User Rating: 1 / 5

Star ActiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Sebut saja namanya “Marta” (samaran), ia adalah seorang ibu yang memiliki empat anak, aktivis dalam aneka kegiatan gerejani di parokinya. Suaminya termasuk orang yang sukses dalam hal usaha alias mencari uang guna mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Karena boleh dikatakan tidak pernah berkekurangan dalam hal harta benda atau uang, maka ketika anaknya yang sulung, sebut saja “Maria” (samaran) berminat melanjutkan belajar di perguruan tinggi yang cukup terkenal di kota lain, yang berjauhan dengan rumahnya, dengan senang hati Marta dan suaminya memberi izin. Maria termasuk cantik dan selama belajar sampai SMA juga aktif dalam aneka kegiatan gerejani maupun di sekolahnya. Ia juga cerdas dan selalu sukses dalam belajar. Selama belajar di perguruan tinggi di kota lain Maria senantiasa pulang ke rumah, berlibur bersama keluarga, ketika ada liburan panjang. Sebagai seorang gadis Maria senantiasa nampak ceria, gembira dan bergairah. Pada liburan panjang tahun ketiga kuliahnya alias liburan akhir semester ke lima, Maria pulang ke rumah nampak gemibira dan tambah gemuk. Melihat hal itu tentu saja ibunya, Marta, maupun suami dan adik-adiknya ikut bergembira juga: gembira karena meskipun berjauhan dari keluarga Maria tetap gembira dan bahkan semakin gemuk. Beberapa waktu kemudian, bagaikan petir di siang hari bagi Marta dan suaminya ketika memperoleh informasi daei kenalannya bahwa anaknya (Maria) saat ini berada di suatu panti asuhan dalam  keadaan mengandung dan tidak lama lagi akan melahirkan seorang anak. Marta dan suaminya tidak mengira dan tidak tahu sama sekali bahwa kegemukan anaknya yang mereka lihat ketika liburan yang lalu ternyata Maria sedang mengandung. Sementara itu Maria sendiri merasa tetap gembira antara lain terbukti tidak mau menggugurkan kandungan, melainkan merawatnya dan siap melahirkan anak yang dikandungnya, sebagai ‘buah kasih’ dengan pacarnya. Kiranya Maria telah mengambil sikap seperti Bunda Maria yang menanggapi sapaan malaikat Gabriel: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu"  (Luk 1:26-38).

 

Perikop Kitab Suci: 2 Sam 7:1-5.8b-12. 14a.16; Rm 16:25-27; Luk 1:26-38

 

"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Luk 1:38)

Jawaban Maria atas penjelasan malaikat Gabriel merupakan bentuk penyerahan diri seutuhnya kepada Penyelenggaraan Ilahi atau kehendak Allah untuk menyelamatkan dunia. Dengan kesiap-sediaan dan kesanggupan Maria ini maka janji Allah untuk penyelamatan dunia akan segera terwujud. Kita semua dipanggil untuk meneladan Bunda Maria dengan menghayati tanggapannya atas kata-kata malaikat Gabriel: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Bagaimana penghayatan kata-kata tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam hidup, panggilan, kesibukan atau tugas pengutusan kita masing-masing?

Sikap mental ‘hamba’ itulah yang harus kita hayati dan sebarluaskan. Seorang hamba atau pelayan yang baik antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut: mendengarkan, siap sedia melaksanakan tugas atau perintah, tidak mengeluh/menggurutu ketika menghadapi tantangan atau hambatan, kerja keras sesuai dengan tugas pekerjaan atau pengutusan, gembira, peka akan kebutuhan yang lain/harus dilayani, dst. Sikap mental atau keutamaan-keutamaan macam itulah yang harus kita hayati dan sebarluaskan. Dengan menghayati sikap mental macam itu hemat saya apa yang kita cita-cita atau dambaan untuk hidup bahagia, damai sejahtera akan segera menjadi kenyataan.

Seorang hamba juga ‘penurut’, menuruti dan melaksanakan aneka aturan dan tatanan hidup yang terkait dengan tugas pekerjaannya. Dengan kata lain ia sungguh berdisiplin, yaitu “kesadaran akan sikap dan perilaku yang sudah tertanam dalam diri, sesuai dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu keteraturan secara berkesinambungan yang diarahkan pada suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan” (Prof. Dr. Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997,hal. 10).  Erat hubungannya dengan berdisiplin adalah tidak melakukan korupsi dalam bentuk apa pun. Hendaknya berdisiplin ini dibina dan ditanamkan sedini mungkin dalam diri anak-anak, entah di dalam keluarga maupun sekolah, tentu saja butuh keteladanan dari para orangtua atau guru.

 

“Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, -- menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman -- bagi Dia, satu-satunya Allah yang penuh hikmat, oleh Yesus Kristus: segala kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm 16:25-27)

 

 “Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan dengan itu menyelamatkan jiwanya” (St. Ignatius Loyola, LR no. 23). Kita manusia yang diciptakan oleh Allah  dapat hidup, tumbuh berkembang menjadi bahagia, damai sejahtera serta cerdas beriman hanya dalam Dia, bersama Dia dan karena Dia; kebahagiaan hidup kita tergantung sepenuhnya (100%) dari Allah dan penyerahan diri kita kepada-Nya. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah berarti membuka hati, jiwa, akal budi, dan tubuh kepada kehendak dan sapaan Allah, dan untuk itu kiranya dapat dilatih dengan saling membuka diri di antara kita. Keterbukaan diri pada Allah dan sesama manusia bagaikan mata uang bermuka dua, dapat dibedakan namun tak dapat dipisahkan.

“Terbuka adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keleluasaan dalam menerima apa saja dari luar, membuka diri terhadap umpan balik, dan mampu memuat informasi apa saja dengan obyektif” (Prof. Dr. Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal. 28). Cukup banyak informasi atau berita-berita baik yang mendatangi kita, antara lain apa yang ditulis dan diwartakan di dalam kitab-kitab suci, yang sering kita bacakan dan dengarkan dalam berbagai kesempatan beribadat. “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (2 Tim 3:16). Tulisan-tulisan di dalam Kitab Suci kita imani ‘diilhamkan Allah’, maka marilah kita bacakan, dengarkan, renungkan, dan hayati dalam hidup kita sehari-hari.

Apa yang ditulis di dalam Kitab Suci antara lain ‘mendidik orang dalam kebenaran’  agar dapat memuji, menghormati dan mengabdi Allah Tuhan kita. Apa yang tertulis dan dinasihatkan dalam dan melalui Kitab Suci memang sungguh ideal, dan mungkin dalam hati kita masing-masing juga bertanya seperti Bunda Maria “Bagaimana hal itu mungkin?” Jika muncul pertanyaan atau keraguan demikian marilah kita renungkan dan imani sabda ini: ”Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau” (Luk 1:35).  Roh Kudus yang akan memampukan atau memberdayakan kita sehingga kita dapat menghayati dan melaksanakan sabda-sabda Tuhan, antara lain sebagaimana tertulis di dalam Kitab Suci. Untuk itu kita dapat bercermin pada para santo-santa pelindung kita masing dan tentu saja juga pada Bunda Maria, teladan umat beriman, dan kemudian meneladan cara hidup dan cara bertindaknya. 

 

“Aku hendak menyanyikan kasih setia TUHAN selama-lamanya, hendak memperkenalkan kesetiaan-Mu dengan mulutku turun-temurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit. Engkau telah berkata: "Telah Kuikat perjanjian dengan orang pilihan-Ku, Aku telah bersumpah kepada Daud, hamba-Ku:Untuk selama-lamanya Aku hendak menegakkan anak cucumu, dan membangun takhtamu turun-temurun."  (Mzm 89:2-5)

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting