa, sebagai anak tunggal. Semua itu baru kami ketahui, setelah suatu saat saya menjemputnya dari sekolah TK Pangudi Luhur, Jakarta Selatan.

Sambil menunggu Ranyssa, saya mencari kesibukan dengan melihat-lihat hasil kerja anak-anak TK ini di Majalah Dinding Sekolah. Tanpa sengaja mata saya tertumbuk pada tulisan tangan yang sangat saya kenal, yaitu tulisan khas anak saya. Hasil karya Natal 2002 yang sangat sederhana dibandingkan hasil anak-anak lain yang jauh lebih berwarna dan lebih indah pula. Walaupun demikian, saya sangat terharu melihat hasil kerja tangan mungil milik anakku yang terpajang disana. Dan terlebih lagi tulisan hurufnya yang masih terpatah-patah dalam membentuk kalimat. Hasil karyanya terbuat dari selembar sobekan kertas buku biasa yang digunting membentuk hati. Di dalam kertas berbentuk hati itu terdapat doa Natalnya kepada Tuhan Yesus. Isinya hanya terdiri dan dua kalimat, sangat sederhana, sesederhana pikiran seorang anak: “Tuhan Yesus, berilah Papa dan Mama kesehatan. Dan, berilah Ranyssa seorang adik.” Kalimatnya sungguh sederhana, namun memukul relung hati kami yang terdalam.

Selama ini Rany jarang mengekspresikan perasaannya dalam bentuk verbal, tetapi lebih ke bentuk tulisan. Boleh dikata dia tidak pernah mengutarakan dengan kata-kata tentang ketidakbahagiaannya sebagai anak tunggal. Dia adalah pribadi yang tidak suka mengutarakan perasaannya dengan berbicara. Segala sesuatu dituangkan dalam bentuk tulisan, termasuk kalau dia meminta sesuatu dari kami atau mengucapkan permintaan maafnya kalau ia berbuat salah.

Ternyata di dalam hatinya dia super kesepian sebagai anak tunggal. Tidak ada teman yang bisa bermain bersamanya dalam rumah. Juga tidak ada teman bermain dari tetangga sekitar karena tetangga kami rata-rata berusia 55 tahun ke atas. Ditambah lagi kedua pihak keluarga besar kami belum ada yang memiliki anak karena belum menikah. Jadi, dia adalah satu-satunya keturunan dari kedua pihak keluarga besar kami.


 

Melihat keinginan anak kami yang begitu besar untuk memiliki adik. Saya dan suami kembali berupaya memenuhi keinginan Ranyssa. Jadi, mulai awal tahun 2003 kami berupaya semampu kami sebagai manusia untuk mendapat anak lagi. Namun, pengalaman di awal pernikahan, dimana kami agak sulit memiliki anak, disertai kondisi fisik saya yang tidak sekuat dan sesehat orang lain, dan usia kami yang sudah tidak muda membuat saya tidak memercayai diri saya untuk mendapat seorang anak lagi.

Hanya satu hal yang mendorong saya untuk terus-menerus mencoba dan pantang berputus asa, yaitu doa Natal Ranyssa yang tetap menggelayut di pikiran kami berdua.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, namun tanda-tanda kehamilan sama sekali jauh dari harapan. Akhirnya pada liburan bulan Juli 2003 kami memutuskan untuk berlibur dan berziarah bertiga ke Gua Maria Poh Sarang, Kediri. Dengan berkendaraan mobil kami sekeluarga menempuh perjalanan darat dari Jakarta ke Kediri yang memakan waktu sekitar dua hari satu malam.

Ini pengalaman pertama keluarga kami berlibur dengan kendaraan ke Jawa. Kami sempat kebingungan mencari arah menuju lokasi Gua Maria itu dari Kota Kediri, apalagi langit sudah mulai senja. Akhirnya, kami tiba dengan selamat di lokasi ziarah Gua Maria Poh Sarang. Dengan bekal info sebelumnya dari seorang teman-ia merekomendasikan untuk tinggal di penginapan yang dikelola oleh para suster di biara yang ada di situ -kami pun langsung mencari penginapan biara yang dimaksud.

Langit sudah gelap, malam telah menyelimuti sekeliling tempat perziarahan, dan seluruh lampu di lokasi pun sudah dinyalakan. Suara gonggongan anjing-anjing yang saling bersahutan seakan-akan memberi tanda selamat datang kepada kami. Setelah bertemu dengan pimpinan biara tempat kami menginap dan menyelesaikan administrasi penginapan, kami pun pamit untuk istirahat malam dan langsung ke kamar yang telah disiapkan.

Selama di sana, kami mengikuti Misa pagi bersama seluruh penghuni biara dan beberapa tamu biara. Suasana yang begitu hening, khidmat, tenang, ditambah lagi dengan udara yang bebas dari segala polusi udara dan polusi suara, membuat doa-doa kami begitu bening dan mudah terarah kepada Tuhan. Pada malam hari kami juga menjalankan doa jalan salib Tuhan Yesus di sekitar diorama perjalanan salib. Kami mengutarakan dan meminta dengan segala kerendahan hati bahwa kami ingin memiliki anak lagi. Kami juga mohon agar kalau Ia berkenan mengabulkan, biarlah itu terjadi sebelum usia kami yang ke-35. Seandainya harus di atas usia 35 tahun, maka dengan segala kerendahan hati kami mohon supaya tidak diberi.

Setelah menjalani semua doa yang ada maupun yang kami adakan sendiri, kami pun kembali ke Jakarta dengan sukacita. Hidup kembali berjalan normal sebagai mana biasanya, dan Rany pun telah memasuki Sekolah Dasar. Tanda-tanda kehamilan belum nampak, namun saya tetap optimis dengan rencana Tuhan.


 

Kira-kira pada bulan Agustus 2003, secara tidak sengaja saya sempat bertukar cerita dengan seorang teman bernama Teti. Ternyata dia memiliki kesamaan nasib dengan saya. Dia baru memiliki seorang putra bernama Krishna yang berusia sama dengan Ranyssa. Mereka berdua adalah teman satu sekolah di TK Pangudi Luhur. Perkenalan di sekolah inilah yang mendekatkan kami menjadi teman. Selama ini saya tidak mengenal sampai mendetail tentang teman saya ini. Saya hanya mengetahui bahwa Teti Santoso adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang mengambil kuliah S2 psikologi.

Dengan latar belakang yang sama inilah, kami merasa memiliki persamaan nasib. Sebenarnya buat sahabatku ini kehamilan bukanlah masalah karena setelah kelahiran Krisna, dia sempat dua kali mengalami kehamilan. Namun, kedua kehamilannya itu berakhir dengan keguguran. Bisa dibayangkan dan dirasakan betapa tidak percaya dirinya kami ini dalam mengharapkan seorang anak lagi, mengingat sejarah pengalaman kelahiran dan keguguran yang kami alami.

Namun entah dari mana timbul tekad yang besar di hati kami (Teti dan saya) untuk mencoba sekali lagi dengan berdoa dan memohon kerahiman Tuhan Yesus secara sungguh-sungguh agar permohonan kami ini dikabulkan. Kami berdua bertekad akan berkunjung ke pertapaan Karmel-Cikanyere. Pada hari yang kami tentukan bersama, kami berdua dengan membawa anak kami masing-masing berangkat menuju pertapaan yang juga dikenal dengan pertapaan Romo Yohannes.

Setelah berkendaraan sekitar dua jam (yang dikemudikan oleh Teti), kami telah berada di daerah sekitar Taman Bunga Nusantara. Kami pun mulai bertanya kepada penduduk sekitar, karena sama sekali tidak ada petunjuk ataupun papan yang mengarahkan kita ke lokasi.

Dengan bekal arahan penduduk setempat, akhirnya kami pun menemukan lokasi pertapaan. Begitu turun dari mobil, kami disambut oleh hembusan semilir angin gunung yang dingin. Untungnya pada saat yang sama matahari bersinar terik sehingga tubuh kami terasa sangat sejuk dan-terutama-hati kami pun demikian. Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada kami pun mengayunkan langkah menuju ruang resepsionis untuk para tamu. Di sana kami memasukkan doa permohonan yang kami tulis di atas sebuah kertas yang telah tersedia, dan memasukkan donasi ke dalam kotak yang disediakan.

Awalnya kami ingin berdoa di dalam gereja, namun karena hari itu adalah hari biasa, gereja ternyata tertutup. Kami pun mencari tempat lain, yaitu gua Maria yang terletak di samping depan gereja. Maka, kami pun masing-masing berdoa di hadapan gua Bunda Maria ditemani oleh anak-anak kami yang juga ikut berdoa bersama. Saya sungguh percaya kepada Roh Kudus yang sedang dan akan bekerja secara ajaib untuk kami. Besar sungguh harapan kami akan kuasa-Nya. Namun, di sisi lain saya juga pasrah kalau permohonan kami tidak dikabulkan. Saya sungguh percaya Tuhan tahu apa yang terbaik buat kami. Jadi, seandainya permohonan kami tidak dikabulkan, saya percaya Tuhan punya rencana yang lebih indah dan lebih besar buat kami berdua. Setelah semua intensi doa kami haturkan, kami pun meninggalkan Lembah Karmel dan kembali menuju Jakarta.

Tiga minggu berselang, saya mendapati diri saya yang agak berbeda dari sebelumnya. Saya lebih mudah mengantuk dan daya tahan tubuh saya sangat menurun. Ini terbukti dengan batuk yang mulai menyerang dan tak kunjung sembuh ... terlebih di malam hari. Seluruh perut dan dada serasa kejang diguncang batuk yang sangat menyiksa. Karena sibuk mengira-ngira sedang terkena sakit apa, saya sampai tidak mengingat jadwal menstruasi saya.

Namun, entah mengapa ... saya jadi teringat bahwa saya tidak mengalami menstruasi pada bulan tersebut. Pikiran itu kemudian saya tepis sendiri. “Ah, itu pasti karena makan obat batuk, sehingga mengganggu metabolisme dan periode menstruasi saya mundur,” pikir saya. Seminggu kemudian ternyata menstruasi saya tidak kunjung datang juga. Dengan berbekal test pack (alat penguji kehamilan) saya mencoba melihat hasil urine dan ternyata ... saya sungguh hamil! Sesuatu yang luar biasa telah terjadi atas diri saya. Sempat selama beberapa saat saya sendiri tidak memercayai penglihatan saya atas hasil bertanda + (plus) di wadah Test Pack Abbot tersebut. Kemudian, saya menangis sendiri, terharu atas kebaikan Tuhan yang luar biasa menakjubkan ... ajaib. Dia bekerja sesuai dengan rencana-Nya. Ya...., "Aku telah memintanya dari pada TUHAN" (1Sam 1:20; seperti perkataan Hana ketika melahirkan Samuel).

Berita bahagia ini saya beritahukan ke seluruh kerabat keluarga. Pada waktu saya menceritakan kepada ibu saya, ia pun langsung bernubuat dengan mengatakan bahwa saya kelak akan memiliki anak laki-laki dan kelak anak saya ini akan dipakai melayani Tuhan.

Setelah memastikan diri akan kehamilan ini, saya juga mengabari temanku, Teti, dengan hati-hati bahwa saya telah mengandung, karena saya takut menyinggung perasaannya kalau dia belum hamil. Ternyata Teti pun sedang mengandung anak keduanya! Sungguh tidak bisa dikatakan betapa berbahagianya kami ini. Kebahagiaan kami melebihi apa pun dan tidak bisa dinilai dengan harta atau dengan apa pun di atas dunia ini.


 

Walaupun demikian, bukan berarti Tuhan memberikan kehamilan ini tanpa beban apa pun. Dengan kehamilan ini, saya mengalami banyak cobaan fisik. Selama dua bulan di awal kehamilan ini, saya mengalami batuk-batuk yang sangat mengganggu baik siang maupun malam. Terlebih kalau berbicara, batuk semakin menjadi-jadi dan sering kali sesak karena penuh dengan lendir. Keadaan ini sungguh berat karena tidak diperkenankan sedikit pun makan obat batuk maupun obat lain. Bisa dirasakan seluruh diafragma perut dan dada terus berguncang dan mengalami sakit dan kram (kejang) karena menahan rasa gatal hebat yang ada di tenggorokan. Setelah dua bulan berlalu...saya mengalami kram kaki yang luar biasa pada posisi tertentu selama kehamilan berlangsung dan begitu pula dengan tulang ekor yang menonjol keluar yang mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa terlebih pada saat janin semakin besar di dalam perut. Juga seringnya mengalami sakit perut yang luar biasa menemani kehamilan ini. Ternyata dua bulan setelah melahirkan saya harus menjalani operasi usus buntu.

Namun, kesemuanya itu tidak sedikit pun membuat saya mengeluh berlebihan, paling-paling kalau terlalu sakit saya menyebut nama Yesus berulang-ulang karena saya tahu bahwa penderitaan Yesus melampaui apa yang saya rasakan. Hiburan satu-satunya menjelang persalinan, saya menonton film The Passion of Christ yang baru beredar. Dengan modal itulah, saya menjalani persalinan dengan tekad yang teguh, sabar, dan tenang. Setiap kali semua rasa sakit menyerang, saya mengingatkan diri saya untuk tetap tegar dan tidak mengeluh ... mencontoh Sang Guru yang Agung. Dia pasti membantu saya melewati setiap inci kesakitan dan, sekali lagi, apa pun yang saya alami tidak pernah seberat yang pernah Dia alami.

Tepat pada tanggal 13 April 2004 pk 03.03, anak kedua kami lahir ke dunia pada usia janin delapan bulan tiga minggu. Ia lahir dengan selamat dan sempurna di RS Pondok Indah - Jakarta Selatan. Melalui persalinan normal dan tanpa hambatan dengan berat 3370 gram dan panjang 48 cm. Kami menamainya Samuel Raditya Budiman yang berarti Aku telah memintanya sungguh hanya dan pada Tuhan.... sebagai mana Hana ibunda Samuel yang dikabulkan oleh Tuhan, aku pun demikian.

Tuhan tidak hanya mengabulkan doa saya, tetapi juga doa sahabat saya, Teti. Tuhan mengetahui kerinduan kami dan Dia juga mengetahui keadaan fisik kami. Dua minggu berselang, tepatnya pagi hari tanggal 3 Mei 2004, Teti pun melahirkan anak keduanya di rumah sakit yang sama, RS Pondok Indah, melalui persalinan normal di usianya yang mendekati empat puluh tahun. Ia memperoleh seorang putra yang sangat lucu dan tampan yang dinamai Gregorius Karisma Paramanugraha. Adapun nama panggilannya “Karisma” yang menurut sang pemberi nama, ia terinspirasi dari kata “karismatik”, gerakan pembaruan di dalam gereja Katolik dimana Romo Yohannes adalah salah seorang tokohnya, sedangkan “paramanugraha” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti anugrah yang besar, mujizat Tuhan.

Kini (2009) Samuel Raditya telah berusia tiga tahun sembilan bulan, bersekolah di Cambridge School, Cinere. Ia telah tumbuh menjadi anak yang penuh pengertian dan perhatian kepada sesamanya dan tidak mudah menyerah pada setiap keadaan. Hal ini terbukti dari laporan guru-guru di sekolah, orang-orang sekitar kami, yang mengatakan bahwa ia sungguh seoang anak yang penuh inisiatif dalam membantu siapa pun. Dia juga penuh kasih kepada kami orang tuanya dan khususnya kepada Rany, kakaknya.

Perjalanan Samuel Raditya dan Karisma Paramanugraha masih sangat jauh, untuk itu kami mohonkan doa dari Romo, Frater, Suster dan Saudara sekalian agar mendoakan anak-anak kami sesuai dalam jalur dan rencana kasih Tuhan sendiri. Dengan bantuan doa Anda semua, keajaiban itu sungguh terjadi...miracles do happen...di sini, di Lembah Karmel, dan di tempat-tempat lain. Akhir kata apabila ada kata yang kurang berkenan dan kurang sempurna, saya mohon maaf.