User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Pendahuluan

Setiap kali kata Karmel diucapkan, orang langsung membayangkan suatu tempat yang hening dan sunyi. Karmel diidentikkan dengan tempat atau keadaan yang hening dan sunyi. Karmel memang mempunyai suatu pesona tersendiri bagi orang yang mencari Allah dan rindu untuk mengalami kehadiran-Nya yang melampaui segala pengertian di lubuk jiwanya yang terdalam. Dalam keheningan, Allah hadir dan para karmelit meyakini hal ini sehingga para karmelit berusaha menghayati hidup dalam keheningan ini.

Keheningan yang dimaksud disini bukanlah hanya sekedar tidak adanya suara dan kehadiran orang lain, tetapi keheningan yang berkaitan dengan disposisi batin. Artinya keheningan yang lebih berupa keadaan pikiran, emosi, dan afeksi yang tenang tanpa banyak keinginan yang tidak teratur, kacau, dan tidak terkendali. Keheningan batin akan membawa pada keheningan jiwa karena jiwa bebas dari segala kelekatan, tanpa kecemasan, dan keinginan yang berlebihan. Pada jiwa yang tenang inilah Allah menyatakan Diri-Nya.


Nilai Mistik dalam Keheningan

Sekilas pandang, keheningan sepertinya tidak memiliki nilai apa-apa, hanya sebagai suatu pengalaman yang kosong, hampa, pengangguran, dan bahkan terisolasi atau tertutup. Pandangan ini benar adanya sejauh keheningan ini berupa tanpa suara, tanpa kehadiran, tanpa keinginan, dan tanpa hawa nafsu. Akan tetapi, jikalau dalam keheningan itu seseorang bukan mencari dirinya sendiri melainkan mencari Allah maka keheningan ini mempunyai nilai mistik. Agar keheningan itu mempunyai nilai mistik maka keheningan itu harus diresapi oleh disposisi batin yang senantiasa berdoa.

Keheningan mistik merupakan suatu keheningan dalam kesatuannya dengan Allah atau suatu kehadiran pada Allah. Suatu cara berada dan tetap tinggal dalam doa, dalam suatu sikap menanti seorang murid yang berdiam diri untuk dapat mendengarkan suara Sang Guru, yang akan terdengar dengan lebih baik dalam lubuk keheningan. Jadi gagasan bahwa keheningan yang memiliki nilai mistik, tidak dapat dilepaskan dari gagasan “keheningan dan doa” (silence and prayer, solitude dan prayer).

Ada dua nilai yang terkandung dalam keheningan mistik ini, yaitu kebersamaan dalam kesendirian (solidarity in solitude) dan rasa kesatuan dalam keheningan (communion in silence). Meskipun kelihatannya tidak masuk akal, tetapi apabila seseorang larut dan tenggelam dalam keheningan yang mendalam bersama Allah, Sang Keheningan, dalam suatu pengalaman yang intensif, ia akan mengalami dalam batin timbulnya suatu rasa solidaritas dan kesatuan dengan segenap makhluk ciptaan, dengan dunia, dan dengan alam semesta. Semakin seseorang bersatu dengan Allah dalam keheningan, entah itu secara fisik maupun batiniah, semakin tumbuh rasa solidaritas dan kesatuannya dengan dunia dan segenap ciptaan.


1. Kebersamaan dalam kesendirian

Dalam keheningan yang mendalam dan mistik, kendati seseorang secara fisik berada sendirian, sebenarnya secara batiniah ia merangkul dunia dan segenap ciptaan. Berkat rahmat kontemplasi, ia akan melihat dunia dengan segala isinya dalam persepsi yang baru ibarat intuisi seorang mistikus. Perasaan seperti ini dialami oleh Elia, seorang tokoh yang terkenal dalam Perjanjian lama juga sebagai “bapa dan pemimpin para karmelit”. Di balik kesendiriannya, dalam hati Elia mekarlah suatu solidaritas yang mendalam dengan bangsa Israel. Tak mengherankan ketika Allah memerintahkannya untuk melakukan sesuatu bagi bangsa Israel, dengan segera tanpa ragu-ragu dan bahkan dengan semangat berapi-api Elia “turun gunung” meninggalkan kesunyian kontemplasinya. Rasa solidaritas ini menumbuhkan sikap berjaga-jaga dan siap sedia bagi perutusan Allah. Semangatnya menyala-nyala dalam melayani Allah. Baginya melayani Allah berarti melakukan suatu kebaikan bagi bangsa Israel. Demikian juga para karmelit saat ini, keheningan mistik membuat mereka rindu untuk melayani Allah kapan pun Allah memanggil mereka.


2. Kesatuan dalam Keheningan

Dalam 1 Raj. 17:2-6, digambarkan bagaimana akrabnya burung gagak dengan Elia. Dalam kehidupan yang konkret, sebenarnya burung gagak bukanlah binatang yang ramah dengan manusia. Namun di sini, burung ini diceritakan bukan menjauhi manusia, malah mendatangi serta membawakan makanan bagi Elia. Rasa keakraban burung gagak ini terhadap Elia melukiskan adanya kesatuan kosmis-mistik Elia dengan mahkluk ciptaan.

Rasa kesatuan dalam keheningan mistik juga ditangkap oleh Santa Klara dari Assisi (1193-1253) yang selama hampir “empat puluh dua tahun” tinggal di suatu klausura yang sunyi dan hening. Semakin intim kesatuan St. Klara dengan Allah dalam kesunyian dan keheningan klausuranya, semakin dekat tampaknya dia dengan alam dan dengan saudara-saudarinya. Dengan merujuk kepada kehidupan keheningan St. Klara, seorang biarawan Fransiskan, Murray Bodo mengemukakan:

“Jika engkau seorang kontemplatif, cintamu menjangkau ke luar ke seluruh dunia dan engkau mengangkat semua kesakitan, penderitaan, dan kebingungan dunia ke dalam doa dan cintamu. Engkau merupakan bagian dari setiap orang dan segala sesuatu, dan engkau merasakan secara nyata keterikatanmu dengan semua ciptaan. Siapakah kiranya yang merasa sepi di tengah begitu banyaknya hal untuk diperhatikan, begitu banyak kebutuhan untuk disampaikan kepada Bapa?”

Keheningan justru mempersatukan para saudara, karena hal itu memungkinkan mereka saling mencintai dengan cara yang lebih mendalam dan lebih tulus serta lebih murni pula. Keheningan merupakan tempat tersembunyi, di mana mereka semua berkumpul di hadapan Allah dan mereka dalam Dia melihat kehadiran seluruh ciptaan. Jadi keheningan itu tidak hanya menjadikan orang hadir pada Allah, tetapi juga hadir pada semua saudara yang berjalan dihadapan-Nya. Oleh karena itu, keheningan merupakan sikap mendengarkan dunia, sikap terbuka dan penerimaan.


Daya Tarik Keheningan

Bagi orang yang hatinya telah tersentuh oleh cinta Allah, keheningan saja dirasakan belum cukup. Mereka masih merindukan kesunyian untuk dapat berada sendirian dengan Sang Kekasih Ilahi yang telah mempesona jiwanya. Dan bagi para karmelit dahulu, unsur kesunyian merupakan suatu unsur yang hakiki dalam kehidupan mereka. Seorang Jenderal Karmel, Nikolas dari Peracis mengungkapkan secara indah tentang rahasia cinta Allah yang dialaminya melalui kesunyian sebagai berikut :
“Bukankah Tuhan Penyelamat kita telah memberikan rahmat khusus kepada kita dengan membawa kita ke dalam kesunyian, dimana Ia berbicara secara mesra kepada hati kita? Padahal Ia tidak menyatakan diri kepada sahabat-sahabat-Nya di muka umum, di jalan-jalan dan dalam kebisingan, tetapi dalam keintiman, melalui rahmat sukacita rohani, serta untuk menyatakan kepada mereka misteri-misteriNya yang tersembunyi.”

“Bukankah Roh Kudus yang tahu apa yang dibutuhkan masing-masing telah mengilhami Regula kita, yang menentukan supaya masing-masing memiliki pondok yang terpisah? Bukan pondok yang berdampingan, melainkan pondok-pondok yang terpisah yang satu dari yang lain, supaya Sang Mempelai Surgawi bersama dengan mempelai-Nya yaitu jiwa yang kontemplatif, dapat berbicara penuh damai dan kemesraan?”

 Dalam Regula Karmel memang dikatakan bahwa masing-masing karmelit memiliki satu pondok yang saling terpisah. Ini untuk menjaga suasana hening karena ternyata di dalam kesunyian itulah Tuhan telah menyatakan diri kepada banyak sahabat-Nya secara pribadi, karena kesunyian memang sangat cocok dan istimewa untuk perjumpaan ilahi. Dalam kesunyian itulah Tuhan telah menyatakan diri dalam seluruh kuasa dan  kemuliaan-Nya.

Hidup dalam keheningan

Hilangnya kesadaran manusiawi, menjadikan orang lebih terbuka bagi kehadiran yang tidak kelihatan. Roh Kudus akan membawa mereka pada suatu kesadaran akan kehadiran Allah, para malaikat dan para kudus. Oleh karena itu, seorang bertapa bukanlah untuk berpusat pada diri sendiri, melainkan untuk senantiasa hidup dalam persatuan dengan komunitas yang tersembunyi itu. Ia harus bebas jiwa dan rohnya supaya dapat bergaul dengan masyarakat surgawi itu. Dalam ketersembunyiannya itu seorang pertapa bersimpuh di hadapan Allah Bapanya, sambil membawa beban seluruh umat manusia dan membawakan persembahan silih bagi keselamatan mereka. Dengan demikian secara misterius ia ditempatkan kembali dalam dunia yang telah ditinggalkannya itu, untuk mengambil bagian dalam hidupnya secara baru.
Supaya hidup dalam kesunyian ini sungguh-sungguh dapat terbuka kepada Allah dan kemudian juga kepada dunia, dituntut suatu penyangkalan diri serta kelepasan lebih besar dari barang-barang yang bisa memberikan suatu kompensasi afektif yang bersifat manusiawi semata-mata, masing-masing sesuai dengan kasih karunia yang diterimanya.


Kesimpulan

Hidup dalam keheningan tidak membuat seseorang menjadi terpisah dari dunia luar tetapi sebaliknya dalam keheningan seseorang dimurnikan, dibersihkan dan dilepaskan dari keinginan-keinginan serta hawa nafsu yang tidak teratur. Dalam keheningan ia mengalami suatu perjumpaan yang mesra dengan Allah dan dari situlah ia mulai ditarik untuk merangkul dunia melalui doa maupun kerasulan secara langsung. Dan keheningan mempunyai nilai mistik yang berguna bagi siapa saja, baik untuk membangun hidup yang mendalam, membangun iman, dan hidup pelayanan.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting