Print
Hits: 15160

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Apa itu “Purgatorium?”

Istilah bahasa Latin purgatorium atau dalam bahasa Inggris purgatory diterjemahkan dengan api penyucian. Istilah tersebut memperlihatkan situasi manusia sesudah kematian, suatu keadaan ketika seseorang berada di antara surga dan neraka. Kesamaan dengan neraka terungkap dengan kata “Api”, namun perbedaan dengan neraka adalah purgatorium bukan dalam arti hukuman abadi melainkan persiapan untuk masuk surga. Di satu pihak, jiwa-jiwa dalam api penyucian mati dalam rahmat karena itu mereka termasuk anggota surga. Tetapi di lain pihak, masih ada dosa-dosa ringan tertentu yang menghalangi mereka masuk ke dalam surga (Dister, 2004: 599-600). Itulah sebabnya Gereja mengajarkan: “Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan suatu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga” (KGK, 1030).

Purgatorium sebelum kematian

Selain purgatorium sesudah kematian, Gereja juga mengakui adanya purgatorium sebelum kematian. Yang dimaksud dengan purgatorium sebelum kematian adalah suatu keadaan ketika seseorang telah mengalami pemurnian yang mendalam selama hidupnya di dunia sehingga ia tidak perlu lagi menjalani purgatorium sesudah kematian, yaitu api penyucian. Sekalipun ia masih mengalami api penyucian sesudah kematian, biasanya tidak berlangsung lama. Jiwa-jiwa yang suci dan saleh sesudah kematiannya langsung masuk ke dalam kebahagiaan surga (bdk. S. Yohanes dari Salib, Malam Gelap, buku II, bab VI, no. 6).

Dalam Ensiklik Spe Salvi (dalam pengharapan kita diselamatkan), Bapa Suci Benediktus XVI dengan mengutip ajaran S. Agustinus mengajarkan: “Manusia diciptakan bagi keagungan - bagi Allah, dia diciptakan untuk dipenuhi oleh Allah” (no. 33). Betapa luhur dan mulia panggilan manusia ini. Namun, akibat dosa asal, yakni kecenderungan yang tak teratur terhadap dosa dan kejahatan, dia kerapkali jatuh ke dalam dosa-dosa dan hal ini merupakan hambatan serta rintangan untuk mengalami kasih Allah. Akan tetapi,kita meyakini kebenaran iman yang diajarkan oleh S. Yohanes Rasul: “Betapa besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Di dalam Kristus, manusia menerima pengampunan atas dosa-dosanya dan keselamatan yang kekal dari Allah Bapa surgawi.

Allah menanamkan kerinduan di kedalaman hati manusia sehingga jiwa mencari, mengejar, dan mengasihi Dia di atas segala sesuatu (bdk. Garrigou-Lagrange, 1991: 30-36). Pada saat itu jiwa mulai mengalami pertobatan, meninggalkan dosa-dosa kendati ia masih jatuh bangun dalam kelemahan, dan menyingkirkan hambatan-hambatan yang membawanya pada dosa ini. Keadaan ini disebut dengan pemurnian pasif inderawi. Dalam pemurnian ini, Allah membawa jiwa untuk menanggalkan penghiburan rohani, maupun kesenangan-kesenangan pada bidang inderawi (panca indera) serta kenikmatan-kenikmatan fantasi dan imajinasi.

Apabila jiwa semakin bertumbuh dan berkembang dalam iman, pengharapan, dan kasih, sikap yang diambilnya ialah “melupakan segala sesuatu yang mengganggunya, memelihara damai batin, dan menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah” (S. Yohanes dari Salib, Malam Gelap, buku I, bab 10, no. 3-4 dan 6). Dia terus berkembang dalam hidup rohani dan Allah akan menempatkan pada pemurnian yang lebih dalam, mengerikan, dan amat gelap. Dalam pemurnian tersebut, di satu sisi jiwa akan mengalami penderitaan yang amat menyakitkan, namun di lain sisi dia dibersihkan, disembuhkan, dan dimurnikan dari cacat cela serta kelemahannya. Dia mengalami persiapan menuju persatuan yang amat mesra dengan Allah.

Pemurnian ini disebut dengan istilah pemurnian pasif rohani, suatu pemurnian yang dikenal dengan purgatorium sebelum kematian. Pemurnian ini hanya dialami beberapa orang saja, karena memang sesuai dengan panggilan yang khusus dari Allah dan Allah sendiri secara istimewa membawa orang pada pemurnian ini agar dia mencapai persatuan yang mesra dengan Allah. Pemurnian ini ditandai dengan pencobaan yang amat berat,misalnya ditinggalkan oleh orang yang dikasihinya atau bahkan oleh Allah sendiri tanpa tahu sebabnya, mengalami fitnah serta kesulitan besar karena sesama,dan penderitaan besar lainnya.

Dalam keadaan ini, Tuhan menganugerahkan rahmat yang besar bagi jiwa-jiwa yang mengalaminya, sebuah“Kematian mistik”, yaitu kematian atas dirinya, kematian atas egoisme dan cinta dirinya, penyembuhan atas kesombongan dan kerakusan khususnya pada bidang rohani yang menjadi akar dan penyebab cacat cela, dan kelemahan yang lain. Pada saat itu juga jiwa menerima anugerah “Teologi mistik”, suatu pengenalan akan Allah yang melampaui segala pengertian karena Allah menganugerahkan cinta kasih dan kebijaksanaan-Nya yang melampaui apa yang dapat dipikirkan manusia (Malam Gelap, buku II, bab 5, no. 1).

Pemurnian sebelum kematian ini dialami oleh para kudus besar seperti S. Theresia dari Kanak-kanak Yesus yang mengalami pencobaan yang besar bahkan juga pada saat terakhir hidupnya.Demikian juga S. Vincensius a Paulo yang mengalami fitnah dan kesulitan besar dari salah satu imamnya dan S. Paulus dari Salib yang selama 45 tahun mengalami pencobaan dan penderitaan besar sebagai kurban bagi keselamatan jiwa-jiwa, dunia, dan rencana Allah dalam hidupnya untuk mendirikan Kongregasi Passionis.

Bagi S. Yohanes dari Salib, pemurnian sebelum kematian ini merupakan persiapan panjang sebelum jiwa menerima anugerah persatuan dengan Allah.Keadaan ini disamakan dengan “api penyucian” (purgatorium sesudah kematian). Hanya perbedaannya terletak pada sarana pemurniannya, yaitu apabila dalam api penyucian jiwa akan dimurnikan oleh api yang gelap, sedangkan dalam purgatorium sebelum kematian selama hidupnya di dunia ini dia akan dimurnikan oleh api cinta kasih” (Malam Gelap, buku II, bab 12, no. 3).

“Jiwa yang mengalami penderitaan-penderitaan pada waktu ini tidak dapat dibayangkan; penderitaan-penderitaan ini mirip dengan penderitaan-penderitaan di api penyucian. Betapa dahsyatnya pencobaan ini dan betapa dalamnya penderitaan yang dialami jiwa pada keadaan ini” (Nyala Cinta yang Hidup, Stanza I, no. 21). “Penderitaan ini menyerupai penderitaan di api penyucian. Seperti jiwa-jiwa menderita di api penyucian akan memandang wajah Allah dari muka ke muka dalam hidup selanjutnya, demikian juga jiwa-jiwa yang mengalami penderitaan ini selama di dunia ini akan diubah ke dalam Allah melalui cinta dalam hidup ini” (Nyala Cinta yang Hidup, Stanza I, no. 24).


Purgatorium sesudah kematian

Setelah kita memahami ajaran tentang purgatorium sebelum kematian, kita akan mengenal pula ajaran Gereja tentang purgatorium sesudah kematian atau lebih kerap disebut purgatorium, api penyucian, dalam arti sesungguhnya. Dalam bagian ini kita mau mengerti dengan baik bagaimana jiwa-jiwa yang mati dalam rahmat Allah namun belum cukup dimurnikan dari dosa-dosanya? Untuk dapat mendalami hal ini, kita akan menelusuri sumber-sumber iman Gereja, yaitu Kitab Suci dan ajaran Bapa Gereja mengenai purgatorium (api penyucian).

Kitab Suci memang tidak menyebutkan secara eksplisit ajaran tentang purgatorium, namun secara implisit baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru menunjukkan ajaran tersebut (Garrigou-Lagrange, 1991: 150-153). Perjanjian Lama menyebutkan bahwa menurut iman bangsa Israel, Yudas Makabe mengumpulkan orang-orang Israel untuk mempersembahkan kurban penebus salah untuk semua orang yang telah mati, supaya mereka dilepaskan dari dosa-dosa mereka. Inilah suatu perbuatan yang saleh dan baik untuk mendoakan orang-orang yang mati (bdk. II Mak. 12:45). S. Thomas Aquinas meneguhkan ajaran ini bahwa orang Kristen tidak diajarkan untuk mendoakan orang-orang yang berada di surga maupun yang berada di neraka, tetapi kami percaya bahwa jiwa-jiwa dalam purgatorium dimurnikan untuk menebus dosa-dosanya karena mereka tidak menebusnya selama masih hidup di dunia.

Kemudian dalam Perjanjian Baru diajarkan bahwa “dosa melawan Roh Kudus tidak akan diampuni baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang” (bdk. Mat. 12:32). Kebenaran iman ini menegaskan bahwa adanya dosa-dosa tertentu yang diampuni sesudah kematian, tetapi bukan dosa maut. Ini berarti menunjuk pada dosa-dosa ringan, atau dosa-dosa maut yang telah diampuni tetapi belum sepenuhnya ditebus. Ajaran ini semakin jelas jika mengikuti tulisan S. Paulus: “Kamu adalah bangunan Allah . . . dasarnya . . . adalah Kristus Yesus. Sekarang, bila seorang membangun dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, pekerjaan setiap orang akan nampak. Dan api akan menguji pekerjaan setiap orang.” (bdk. 1 Kor 3:10 - 15). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa setiap orang yang bekerja membangun di atas dasar Yesus Kristus akan menerima ganjaran, yaitu keselamatan namun hanya melalui api.

Para Bapa Gereja memandang teks ini sebagai ajaran purgatorium, yaitu Origenes, Basilius, S. Sirilus dari Yerusalem, S. Hieronimus, S. Ambrosius, S. Agustinus dan S. Gregorius Agung. Ayat 14 dan 15 merujuk pada api penganiayaan dan pengadilan terakhir. Bagi S. Thomas Aquinas teks ini menunjukkan suatu bangunan yang didirikan di atas dasar, yaitu Kristus.Adapun pekerjaan-pekerjaan baik dibandingkan dengan emas, perak, dan batu permata. Sedangkan dosa-dosa ringan dibandingkan dengan kayu, rumput kering, dan jerami. Pada Hari Tuhan Allah menyatakan pengadilan-Nya, yaitu atas semua penganiayaan di dunia, pengadilan khusus sesudah kematian, dan pengadilan terakhir. Maksudnya ialah api akan menguji dan memurnikan seluruh penderitaan di bumi, kemudian dalam purgatorium,dan terakhir pada saat pengadilan terakhir.

Dalam Tradisi Gereja perkembangan ajaran purgatorium terbagi atas dua periode, yaitu abad I - IV dan sesudah abad IV. Pada abad I - IV ajaran tentang purgatorium telah diteguhkan atau paling sedikit secara implisit, misalnya melalui praktik doa umum dan kurban bagi orang yang telah meninggal dunia. Kenyataan konkret ini dapat dijumpai dalam ajaran dan kehidupan Tertulianus, S. Efrem, S. Sirilus dari Aleksandria, S. Epifanius, dan S. Yohanes Krisostomus. Demikian juga dalam liturgi kuno menunjukkan adanya praktik doa dan kurban bagi orang yang telah meninggal dunia. Selain itu baik Gereja Timur maupun Barat mengakui keberadaan sebuah tempat atau keadaan dimana jiwa-jiwa yang belum cukup dimurnikan mengalami penghukuman atas dosa-dosa mereka. Tentu saja doa, kurban, dan Misa bagi orang yang telah meninggal dunia tidak pernah ditujukan bagi mereka yang telah dikutuk dalam neraka ataupun jiwa-jiwa yang sudah bahagia di surga.

Pada periode berikutnya, yaitu sesudah abad IV S. Agustinus, S. Kaesarius dari Arles, S. Gregorius Agung mengembangkan ajaran purgatorium sehingga semakin jelas dan eksplisit. Para Bapa Gereja menegaskan adanya hukuman-hukuman api yang berkobar-kobar, yang dialami jiwa-jiwa dalam purgatorium karena selama hidup di dunia dosa-dosanya belum cukup dimurnikan. Ada empat kebenaran yang dirumuskan para Bapa Gereja mengenai purgatorium. Pertama, sesudah kematian tidak ada kemungkinan dari pihak manusia untuk menebus dosa dan kesalahan mereka. Kedua, purgatorium adalah suatu tempat dimana jiwa-jiwa mengalami berbagai penderitaan sementara karena dosa-dosa mereka. Ketiga, jiwa-jiwa ini dapat ditolong melalui doa-doa manusia yang masih hidup di dunia, khususnya melalui kurban Ekaristi. Keempat, purgatorium akan berakhir pada saat pengadilan terakhir pada akhir zaman.

Pada abad-abad berikutnya, ajaran purgatorium dan liturgi bagi orang yang telah meninggal dunia semakin dikembangkan dan disempurnakan mulai dari Konsili Kedua Lyons, Florence, dan Trente. Yang menarik dari pernyataan Konsili Trente adalah purgatorium tidak digambarkan sebagai hukuman. Sebaliknya tekanan ada pada bantuan yang dapat diberikan kepada jiwa-jiwa yang sedang berada dalam purgatorium. Oleh sebab itu, purgatorium terutama dimaksudkan sebagai pembersihan (pemurnian) dan penyembuhan. Ini berarti orang yang beriman dan mati dalam rahmat belum seratus persen “Orang benar” karena itu masih membutuhkan pemurnian dalam purgatorium. Purgatorium berkaitan dengan proses pembenaran dan pembersihan manusia secara keseluruhan, khususnya dalam kebebasan dan tanggung jawabnya sebagai manusia dalam hidupnya di dunia ini (Dister, 2004: 600).

Aplikasi praktis

Berdasarkan uraian di atas, ajaran tentang purgatorium menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi praktis bagi manusia yang masih hidup dalam dunia, yaitu:

a. Manusia hendaknya mengejar keselamatan pribadi dan sesamanya dalam terang Kristus.

b. Gereja mengajak seluruh umat Allah supaya berdoa dan berkurban bagi keselamatan jiwa-jiwa dalam api pemurnian terutama dalam kurban Ekaristi supaya mereka dapat masuk kebahagiaan di surga.

c. Gereja menganjurkan agar segenap umat beriman melakukan amal, indulgensi, dan karya penitensi demi orang-orang mati.

d. Dalam rangka HARI RAYA MENGENANG ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN setiap tanggal 2 November, setiap orang Kristen dapat memperoleh indulgensi penuh bagi orang yang sudah meninggal. Caranya mengunjungi makam dan/atau mendoakan arwah orang yang telah meninggal. Mereka yang menjalankan setiap hari dari tanggal 1 - 8 November memperoleh indulgensi penuh dan yang menjalankan pada hari-hari lain memperoleh indulgensi sebagian.

e. Umat beriman juga dapat berdoa dan berkurban bagi orang yang telah meninggal dunia, sesuai dengan kebiasaan selama ini, yaitu dengan mengadakan Ibadat atau Misa Arwah pada saat jenasah disemayamkan, tutup peti, dan pada saat dimakamkan. Selain itu dapat dilaksanakan Ibadat atau Misa Arwah pada saat 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari terhitung sejak jenasah dimakamkan.

f. Orang beriman hendaknya belajar dari ajaran dan teladan hidup para kudus, kendati beberapa dari antara mereka kurang terdidik dan tidak dapat menjelaskan secara teologis tentang api pemurnian. Walaupun demikian, mereka menghayati konsep hidup tentang purgatorium, penyesalan yang sempurna dan mendalam akan dosa-dosanya, persiapan akan hidup kemartiran, pengurbanan demi kematian, pengampunan dosa dan kehidupan yang kekal: kebahagiaan di surga.

Rm. Serafim Maria, CSE

Salah satu penulis tetap di situs carmelia.net