User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

1. PENGANTAR

“Damai di bumi sangat dirindukan oleh semua orang di sepanjang zaman.” Demikian kalimat awal Ensiklik Pacem in Terris. Ensiklik Pacem in Terris (damai di bumi) merupakan salah satu ensiklik yang dikeluarkan oleh Beato Yohanes XXIII. Ensiklik ini dikeluarkan pada tanggal 11 April 1963.

Walaupun telah lama diedarkan dan telah banyak terjadi perubahandalam dunia, tetapi kelihatan Ensiklik ini masih relevan untuk situasi dunia kita. Suatu dunia dan abad yang baru. Ensiklik ini masih menggema dan menyuarakan perdamaian bagi seluruh umat manusia dewasa ini.

Apa yang dikatakan dalam Ensiklik tersebut merupakan suara Gereja yang menolak segala bentuk kekerasan, peperangan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Yang ditekankan dalam Ensiklik yaitu, penolakan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan perdamaian.

Mengapa? Karena dari hari ke hari perdamaian semakin menjauh dari dunia ini. Dalam suasana demikian, manusia dihantui oleh rasa takut, cemas, dan kuatir yang tak kunjung berakhir. Padahal, setiap manusia dalam dirinya masing-masing sangat merindukan perdamaian. Manusia menginginkan perdamaian menguasai hatinya dan menguasai seluruh kegiatan aktivitasnya sehari-hari. Singkatnya, manusia membutuhkan perdamaian dalam segala sesuatu yang dilakukannya sebagai manusia. 

2. ABAD PENUH PERGOLAKAN

Ensiklik Pacem in Terris muncul dalam suasana mencekam yang sedang melanda dunia. Abad ke-20 merupakan abad penuh pergolakan. Suatu abad yang dikuasai oleh egoisme manusia. Dalam abad itu, terjadi banyak pemerkosaan terhadap hak asasi manusia. Begitu banyak terjadi pertumpahan darah dan korban berjatuhan tak terhitung jumlahnya. 

Di awali oleh revolusi ekonomi yang melanda beberapa negara. Ajaran Karl Mark menjadi dewa yang menguasai sebagian dunia. Di sana munculnya materialisme yang menguasai manusia. Manusia begitu serakah. Ia haus akan harta dunia. Pandangan ini dimaksudkan juga untuk menyingkirkan hal-hal yang menghalangi kemajuan dalam bidang ekonomi. Yang dimaksud adalah nilai-nilai iman. 

Iman telah meninabobokan manusia sehingga manusia enggan berusaha, demikian pendapat mereka. Karl Mark sendiri tidak menolak Tuhan. Ia hanya menolak ‘cara’ atau praktek beriman yang membelenggu kemajuan ekonomi, tetapi para pengikutnya menafsirkan ajarannya secara lain. Akhirnya, ajaran itu berubah menjadi permusuhan besar-besaran terhadap Gereja, kaum beriman, para pastor, suster, dan lain-lain. 

Akibat dari penyingkiran nilai iman dan keserakahan manusialah, maka yang terjadi berikutnya adalah persaingan. Persaingan bukan saja dalam bidang ekonomi, namun merambat ke bidang lain seperti politik dan persenjataan. Dari hari ke hari persaingan itu semakin memanas. Akibat persaingan ini adalah munculnya dua perang besar. Perang dunia pertama dan kedua yang memakan korban begitu banyak, baik dari segi materi maupun nyawa manusia. Pada saat yang bersamaan muncul beberapa tokoh penghancur yang menjadi penyebab munculnya peperangan besar itu. Mereka menjadi inspirator munculnya ketegangan yang menguasai dunia, seperti: Lenin, Stalin, Adolf Hitler, dan lain-lain. 

Ketegangan tidak berhenti, tetapi berlanjut terus. Perang dingin pun menyusul kemudian. Perang ini telah menjadi sesuatu yang paling menakutkan dalam sejarah umat manusia. Negara-negara maju yang berkepentingan mulai meluaskan pengaruhnya secara diam-diam. Hal ini ditandai dengan terpecahnya menjadi negara-negara Blok Timur dan Blok Barat. 

Namun, syukur kepada Allah karena perang dingin tidak meletus. Pecahnya negara Uni Soviet, menjadi tanda berakhirnya perang dingin. Persaingan antara Blok Timur dan Blok Barat pun dengan sendirinya mereda. Walaupun setelah itu, muncul suatu fase baru dalam peradaban yang melanda manusia modern sampai saat ini. 

Seolah-olah kelanjutan dari keadaan sebelumnya, ketegangan masih terus berlangsung. Perang besar telah terjadi yaitu Perang Teluk antara Irak dan Kuwait. Hingga saat ini, ancaman perang ini terus berlanjut dan telah berubah menjadi suatu permusuhan dan saling membenci antara Irak dan Amerika dengan sekutu-sekutunya. Selain itu, negara-negara - tidak terkecuali miskin atau kaya - berlomba-lomba mendemonstrasikan kekuatan senjatanya. Bahaya produksi senjata nuklir menjadi isu dan ancaman besar yang melanda dunia.Demikianlah rentetan peristiwa yang terjadi pada abad yang lalu.Dan hal itu masih berlanjut sampai abad sekarang ini.

Sekarang, marilah kita melihat semua peristiwa yang terjadi itu. Dari segi iman, satu hal yang tidak dapat dilupakan. Abad ke-20, merupakan abad para martir. Banyak umat beriman yang mati karena membela imannya. Korban Kamp. Konsentrasi memakan jutaan jiwa. Pembunuhan massal terhadap orang kristen merajalela di mana-mana. Banyak kaum beriman digiring dan disekap di dalam penjara. Pengorbanan para martir di Korea, Jepang, Vietnam, dan Uganda menjadi saksi keganasan abad ke duapuluh ini. Masih banyak lagi pengorbanan para martir yang terjadi dalam abad duapuluh. 

Dalam rentetan peristiwa di atas, Ensiklik Pacem in Terris seolah-olah tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Buktinya tidak adanya suatu perubahan dalam tatanan kehidupan manusia. Kekerasan terjadi di mana-mana. Peperangan mengancam setiap saat. Akan tetapi, inilah saatnya – di abad yang baru ini – kita kembali menggemakan suara perdamaian sebagaimana telah digagas dalam Ensiklik tersebut. 

3. HAKEKAT PERDAMAIAN

Setelah mengetahui hal tersebut, sebuah pertanyaan dapat diungkapkan, “Apakah manusia menginginkan kekerasan dan peperangan melanda dunia ini?” Sesungguhnya, di tengah ketakutan, kekuatiran, kecemasan, betapa manusia merindukan perdamaian. Sebagai seorang kristiani, betapa manusia merindukan kebahagiaan, sukacita sebagai anak-anak Allah yang merdeka. 

Namun, perdamaian tidak akan tercapai jika hati manusia masih dikuasai oleh kebencian, kemarahan, nafsu ingin membalas dendam, dan lain-lain. Perdamaian hanya dapat dicapai jika manusia menyingkirkan segala egoisme yang menguasai hatinya. Dengan kata lain, perdamaian tercapai jika manusia membangun kembali kodrat awalnya, yakni sebagai makhluk bermoral dan terlebih sebagai makhluk ciptaan Allah. Seperti dikatakan Paus Yohanes Paulus II pada pidato Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), pada tanggal 5 Oktober 1995 mengatakan: “Perdamaian hanya dapat dicapai dengan menghormati dan membangun kembali hukum moral yang tertulis dalam hati manusia.” 

Hal ini dimaksudkan, bahwa dari kodratnya manusia adalah makhluk pendamai. Sejak ia diciptakan, kedamaian sudah ada dalam dirinya (seluruh pribadinya sebagai manusia). Kedamaian yang dimaksud bukan sekedar suasana atau keadaan yang berkaitan dengan perasaan tetapi lebih daripada itu, suatu kedamaian yang menyangkut bagian terdalam hidup manusia yaitu jiwanya.

Dengan demikian, manusia tidak dapat hidup tanpa suatu perdamaian, entah itu perdamaian dengan dirinya sendiri; dengan sesamanya; dengan Tuhannya; dan dengan lingkungannya. Manusia tidak dapat lepas dari perdamaian. Di manapun dan kapanpun, ia senantiasa membutuhkan perdamaian. Oleh karenanya, jika perdamaian itu terancam oleh orang lain atau lingkungan, dengan sendirinya hidupnya juga akan terancam. 

Karena itu, jika ada orang yang bertindak melawan perdamaian, berarti ia bertindak melawan kodratnya. Ia bertindak melawan hati nurani dan hukum moral. Terlebih lagi, ia bertindak melawan Allah sumber dan pencipta perdamaian itu sendiri. 

4. MENYONGSONG PERDAMAIAN

Di tengah gejolak yang melanda dunia ini, manusia cenderung bersikap skeptis, bahwa ‘Perdamaian tidak dapat dicapai.’ Benarkah demikian? Ensiklik Pacem in Terris berbicara kepada semua orang bahwa kita semua menjadi bagian dari keluarga manusia dan memancarkan terang atas kehendak bersama bangsa-bangsa di manapun mereka berada untuk hidup aman, adil, dan memiliki harapan di masa yang akan datang. Ensiklik ini memberi harapan akan terwujudnya suatu tatanan hidup antar manusia. 

Dalam Ensiklik itu, inspirator Konsili Vatikan II itu menyodorkan empat hakiki yang menjadi syarat perdamaian yang juga terdapat dalam jiwa manusia: kebenaran, keadilan, cintakasih, dan kemerdekaan. 

Kebenaran akan membangun perdamaian apabila setiap orang secara tulus mengakui bukan hanya haknya sendiri tetapi juga kewajibannya terhadap sesama manusia. Tugas manusia bukan saja mencari kebenaran tetapi juga menanamkan kebenaran itu kepada orang lain. Kebenaran yang dimaksud bukan sekedar slogan atau teori semata tentang kebenaran, melainkan kebenaran yang dihayati sendiri, yang dijiwai dan yang diaktualkan dalam kesehariannya. Kebenaran itu tidak lain adalah Allah sendiri. Menghayati kebenaran berarti menghayati hidup Allah sendiri. 

Keadilan akan membangun perdamaian, jika di dalam pelaksanaannya setiap orang menghormati hak orang lain dan benar-benar melaksanakan tugas yang ditentukan bagi mereka. Dengan menghormati hak orang lain berarti, manusia mengakui keberadaan sesamanya. Keberadaannya sebagai makhluk yang memiliki hak dan martabat sebagai ciptaan Tuhan. 

Cintakasih akan membangun perdamaian, apabila orang-orang merasakan bahwa kebutuhan orang lain sebagai kebutuhannya sendiri dan membagikan hartanya kepada sesama, terutama nilai-nilai akal budi dan semangat yang mereka miliki. Cintakasih dalam ajaran kristiani menduduki tempat utama. Cintakasih menyangkut segala-galanya. Dengan membagikan segala apa yang ada pada kita, berarti kita membangun suatu dunia yang penuh damai. Membagi cintakasih berarti membagi perdamaian. 

Kemerdekaan akan membangun perdamaian dan membuatnya berkembang, jikalau di dalam memilih sarana untuk tujuan itu, orang-orang bertindak sesuai dengan akal dan bertanggungjawab akan tindakannya sendiri. Kemerdekaan tidak berarti manusia bebas melakukan sesuatu tanpa dibatasi. Kemerdekaan yang sejati justeru merupakan suatu tindakan yang didasarkan pada kemampuan manusia untuk bertanggungjawab atas segala tindakannya. Yang dimaksudkan disini adalah tindakan bukan hanya sekedar tindakan saja, melainkan tindakan benar yang menghasilkan suatu perdamaian. 

Dari empat hal tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa perdamaian di samping sebagai milik manusia sebagai sesuatu yang berasal dari kodratnya, juga berarti bahwa perdamaian merupakan suatu keaktifan manusia karena perdamaian merupakan karya manusia sendiri. Untuk tercapainya suatu perdamaian, diperlukan peran serta manusia di dalamnya. Peran serta itu tidak lain daripada mengaktifkan segala kemampuan jiwanya, yaitu hidup dalam kebenaran, berlaku adil, mengamalkan cinta kasih, dan menciptakan kemerdekaan. 

5. JANJI ALLAH AKAN PERDAMAIAN

Sebagai makhluk beriman, tidaklah cukup bagi kita mengandalkan usaha manusiawi belaka dalam mencapai suatu perdamaian, namun tidak juga berarti mengesampingkan segala usaha manusia. Yang perlu disadari oleh setiap manusia, yaitu usaha manusia tidak berarti apa-apa tanpa mengandalkan Tuhan yang menjadi sumber dan pencipta perdamaian itu. Oleh karena itu, hanya berpaling kepada Tuhan sajalah usaha manusia untuk menciptakan perdamaian akan terwujud. 

Apa janji Allah tentang perdamaian? Kitab Suci memberikan kesaksian kepada kita tentang apa yang dikatakan Allah mengenai suatu dunia yang damai. Salah satu gambaran yang indah terdapat dalam kitab Nabi Yesaya, yaitu gambaran mengenai binatang buas, ternak, dan manusia. Binatang buas merupakan musuh manusia dan ternak. Akan tetapi akan datang waktunya, di mana permusuhan itu tidak ada lagi. Itulah zaman pemerintahan Raja Mesias (Yes 11:1-5). Pada waktu itu:

“Serigala akan tinggal bersama domba, dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan singa akan makan rumput bersama-sama dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan berteman dan anak-anak mereka akan bersama-sama berbaring. Singa akan makan jerami seperti lembu. Anak-anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung. Dan ke sarang ular beludak anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya” (Yes 11:6-8).

Gambaran indah ini mau mengatakan bahwa perdamaian yang dikerjakan Raja Damai itu berarti pula bebas dari ketakutan, kekerasan, kecemasan, kekuatiran, dan saling membunuh. Kapan hal ini akan terjadi? Hal ini akan terjadi jika manusia membuka diri terhadap rahmat dan tawaran Allah. Tentu saja tidak mengabaikan usaha manusia. Allah senantiasa mengajak dan mengundang manusia untuk menciptakan dan membangun suatu dunia damai. 

Yesus Sang Raja Damai mengatakan: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku harapkan api itu telah menyala” (Luk 12:49). Api itu adalah api damai. Api yang membakar segala permusuhan, kebencian, kemarahan, dan nafsu balas dendam yang menguasai hati manusia. Api itu akan mengubah segala permusuhan menjadi persahabatan, kebencian menjadi belaskasihan, kemarahan menjadi kelemah-lembutan, nafsu balas dendam menjadi pengampunan. 

Inilah dunia damai yang dirindukan Allah bagi manusia. Allah menginginkan pemerintahan-Nya menguasai manusia. Allah menginginkan hukum cintakasih – yang menciptakan perdamaian – menawan hati manusia. 

6. REFLEKSI DAN PENUTUP

Apakah damai masih ada dalam diri kita? Apakah kita mampu menghadirkan kerajaan damai itu kepada orang lain? Perdamaian harus mulai dari diri sendiri, sesama, dan berakhir pada Tuhan. Keluarga merupakan lahan pertama tempat kita dapat menanamkan benih perdamaian, kepada suami, isteri, anak, dan lain-lain. Setelah itu barulah kita bergerak pada tingkat yang lebih luas; tetangga dan lingkungan di mana saja kita berada dan akhirnya dunia seluruhnya. 

Di akhir tulisan ini, marilah kita semua berdoa kepada Tuhan agar Dia menghujankan rahmat perdamaian bagi dunia ini, supaya segala permusuhan dilenyapkan, segala peperangan dan pertikaian segera berakhir, sehingga kita dapat menikmati suatu dunia di mana Mesias memerintah untuk selama-lamanya. Dan bersama Santo Fransiskus Asisi, kita berseru: “Tuhan jadikan kami pembawa damai-Mu ke seluruh muka bumi ini.”

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting