Print
Hits: 18605

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

St. Yohanes dari Salib adalah seorang tokoh rohani yang sering kurang dimengerti, baik oleh pendukungnya maupun oleh lawannya. Seringka­li ajarannya tidak dimengerti, serta ditafsirkan secara keliru, lebih-lebih ajarannya yang terkandung dalam buku Mendaki Gunung Karmel. Bagi kebanyakan orang, ajarannya itu terasa keras sekali. Namun, bagi orang yang telah mendengar panggilan Roh yang berbisik dalam lubuk hatinya, "Marilah datang kepada Bapa," seperti diung­kapkan Santo Ireneus, serta mengalami sedikit dalam hatinya "kemanisan kemuliaan surgawi", seperti yang diungkapkan para karmelit dahulu, cita-cita yang dikemukakan St. Yohanes dari Salib sungguh-­sungguh menggetarkan hati. Santo Yohanes mau menunjukkan keagungan dan keindahan dari apa yang dapat dicapai manusia dalam hidup ini, tentu saja dengan pertolongan rahmat Tuhan. Tujuan yang ingin dicapai ini bukan lain daripada persatuan cinta kasih dengan Allah yang mengubah segalanya, suatu transformasi total ke dalam Allah. Namun satu pertanyaan untuk kita, “Apakah cita-cita rohaninya ini dapat menyapa manusia modern?”


 

 PENGANTAR 

St. Yohanes dari Salib adalah seorang tokoh rohani yang sering kurang dimengerti, baik oleh pendukungnya maupun oleh lawannya. Seringka­li ajarannya tidak dimengerti, serta ditafsirkan secara keliru, lebih-lebih ajarannya yang terkandung dalam buku Mendaki Gunung Karmel. Bagi kebanyakan orang, ajarannya itu terasa keras sekali. Namun, bagi orang yang telah mendengar panggilan Roh yang berbisik dalam lubuk hatinya, "Marilah datang kepada Bapa," seperti diung­kapkan Santo Ireneus, serta mengalami sedikit dalam hatinya "kemanisan kemuliaan surgawi", seperti yang diungkapkan para karmelit dahulu, cita-cita yang dikemukakan St. Yohanes dari Salib sungguh-­sungguh menggetarkan hati. Karyanya menggugah hati mereka yang merindukan Tuhan dengan segenap hati serta mengobarkan kerinduan tersebut. Oleh karena itu, sesungguhnya, supaya orang dapat membaca tulisan St. Yohanes dari Salib dengan baik, haruslah ada kerinduan akan Tuhan dalam hatinya. 

Juga tidak ada buku rohani Kristiani lain yang begitu banyak dibaca di Asia non Kristen seperti karya St. Yohanes dari Salib. Keluhuran cita-­citanya dan idealismenya dapat membuat orang bukan kristiani kagum, seperti misalnya dikatakan oleh seorang Hindu tulen, Swami Sid­dheswarananda: "Dalam diri St. Yohanes dari Salib kita jumpai seorang mistikus kelas utama, yang dipandang oleh semua agama sebagai seorang santo sejati, yaitu dia yang bisa termasuk semua tradisi... Dan biarpun saya seorang rahib Hindu, saya menghormati St. Yohanes dari Salib sejajar dengan orang-orang bijak kami yang besar." 

Juga di kalangan orang Budha, karya St. Yohanes dari Salib dibaca dan dika­gumi serta dihargai, biarpun tidak senantiasa dimengerti dengan tepat. Dilihat dari terang perbandingan dengan spiritualitas Asia, spiritualitas St. Yohanes dari Salib akan dapat lebih dimengerti. Seperti cita-cita yang digambarkan dengan jelas dalam spiritualitas Hindu dan Budhisme, demikian pula cita-cita dan tujuan yang mau dicapai St. Yohanes dari Salib ini digambarkannya dengan gamblang dan setiap kali para pembaca diingatkan kembali akan hal itu. Sampai hari ini St. Yohanes dari Salib masih merupakan salah satu mistikus terbesar dalam Gereja dan seorang pembimbing rohani. Para pengarang rohani, bila membahas tentang bentuk-bentuk hidup rohani yang lebih mendalam, hampir selalu kembali kepada St. Yohanes dari Salib. Kedu­dukan St. Yohanes dari Salib dalam bidang spiritualitas mempunyai pengaruh yang luas sekali dalam Gereja dan hingga sekarang pun peranannya tetap aktual dan relevan.


I. CITA-CITA ROHANI

1.1 Latar Belakang Cita-cita 

Apa yang dicita-citakan St. Yohanes dari Salib sebenarnya bukan lain daripada penghayatan Injil secara penuh dan radikal, sampai sedalam-dalamnya. Atau mungkin lebih tepat, ia mau menghayati Injil, khususnya Kotbah di Bukit dan Sabda Bahagia secara utuh dan konsekuen, secara radikal. Dalam usahanya mencapai cita-cita tersebut, ia tidak mau membelok ke kanan atau ke kiri, dan tidak mengenal kompromi. Tuntutannya tampaknya keras sekali, karena cita-cita yang ingin dicapainya sangat luhur. Ia seperti seorang pedagang yang menemukan mutiara yang berharga serta menjual semua miliknya untuk membeli mutiara itu, karena dari satu pihak ia tahu, bahwa mutiara itu nilainya melebihi segala yang dimilikinya dan dari pihak lain ia tahu pula, bahwa tak mungkin mutiara itu dapat dibelinya, kalau ia tidak menjual semua hartanya. Demikian pula ia mau menyadarkan para pembacanya pertama-tama tentang nilai mutiara itu serta perlunya menjual semua hartanya untuk dapat membelinya. 

Perlu dicatat pula, bahwa di sini kita berhadapan dengan seseorang yang sudah sampai pada akhir perjalanan serta mengalami sendiri segala keindahan yang dijumpai di tempat tujuan dan kini kembali lagi untuk membimbing orang lain pergi ke tujuan yang sama. Yohanes berbicara sebagai seseorang yang mengenal teologi yang sehat serta mempunyai pengalaman yang mendalam. Karena dia mengetahui nilai apa yang harus dicapai dan kekosongan segala sesuatu yang lain, maka tuntutannya radikal sekali. Todo-nada, semuanya-kosong, untuk mencapai segalanya harus melepaskan, atau mengosongkan semuanya.

1.2. Persatuan dengan Allah 

Cita-cita Santo Yohanes sangatlah tinggi dan luhur sekali dan ia tidak puas dengan sesuatu yang kurang dari itu. Ia mau menunjukkan keagungan dan keindahan dari apa yang dapat dicapai manusia dalam hidup ini, tentu saja dengan pertolongan rahmat Tuhan. Tujuan yang ingin dicapai ini bukan lain daripada persatuan cinta kasih dengan Allah yang mengubah segalanya, suatu transformasi total ke dalam Allah: 

"Dilahirkan dalam Roh Kudus selama hidup ini berarti menjadi begitu serupa dengan Allah dalam kemurnian, tanpa suatu campuran ketidaksempurnaan apapun juga. Karenanya transforma­si murni dapat terjadi (biarpun tidak menurut hakekatnya) melalui partisipasi dalam persatuan" (Mendaki II, 5).

Kemudian persatuan ini digambarkan lebih lanjut sebagai berikut: 

"Bila hal itu terjadi (yaitu pengosongan diri), jiwa akan diterangi oleh Allah dan diubah ke dalam Allah. Dan Allah akan memberikan Ada-Nya yang adikodrati sedemikian rupa kepadanya, sehingga ia tampaknya seperti Allah sendiri dan akan memiliki segala sesuatu yang dimiliki Allah sendiri. Bila Allah memberikan karunia adikodrati ini kepada jiwa, suatu persatuan yang demikian besarnya akan terjadi, sehingga segala sesuatu yang ada pada Allah dan jiwa menjadi satu dalam suatu transformasi partisipatif, dan jiwa itu sendiri tampaknya lebih Allah daripada jiwa. Sungguh, ia benar-benar Allah, karena partisipasi" (Mendaki II, 7). 

Dalam persatuan seperti ini, jiwa diangkat kepada suatu pengertian yang mengatasi segala pengertian: 

"Ia melihat dirinya diangkat di atas segala pengertian ko­drati kepada cahaya ilahi. Pengalaman seperti ini dapat dibandingkan dengan keadaan seseorang yang sesudah suatu tidur panjang membuka matanya dan melihat cahaya yang luar biasa yang tidak diduganya sama sekali" (Madah Rohani 15, 24). 

Dalam keadaan seperti ini jiwa dibawa kepada suatu pengenalan Allah yang begitu mendalam dan mesra, menghasilkan suatu sukacita yang begitu besar dan mendalam, yang tidak terperikan, sehingga tidak ada kata-kata yang dapat melukiskannya, karena sungguh merupakan sesuatu yang tak dapat diungkapkan, yang "ineffable". Dalam keadaan ini Allah sering mengkomunikasikan diri secara mendalam, sehingga orang boleh mengalami sifat Allah secara luhur sekali. Setiap kali diberikan, pengenalan ini tetap tinggal dalam jiwa. Ini merupakan suatu "kontemplasi murni" dan pada waktu itu jiwa mengerti dengan jelas bahwa itu tidak terperikan. Hal itu hanya bisa diungkapkan secara umum, karena kelimpahan dan kenikma­tan pengalaman ini (Mendaki II, 26, 5). 

Pengenalan luhur ini hanya dapat diterima oleh orang yang telah sampai pada persatuan dengan Allah itu sendiri, karena pada hakekatnya pengenalan ini adalah persatuan itu sendiri. Pengenalan ini meru­pakan suatu sentuhan ilahi di bagian terdalam dari jiwa. Allah sendiri yang dialami dan pengalaman ini begitu luhur dan mulia, melampaui segala pengertian (Mendaki II, 26, 5). 

Buah pengalaman ini begitu kayanya sehingga langsung mengha­puskan semua kekurangan yang tidak bisa diatasi seumur hidup, betapapun orang berusaha mati-matian untuk mengatasinya. Namun sentuhan ini sekaligus juga mengisi jiwa dengan kebajikan dan berkat dari Allah, sehingga menjadikannya indah di hadapan Allah (Mendaki II, 26, 6). 

Sentuhan-sentuhan ini menghasilkan kemanisan dan sukacita yang begitu mendalam, sehingga satu sentuhan sudah cukup untuk menghapuskan segala penderitaan dan karenanya memberikan kepada jiwa itu keberanian untuk menderita bagi dan demi Kristus (Mendaki II, 26,7). 

Kiranya perlu dicatat, bahwa pengenalan semacam ini tidak mungkin dicapai oleh usaha manusia, bagaimanapun ia berusaha untuk itu. Namun biasanya ini diberikan kepada jiwa yang siap, yaitu yang lepas dan kosong dari segala makhluk dan ikatan, pada saat­-saat yang tidak disangka-sangka (Mendaki II, 26,7). Untuk mengungkapkan hal ini Santa Teresa dari Yesus mengatakan bahwa biarpun orang belajar dan mempelajari segala ilmu selama seribu tahun, ia tidak akan pernah sampai ke situ (Puri Batin V, 4, 2). 

Dalam persatuan ini jiwa seluruhnya diubah menjadi ilahi, sehingga segala tindakannya bersifat ilahi pula, yaitu dalam segala pengenalan dan cintanya (Madah Rohani 38, 3). Perubahan di dalam Allah ini dengan indah diungkapkan Santo Yohanes dalam Nyala Cinta pada bait kedua yang berbunyi: 

O luka bakar yang manis dan menyembuhkan! 

O luka yang nikmat! 

O tangan lembut! O sentuhan halus 

yang mengandung rasa hidup kekal 

dan menghapuskan semua hutang! 

Dengan membunuh engkau menukar maut dengan hidup!

  

Dalam komentarnya kemudian Santo Yohanes menulis: 

"Dalam bait ini jiwa mengatakan bagaimana ketiga Pribadi ilahi Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putra dan Roh Kudus, melaksanakan karya persatuan ini di dalam diri-Nya. Oleh karena itu, sesungguhnya ‘tangan’, ‘luka bakar’, ‘sentuhan’, semuanya adalah satu dan sama. ... Di sini jiwa memuliakan Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Ini dilakukannya dengan memuji ketiga karunia dan anugerah yang dikerjakan Mereka di dalam dirinya. Karunia pertama adalah suatu ‘luka bakar yang nyaman’. Ini dinyatakannya sebagai karya Roh Kudus. Oleh karena itu, Dia dise­butnya sebagai ‘luka bakar yang manis dan menyembuhkan’. Karunia kedua ialah ‘rasa hidup kekal’. Ini dipandangnya sebagai karya Sang Putra, yang karenanya disebutnya ‘sentu­han halus dan lembut’. 

Karunia ketiga terdapat dalam kenyataan bahwa Ia telah mengubah dia ke dalam diri-Nya. Ini berarti penghapusan hu­tang, yaitu jiwa mendapatkan ganjarannya secara berlimpah-­limpah. Karunia ini dilihatnya sebagai berasal dari Bapa, yang karenanya disebutnya ‘tangan yang halus’." 

Biarpun di sini ia menyebut ketiganya karena sifat khusus dari efek masing-masing, ia hanya berbicara kepada Satu ketika berkata: "Dengan membunuh Engkau menukar maut dengan hidup." Sebab ketiga Pribadi itu bekerja sama dan karenanya hal itu disebutnya sebagai karya Satu saja dan segalanya menjadi milik Semua" (Bait II, 1). 

Persatuan yang mengubah segalanya ini kemudian dilukiskannya dalam segala keindahan dan keluhurannya. Dilukiskannya bagaimana jiwa dibakar oleh api ilahi dan akhirnya menjadi api, bahkan lautan api. 

"Di situ jiwa merasakan bagaimana nyala api itu bertambah besar dan kuat dan bagaimana dalam nyala ini cintanya naik begitu tingginya, sehingga ia mendapat kesan bahwa dalam lubuk batinnya ada sebuah lautan api, yang seperti pasang surut turun naik dan dengan demikian memenuhi dirinya selu­ruhnya dengan cinta. Seluruh alam semesta tampak baginya sebagai sebuah lautan api yang membuat ia tenggelam. Ia tidak melihat tepinya lagi dan juga tidak tampak lagi cakrawala di mana cintanya berhenti. Dalam dirinya ia mengalami, seperti yang telah kita lihat, pusat cinta yang hidup ini" (II, 10). 

Dalam Malam Gelap diterangkan bagaimana persatuan ini adalah suatu persatuan yang menetap dan sempurna, sejauh hal itu mungkin dalam hidup yang fana ini. Hal ini terjadi lewat sentuhan-sentuhan ilahi yang aktual dan substansial yang terjadi dalam persatuan ilahi itu. Di sini jiwa itu telah dimurnikan, mencapai kedamaian dan dikuatkan. Ia menjadi kokoh, tidak goyah, sehingga ia secara tetap dapat menerima persatuan itu, yang adalah perkawinan ilahi antara Putra Allah dan jiwa manusia (II, 24, 3). 

Dalam keadaan seperti itu seluruh aktivitas orang itu menjadi ilahi. Segala gerak-gerik dan aktivitas jiwanya dibimbing oleh Roh Allah sendiri, bahkan gerak pertama dari jiwanya bersifat ilahi, karena dia telah diubah seluruhnya menjadi ilahi (Mendaki III, 2, 9).


 II. JALAN MENUJU KE PUNCAK GUNUNG

2.1. Pelbagai Macam Jalan yang Ditempuh Orang 

Kiranya jelas pula bahwa menghadapi cita-cita yang demikian luhurnya, cita-cita yang telah dialaminya sendiri, Santo Yohanes mengajak kita untuk mendaki puncak itu tanpa ayal dan dengan hati yang mantap, sambil dengan jelas melihat jalannya. Ia adalah seorang pembimbing yang telah mencapai puncak itu sendiri dan ingin membawa kita ke sana. Di sanalah disediakan karunia-karunia luar biasa bagi kita oleh Allah sendiri, keindahan dan kebahagiaan yang tidak terperikan. Setelah melihat sendiri segala keindahan itu dan kekayaan yang tersedia untuk kita dan tahu bahwa dibandingkan dengan harta kekayaan itu, semua yang kita miliki dan ketahui bukan lain daripada sampah belaka, dapat dimengerti bahwa dia dengan sangat tegas dan radikal mendesak kita untuk menempuh jalan yang ditunjukkannya. 

Secara singkat dapat dikatakan bahwa jalan yang menuju ke puncak itu sesungguhnya hanya satu, yaitu cinta kasih yang radikal, yang merindukan yang termulia, Allah sendiri, Yang Segalanya. Untuk mencapai Yang Segala itu orang harus mau meninggalkan segala sesuatu yang dapat menghambatnya. Maka dilihat dari perspektif ini, dalam hubungan dengan segala ciptaan, betapapun luhurnya itu, hati harus tetap kosong, tidak lekat, tidak terikat, supaya dapat berpaut seutuhnya pada Allah. Dalam gambar yang dibuatnya yang melukiskan pendakian Gunung Karmel, kita jumpai suatu kontras antara jalan yang menuju ke puncak dan jalan sampingan yang merupakan jalan buntu. Di situ dilukiskannya dua jalan dari roh yang tidak sempurna: yang satu ingin memiliki barang-barang yang bersi­fat duniawi, yaitu milik, kesenangan, pengetahuan, hiburan, isti­rahat, yang akhirnya menuju jalan buntu. Yang lain, juga dari roh yang tidak sempurna, ingin memiliki barang-barang surgawi dan tampaknya rohani, namun sesungguhnya sama tidak sempurnanya, karena mengejarnya dengan semangat pemilikan yang akhirnya juga menuju jalan buntu. Barang-barang rohani itu ialah kemuliaan, kesenangan, pengetahuan, hiburan, istirahat. 

Sebaliknya, jalan yang menuju ke puncak ialah jalan kekoson­gan: kosong, kosong, kosong, kosong dan di atas gunung juga ko­song. Akan tetapi, justru jalan inilah yang membawa orang ke puncak di mana Sang Kekasih Ilahi telah menantinya dengan segala macam berkat dan rahmat, yaitu segala sesuatu yang dapat diharapkan orang. Di sini kita jumpai suatu paradoks: Karena orang tidak menginginkan apa-apa, ia mendapatkan segalanya. "Karena aku tidak menginginkannya, aku memiliki semuanya tanpa keinginan,” baik barang-barang duniawi maupun barang-barang surgawi, karena di dalam Allah kita memiliki segalanya.

2.2. Jalan Kelepasan 

Secara radikal sekali Santo Yohanes menuntut kelepasan. Dalam riwayat hidupnya diceritakan, bagaimana suatu hari Dona Ana de Penalosa (seorang janda yang menjadi anak rohaninya dan yang untuknya ditulisnya Nyala Cinta yang indah itu) berlutut di hada­pannya dan meminta petunjuk kepadanya. Santo Yohanes hanya berka­ta, "nada, nada, nada, kosong, kosong, kosong.” Segala sesuatu harus dilepaskan demi cinta kepada Allah. 

Segala sesuatu harus ditinggalkan, harus dilepaskan. Semua keinginan harus ditanggalkan, karena keinginan-keinginan itu menghambat manusia dalam perjalanannya menuju Allah. Kita harus menuju kepada Allah lepas dari segala keinginan akan barang duniawi maupun rohani. Hanya keinginan akan Allah dan kehendak-Nya saja yang diperbolehkan, namun keinginan akan Allah itu pun hanya boleh lewat iman, harapan, dan cinta kasih saja. Pengosongan itu harus mencakup segi afektif, segi intelektual, ingatan dan kehen­dak, bahkan pengalaman-pengalaman religius tertentu. Jadi suatu pengosongan yang menyeluruh. Yang dimaksud dengan pengoson­gan di sini ialah sikap lepas, tidak terikat. 

Tuntutan itu diajukan demi tercapainya sesuatu yang lebih tinggi, yang lebih luhur. Maka pikiran Santo Yohanes bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan amat positif. Hal ini jelas dari paradoks yang dilukiskan juga dalam sketsa Mendaki Gunung Karmel: yang satu menunjukkan bahwa kalau kita mengejarnya, maka barang-barang itu lari, tetapi kalau kita meninggalkannya, kita malahan memperoleh sega­lanya. Dalam sketsa Mendaki Gunung Karmel, hal ini dijelaskan pada dua jalan buntu: "Semakin saya ingin memilikinya, semakin kurang saya mendapatnya,"­ sedangkan sebagai kontrasnya di atas gunung dikatakan "Karena aku tidak menginginkannya, aku memiliki semuanya tanpa keinginan." Sedangkan buah-buah yang dijumpai di atas gunung dilukiskan seba­gai berikut: damai, sukacita, kebahagiaan, kesukaan, kebajikan, kebenaran, kekuatan, cinta kasih, kesalehan. Kemudian sebagai ungkapan bahwa dia memiliki secara bebas tanpa kelekatan dikata­kan, "Kemuliaan bukan apa-apa bagiku; penderitaan bukan apa-apa bagiku." Dan akhirnya dikatakan bahwa di atas gunung itu sudah tidak ada jalan lagi, karena bagi orang yang benar tidak ada hukum; ia menjadi hukum bagi dirinya. Ini merupakan pernyataan yang amat berani, yang memang bisa disalahtafsirkan. Yang dimak­sudkan di sini ialah bahwa segala hukum Tuhan sudah mendarah­daging baginya, karena secara sempurna ia telah bersatu dengan Tuhan, sehingga Roh Kudus sendirilah yang memimpinnya serta menji­wai segala sesuatu yang dilakukannya. Kepekaan batinnya menjadi sedemikian rupa, sehingga ia tidak membutuhkan petunjuk lahiriah lagi. 

Satu hal yang perlu ditambahkan di sini ialah kenyataan bahwa bagi St. Yohanes kelepasan ini adalah soal cinta. Tanpa cinta kasih kepada Allah tak mungkinlah orang bisa melepaskan segalanya itu. Untuk bisa melepaskan "cinta" pada barang-barang duniawi, haruslah ada cinta yang lebih kuat kepada Allah. 

"Cinta akan kesenangan dan kelekatan padanya, biasanya menya­lakan kehendak untuk menikmati barang-barang yang memberikan kesenangan. Untuk mengalahkan keinginan-keinginan ini serta menyangkal kesenangan itu, orang perlu dibakar secara lebih mendalam oleh cinta lain, cinta yang lebih baik, yaitu cinta kepada Sang Mempelai Ilahi. Dengan menemukan kepuasan dan kekuatan dalam cinta ini, orang akan memperoleh keberanian dan ketekunan untuk menyangkal diri dalam segala keinginan yang lain. Cinta kepada Sang Mempelai bukan hanya satu-satu­nya syarat untuk mengalahkan kekuatan keinginan inderawi ini, namun di samping itu masih dibutuhkan suatu kerinduan cinta yang menyala-nyala, sebab keinginan inderawi ini digerakkan dan ditarik demikian kuatnya kepada objek-objek inderawi, sehingga bila bagian rohani jiwa itu tidak dibakar oleh kerinduan lain yang lebih besar akan perkara-perkara rohani, jiwa tidak akan bisa mengalahkan beban kodrat kita, maupun memasuki malam inderawi. Dia juga tidak akan memiliki keberanian untuk hidup di dalam kegelapan akan segala sesuatu dengan menyangkal segala keinginannya untuk barang-barang itu" (Mendaki I, 14, 2). 

Untuk sampai kepada tujuan yang mau dicapainya, orang tidak hanya harus mengosongkan diri dalam bidang inderawi, atau memasuki malam gelap inderawi, tetapi dia juga harus mengosongkan diri dalam bidang yang menyangkut kegiatan intelektual, kegiatan inga­tan, dan kehendaknya. 

Dalam perjalanan kepada persatuan ini semua pengenalan harus ditanggalkan, baik yang kodrati maupun yang adikodrati, yaitu yang bersifat khusus dan jelas, kecuali beberapa hal yang justru terma­suk dalam hakekat persatuan itu sendiri, misalnya seperti sentu­han substansial dan sabda substansial. Sebaliknya orang harus lewat jalan kontemplasi yang gelap, samar-samar dan umum, yang merupakan jalan aman kepada persatuan tersebut. Jalan kontemplasi ini pada hakekatnya bukan lain daripada jalan iman dalam cinta. 

Mengapa semua ini harus ditinggalkan? Sebabnya ialah karena Allah mengatasi segala gagasan, ide-ide, pikiran, dan pengertian kita. Allah tidak dapat digambarkan, karena itu segala pengenalan yang bersifat jelas dan khusus bukan sarana yang cocok untuk persatuan ini. Oleh karenanya kita harus lewat jalan iman yang gelap. Bila pada permulaan pemakaian budi, fantasi, imajinasi, dapat membantu orang untuk lebih mengenal Allah serta melepaskan diri dari ikatan dosa, namun kemudian semuanya itu tidak berguna lagi bila orang dibawa masuk oleh Tuhan ke dalam kontemplasi ilahi yang gelap itu. 

Sampai sekarang ini yang dibahas adalah malam gelap yang bersifat aktif, baik malam inderawi maupun rohani, artinya kita masih secara aktif ikut ambil bagian di dalamnya. Namun, bila kita telah siap dan dengan segenap hati mencari dan merindukan Allah, maka Tuhan sendiri akan memegang tangan kita dan membawa kita masuk ke dalam malam gelap yang pasif, mula-mula inderawi dan kemudian, bila kita setia, juga ke dalam malam gelap rohani. Pemurnian yang aktif hanya menyentuh pinggiran atau lapisan luar ada kita, tetapi pemurnian yang pasif akan menyentuh sampai kepada bagian terdalam jiwa kita serta membersihkan segalanya. Besarlah taruhannya. 

Prinsip-prinsip yang dibicarakan tentang budi berlaku pula untuk pemurnian ingatan dan kehendak. Juga ingatan harus dibersih­kan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan, sehingga hanya ingatan akan Tuhan saja yang ada di dalam dirinya. Demikian pula kehendak harus seluruhnya terarah kepada Tuhan, tidak boleh ada sesuatu lain yang mengikatnya. Tuhan harus dicintai di atas segala sesuatu dan hanya Tuhan saja. Bila kita mencintai Tuhan dengan segenap hati, kita akan tahu pula bagaimana bersikap terhadap perkara-­perkara lain. Sekali lagi, tuntutannya keras sekali, karena cita-citanya amat luhur. Semakin bernilai dan berharga barangnya, semakin besar harga yang harus dibayar untuk memperolehnya. 

Mengapa St. Yohanes dari Salib begitu menekankan pengudusan pribadi ini sampai pada persatuan yang mengubah segalanya itu? Sebabnya bukan lain, karena ia sadar benar-benar, bahwa satu faal cinta kasih yang diperbuat orang dalam tingkat transformasi ini jauh lebih berharga daripada semua perbuatan yang diperbuat orang seumur hidup tanpa mencapai tingkatan ini. Sebab pada tingkatan persatuan ini seluruh aktivitasnya merupakan aktivitas Roh Kudus sendiri (Nyala Cinta I, 2). Oleh sebab itu pula, satu orang yang menca­pai tingkatan ini lebih berharga bagi Allah, bagi Gereja, dan bagi keselamatan manusia daripada beribu-ribu yang lain yang tidak mencapai tingkatan ini. 

Namun satu pertanyaan timbul dalam hati, “Apakah cita-cita seperti itu dapat menyapa manusia modern?” Pertanyaan itu memang agak sukar dijawab, tetapi dari banyaknya buku-buku tentang St. Yohanes dari Salib, walaupun hanya merupakan karya-karya kecil, yang terjual, kiranya dapat disimpulkan, bahwa cita-citanya tetap mampu menggugah hati manusia modern yang merindukan Allah. Sekaligus St. Yohanes dari Salib dapat menjadi pembimbing yang aman bagi mereka yang mendaki Gunung Allah.