User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

PENGANTAR

Belakangan ini saya sedang ‘gandrung’ dengan liturgi dan spiritualitas ritus Maronite. Hal ini dipicu oleh beberapa hal, salah satunya adalah ketika saya menonton film tentang kehidupan St. Rafqa Boutrossie Chouboq al-Rayis. Dalam film itu dikisahkan bagaimana Rafqa berdoa memohon agar Tuhan memberinya rahmat untuk ikut ambil bagian dalam sengsara Kristus, dalam doanya itu Rafqa mengungkapkan gagasan mengenai hubungannya dengan Kristus sebagai hubungan sepasang pengantin. Dalam doanya ia berkata, “Pengantin macam apakah aku? Kalau aku tidak ambil bagian dalam penderitaan Mempelaiku?” Selanjutnya, adegan ini disusul dengan nyanyian dari Kidung Agung 3:1, 2:8-13. Ketika saya mengenali sebagian kata-kata dari lagu itu dan membandingkan lirik bahasa Arabnya dengan terjemahan bahasa Indonesia dari Alkitab TB-LAI, saya mulai terdorong untuk merenungkan lebih jauh lagi mengenai tema ini.

SEDIKIT PENELUSURAN LEBIH JAUH

Gagasan mengenai hubungan dengan Allah sebagai mempelai jelas bukan gagasan baru. Gagasan semacam ini berakar dari Perjanjian Lama, untuk contoh saya akan mengutip beberapa ayat saja:

“Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, Tuhan semesta alam nama-Nya; yang menjadi Penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel, Ia disebut Allah seluruh bumi. Sebab seperti isteri yang ditinggalkan dan yang bersusah hati Tuhan memanggil engkau kembali; masakan isteri dari masa muda akan tetap ditolak? Firman Allahmu.” (Yesaya 54: 5)

Kutipan di atas ini dengan jelas menunjukkan bagaimana hubungan antara Allah dengan umat-Nya adalah bagaikan hubungan suami isteri. Allah adalah sang suami, dan umat-Nya adalah isteri-Nya.

Pada bagian lain Kitab Suci kita menemukan bahwa Allah memerintahkan nabi Hosea untuk menikah dengan seorang pelacur (Hos 1:2). Apa sebabnya Allah memerintahkan demikian? Rupanya Allah ingin agar Hosea mengalami sendiri bagaimana perasaan Allah melihat umat-Nya hidup tidak setia. Seperti seorang suami yang dikhianati oleh isterinya demikianlah kurang lebih perasaan Allah melihat ketidaksetiaan umat yang dikasihi-Nya. Karena misi utama Hosea sebagai seorang nabi adalah mewartakan pertobatan, maka Allah memandang bahwa Hosea perlu mengalami sendiri apa yang dirasakan oleh Allah ketika Ia melihat umat-Nya tidak setia dan bagaimana Ia menginginkan umat-Nya kembali dan hidup setia sesuai kehendak-Nya.

Kitab nabi Hosea juga memberikan kepada kita suatu gambaran yang menarik tentang kesia-siaan hidup dalam dosa dan betapa indahnya suatu pertobatan, yang digambarkan sebagai berikut:

“Maka pada waktu itu, demikianlah firman Tuhan, engkau akan memanggil Aku: Suamiku, dan tidak lagi memanggil Aku: Baalku! Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya dan Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam keadilan dan kebenaran, dalam kasih setia dan kasih sayang. Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku dalam kesetiaan, sehingga engkau akan mengenal Tuhan.” (Hosea 2:15, 18-19)

Saya pribadi beranggapan bahwa seluruh bab 2 kitab Hosea ini sungguh menarik. Pada bagian awal diceritakan bagaimana Allah meratapi isteri-Nya (gambaran umat-Nya) yang hidup tidak setia dan menjalani hidup bagaikan pelacur (1-4). Kemudian, bab ini berlanjut bagaimana Allah melakukan upaya-upaya untuk menghalangi sang isteri berbuat selingkuh lagi sehingga ia tidak dapat menemui para pria idaman lainnya itu (5-6a). Selanjutnya, diceritakan bagaimana upaya paksa ini membuahkan hasil, yaitu si isteri mulai berniat untuk kembali kepada sang Suami, tetapi niat ini masih belum tulus bahkan ini merupakan niat yang setengah terpaksa (6b-7) dan kemudian Allah menghukum isteri-Nya yang tidak setia ini dengan menarik pemberian-pemberian-Nya (8-12), akhirnya setelah sang isteri yang tidak setia ini berduka karena hukuman-hukuman yang diterimanya dari sang Suami, barulah sang Suami mengajaknya berbicara berdua dan menenangkan hatinya, dalam pembicaraan mesra berdua inilah dikisahkan bagaimana isteri yang tidak setia itu kemudian kembali jatuh cinta kepada sang Suami (13-14). Kemudian kisah ini ditutup dengan janji-janji Allah kepada sang isteri yang telah kembali setia, klimaksnya adalah ayat yang tadi saya kutip di atas.

Saya kira kisah hubungan suami isteri yang diceritakan oleh nabi Hosea sungguh merupakan gambaran dari kehidupan rohani kita semua. Kita yang tidak setia kepada Allah, kita yang mengikuti Allah dengan hati yang tidak ikhlas, setengah niat, atau suam-suam kuku, kita yang mengikuti-Nya bukan karena cinta tetapi karena sudah kebiasaan, atau karena takut masuk neraka, sampai yang mungkin sedang merasa dirinya dihukum Allah karena dosa-dosanya, sampai yang sedang mengalami suatu pertobatan yang sungguh mendalam dan merasa jatuh cinta dengan Allah, kita menemukan semua gambaran itu dalam kisah ini.

Saya sendiri merasa sama dengan sang isteri, yang walaupun sudah menyadari bahwa bersama Allah itu jauh lebih bahagia, tetapi kadang masih suka melirik-lirik yang lain. Kisah ini sungguh menyadarkan saya betapa kurangnya cinta terhadap Allah, dan betapa sundalnya kehidupan saya sekarang ini. Saya mengusulkan adalah baik kalau Anda membuat keputusan untuk sekali waktu mengisi waktu luang dengan membaca bab 2 dari Kitab Hosea ini dan merenungkan bagaimana keadaan hubungan Anda dengan Allah.

Dalam Perjanjian Baru, kita menemukan bagaimana St. Paulus menggunakan hubungan suami isteri sebagai gambaran dari hubungan antara Kristus dan Gereja-Nya. Ia memerintahkan agar isteri taat kepada suami seperti Gereja taat kepada Kristus, dan agar suami mengasihi isterinya dengan cara seperti Kristus mengasihi Gereja-Nya.

“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala Gereja. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi Gereja dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan Gereja di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut yang serupa itu, tetapi supaya Gereja kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuh dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap Gereja. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan Gereja. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.” (Efesus 5:22, 24-29, 32-33).

Dalam kutipan ini kita melihat bahwa Paulus menggunakan gambaran Perjanjian Lama tentang Allah sebagai suami dan umat Allah sebagai isteri-Nya, serta mengembangkannya lebih jauh. Ia menggunakan gambaran ini untuk melengkapi gambaran lain mengenai hubungan Kristus dan Gereja sebagai kepala dan tubuh serta menarik konsekuensi moral darinya. Bagi Paulus, jika kita sungguh percaya bahwa hubungan antara Allah dan umat-Nya begitu intim seperti halnya suami isteri, maka seorang suami Kristen harus mengasihi isterinya seperti Allah mengasihi umat-Nya dan seorang isteri Kristen harus menaati suaminya seperti Gereja kepada Kristus.

Sejalan dengan pandangan Paulus, Paus Pius XI dalam ensiklik (surat edaran) tentang pernikahan Kristen yang berjudul Casti Conubii menyatakan:

27. Ketundukan ini, bagaimana pun, tidak menyangkal atau mengambil kebebasan yang sepenuhnya dimiliki oleh wanita baik dipandang dari kedudukannya sebagai pribadi manusia, dan dalam pandangan tugasnya yang amat terhormat sebagai isteri dan ibu dan rekan (bagi pria); ketundukan ini juga tidak mengikat dia untuk menaati suaminya jika perintah suaminya itu tidak selaras dengan akal budi atau dengan derajat yang layak bagi seorang isteri……

28. Sekali lagi, ketundukan isteri kepada suami dalam tingkatan dan caranya dapat bervariasi menurut kondisi orang, tempat dan waktu yang berbeda. Pada dasarnya, jika suami mengabaikan tugas ini, adalah tugas isteri untuk menggantikannya mengarahkan keluarga. Tetapi struktur keluarga dan hukum dasarnya, yang ditetapkan dan diteguhkan Allah, harus selalu tetap dimanapun.

29. Dengan kebijaksanaan besar pendahulu Kami Leo XIII, dalam kenangan yang berbahagia, dalam ensikliknya tentang pernikahan Kristen yang telah kami sebutkan, membicarakan tatanan ini harus dipelihara dalam hubungan suami dan isteri, ia mengajar: “Suami adalah pemimpin keluarga, dan kepala dari isterinya; tetapi karena isteri adalah daging dari dagingnya dan tulang dari tulangnya, hendaklah ia tunduk dan patuh kepada suaminya, bukan sebagai pelayan tetapi sebagai rekan, agar dalam ketaatan yang diberikannya isteri tidak kekurangan kehormatan dan derajat. Hendaklah cinta kasih ilahi menjadi pemandu yang tetap dalam hubungan timbal balik mereka, baik dalam diri ia yang memimpin dan dalam diri ia yang taat, karena keduanya membawa simbol, yang satu Kristus, dan yang lain Gereja.

Dalam ensiklik ini kita melihat bagaimana Paus Pius XI memperdalam ajaran Paulus yang berkaitan dengan konsekuensi moral dari gambaran hubungan Kristus dan Gereja sebagai hubungan suami isteri. Pius XI memahami dengan jelas bahwa Paulus sama sekali tidak menghendaki isteri menjadi bawahan dari suaminya. Hubungan suami isteri yang didasari cinta pada akhirnya bukanlah soal “siapa yang ditaati dan menaati” tetapi justeru memunculkan kesatuan yang sungguh mendalam seperti yang dimiliki Kristus dengan Gereja, sehingga orang dapat mengatakan sama seperti Kristus dan Gereja-Nya itu berada dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan walau keduanya berbeda, begitu juga hubungan cinta suami isteri akhirnya akan memunculkan kesatuan yang serupa dengan itu, dan pesan yang ingin disampaikan Paulus bukanlah soal siapa atasan dan siapa bawahan tetapi mengenai kesatuan.

Akhirnya Kitab Suci juga menggunakan gambaran “perjamuan nikah” untuk menunjuk “hari kiamat” atau kedatangan Tuhan. Hari akhir itu memiliki kesamaan dengan perjamuan nikah karena menjadi awal dari suatu kehidupan yang intim, yang jauh berbeda dengan sekedar hubungan masa pacaran atau tunangan, antara pria dan wanita yang kemudian suami-isteri dan antara Allah dengan umat-Nya. Yesus menggunakan gambaran ini dalam Matius 22: 1-14 (dan paralelnya). Dan dalam kitab Wahyu gambaran ini muncul dengan cara yang amat kita kenal, “Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:9).

Kalimat yang terakhir disebut di atas, mungkin Anda sudah terlalu sering dan terlalu biasa mendengarnya. Kata-kata itu muncul dalam setiap Misa, sebagai kalimat ajakan kepada umat untuk menyambut Komuni. Terlalu sering dan terlalu biasa kita mendengar ajakan, sehingga kita mudah saja mengabaikan maknanya. Kalimat ini mengingatkan kepada kita bahwa Ekaristi adalah perjamuan nikah, dan pernikahan siapa? Itu adalah pernikahan Kristus dan kita, yang adalah umat-Nya. Dengan menyambut Tubuh Kristus maka kita dan Kristus “telah bersatu, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej 2: 24). Komuni itulah saat ‘persetubuhan’ antara Tuhan dan kita dan dengan demikian menjadikan Kristus dan kita sungguh-sungguh sepasang suami isteri.

KUAT BAGAIKAN MAUTLAH CINTA

Suatu ketika Beata Theresia dari Calcutta pernah diundang oleh sekelompok ilmuwan asal Amerika untuk memberikan ceramah kepada mereka, dalam pembicaraannya Beata Theresia meminta mereka untuk selalu tersenyum kepada pasangannya. Salah seorang peserta dengan sedikit usil bertanya kepadanya, “Suster, apakah Anda menikah?” dan ia menjawab, “Ya, saya menikah dan kadang sulit sekali tersenyum pada Yesus karena Ia bisa sangat cerewet.” Dalam penderitaan akibat penyakit pada saat-saat terakhir hidupnya kembali Beata Theresia dengan lirih mengungkapkan “Yesus meminta agak terlalu banyak,” dengan tulus ia mengakui bahwa tidaklah mudah untuk mencintai Pengantinnya seperti Dia telah mencintainya.

Tetapi, cinta itu kuat bagaikan maut (bdk. Kid 8:6), sama seperti halnya maut tidak terhindarkan dan tidak bisa ditolak kedatangannya, begitu jugalah cinta, tidak bisa dihindari dan ditolak. Dorongan yang muncul dari cinta tidak bisa dilawan, sekali sang Pengantin memanggil “Bangunlah manisku, jelitaku, marilah!” (Kid 2:10) maka sejak itu kekasihku menjadi kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia (Kid 2:16). Ikatan cinta ini rupanya menuntun kita kepada kerinduan “Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia.” (Kid 3:1) yang menuntun sang wanita berkeliaran di jalan pada tengah malam. Kerinduan ini serupa dengan perkataan St. Paulus “aku ingin mengenal Yesus lebih dan lebih lagi dan segala yang kulakukan kuarahkan kepada-Nya” (bdk. Flp 3:10-14). Jalan yang harus ditempuh untuk memuaskan kerinduan kita kepada sang Pengantin ini bagi kita adalah jalan permunian dan penyangkalan diri, yang kadang berat tetapi bisa dijalani dalam cinta kepada Tuhan, bahkan cinta itu memampukan kita menjalaninya dengan hati yang rela dan penuh sukacita. Melewati jalan inilah kita dituntun ke tempat sepi dimana Tuhan mencium kita di luar (bdk. Kid 8:1) tempat Dia memberikan cinta-Nya kepada kita (bdk. Kid 7: 12).

Akhirnya, Anda mungkin bertanya “bagaimana saya bisa mencintai Allah dengan cara seperti itu?” atau “Bagaimana saya bisa mengalami hubungan yang sedemikian dengan Allah?” atau “Bagaimana saya bisa kuat menanggung penderitaan dengan didasari cinta kepada Allah?” Jawaban saya mungkin tidak praktis, yang bisa saya katakan adalah saya merasa mendapatkan kekuatan yang sungguh berarti untuk mengikuti Tuhan saat saya membaca kitab Kidung Agung dan kitab nabi Hosea pada bagian yang saya cantumkan di atas. Pengalaman saya itu sebagiannya saya tuliskan di sini. Kesaksian saya adalah melalui kedua buku itu Roh Kudus mengundang saya untuk mengalami cinta Allah dengan cara yang, katakanlah, lebih jelas, lebih baru, dan lebih segar. Harapan saya juga, Tuhan mengundang Anda kepada pengalaman yang sama ketika Anda meluangkan waktu membaca Kidung Agung, selebihnya biarlah Anda menikmatinya sendiri.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting