User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Pengertian

Apologetika atau apologetics adalah pembelaan keyakinan Kristiani mengenai Allah, Kristus, Gereja dan tujuan hidup umat manusia. Pembelaan ini dapat ditunjuKkan kepada pemeluk agama lain, anggota komunitas Kristiani yang lain, warga komunitas sendiri yang ragu-ragu atau kepada orang beriman biasa yang ingin mengerti bahwa iman mereka dapat dipertanggungjawabkan.

Santo Petrus dalam suratnya yang pertama mengatakan: “Siap sedialah pada segala waktu untuk memberikan pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab tentang pengharapan yang ada padamu” (1Ptr 3:15). Dengan demikian apologetika berkaitan dengan teologi dasar, yaitu mengenai dasar-dasar iman Kristiani. Teologi Apologetika banyak dipakai oleh para Bapa Gereja (abad II – abad VIII) untuk membela iman Kristiani terhadap serangan dari pihak bidaah pada zaman itu.

Tidak sedikit terjadi bahwa umat Katolik kita dewasa ini tidak mampu memberikan pertanggungan jawab terhadap berbagai persoalan iman yang sering ditanyakan baik oleh agama lain, Gereja lain, maupun oleh kalangan anggota Gereja sendiri. Selain itu, umat Katolik banyak diombang-ambing oleh berbagai ajaran yang sebenarnya bukan ajaran Kristiani yang benar. Maka tujuan utama apologetika adalah memberi pertanggungan jawab dan membela ajaran Kristiani yang benar yang didasarkan pada Kitab Suci dan ajaran Magisterium Gereja.

Pada kesempatan ini saya berusaha menyajikan beberapa hal yang berkaitan dengan hal tersebut di atas. Tentu saja tulisan ini tidak dapat merangkum semua hal yang berkaitan dengan apologetika Kristiani, tetapi hanya beberapa hal yang menurut saya cukup menarik dan relevan untuk situasi masa kini.


Allah Tritunggal

Allah Tritunggal adalah misteri besar iman Kristiani. Allah kita adalah satu, tetapi juga Tritunggal. Persoalan mengenai Allah adalah satu hampir diterima oleh semua ajaran agama, termasuk agama Yahudi dan Islam. Kekhasan dari agama Kristen adalah doktrin tentang Allah Tritunggal. Bagaimana hal ini dijelaskan?

Iman kepada Allah Tritunggal menyangkut pengakuan adanya tiga pribadi ilahi yang merupakan satu Allah saja. Pengakuan ini seperti kita jumpai dalam tulisan-tulisan Paulus: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2Kor 13:13, bdk. 1Kor 12:2-6, Ef 4:4-6).

Mengenai asal usul dan hubungan ketiga pribadi ilahi ini, Santo Agustinus menjelaskan sebagai berikut: “Allah yaitu Bapa sudah ada sejak kekal. Sejak kekal pula Ia mengenal diri-Nya begitu mendalam. Akibat pengenalan diri ini, maka lahirlah Putera. Selanjutnya, dari keabadian Bapa mengasihi Putera dan Putera mengasihi Bapa begitu mendalam sehingga dari keabadian membentuk suatu lingkaran kasih yang tidak pernah putus. Dari kasih abadi yang tidak pernah putus antara Bapa dan Putera maka lahirlah Roh Kudus. Karena itu Roh Kudus kadang disebut sebagai Roh cinta Bapa dan Putera.

Dogma mengenai Allah Tritunggal dirumuskan dalam Konsili Konstantinopel II. Dikatakan: Tritunggal adalah satu. Kita tidak mengakui tiga Allah tetapi satu Allah dalam tiga pribadi. Kodrat Allah adalah satu namun memiliki tiga pribadi; Bapa, Putera dan Roh Kudus. Satu substansi (hakikat atau kodrat) yaitu Allah, namun tiga hypostasis (pribadi). Pribadi-pribadi ilahi tidak membagi ke-Allah-an yang satu itu di antara mereka, tetapi masing-masing dari mereka adalah Allah sepenuhnya dan seluruhnya. “Bapa yang melahirkan, Putera yang dilahirkan dan Roh Kudus yang dihembuskan.

Seluruh karya ilahi adalah karya bersama ketiga pribadi ilahi, sebagaimana Tritunggal mempunyai kodrat yang satu dan sama. Namun tiap pribadi ilahi melaksanakan karya bersama itu sesuai dengan kekhususan pribadi masing-masing. Penciptaan dihubungkan dengan Bapa, penyelamatan dihubungkan dengan Putera dan pengudusan dihubungkan dengan Roh Kudus. Dalam Kitab Suci karya ketiga pribadi ini sudah dimulai sejak Perjanjian Lama. “Roh Allah melayang-layang di atas pemukaan air.” Allah menyuruh Musa membuat ular tembaga, kalau orang Israel memandang ular tembaga itu, setelah digigit ular tedung maka mereka akan luput dari maut. Gereja melihat bahwa barangsiapa telah digigit dosa dan memandang Kristus di kayu salib akan memperoleh keselamatan.

Seluruh kehidupan Kristen berada dalam persekutuan dengan tiap-tiap pribadi ilahi tanpa memisah-misahkan mereka. “Siapa yang memuja Bapa, melakukannya melalui Putera dalam Roh Kudus, siapa yang mengikuti Kristus melakukannya karena Bapa yang menariknya,” (bdk. Yoh 6:44) “dan Roh Kudus yang menggerakkannya" (bdk. Rm 8:14). Kita dipanggil untuk menjadi tempat tinggal Tritunggal Mahakudus. “Jika seseorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yoh 14:23).

Beata Elisabet dari Trinitas berdoa:

 
O Allahku Tritunggal yang aku sembah, bantulah aku melupakan diri sehabis-habisnya, supaya tertanam di dalam Engkau, tidak tergoyangkan dan tenteram, seakan-akan jiwaku sudah bermukim dalam keabadian… Puaskan jiwaku, bentuklah surga-Mu darinya, tempat tinggal-Mu yang terkasih dan tempat ketenangan-Mu. Aku tidak akan pernah membiarkan Engkau seorang diri di sana, tetapi aku akan hadir sepenuhnya, sepenuhnya sadar dalam iman, sepenuhnya penyembahan, sepenuhnya penyerahan kepada karya-Mu yang menciptakan.


Protestantisme: Sola Fide, Sola Scriptura, Sola Gratia, Predestinasi

Protestantisme awalnya merupakan suatu gerakan pembaharuan Gereja yang dilakukan oleh Martin Luther. Luther adalah seorang pastor dari ordo Santo Agustinus dan mengajar Kitab Suci di universitas Witenberg-Jerman. Ia seorang imam yang bersemangat dan saleh. Luther mendalami karya Agustinus terutama mengenai Teologi Rahmat. Puncak pencariannya akan Allah akhirnya sampai pada apa yang disebutnya sebagai “pengalaman menara.”

Ia memprotes Simonisme (penjualan harta rohani yaitu sakramen pengakuan) yang dilakukan Gereja pada waktu itu untuk pembangunan Basilika St. Petrus di Roma. Gagasan terkenal waktu itu adalah “sekeping uang yang diletakan pada kotak persembahan maka satu jiwa diselamatkan.” Puncak protes Luther ketika ia menempelkan 95 dalil di depan pintu masuk universitas Witenberg. Protes Luther terhadap Gereja didukung oleh raja-raja di Jerman yang tidak begitu senang terhadap Gereja. Gerakan pembaharuan ini akhirnya mengarah kepada perpisahan antara Gereja dan pengikut Luther yang melahirkan gereja-gereja Protestan. Gerakan ini dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Johanes Calvin, Swingli dan lain-lain. 

Ada empat pokok penting dalam teologi Luther yaitu: Sola Fide, Sola Scriptura, Sola Gratia dan ajaran tentang Predestinasi.

Sola Fide berarti “hanya iman.” Artinya manusia hanya bisa selamat melulu karena iman kepada Yesus Kristus, bukan karena perbuatan-perbuatannya sendiri. Dasar Kitab Suci dari gagasan ini terdapat dalam Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma 4:5;5:1;9:32;11:6-7. Iman itu sendiri pada gilirannya adalah semata-mata kasih karunia Allah (Sola Gratia). Lalu ungkapan Sola Scriptura yang berarti “hanya Alkitab” mau mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber penghayatan dan pengajaran iman. Ketiga ajaran ini mencerminkan perbedaan ajaran Protestan dan Katolik.

Menurut iman Katolik, kita memang dibenarkan Allah melulu karena iman bukan perbuatan kita, iman adalah anugerah semata. Namun begitu orang dibenarkan karena iman, orang juga dituntut untuk hidup sesuai dengan martabat Kristennya. Orang Kristen harus menghayati imannya dalam perbuatan atau tindakan yang nyata. Santo Yakobus mengatakan: “Iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati.” Lagi “iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong.” “Iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan iman menjadi sempurna” (Yak 2:21-22).

Akan tetapi di lain pihak perbuatan tanpa iman hanyalah kosong belaka. Setiap perbuatan orang Kristen akan memiliki nilai kalau dilakukan dalam iman. Paulus juga mengatakan: “kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar" (Flp 2:12). Jadi, keselamatan manusia merupakan hasil kerja sama antara Allah dan manusia meskipun pada awal mulanya Allah yang memulai keselamatan dalam diri kita. Singkatnya dapat dikatakan bahwa meskipun Gereja Katolik mengakui iman adalah anugerah dari Allah, namun usaha menusia sangat penting. Luther juga berpendapat bahwa kodrat manusia sama sekali telah dirusak oleh dosa asal, sehingga apa saja yang dilakukan manusia hanya dosa dan kebusukan belaka dan dengan demikian tidak memiliki nilai keselamatan.

Mengenai Sola Scriptura ajaran Katolik mengatakan bahwa selain Kitab Suci, Tradisi Suci juga merupakan sumber iman. Tradisi Suci merupakan bentuk Sabda Allah yang tidak dituliskan dalam kata-kata melainkan dihayati (sejak zaman para rasul hingga sekarang), dalam ibadat, ajaran, dan cara hidup Kristen. Tradisi Suci tidak tertulis dalam Kitab Suci tetapi dihidupi dalam keseharian dalam penghayatan iman sebagai orang Kristen.

Selain ketiga sola di atas perbedaan yang cukup tajam antara Protestan dan Katolik adalah mengenai ajaran “predestinasi.” Predestinasi berarti manusia sudah ditentukan untuk selamat atau dihukum (misal: Yoh 17:12, Rm 8:28). Ajaran ini dianut oleh Luther, bagi dia jemaat Gereja adalah orang-orang pilihan Tuhan untuk diselamatkan. Sebaliknya orang lain yang tidak dipilih Tuhan akan binasa. (ajaran ini membuat pengikut Luther tidak kenal kompromi dengan agama lain).

Ajaran predestinasi memiliki konsekuesi yang cukup besar terhadap perbuatan manusia. Apapun yang dilakukan manusia, walaupun itu baik tidak mendatangkan keselamatan kalau ia bukan orang pilihan Allah. Demikian juga sebaliknya perbuatan jahat yang dilakukan oleh orang pilihan Allah tidak membatalkan keselamatan sebab sejak awal ia ditentukan untuk diselamatkan. Itu semua bertentangan dengan iman Gereja Katolik.


Perkawinan Katolik

Perkawinan Katolik tidak terceraikan kecuali oleh kematian. Tidak ada alasan apapun yang memisahkan hubungan suami-istri yang sudah terikat oleh Sakramen Perkawinan yang sah (ratum) dan yang sudah disempurnakan dengan hubungan seks (et consomatum). Hanya kematian saja yang memisahkan perkawinan semacam itu.

Yang mungkin terjadi hanyalah pernyataan dari Gereja bahwa suatu perkawinan adalah tidak sah karena di kemudian hari terbukti ada halangan yang membuat perkawinan itu tidak sah. Contoh halangan ini adalah adanya paksaan secara fisik dan moril untuk menikah; paksaan besar ini menghilangkan kebebasan pribadi yang menjadi syarat mutlak untuk suatu perkawinan. Dalam hal ini sebenarnya tidak pernah ada sakramen perkawinan. Karena itu istilah yang dipakai dalam hal ini bukan “perceraian” melainkan pernyataan bahwa suatu perkawinan yang tidak sah. Kalau pun setelah perkawinan terjadi hal-hal buruk itu termasuk dalam risiko perkawinan.

Dasar Kitab Suci dari perkawinan Katolik yang tidak terceraikan ini adalah:

  1. “apa yang dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan manusia” (Mat 19:6).
  2. “Barang siapa menceraikan isterinya dan kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika isterinya menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain ia berbuat zinah,” (Mrk 10:11-12).
  3. “Cinta kasih suami isteri dari kodratnya menuntut kesatuan dan sifat tidak terceraikan dari persatuan pribadi mereka yang mencakup seluruh hidup mereka, mereka bukan lagi dua melainkan satu” (Mat 19:6).
  4. “Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam kesatuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji perkawinannya untuk saling menyerahkan diri seutuhnya” (Katekismus 1644).

Maka dari kodratnya, cinta perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak boleh diganggu gugat. Hal ini merupakan akibat dari penyerahan diri dalamnya suami isteri saling memberi diri. Cinta suami isteri tidak berlaku sementara, tetapi selamanya, sebagaimana cinta Tuhan terhadap manusia tidak pernah hanya sementara.

 
Pengakuan Dosa

Gereja Katolik mewarisi tradisi yang sekian abad lamanya yaitu mengenai pengakuan dosa. Pengakuan dosa merupakan suatu Sakramen sehingga nilainya begitu penting dalam iman kristiani. Bagi orang Katolik, pengakuan dosa harus dilakukan kepada seorang imam dan ini merupakan salah satu bentuk pelayanan imamatnya. Suatu realitas yang tidak dapat disangkal adalah bahwa semua manusia berdosa dan oleh dosa itu ia telah kehilangan kemuliaan Allah, hubungannya dengan Allah retak atau ia kehilangan kedamaiannya dengan Allah. Pengakuan dosa sebagai bagian hakiki dari Sakramen Tobat adalah sarana untuk mendamaikan manusia dengan Allah.

Banyak orang dewasa ini tidak mau mengakukan dosanya kepada seorang imam, melainkan langsung kepada Tuhan dengan mengutip teks ini, “jika kita mengaku dosa kita maka Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan kita” (1Yoh 1:9).

Memang benar apa yang dikatakan ayat ini. Akan tetapi Sakramen Tobat mempunyai dasarnya pada ayat-ayat lain. Ternyata Tuhan Yesus memberi kuasa “mengikat dan melepas” kepada Petrus (bdk. Mat 16:19) dan rasul-rasul lain (bdk. Mat 18:18). Lebih jelas lagi dikatakan, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya akan diampuni dan jikalau kamu mengatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:23).

Maka berdasarkan ayat-ayat ini sejak dahulu pengampunan dosa melalui para petugas Gereja. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak saling memaafkan. Memaafkan sesama mutlak perlu sebagai tindakan kongkrit dari pertobatan kita.

Kasus lain adalah ada orang yang sudah sekian lama tidak mau mengakukan dosanya kepada imam karena takut rahasianya dibongkar. Dalam hal ini Gereja sangat ketat terhadap imam yang membocorkan rahasia pengakuan. Gereja akan mengekskomunikasi seorang imam yang membocorkan rahasia pengakuan. Karena itu menerimakan pengakuan dosa adalah tugas yang sangat mulia, namun memiliki tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang imam.

Lalu apa bedanya mengaku dosa langsung kepada Tuhan dan mengaku dosa lewat Sakramen Pengakuan Dosa melalui seorang imam? Perlu diketahui, dosa tidak hanya melukai hubungan Tuhan dengan si pendosa, tetapi juga dengan Gereja. Karena Gereja itu satu tubuh maka dosa salah seorang anggotanya merugikan kesucian seluruh Gereja. Maka Tuhan menghendaki agar manusia tidak hanya berdamai dengan-Nya, tetapi juga dengan Gereja. Dalam hal ini imam mewakili Tuhan dan Gereja. Untuk itu Tuhan memberi Gereja kuasa untuk memberi pengampunan dosa, "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu mengatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:22-23).

 

DOSA ASAL

Dosa asal (dosa warisan) adalah dosa yang diwariskan oleh manusia pertama kepada seluruh umat manusia. Ajaran mengenai dosa asal berdasar pada Roma 5:12-21 yang antara lain berbunyi, “Sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan oleh dosa itu juga maut, demikian maut telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berdosa” (Rm 12). “Oleh ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa” (Rm 19).

Di sini manusia digambarkan sebagai satu tubuh yang ikut merasakan nasib nenek moyangnya. Dengan kata lain ada semacam solidaritas di antara umat manusia. Di satu sisi dosa asal berupa hilangnya rahmat persekutuan mesra antara manusia dan Allah yang pernah dinikmati manusia pertama sebelum berdosa. Di pihak lain dosa asal berupa kecenderungan kodrat manusia untuk berbuat dosa. Keselarasan yang mereka miliki sudah rusak, kekuasaan kemampuan-kemampuan rohani dari jiwa atas badan dipatahkan. Keselarasan dengan ciptaan rusak, ciptaan menjadi asing dan bermusuhan dengan manusia. Akhirnya akan jadilah akibatnya, yang telah diramalkan jelas sebelum manusia pertama jatuh ke dalam dosa: manusia adalah debu dan akan kembali menjadi debu (Kej.3:19). Maut memasuki sejarah umat manusia (Katekismus 400).

Mengapa dosa Adam menjadi dosa bagi semua keturunannya? Dalam Adam seluruh umat manusia bersatu “bagaikan tubuh yang satu dari seorang manusia individual” (St. Thomas Aquinas). Karena kesatuan umat manusia ini, semua manusia terjerat dalam dosa Adam, sebagaimana semua terlibat dalam keadilan Kristus. Akan tetapi penerusan dosa adalah suatu rahasia yang tidak dapat kita mengerti sepenuhnya. Namun melalui wahyu kita tahu bahwa Adam tidak menerima kekudusan dan keadilan asli untuk dirinya sendiri, tetapi untuk seluruh kodrat manusia.

Dengan menyerah kepada penggoda, Adam dan Hawa melakukan dosa pribadi, tetapi dosa ini menimpa kodrat manusia yang selanjutnya diwariskan dalam keadaan dosa. Dosa ini diteruskan kepada seluruh umat manusia melalui pembiakan, yaitu melalui penerusan kodrat manusia yang kehilangan kekudusan dan keadilan asli. Dengan demikian dosa asal adalah “dosa” dalam arti analog: ia adalah dosa yang orang “menerimanya”, tetapi bukan melakukannya, suatu keadaan, bukan perbuatan (Katekismus 404).

Akibat dosa asal, manusia kehilangan kekudusan dan keadilan asli, namun kodrat manusia tidak rusak sama sekali, tetapi hanya dilukai dalam kekuatan alaminya. Ia takluk pada kelemahan pikiran, kesengsaraan dan kekuasaan maut dan condong kepada yang jahat. Kecondongan kepada yang jahat ini dinamakan “concupiscentia.”


PERSOALAN TAKDIR

Dalam masyarakat kita, seringkali kita mendengar tentang takdir atau nasib. Takdir atau nasib menurut pandangan kebanyakan orang adalah segala sesuatu yang menimpa manusia kerena sudah ditentukan lebih dahulu oleh Tuhan, sehingga manusia dalam hal ini tidak berdaya. Persoalannya adalah apakah ajaran Katolik menerima atau percaya pada takdir? Atau bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap hal ini? Takdir atau nasib jelas tidak bisa kita terima.

Seandainya diterima maka kita akan menemukan beberapa fakta berikut ini: seandainya saya sudah ditentukan untuk masuk surga maka apa pun yang saya lakukan baik atau buruk tidak ada gunanya, sebab toh saya masuk surga, sebaliknya seandainya saya ditakdirkan untuk masuk neraka, apa saja yang saya lakukan baik atau buruk tidak ada gunanya sebab saya toh akan masuk neraka. Takdir mirip dengan ajaran predestinasi dalam Gereja Protestan.

Jikalau Tuhan menentukan segalanya terlebih dahulu secara sepihak, di manakah kebebasan dan tanggungjawab manusia? Kalau ada seseorang yang mengalami kecelakaan di jalan karena ia sangat ceroboh, apakah itu karena ditakdirkan Tuhan? Kalau seorang anak lahir cacat karena saat ia dikandung, ibunya sering minum minuman keras apakah itu karena takdir? Tidak! Ini adalah kesalahan manusia atau bencana. Memang Tuhan memiliki peranan dalam segala sesuatu, ia bisa membuat sesuatu terjadi namun bisa juga mencegahnya. Misalnya ada orang yang berusaha sembuh dari penyakit, tetapi kalau Tuhan tidak mengijinkannya, ia tidak akan sembuh.

Dalam Kitab Suci, kita melihat dua hal yang kelihatannya bertolak belakang. Di satu sisi Yesus tahu bahwa Yudas akan mengkhianati-Nya. Manurut Injil Yohanes 6:64, Yesus tahu dari semula siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia. Dalam Injil Yohanes 17:12, Yesus berdoa demikian:

“Aku telah menjaga mereka dan tidak ada seorang pun dari mereka yang akan binasa, selain dari pada dia yang telah ditentukan untuk binasa supaya genaplah apa yang tertulis dalam Kitab Suci.”

Ayat ini sulit sekali dan dapat dipakai sebagai dasar untuk paham bahwa Tuhan sudah menentukan nasib manusia. Namun di sisi lain tampak kebebasan dan tanggungjawab Yudas, sebab menurut Injil Lukas 22:6 Yudas berunding dengan para imam kepala dan setuju dengan pembayaran yang dia terima sebagai upah atas pengkianatannya. Persetujuan Yudas mengandaikan kebebasan dan tanggung jawab.

Maka sebagai kesimpulan: dari satu sisi, tidak bisa kita terima bahwa Tuhan menentukan segala-galanya, sehingga manusia menjadi seperti robot saja. Peran manusia cukup penting walaupun Tuhan pada akhirnya yang menentukan. Di sisi lain Tuhan juga sudah mengetahui apa yang akan terjadi dan untuk hal-hal tertentu Tuhan memang campur tangan.


HIRARKI GEREJA

Semua umat beriman mengenakan imamat umum karena pengurapan Roh Kudus dalam Sakremen Permandian dan Sakramen Penguatan. Karena itu setiap orang beriman mengambil bagian dalam tiga tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Di samping imamat umum, ada juga yang disebut dengan imamat khusus atau imamat jabatan atau imamat pelayanan (ministeria). Mereka ini dipilih khusus oleh Kristus, seperti Ia memilih keduabelas rasul-Nya untuk melakukan tugas-tugas seperti mewartakan Injil (nabi), memimpin jemaat (raja) dan menguduskan (imam).

Dalam Tradisi Kristen dan menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang termasuk dalam imamat pelayanan ini adalah uskup, imam dan diakon (KHK 330-572). Imamat mereka disebut dengan imamat sakramental untuk membedakannya dari imamat umum. Imamat ini diperoleh melalui tabisan, karena itu sakramen imamat mengenal tiga tingkatan tabisan yaitu tabisan diakon, tabisan imam dan tabisan uskup dan bersama-sama merupakan pemerintahan Gereja (Hirarki Gereja).

Imamat ini bukan pangkat atau jabatan untuk mata pencaharian melainkan suatu penyerahan diri yang total kepada kepentingan-kepentingan Kristus dan Gereja-Nya. Imamat ini mengikat orang seumur hidup. Ia menjadi pelayan umat dalam menerimakan sakramen-sakramen dan dalam segala kewajiban sebagai pewarta dan pemimpin. 

Agar seorang imam memberikan diri seluruhnya kepada Kristus dan umat-Nya Gereja menuntut dari seorang calon imam janjinya untuk tidak menikah seumur hidup (selibat). Memang peraturan ini bukan berasal dari Kristus, tetapi dari Gereja yang berpedoman pada nasihat Santo Paulus bahwa orang yang tidak menikah karena Kerajaan Allah lebih bebas untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Kerajaan Allah itu dan untuk pelayanan kepada umat Allah. Karena selibat adalah syarat dan perintah Gereja maka Gereja dapat melepaskan seorang imam dari janjinya itu sehingga ia menjadi seorang awam dan dengan kembali ke status awam, juga dapat menikah.

IMAM PEREMPUAN

Berkaitan dengan panggilan menjadi imam, dewasa ini sering ditanyakan, mengapa perempuan tidak boleh menjadi imam, padahal dari segi kemampuan tidak kalah dengan laki-laki.  Menurut paham Gereja Katolik perempuan tidak diperkenankan menjadi imam. Alasan yang diajukan bukan karena wanita tidak berbakat untuk menjadi pemimpin melainkan karena Tradisi Suci yang berlangsung turun-temurun, yaitu karena Yesus sendiri memilih para utusan atau rasul yang mewakili-Nya  dari antara kaum pria saja. Di satu sisi Yesus memberikan tempat istimewa kepada perempuan. Ini satu hal yang luar biasa yang belum pernah terjadi pada jaman sebelum Yesus. Misalnya di antara yang mengikuti Yesus beberapa kaum wanita (Luk 8:3). Ini sesuatu yang revolusioner dalam kebudayaan Yahudi. Bagi orang Yahudi, perempuan tidak boleh mempelajari Taurat, apalagi menjadi murid seorang rabi. Dalam Injil, wanita digambarkan secara amat positif, mereka itu setia, tulus dan berani. Bahkan secara istimewa mereka diberi kesempatan sebagai orang pertama melihat Yesus yang bangkit (Mat 28:9-10), merekalah yang setia sampai di kaki salib Tuhan (Yoh 19:25-27).

Kendati pun demikian, Yesus tidak memilih mereka menjadi rasul-rasulnya. Karena itu Gereja menyimpulkan bahwa tugas menjadi imam adalah untuk laki-laki, bukan karena wanita itu lebih rendah dari pada pria malainkan karena itulah kehendak Yesus. Lagi pula harus diingat bahwa panggilan menjadi imam bukanlah sesuatu yang paling tinggi yang harus dikejar-kejar. Ingat, Bunda Maria adalah seorang perempuan, ia sempurna dalam melaksanakan kehendak Allah, ia jauh lebih suci dari para rasul, namun ia tidak pernah dipilih menjadi rasul. Maria tidak pernah menjadi imam.

Kaum perempuan toh memiliki panggilan khusus dalam Gereja yang menurut Yohanes Paulus II “bagaikan ragi bagi kemajuan umat manusia dan sejarah umat manusia.” Lebih lanjut Yohanes Paulus II melihat “karisma perempuan tidak hanya pada keibuan mereka, dalam arti kemampuan melahirkan. Panggilan khsusus perempuan dapat dilihat pada kepedulian mereka, keterbukaan hati dan telinganya serta solidaritasnya. Kekayaan seorang perempuan adalah semangat pengurbanan tanpa pamrih, ketabahan yang tiada batas, keteguhan hati yang tidak tergoyahkan. Di mana pria tidak mampu bertahan di sana wanita sanggup berdiri. Di mana pria tidak mampu melayani di sana wanita akan masuk dan masuk lebih jauh memberikan hati dan cinta abdinya.” Demikian panggilan khusus perempuan dalam Gereja menurut Paus Yohanes Paulus II.


BERDOA KEPADA PARA KUDUS

Kadang-kadang dipertanyakan mengapa orang Katolik berdoa kepada orang kudus (Bunda Maria, Santo-Santa dan Malaikat). Mengapa tidak langsung kepada Allah atau kepada Yesus sebagai satu-satunya pengantara?

Ada beberapa hal untuk menanggapi persoalan tersebut di atas, yaitu: bahwa doa seseorang bisa berguna bagi orang lain. Paham ini sudah diterima secara umum dan dikenal dengan doa syafaat. Bahwa kita pun dapat minta kepada orang lain supaya berdoa bagi kita. Jadi kita tidak selalu minta langsung kepada Allah. Bahwa doa orang benar sangat besar kuasanya (Yak 5:16).

Dengan ketiga paham ini maka praktek doa kepada orang kudus dapat dibenarkan. Mengapa? Karena Maria dan para kudus adalah anggota-anggota Gereja juga (Gereja bahagia di surga). Setelah mereka meninggal dunia, mereka bersatu dengan Kristus di surga, Mereka tetap saudara-saudari kita, anggota satu keluarga Allah. Mereka tidak jauh dari kita, malainkan malah dekat dengan kita. Maka dari itu, jika kita bisa mohon kepada sesama manusia di dunia ini, mengapa kita tidak boleh berdoa atau lebih tepat minta didoakan oleh Bunda Maria dan para kudus? Kita yakin doa-doa mereka sangat besar kuasanya, sebab mereka itu orang-orang kudus yang lebih dekat dengan Allah.

Perlu diingat bahwa berdoa kepada orang kudus sebenarnya berupa permohonan supaya mereka meminta rahmat khusus bagi kita kepada Allah. Jadi para kudus adalah pengantara kita kepada Kristus (atau kepada Allah). Ini tidak mengurangi nilai Kristus sebagai satu-satunya pengantara antara manusia dan Bapa. Bukankah orang Kristen non-Katolik berdoa langsung kepada Bapa di surga. Apakah dengan berdoa langsung kepada Allah Bapa,mereka mau mengurangi peranan Kristus sebagai pengantara? Tidak bukan?


ABORSI & EUTANASIA

a. Aborsi

Perdebatan tentang Aborsi tidak pernah berakhir. Ada dua kelompok yang bertikai, yaitu kelompok “ pro choise” dan kelompok “pro live.” Kelompok pro choise menyetujui legalisasi aborsi. Sedikitnya ada dua alasan yang mereka kemukakan yaitu bahwa manusia adalah mahluk bebas yang mengatur dirinya sendiri termasuk mengenai tindakan abortif. Alasan kedua berkaitan dengan awal kehidupan manusia. Kapan manusia disebut manusia? Sedangkan kelompok pro live menentang legalisasi aborsi. Kelompok ini melihat bahwa manusia disebut manusia ketika ia masih berada dalam kandungan ibunya, ketika terjadi pertemuan sel telur dan sperma. Karena itu kelompok ini berusaha untuk memperjuangkan kehidupan manusia terutama janin.

Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ajaran Iman, 2005 mengatakan:

Tradisi Gereja selalu mengajarkan bahwa hidup manusia harus dilindungi sejak awal maupun dalam aneka tahap proses perkembangannya. Dalam Didache (bentuk pengajaran yang bukan Injil yang berasal dari abad pertama) dikatakan: jangan membunuh buah rahimmu dengan aborsi dan jangan membunuh anakmu yang sudah lahir (art. 5).


Jadi tradisi larangan aborsi sudah ada sejak abad-abad pertama, bahkan sudah dikenal pada Jaman filsaat Yunani kuno. Salah satu isi sumpah Hippokrates (Filsuf Yunani kuno) yang terkenal dengan sumpah kedokteran adalah larangan untuk melakukan aborsi bagi para dokter.

Menurut Santo Thomas, aborsi merupakan dosa berat, karena bertentangan dengan hukum kodrati. Maka Konsili Vatikan II menolak keras aborsi: “Kehidupan harus dilindungi dengan amat seksama sejak pembuahan, aborsi dan pembunuhan anak adalah kejahatan yang durhaka (art. 7). Hak pertama bagi manusia adalah hak hidup. Kehidupan itu harus dilindungi. Maka dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makluk baru, yang tumbuh sendiri. Tidak pernah ia menjadi manusia, jikalau ia tidak sudah manusia sejak awal (art. 12).

Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae mengatakan, “Di antara semua kejahatan yang dapat dilakukan manusia melawan kehidupan, aborsi mempunyai ciri-ciri yang membuatnya menjadi amat berat dan durhaka. Yang dibunuh di sini ialah manusia, yang baru memulai kehidupan, artinya mutlak sama sekali tidak bersalah: hidup itu tidak pernah dapat dianggap sebagai penyerangan, apalagi penyerangan yang tidak adil! Ia lemah, tidak dapat membela diri sendiri, sehingga tanpa sedikit pun perlindungan, seperti nyata dari jeritan tangis anak yang baru lahir. Ia sepenuhnya diserahkan kepada perlindungan dan perawatan orang yang mengandungnnya. Akan tetapi kadang-kadang justru dialah, ibunya, yang memutuskan kematiannya, mencari aborsi dan melaksanakannya (art. 58). Manusia sejak pembuahan harus dihormati dan diperlakukan sebagai pribadi maka sejak itu hak-hak pribadi manusia harus diakui, dan hak pertama yang tidak dapat diganggu gugat ialah hak atas hidup, yang dimiliki setiap manusia tidak bersalah.” Karena itu perintah Allah “jangan membunuh”, juga diterapkan dalam hidup yang belum lahir.


b. Eutanasia

Aborsi berkaitan dengan awal kehidupan manusia sedangkan Eutanasia berkaitan dengan akhir kehidupan manusia. Kedua-duanya merupakan “budaya maut” (Culture of  Dead). Eutanasia secara etimologis berarti kematian tanpa penderitaan, tanpa rasa sakit yang berlebihan. Maka Eutanasia berarti kematian “bahagia.”

Dewasa ini arti eutanasia berkaitan dengan intervensi kedokteran untuk mengurangi rasa sakit penyakit atau pergumulan dengan kematian dan kadang-kadang ada bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Akhirnya istilah ini dipakai dalam arti yang lebih sempit yakni “membunuh karena kasihan” dengan maksud mengakhiri rasa sakit yang ekstrem, atau untuk tidak memperpanjang penderitaan anak-anak dengan cacat kelahiran, orang sakit tidak tersembuhkan, orang sakit jiwa, atau orang tua yang secara ekonomis tidak produktif lagi dan membebani keluarga dan masyarakat.

Apa pun artinya, Eutanasia jelas melanggar hukum ilahi, melecehkan martabat pribadi manusia, kejahatan melawan kehidupan dan serangan terhadap umat manusia. Allah adalah pencipta kehidupan maka hanya Dia yang berhak mengakhiri kehidupan ciptaan-Nya. Dalam hal ini manusia tidak mempunyai hak.

Tugas manusia adalah melindungi dan menghormati kehidupan yang telah diciptakan Allah. Orang sakit memerlukan kasih, perhatian, kehangatan, pendekatan manusiawi dan adikodrati yang dapat dan harus diberikan semua orang dekat, orang tua dan anak-anak, dokter dan perawat. Bagaimana kalau pasien sendiri yang meminta untuk dieutanasia? Menurut ajaran Gereja, orang tidak boleh menafsirkan permintaan mendesak orang sakit berat yang meminta kematian sebagai kemauan untuk dieutanasia, karena hampir selalu itu berarti jeritan cemas, minta tolong dan kasih (Eutanasia, hlm. 9).

Membahas persoalan Eutanasia Evangelium Vitae diawali dengan menampilkan hak Allah. “Akulah yang membunuh dan menghidupkan” (Ul 32:39). Maka melakukan tindakan Eutanasia berarti membuat diri manusia menjadi tuan atas kematian dengan mendatangkannya sebelum waktunya dan dengan demikian mengakhiri kehidupan diri sendiri atau orang lain tanpa penderitaan (Evangelium Vitae, 64).

Eutanasia harus dianggap sebagai belas kasih yang keliru karena belas kasih sejati  adalah sikap solider dengan penderitaan sesama dan tidak membunuh orang yang penderitaannya tidak tertahankan. Jalan kasih dan belaskasihan sejati yang diperintahkan kemanusiaan bersama kita dan lebih jelas dengan alasan baru oleh iman kepada Kristus, penebus yang telah wafat dan bangkit. Paulus mengatakan, “Tidak seorang pun hidup bagi dirinya sendiri, kalau kita hidup, kita hidup bagi Tuhan dan kalau kita mati, kita mati bagi Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan” (Rm 14:7-8).

Kepastian mengenai keabadian mendatang dan harapan akan kebangkitan yang dijanjikan menerangi misteri penderitaan dan kematian dan memenuhi kaum beriman dengan daya istimewa, untuk menyerahkan diri kepada rencana Allah (EV, 67).


PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

Beberapa negara dewasa ini telah melegalkan perkawinan sesama jenis atau yang disebut dengan perkawinan homoseksual. Sampai saat ini Gereja Katolik menentang keras perkawinan ini. Kongregasi untuk Ajaran Iman tahun 2003 mengeluarkan sebuah dokumen yang berkaitan dengan “Homoseksualitas.” Dokumen ini menentang keras pembuat undang-undang di beberapa negara yang melegalkan perkawinan homoseksual. Alasan Gereja menentang perkawinan ini karena berlawanan dengan ajaran Kitab Suci.

"Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar-Nya diciptakannya dia; laki dan perempuan diciptakannya mereka. Allah memberkati mereka dan berfirman: beranakcucu dan bertambah banyak" (Kej 1:27-28).

"Tidak baik kalau manusia itu seorang diri. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia” (Kej 2:18).

Allah menciptakan manusia dengan kodrat seksualnya sebagai laki-laki dan perempuan dan “seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej.2:24) Homoseksualitas juga berlawanan dengan hukum kodrat dan keutamaan kemurnian, karena ia menyalahkan kemurnian seksualitasnya yang harus ditunjukan kepada lawan jenisnya; bukan sesama jenis! Perbuatan ini tidak dapat dibenarkan dan secara moral tidak baik (Persona Humana, 8).

Manusia homoseksual atau yang memiliki kecenderungan ke arah itu dipanggil untuk hidup murni, yaitu melalui kebajikan pengendalian diri yang mendidik menuju kemerdekaan batin. Maka mereka harus hidup dalam pertobatan terus-menerus, mendekatkan diri kepada Tuhan melalui doa dan rahmat sakramental sedikit demi sedikit membawa mereka kepada kesempurnaan hidup Kristen.

Secara sosial orang-orang semacam ini seringkali dipojokkan, diejek atau tidak diterima oleh masyarakat umum. Maka sebagai orang kristen kita harus menerima mereka dengan kehangantan cinta. Mereka tidak boleh dipojokkan dengan suatu cara yang tidak adil. Tuhan tidak pernah menolak mereka sebab “mereka itu juga dipanggil untuk diselamatkan dan untuk memenuhi kehendak Allah dalam kehidupannya dan kalau mereka itu orang Kristen, supaya mereka mempersatukan kesulitan-kesulitan yang mereka alami dengan kurban salib Kristus” (Katekismus, 2359).

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting