User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

“Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka.” (Yoh 8:36)

Yesus telah memerdekakan kita dari kuasa dosa, sehingga kita tidak lagi disebut hamba melainkan sahabat. Oleh karena itu, kita menjadi pribadi yang merdeka, yang tidak lagi dikuasai oleh sesuatu yang ada di luar kita, karena Yesus sendirilah yang telah mencurahkan damai-Nya di dalam hati kita sehingga tak ada apa pun dari dunia ini yang dapat merebutnya dari kita. “Pribadi yang merdeka adalah pribadi yang mampu untuk menentukan reaksi-reaksinya atas setiap situasi yang dihadapinya, sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.”

St. Yohanes dari Salib mengatakan bahwa situasi hati kita tergantung dari apa yang kita pikirkan. Jika pikiran kita positif, suasana hati kita pun positif. Sebaliknya jika pikiran kita negatif, suasana hati kita pun negatif. Dengan kata lain, manis pahitnya hidup ini tergantung kepada kepiawaian kita dalam memainkan nada-nada kehidupan. St. Theresia Lisieux yang mengalami begitu banyak penderitaan, memandang setiap penderitaannya sebagai sekuntum mawar harum semerbak yang dipersembahkan kepada Tuhan. Dengan demikian, segala kepahitan yang dialaminya terasa manis bagi jiwanya, karena semua dipersembahkan kepada Kristus, dan dipersatukan dengan penderitaan Kristus di atas kayu salib.

Sebagai pribadi yang merdeka, kita tidak akan dikendalikan oleh lingkungan. Justru sebaliknya, kitalah yang mengendalikan lingkungan yang ada di sekitar kita. Kita tidak terpengaruh oleh apa yang ada di luar diri kita. Jadi reaksi kita bukan tergantung dari sesuatu di luar diri kita. Kondisi lingkungan tidak menentukan apa yang kita rasakan atau kita lakukan. Kegagalan tidak melarutkan kita dalam kekecewaan, keberhasilan tidak melambungkan kita dalam kesombongan.

Ada kebahagiaan dan kedamaian di kedalaman hati kita, yang tak tersentuh oleh kekalutan dunia luar. Dengan demikian, kehadiran kita justru bisa membawa kesejukan dan kedamaian bagi orang-orang di sekitar kita.

Kita datang membawa damai di tengah sengketa,

bukan larut dalam kemarahannya.

Kita datang membawa ketenangan di tengah ketakutan,

bukan ikut menggigil di dalamnya.

Kita datang membawa penghiburan di tengah kesedihan,

bukan hanyut tersedu bersama yang lain.

Seorang pribadi yang merdeka menjadi pribadi yang produktif, karena dapat membuahkan banyak kebaikan dalam situasi yang paling buruk sekali pun. Ia sungguh-sungguh merdeka karena keterpautannya kepada Tuhan. Kelekatannya kepada Allah membebaskan dia dari banyak hal di dunia ini, dan membuatnya berbuah banyak pula.

“Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).


1. Prinsip-prinsip Kehidupan

Prinsip-prinsip yang kita miliki menjadi semacam kompas yang me-ngarahkan sikap-sikap kita. Dengan demikian, kita tidak terombang-ambing oleh keadaan dan situasi sekitar. Seka-li pun kondisi lingkungan berubah-ubah, itu semua tidak menggoyahkan kita. Jika kita mempunyai komitmen yang teguh terhadap prinsip-prinsip kehidupan yang kita anut, kita dapat sungguh-sungguh menjadi pribadi yang merdeka. Apakah prinsip-prinsip itu?

Sebagai orang Katolik, prinsip-prinsip kita berdasar pada tiga hal pokok, yaitu Kitab Suci, Tradisi, dan Ajaran Magisterium Gereja. Segala sesuatu yang bertentangan dengan salah satu dari ketiganya, perlu kita tolak dengan tegas. Justru ketegasan kita dalam memegang teguh prinsip-prinsip kehidupan inilah yang menjadikan kita sebagai pribadi yang merdeka.

2. Sikap Dasar dari Segala Prinsip

 Sebagai pengikut Kristus semua prinsip kehidupan itu harus dijalankan dengan KASIH. Kasih merupakan sikap pertama dan utama yang mendasari semua prinsip kehidupan kita. Hal ini sesuai dengan yang diajarkan Kristus sendiri mengenai hukum yang pertama dan terutama, ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan sege-nap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 22:38)

Kasih menjadikan kita sebagai pribadi yang merdeka, karena kasih membebaskan kita dari banyak hal. Dalam buku Mengikuti Jejak Kristus tertulis:

“Siapa yang mencintai, dia berjalan cepat, bahkan terbang. Dia bebas, dia dalam sukacita, serta tidak ada yang dapat menahannya. Cinta kasih tidak memperhitungkan apa yang harus dibayar. Tidak ada sesuatu pun yang mustahil baginya. Oleh karena itu, dia melakukan banyak perkara besar. Tidak ada kelelahan yang dapat melemahkan dia. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menahannya, tidak ada kekuatiran yang menggoyahkan dia. Dia bagaikan nyala yang hidup selalu menuju surga.” (Buku III bab 5)

Cinta kasih membuat kita keluar dari diri sendiri, senantiasa mengingat orang yang kita kasihi sehingga melupakan diri sendiri. Dengan demikian kita dibebaskan dari diri sendiri yang seringkali sebetulnya menjadi sumber penderitaan kita. Kita bebas dari kekuatiran akan diri sendiri, bebas dari perhatian yang terlalu besar terhadap diri sendiri, bebas dari perasaan tertekan atau haus pujian, bebas dari rasa tidak dipedulikan atau ambisi-ambisi pribadi. Demikianlah jiwa yang mencintai Allah, hati dan pikirannya terarah senantiasa kepada Allah, Sang Kekasih yang sejati.

Cinta kasih juga membuat kita dapat lebih menerima orang lain dan diri sendiri. Kasih membuat kita mampu menanggung kelemahan sesama, dan kasih juga membuat kita dapat tidur dengan tenang bersama kehancuran kita. Kasih mengubah yang kelabu menjadi penuh warna.

Dengan demikian, kasih memerdekakan kita dari rasa benci terhadap orang lain, juga membebaskan kita dari kekecewaan terhadap diri sendiri. Kasih membentuk kita menjadi pribadi yang sungguh-sungguh merdeka, karena kasih mengajarkan kita untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang ilahi.


3. Pribadi yang Bertanggungjawab

Pribadi yang merdeka adalah pribadi yang bertanggungjawab atas setiap pilihan kehidupannya. Dalam kehidupan ini seringkali kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan. Pribadi yang tidak merdeka hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Ketidakmerdekaannya ini membuat ia tidak berani untuk konsekuen terhadap setiap keputusan yang telah diambilnya. Jika ia menghadapi kegagalan, ia cenderung mencari kambing hitam dengan menyalahkan orang, situasi, atau apa pun juga. Mulutnya penuh dengan dalih dan seribu satu alasan yang tanpa disadarinya justru  membuatnya semakin tertekan dan tidak merdeka.

“Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” (Yoh 4:34)

Pribadi yang bersatu dengan Allah mencoba untuk mencari kehendak-Nya dalam setiap pengambilan keputusannya. Ketika semua orang mengejek kejatuhannya akibat keputusan yang ia ambil, ia tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Dengan penuh iman ia percaya bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik baginya. Bukankah di mata dunia Yesus juga mengalami kegagalan yang luar biasa dengan kematian-Nya di kayu salib? Bukankah salib itu merupakan kebodohan bagi orang Yunani dan batu sandungan bagi orang Yahudi? Namun, ternyata wafat Kristus di kayu salib adalah awal dari puncak kemenangan-Nya.

“Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (1 Kor 1:18)


4. Pribadi yang Merdeka adalah Pribadi yang Kuat

Pribadi yang merdeka adalah pribadi yang kuat. Ia teguh dalam memegang prinsip-prinsip hidupnya, dan tetap stabil dalam keberhasilan dan kegagalannya. Akan tetapi, kekuatan pribadinya ini tidak terletak dari kekerasan karakternya, kegalakannya, atau pun kediktatorannya, tetapi memancar keluar dari batinnya yang terbentuk dari persatuannya dengan Tuhan. Yesus adalah pribadi yang lemah lembut, tetapi justru kelemahlembutan-Nya itu sekaligus menunjukkan kekuatan pribadi-Nya.

“Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat 11:29)

Jadi pribadi yang kuat adalah pribadi yang bebas dari pengaruh-pengaruh tidak sehat yang berada di luar dirinya. Ia merupakan pribadi yang tenang namun teguh pada prinsip-prinsip yang dipegangnya, tak mudah hanyut oleh faktor-faktor eksternal. Kekuatannya semacam kekuatan batin yang terpancar keluar karena persatuannya dengan Sang Pokok Anggur yang sejati.

Di zaman modern ini banyak orang yang sebetulnya tidak merasakan hidup merdeka. Ada yang terjajah oleh bisnisnya, sehingga siang malam hati dan pikirannya dipenuhi dengan karir dan karir. Ada pula yang dijajah oleh segala kenikmatan duniawi yang ditawarkan dunia ini, sehingga bagi orang kecanduan ia terus mengejarnya dan menemukan sukacita semu. Adapula yang tertekan karena terus menerus dikejar oleh rasa bersalah akibat segala dosa yang dilakukannya. Belum lagi kecemasan, ketakutan, kesepian, frustasi, itu semua menjadi penjajah-penjajah jiwa manusia di zaman modern ini.

Yesus telah membebaskan kita dan menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang merdeka. Inilah saatnya dengan penuh sukacita kita menghirup kebebasan sebagai anak-anak Allah yang sejati. Setelah kita dibebaskan dari dosa yang membelenggu, mengapa lagi kita harus jatuh kembali ke dalamnya? Lalu, bagaimana caranya agar kita dapat tetap merdeka sehingga dapat menikmati kepenuhan kebahagiaan kita? Jawabannya tidak lain adalah penyangkalan diri dari segala dosa dan kenikmatan dunia yang ternyata merupakan sumber keterjajahan kita. Memegang teguh prinsip-prinsip kehidupan ini dengan cinta kasih yang memenuhi hati. Dengarkanlah seruan Yesus yang membisikkan rahasia hidup bahagia dan merdeka.

“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat 16:24).

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting