User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

PENDAHULUAN

Emansipasi wanita bukanlah penemuan zaman sekarang. Pada zaman dahulu emansipasi wanita sudah muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Kaum wanita memiliki kepribadian yang kuat dan sungguh mengesankan dunia sekitarnya di mana dia hidup. Hal ini dapat kita temui dalam diri Santa Fransiska Romana dan seluruh sejarah hidupnya. Kita dapat menemukan suatu sosok kepribadian yang kuat dan peka terhadap sesama yang menderita. Di dalam setiap kesukaran yang dihadapinya, Santa Fransiska selalu mengandalkan Allahnya dalam hidup doa.

KEHIDUPANNYA

Fransiska lahir di Trastevere, Roma pada tahun 1384. Ia adalah seorang anak dari sebuah keluarga Katolik yang saleh. Ayahnya, Paulus Busso dan ibunya, Yakobella Roffredeschi mendidiknya dengan sangat baik dalam iman Kristiani dan mengajar Fransiska untuk selalu memiliki sikap penuh perhatian kepada orang-orang di sekitarnya. Dari ibunya, Fransiska belajar kesalehan terhadap Allah, sedangkan dari ayahnya, Fransiska meneruskan sikap dan pendirian yang kuat di dalam dirinya. Tak heran karena berkat pendidikan dari kedua orang tuanya yang saleh, maka Fransiska bertumbuh menjadi seorang yang beriman dan menyayangi mereka yang miskin-papa, mereka yang tidak dipandang sedikit pun atau terkucil dari lingkungan masyarakat.

Sejak kecil, ketika Fransiska berumur 11 tahun, ia sudah memiliki keinginan untuk menjadi seorang biarawati. Namun, keinginan ini tidak diperbolehkan oleh ayahnya. Hal ini disebabkan karena ayahnya telah memiliki rencana yang lain untuk putrinya ini. Paulus Busso mengatakan bahwa Fransiska masih terlalu muda untuk mengetahui kehendak Allah dalam hidupnya, tetapi Fransiska sudah tidak terlalu muda lagi untuk menikah. Ayahnya telah mengatur perkawinan Fransiska dengan anak seorang bangsawan bernama Lorenzo Ponziano.

Pada zaman itu, terdapat sebuah kebiasaan di kota Roma, bahwa seorang ayah memiliki kuasa secara penuh terhadap anaknya, bahkan seorang ayah dapat menjual anaknya untuk dijadikan budak, atau memberikan perintah agar anaknya dibunuh. Fransiska memahami hal ini, bahwa ayahnya akan berbuat apa saja supaya ia menikah atas apa yang telah ditetapkan oleh sang ayahnya. Tak dapat dielakkan lagi, antara ayah dan anak yang memiliki sikap yang sama ini, saling mempertahankan prinsipnya masing-masing.

Akan tetapi, karena tak dapat berbuat apa-apa, dengan ratap tangis Fransiska memohon kepada Tuhan agar hal tersebut tidak terjadi. Sampai akhirnya pada suatu saat bapa pengakuannya bertanya kepadanya, "Apakah engkau menangis karena engkau ingin melakukan kehendak Allah, atau karena engkau menghendaki agar Allah melaksanakan kehendakmu?"

Mendengar hal itu, Fransiska akhirnya bertekuk lutut, dan dengan berat hati menerima perkawinan yang telah diatur tersebut. Orang-orang di sekitarnya sungguh tak mampu memahami alasan penolakan perkawinan yang dilakukan oleh Fransiska, karena suaminya, Lorenzo Ponziano merupakan seorang yang baik, seorang dari keluarga beradab, dan kaya. Lorenzo Ponziano adalah seorang yang amat ideal bagi Fransiska. Mereka tidak mengetahui bahwa yang menjadi alasan penolakannya adalah karena keinginannya untuk mempersembahkan dirinya menjadi mempelai Kristus untuk selama-lamanya.

Suatu mimpi buruk terjadi. Pada suatu kesempatan pesta pernikahan, mertuanya menyuruh Fransiska untuk melayani para tamu agung yang datang. Fransiska yang pada waktu itu masih berumur 13 tahun, yang seringkali senang berpuasa, menemukan bahwa perjamuan pesta yang dilakukan oleh keluarga suaminya menjadi beban bagi dirinya. Itu semua berlainan dengan suara hatinya. Tiba-tiba pada suatu kesempatan pesta, ketika sedang melayani tamu-tamu yang hadir, Fransiska jatuh pingsan dan tidur dalam keadaan koma untuk jangka waktu yang panjang. Dalam keadaan tersebut, Fransiska bermimpi melihat seorang kudus yakni: Santa Alexis. Orang kudus ini adalah juga anak seorang kaya, yang melarikan diri dari rumah dan menjadi seorang pengemis karena tak ingin menikah. Setelah beberapa tahun menjadi pengemis, St. Alexis ini kembali ke rumah orang tuanya, namun ia sama sekali tidak dapat dikenal oleh keluarganya, sehingga ia hanya bisa tidur di tangga rumah orang tuanya. St. Alexis mengatakan kepada Fransiska bahwa Tuhan sedang memberikan kepadanya dua pilihan, yakni: “Apakah Fransiska ingin untuk sembuh kembali atau tidak?” Fransiska berbisik kepada St. Alexis, "Kehendak Allahlah yang harus terjadi." St. Alexis lalu berkata kepadanya, "Kalau demikian, engkau harus hidup demi kemuliaan nama-Nya." Seketika itu juga, Fransiska sembuh kembali secara total. Pengalaman yang dialami Fransiska ini akhirnya telah mengubah hidupnya.

Meskipun demikian, ibu mertuanya masih menginginkan agar Fransiska bergabung dengan golongan bangsawan dengan menghadiri berbagai pesta pora. Sang mertua sungguh mengharapkan agar Fransiska bisa mengikuti jejak puterinya Vannozza yang nampak sangat gembira dan bahagia mengikuti berbagai acara pesta. Pada suatu kesempatan, Vannozza melihat Fransiska sedang menangis sendirian di salah satu sudut taman. Kepada adik iparnya, Vannozza, Fransiska menceritakan apa yang menjadi kerinduannya. Ternyata, Vannozza pun memiliki keinginan yang sama dengan Fransiska, yaitu keinginannya untuk mempersembahkan hidupnya seutuhnya bagi Yesus. Fransiska dan Vannozza pun menjadi teman akrab, dan bersama-sama membuat rencana bagaimana caranya agar hidup mereka dapat sungguh-sungguh menjadi suatu persembahan bagi Tuhan.

Mereka memutuskan untuk tetap mentaati kewajiban mereka dalam hidup berkeluarga, mengenakan pakaian kebesaran meskipun dalam hati menolak, mengikuti berbagai acara pesta bersama golongan bangsawan, dan yang terpenting semuanya itu harus dilakukan dengan penuh gembira.

Dari perkawinannya ini, Fransiska dianugerahi beberapa orang anak. Hidup perkawinan mereka yang berlangsung 40 tahun lamanya diwarnai saling pengertian dan cinta kasih yang mendalam. Sambil menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, secara diam-diam Fransiska bersama Vannozza senantiasa menyempatkan diri untuk membantu dan mengunjungi orang-orang miskin, orang-orang sakit, dan mereka yang terkucilkan yang berada dalam penjara, dan sebagainya. Sebenarnya, pada masa itu, kaum wanita tidak diperbolehkan berkeliaran di tempat yang disebut ‘kumuh’ tempat di mana orang miskin berada sehingga mereka seringkali dicemoohkan oleh orang lain.

Pada tahun 1413 di Roma terjadi wabah penyakit pes dan kelaparan. Tanpa segan-segan, Fransiska menyumbangkan seluruh harta kekayaannya kepada orang-orang miskin. Ia merombak sebagian rumahnya untuk menjadi sebuah rumah sakit guna menampung orang-orang sakit yang terserang wabah pes. Ia pun memohon bantuan dari para sahabatnya untuk mereka yang terkena penyakit pes dan kelaparan, namun permohonannya selalu ditanggapi dengan jawaban yang menyakitkan hatinya, seolah-olah orang miskin dan sakit bukanlah sesamanya yang harus ditolong.

Ketika terjadi perang di kota Roma, Lorenzo Ponziano suaminya ditangkap dan diasingkan. Tanah dan hartanya dijarah dan anaknya yang sulung dibawa sebagai sandera. Peristiwa ini merupakan suatu pengalaman pahit bagi Fransiska. Namun, segalanya dihadapi dengan ketabahan yang luar biasa dalam kepasrahannya kepada Tuhan.

MENDIRIKAN BIARA

Ketika perang di kota Roma telah mereda dan berangsur-angsur keadaan sudah pulih kembali, Lorenzo Ponziano dan anak sulungnya kembali ke rumah. Pada tahun 1425, bersama beberapa rekannya Fransiska mendirikan sebuah biara wanita untuk meningkatkan karya-karya amalnya. Komunitas religius ini berafiliasi pada Ordo Benediktin yang dibaktikan pada hidup doa dan karya-karya amal berupa pelayanan aktif kepada sesama.

Fransiska telah menjalankan hidupnya sebagai seorang istri yang setia. Setelah suaminya meninggal dan anak-anaknya meningkat dewasa, akhirnya Fransiska masuk biara yang telah didirikannya. Ia diangkat menjadi pemimpin biara. Dengan cakap Fransiska memimpin biara itu sampai dengan ia meninggalkan dunia ini untuk berjumpa dengan mempelainya. Seperti yang dikatakan dalam Mzm 15:5-6, inilah yang menjadikan pegangan hidupnya dan pujian dalam hidup yang dijalaninya:

“Tuhan, Engkaulah milik pusaka dan warisanku,

dalam tangan-Mulah nasibku.

Tanah permai akan menjadi bagianku,

milik pusakaku menyenangkan hatiku.”

Pada tahun 1440, Fransiska jatuh sakit selama 7 hari, Fransiska meninggal pada tanggal 9 Maret 1440. Yah, dengan kebahagiaan yang tak tertarakan St. Fransiska telah bersatu dengan mempelainya yaitu Yesus Kristus. Tubuhnya hingga sekarang dapat dilihat di Gereja Santa Maria Nuova, Roma. Menurut kesaksian pada waktu itu, banyak terjadi mukjizat dan terkabulnya doa-doa yang dimohonkan melalui perantaraan St. Fransiska.

Dengan memperhatikan seluruh cara hidupnya dan berbagai penglihatan yang dialaminya, pada tahun 1608 Gereja menyatakan Fransiska sebagai orang kudus oleh Paus Innocensius X. Tempat di mana relikwi St. Fransiska berada, yakni Gereja Santa Maria Nuova sekarang dikenal oleh masyarakat Roma sebagai Gereja Santa Fransiska Romana.

TELADAN HIDUPNYA

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa Fransiska adalah seorang kudus yang mengabdikan dirinya kepada Tuhan. Ia melayani Tuhan lewat pelayanannya terhadap kaum miskin dan lewat pelayanan terhadap mereka yang terbuang. Tanpa meninggalkan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga, St. Fransiska juga dapat berbuat kebaikan bagi sesamanya.

Jika berbicara mengenai kehidupan doanya, St. Fransiska dikenal sebagai seorang pendoa, yakni seorang mistika pada abad ke-15 dan St. Fransiska sebagai model bagi ibu-ibu rumah tangga di Roma. Hubungannya yang erat dengan Tuhan melalui doa-doanya inilah yang telah menumbuhkan dalam diri St. Fransiska suatu kepekaan dan keprihatinan yang besar pada kondisi hidup orang-orang yang miskin dan orang-orang yang sakit.

Semoga melalui teladan orang kudus-Mu ya Tuhan, kami dapat mengabdi Engkau dengan tekun, sehingga dalam setiap keadaan kami selalu memandang dan mengikuti Engkau.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting