Print
Hits: 17845

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Sebuah Kisah

Tempat kediaman ratu Inggris di musim dingin adalah Istana Balmoral di Skotlandia.  Ketika Ratu Viktoria ada di sana, kadang-kadang ia berjalan-jalan di luar benteng istana dengan mengenakan pakaian usang. Pengawalnya, Jhon Brown, mengikutinya. Ketika ia turun ke jalan, ia menghampiri sekawanan domba gembalaan yang digembalakan oleh seorang anak laki-laki. Anak itu meneriakinya, katanya: “Menyingkirlah kamu wanita tua yang dungu!” Sang ratu tersenyum dan tidak mengatakan sesuatu pun. Beberapa saat kemudian, pengawalnya menghampiri anak laki-laki itu dan membentaknya,Diam, itu adalah sang ratu!” “Ya…” kata anak laki-laki itu, “Wanita berpakaian seperti itu adalah seorang ratu!”

 

Titik Alfa dan Omega

Dalam keseharian, kita mengenal garis-garis batasseperti di dalam dunia olahraga sprint, ada batas start dan batas finis. Semua sprinter harus mencermati garis-garis batas tersebut agar mereka bisa mengatur staminanya untuk menempuh jarak yang mau dituju. Dalam dunia filsafatseperti Filsafat Proses, rintisan Teilhard de Chardin, dan lebih jelas lagi dalam dunia teologi Kristenkita mengenal adanya prinsip: Alfa dan Omega. Singkatnya, mau dikatakan bahwa sebagai Pencipta, Allah adalah awal proses perkembangan (Alfa) sekaligus juga akhir (Omega) karena seluruh rangkaian dinamika dunia harus menuju kepada persatuan dengan-Nya. Jadi, proses evolusi dunia dan sejarah umat manusia berjalan ke arah dan tujuan yang sama, yaitu titik omega di mana Allah menjadi semua di dalam semua. Pada saat itu, semua bangsa, budaya, negara, suku, dan agama akan bersatu padu.

Wahyu Yohanes 22:13 menegaskan: “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang pertama dan Yang terkemudian, Yang awal dan Yang akhir. Firman, Yesus adalah awal bagi segala yang ada, prinsip kristen dan iman kita. Titik Alfa itu tidak lain tidak bukan adalah sebuah titik awali atau saya menyebutnya sebagai starting point. Ia merupakan awal dan sumber bagi semua yang ada, hidup, dan bergerak. Ia ada dalam keabadian, kekal, dan selamanya. Eksistensinya tanpa causa. “Aku adalah Aku” (dalam bahasa Latin: Ego sum qui Sum), demikian jawab Allah kepada Musa yang mempertanyakan “nama dan identitas” Yahwe (bdk. Kel 3:14). Dan, jauh setelah itu Santo Agustinus, dalam refleksi teologisnya, menyebut bahwa Dia itu Causa Prima dari segala sesuatu yang memenuhi langit dan bumi dan yang bergerak. Dia itu namanya KASIH. Saya menegaskannya bahwa Titik Alfa (starting pont) itu adalah Kasih. Dia bersinggasana dalam semarak keagungan-Nya. Kudus dan sangat terhormat. Dia sangat berkuasa dan melingkupi hidup semua yang diciptakan dengan dan dalam kasih-Nya. Lebih akrab dalam kedalaman nurani dan keimanan, kita menyebut-Nya Allah. Dan, Allah adalah Kasih. Semua noda dosa, cacat-cela dibalutinya dengan kasih dan kerahiman. Segala ciptaan-Nya diarahkan kepada kebahagiaan dalam sebuah mekanisme partisipasi yang tentunya dikuatkan dan disempurnakan oleh rahmat-Nya sebagai bagian dari penyelenggaraan-Nya yang sungguh ilahi. Ini terjadi karena Dia itu Kasih, Hidup, dan berkuasa. Ia menciptakan-mengadakan, menghidupkan dan menggerakan yang lain. Dan, itu termasuk manusia sebagai mahkota ciptaan-Nya. Manusia diciptakan secitra dengan-Nya. Dia menguasai semuanya dan menyelenggarakan secara terus-menerus kelangsungan hidup dalam kasih seturut kehendak-Nya. Manusia diberikan kuasa berpartisipasi memperbarui dunia. Manusia diceburkan dalam kebebasan di mana hak dan kewajiban menjadi bagian integral dari jati dirinya sambil memperhitungkan moral dan etika dalam relasinya dengan yang lain demi sebuah bonum communae.

Dalam kisah penciptaan alam semesta, panggilan Abraham dan pemilihan bangsa Israel menjadi bangsa pilihan-Nya tercatat dengan tinta emas di dalam sebuah lembaran perjanjian yang sudah menyejarah sejalan dengan penyelenggaraan Allah sendiri. Terjalin dalam kasih sebuah relasi antara Allah dan umat pilihan-Nya yang melahirkan konsekuensi dalam hubungan: Allah menjadi Bapa bangsa Israel, dan sebaliknya bangsa Israel menjadi anak-anak-Nya (bdk. Kel 20:1-17). Sebuah relasi Bapa-Anak. Kesetian dan hormat dirangkum dalam cinta, dan itu menjadi pegangan bersama.  Ada kasih dan kehidupan di dalamnya. Relasi itu dijiwai oleh Roh dan Kebenaran dalam Cinta Kasih. Terbentuklah sejarah milik bersama, yakni sejarah keselamatan di mana terlihat inisiatif kepedulian dan belarasa Allah terhadap umat manusia. Dan, ini terus berlangsung karena kasih setia Allah sendiri.

Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Hakikat dan kodrat Allah adalah kasih, maka seluruh keberpihakan kepada manusia dalam hidup ini didasarkan pada cinta kasih. Allah mengasihi kita apa adanya dan menghendaki yang terbaik bagi kita sesuai dengan rancangan dan rencana-Nya. Cinta Allah itu nyata dan tidak terbatas. Muatannya tentu tidak lain adalah cinta kasih itu sendiri yang tetap dan selalu up to date. Artinya, kita bisa mengalami cinta-Nya dalam lingkup hidup kita yang beragam dimensi. Dan, Cinta itu tidak terbingkai oleh batas ruang dan waktu karena dia itu di atas segalanya. Kita merindukan-Nya, mengharapkan-Nya, dan berusaha walau dengan jatuh bangun  mengimani dan mempercayakan hidup kita sepenuhnya hanya kepada-Nya. Iman kita kepada-Nya senantiasa kita hayati dan selalu berupaya menghidupkannya. Kekuatan Kasih sungguh dahsyat karena walau menakutkan (tremendum), namun sekaligus memikat (fascinosum), malahan mendamaikan dan menyenangkan. Itulah sukacita di dalam pegalaman akan Cinta Kasih itu.

Kitab Kidung Agung dalam kedelapan babnya, melukiskan kedahsyatan Cinta Tuhan kepada umat-Nya. Cinta-Nya membuat Tuhan membuat apa saja bagi kita umat-Nya. Sementara itu, Rasul Paulus menyuarakan kebenaran profetis tentang cinta kasih itu.  Jika tanpa cinta aku bukan apa-apa; aku bagai gong yang gemerincing; tiada bermakna apa-apa. Bagi Paulus, Cinta adalah Tuhan sendiri. Dari dan oleh-Nya Paulus menemukan makna hidupnya. Tanpa cinta berarti tanpa Tuhan. Tidak mencintai sama dengan menyangkal Tuhan. Tanpa cinta hidup kita pun tidak bermakna. Kelahiran menjadi sebuah malapetaka dan kematian menjadi sebuah kebinasaan. Dalam dan dengan cinta, semuanya menjadi indah dan bermakna pada waktunya. Allah menuntun manusia masuk di dalam samudera makna yang diberikan-Nya sendiri sejak awal mula. Awal dalam sejarah adalah Pewahyuan Yesus yang menjelma.

Penginjil Yohanes menulis: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah” (Yoh 1:1-2). Kembali kepada keseharian di tengah dunia. Yang dikatakan dan sering didengar adalah “mulanya biasa saja”. Kita hidup dalam kondisi apa adanya. Tetapi, ini bukan sebuah takdir, bukan pula sebuah nasib. Kita meyakini bahwa hidup kita selalu dalam penyelenggaraan Tuhan. Hidup kita ada dalam tangan kasih Tuhan. Ia membingkai hidup kita. Penginjil Yohanes menunjukkan kepada kita bahwa “pada mulanya adalah Firman”. Dalam alur refleksi ini, kita semua seakan-akan berada di serambi depan Prolog Injil Yohanes. Sebelum dia mengajak kita memasuki ruang Injilnya, kita diminta masuk dalam “hadirat Allah” yang mengagumkan. Kita perlu menyadari bahwa jauh sebelum terciptanya segala sesuatu yang ada, hanya ada suatu “keabadiaan”. “Pada mulanya” berarti juga awal dalam waktu, tetapi lebih hakiki, lebih mendalam “pada hakikatnya”. Yang ada di dalam keabadiaan itu adalah Firman. Keheningan dalam imanlah yang kita andalkan agar memampukan kita mengalami dan merasakan “Keabadian” Titik Alfa itu dan coba mendaraskan sabda ini dalam hati. Terasa gema dan gaung suara Penginjil ketika sabda yang sama diucapkannya dan menjadikan itu sebagai sebuah warisan iman bagi kita, maka ditulisnya di jenang pintu pondok Prolog Injilnya.

Sekali lagi kita mau merasakan bagaimana Rasul Yohanes mengungkapkan sebuah pilar iman yang mendalam dan berakar, yang tentunya itu merupakan pula sebuah kesaksian imannya yang tertuang dan terbaca di dalam Prolog itu sendiri (lih. Yoh 1:1-18). Maka, Prolog yang sarat makna dan pesan ini berperan sebagai “pembukaan” dari seluruh Injil. Makna dan pesan terbingkai dalam etalase butir-butir iman akan Allah dan Sabda (Kebijaksanaan) yang adalah isi Injil yang dilukiskannya secara puitis. Inilah sebuah hasil kontemplasi penginjil akan Firman itu. Penegasan iman inilah yang mengawali seluruh proses penulisan tentang Allah dan Sabda yang kekal dan abadi.

Yesus sebagai Sabda ada pada awal mula, dari keabadian, artinya kehadiran abadi Sabda dalam Allah. Sang Sabda berada dalam keadaan-Nya yang absolut dan kekal. Pada awal mula, sebelum segala sesuatu ada, Persekutuan (Communio) sudah ada, yaitu antara Allah dan Sabda (Logos) dan Pribadi Ketiga Tritunggal Maha Kudus. Persekutuan Ilahi inidalam satu kesatuannya dan secara bersamamemiliki kuasa dan daya untuk menciptakan, mengubah, dan memperbarui. Alur kasih dan kuasa persekutuan ilahi terbaca dengan iman dalam sejarah keselamatan umat manusia.

Kontemplasi Penginjil Yohanes akan Logos, membuka mata iman kita untuk melihat dalam kedalamannya “the right place of Logos” dalam misteri persekutuan ilahi itu dan sejauh Dia (Yesus) berhubungan dengan sejarah keselamatan manusia. Yesus memperkenalkan Diri-Nya  sebagai Anak Tunggal Bapa. Hanya Dialah yang dapat memberikan kesaksian siapakah Allah karena Dia mengenal Allah secara sempurna, telah melihat Allah, berada bersama Allah dan ada dalam Allah. Hanya Dialah yang menunjukan jalan menuju kesatuan dengan Allah. Yohanes mengutip kata-kata Yesus: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Yesus adalah Anak yang mengenal Allah, Bapa-Nya. Dia berasal dari Allah. Dilahirkan dari Allah dengan kuasa Roh Kudus. Dalam Allah, Yesus hidup dan tinggal karena Allah Bapa adalah Sumber Hidup. Yesus datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Dan melalui Anak (Yesus) berasal segala kehidupan dan seluruh ciptaan. Melalui Anak kita semua dituntun masuk ke dalam Allah dan menjadi anak-anak-Nya.Sabda merupakan penggerak ciptaan dan pendorong segala kegiatan.  Dengan demikian, kita dapat melihat sebuah hasil kontemplasi Penginjil Yohanes mengenai asal-usul ilahi dari Yesus, sang Sabda. Yesus sungguh Allah. Di sinilah, pada titik ini, kita berhenti menarik napas, membuat jeda, sebelum kita melanjutkan Lectio Divina tentang “gerak bersama” ketiga Pribadi Ilahi dalam persekutuan ilahi, yang tidak tinggal diam ketika manusia itu terjebak dalam perangkap kuasa Iblis dan jatuh dalam dosa, tetapi malah memulai bersama sebuah proses karya mahaagung: Karya Keselamatan melalui Peristiwa Natal

Dengan demikian kita membaca dalam Prolog yang sama: “Firman/Sabda itu datang menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yoh 1:14). Bertolak dari alur kisah tersebut di atas, di mana Ratu Inggris, Ratu Elisabeth, meninggalkan istananya (sebagai lambang kesemarakan, kekuasaan dan kemapanan), dia mengenakan pakaian sederhana seakan-akan menyamar menjadi anggota masyarakat  biasa dan berjalan-jalan di jalan publik.  Firman yang menyatu dengan Allah, pemberi arti hidup manusia, dasar dan tujuan kegiatan manusia, pada satu saat dalam sejarah manusia menjelma, atau menurut teks kutipan kita dari Prolog Injil Yohanes tersebut “Firman menjadi daging” (Yoh 1:14), kini ia memasuki tahap menentukan, menjadi manusia, berada dalam waktu dan sejarah umat manusia. “Menjadi daging” berarti, mengambil kodrat manusia dalam kelemahan dan kerapuhan; dan “diam di antara kita”, maksudnya sejak saat itu Yesus manusia menjadi tempat hadirnya Allah. Meminjam istilah Thomas Aquinas, De Deo Incarnato Allah yang menjelma.

Penginjil Yohanes, khususnya dalam prolog 1:14 seperti yang terkutip di atas, bermaksud memperlihatkan asal-usul manusiawi Yesus. Tindakan Ratu Elisabeth membantu kita mencermati dengan mata iman peristiwa Inkarnasi: Allah menjadi manusia. Dalam rahim Bunda Maria, Sang Sabda menjadi manusia oleh kuasa Roh Kudus. Rahim Bunda Maria merupakan terminal-Nya. Gagasan Sabda/kebijaksanaan dipersonifikasikan. Maka, pada suatu saat dan tempat tertentu di bumi ini, menurut waktu, rencana dan rancangan Allah sendiri, Sabda telah menjadi manusia (kata manusia boleh dibaca daging (sarx, bahasa Yunani). Maksudnya Sabda itu benar-benar menjadi manusia. Yesus sungguh manusia. Yesus yang adalah Allah dan manusia masuk dalam sejarah umat manusia pada umumnya dan dalam sejarah keselamatan umat manusia pada khususnya. Yesus datang ke dunia dan menyejarah bersama manusia dan menjelmakan kita menjadi anak-anak Allah. Yesus masuk ke dalam dunia dan sejarah kita dan “tinggal di antara kita”, karena sama-sama manusia, kecuali dalam hal dosa, karena Yesus itu Allahmanusia yang suci murni. Yesus berdiam atau berkemah di antara kita mau menunjukkan kehadiran Allah di tengah umat-Nya di kemah suci (Kel 25:8-9; Zak 2:10). Allah yang jauh di dalam keabadiaan-Nya, kini menjadi dekat dengan manusia yang secitra dengan-Nya ketika diciptakan oleh-Nya sendiri.

Dalam prolog Yohanes 1:14, mau menunjukkan dan meyakini kita melalui pewartaan dan kesaksiannya yang tertulis bahwa Yesus adalah kemah Allah yang baru maksudnya Yesus menjadi tempat kediaman Allah dalam arti sepenuhnya maka Yesus adalah bait Allah yang sejati, tempat manusia dapat berjumpa dengan Allah. Yesus dimaklumkan sebagai Kasih Allah yang boleh dilihat, dialami dan dirasakan melalui karya penyelamatan yang dikerjakan oleh Yesus sendiri. Dengan kehadiran Yesus ini kita sungguh percaya kepada Allah karena Dia teguh dan setia dalam janji-Nya. Yesus adalah pewahyuan diri Bapa secara sempurnah kepada manusia karena Dia sendiri adalah Putera Allah yang sejak kekal ada bersama Allah. Kebenaran ini terungkap dalam sabda Yesus sendiri:  “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa!” (Yoh 14:9). Lagi pula “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh 14:7). Sekali lagi saya menggarisbawahi bahwa kedatangan Yesus ke dunia, dan menyejarah bersama manusia di dalam sejarah umat manusia mengubah paradigma tentang konsep Allah yang “jauh dan menakutkan.” Yesus sungguh mewahyukan Allah kepada kita. Allah itu sesungguhnya Kasih dan Hidup. Allah menyejarah bersama kita umat-Nya. Sabda menjadi manusia, personifikasi yang terarah kepada Yesus sebagai “komunikasi diri Allah”. Sabda yang menyatakan diri Allah. Seluruh perjanjian Baru, khususnya Injil sinoptik dan Injil Yohanes menekankan “komunikasi diri atau pewahyuan diri Allah”. Allah berbicara dalam diri/melalui Yesus dan menyatakan diriNya sepenuhnya kepada kita manusia. Pernyataan diri atau Firman Allah sudah ada pada Allah dari kekal, sebelum penciptaan langit dan bumi serta segala isinya dan menjelma dalam diri Yesus. Sabda yang menjelma menjadi daging, sarx. Maka, Sabda itu dapat menyatakan Allah dalam bahasa dan kenyataan hidup yang dapat ditanggap manusia. Firman menjadi shekinah (kehadiran Allah) di tengah umat. Kemah kehadiran Allah yang baru ialah Sabda yang menjelma dalam Yesus (bdk. Yoh 2:19-22). 

Dari alur penelusuran di atas, kita boleh melihat akibat dari penjelmaan itu atau “Sabda menjadi manusia”. Butir pertama yang kita pegang adalah bahwa Yesus memperlihatkan wajah Bapa. Di sini sekali lagi ditegaskan bahwa tidak hanya kata-kata-Nya melainkan pribadinya menunjukkan Allah. Hal ini diungkapkan Musa dalam Mazmur: “Buatlah kami melihat wajah Allah”. Yesus adalah kehadiran Allah; dia (Yesus) tidak hanya lahir tetapi “menjadi daging.” Inilah penjelmaan Allah terdalam. Butir yang kedua, penjelmaan itu pula mau menegaskan bahwa setiap sikap Yesus mewahyukan Bapa. Kita ingat akan karya pelayanan Yesus di tengah umat-Nya. Dan lebih lagi, sebagai butir yang ketiga, Yesus menjadi manusia untuk setiap kita secara pribadi. Yesus ada untuk kita manusia. Yesus menyingkapkan kebenaran bahwa setiap kita dikasihi Allah, betapapun gelap situasi, atau beratnya masalah, atau pula beban hidup yang dihadapi. Penjelmaan-Nya menyapa setiap kita. Butir lain yang disingkapkan melalui penjelmaan ini bahwa manusia menemukan arti sejarahnya. “Menjadi manusia” artinya Yesus terlibat dalam peziarahan umat manusia dan malah menjadi “Aktor Utama Pelaksana” dalam Sejarah Keselamatan umat manusia, dengan sebuah gerak lurus dari Allah dan menuju kembali ke Allah. Dan, ini merupakan perencanaan Allah. Akhirnya, dalam penjelmaan itu, Yesus menyatakan kehadiran Allah secara istimewa. Dalam Yesus, Allah menyatakan siapa Dia sebenarnya, yakni Allah Kasih, Persatuan, dan Hidup.

Dari semua penjelasan di atas kita melihat karya Allah menyatakan Diri-Nya dan Kasih-Nya kepada manusia. Tindakan penyataan diri Allah ini kita temukan secara utuh di dalam diri Sabda menjadi manusia, yaitu Yesus sendiri. “Menjadi manusia” menjadi sebuah langkah nyata Allah melalui mana manusia menerima Yesus sebagai satu di antara manusia, satu di antara kita dan juga menjembatani ke-Allahan Allah yang mencintai, menghidupkan dan membimbing manusia. Yesus: Allah dan manusia tinggal di antara kita. Seperti Penginjil Yohanes (Prolog 1:14), demikian pula Penginjil-penginjil sinoptik, menampilkan dimensi kemanusiaan Yesus khususnya asal-usul manusiawi Yesus” seperti yang terbaca dalam sejumlah perikop Injil. Lebih lanjut kita lihat kutipan-kutipan berikut:

Injil Matius berkisah tentang Silsilah Yesus Kristus (1:17) dan Kelahiran Yesus Kristus (1:18-25), lagi pula, Injil Lukas menulis tentang Pemberitahuan tentang Kelahiran Yesus (1:26-38), tentang Kelahiran Yesus (2:8-20), juga tentang Silsilah Yesus (3:23-38).

 

Penginjil-penginjil sinoptik, khususnya dengan semua kutipan di atas, bermaksud memperlihatkan asal-usul manusiawi Yesus. Kita arahkan penelusuran kita tentang  kutipan-kutipan tersebut.

Yang pertama, tentang “Silsilah Yesus Kristus” (Mat 1:17; Luk 3:23-38). Ada pesan pewartaan di balik catatan tentang Silsilah Yesus. Penginjil Lukas memperlihatkan bahwa Yesus: Anak Allah, Anak Manusia. Makanya setelah Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan, Penginjil menyisipkan Silsilah Yesus dalam cerita perikop ini. Dengan maksud menekankan pentingannya pengurapan Yesus oleh kuasa Roh Kudus pada saat dipermandikan. Daftar silsilah Yesus dari Lukas terlihat ada perbedaan dengan yang ditulis oleh Matius. Tanpa bermaksud mencermati perbedaan itu, kita hanya mau melihat bahwa Lukas menulis Injilnya untuk komunitas pembacanya: bangsa-bangsa lain, dengan penekanan bahwa Yesus membawa keselamatan bagi semua anak-anak  Adam. Lukas menekankan makna universal dengan melacak garis ketuturnan Yesus mulai dari Yusuf sampai Adam bahkan dalam ayat 38 tertulis “...anak Allah.” Di seputar kisah tentang silsilah Yesus ini ada sejumlah rincian biografis yang tentunya menarik perhatian kita tetapi sebenarnya tidak relevan untuk dianalisakan dalam konteks refleksi singkat ini. Yang jelasnya, dalam menulis garis keturunan Yesus, Lukas melacak nenek moyang Yesus mulai dari asal-usul keallahan Yesus dan turun ke Adam sampai pada Yusuf.  Sementara itu, Penginjil Matius menulis dan menempatkan kisah tentang silsilah Yesus ini pada awal Injilnya. Dia menulis: “Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham (Mat 1:1). Yesus ditempatkannya dalam tradisi Yahudi. Matius memulai narasi itu  dari Abraham sampai Daud bahkan garis keturunan itu berkelanjutan sampai sesudah pembuangan tahun 587 SM. Matius bermaksud memperlihatkan posisi dan kedudukan Yesus sebagai orang Yahudi. Perlu juga kita ketahui bahwa komunitas pembaca Matius adalah Kristen-Yahudi. Maka di dalam kerangka besar penulisan silsilah ini, penginjil berusaha meletakan asal-usul Yesus dari Nazaret dalam pewarisan umat pilihan Allah, bangsa Israel, sehingga bisa terbaca bahwa sejarah Israel dimulai dari Abraham dan memuncak pada masa Raja Daud dan setelah melewati masa pembuangan di Babel tercapailah kepenuhannya di dalam diri Yesus Mesias. Singkat kata, Penginjil Matius menggarisbawahi dua aspek penting dari silsilah Yesus ini yaitu penekanan pada kesinambungan Yesus dengan tokoh-tokoh besar umat Allah (Anak Abraham...Anak Daud) dan juga mempersiapkan kisah kelahiran Yesus dengan hal-hal yang luar biasa dan unik yang terjadi di seputar kisah kelahiran tersebut. Maka jelas, sebagai kesimpulan bahwa kedua Penginjil Penulis silsilah ini melacak nenek moyang Yesus melalui dan sampai pada Yusuf, ayah Yesus yang sah menurut hukum.

Yang kedua, tentang pemberitahuan tentang kelahiran Yesus (Luk 1:26-38 ) dan Kelahiran Yesus itu sendiri menurut Matius dan Lukas (Mat 1:18-25; Luk 2:8-20). Menyoroti soal pemberitahuan tentang kelahiran Yesus, penginjil Lukas melukiskannya dengan sangat indah. Sebuah perlukisan yang ditempatkannya dalam konteks  waktu, tempat dan penampilan tokoh-tokoh penting yang berperan di dalam kisah dialog tersebut. Maksudnya pemberitahuan yang terjadi pada bulan yang keenam, di sebuah kota di Galilea yang disebut Nazaret. Aktor utama dalam panggung dan pemberitahuan ini, antara lain: Allah sendiri, Malaikat Gabriel, Perawan Maria yang bertunangan dengan Yosef dari keluarga Daud. Yang terpenting di sini terlihat adanya inisiatif Ilahi, yakni dari Allah sendiri, keterlibatan Gabriel sebagai utusan Allah, dan Perawan Maria yang kepadanya disampaikan pesan Allah menyangkut kelahiran Sang Mesias. Maria menjadi tokoh yang penting dalam proses bagaimana Allah mau mewujudkan karya keselamatan bagi umat manusia. Kisah dialog itu ditutup dengan fiat Perawan Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Dari fiat Perawan Maria ini kita menemukan bagaimana Perawan Maria memosisikan dirinya sebagai hamba Tuhan dan sikap pasrahnya kepada rencana Tuhan yang disampaikan kepadanya. Katanya “...jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Di balik fiat Maria itu ada nilai-nilai teramat luhur yang menjadi muatannya adalah iman Maria dan kesediaannya menerima dan melaksanakan kehendak Tuhan. Maksudnya dalam sebuah kepasrahan yang total yang dibangunnya atas dasar imannya kepada Tuhan. Perawan Maria memberi diri sebagai sebuah bentuk partisipasinya dalam perwujudan rencana Allah bagi dunia dan manusia itu.

Selanjutnya menyangkut kelahiran Yesus itu sendiri. Dikisahkan oleh kedua penginjil, Matius dan Lukas. Matius menulis: “Ia akan melahirkan anak laki-laki... (Mat 1:21)  dan lebih lanjut, pada ayat terakhir dari perikop ini, Mathius manulis: “...sampai ia melahirkan anaknya laik-laki...” (Mat 1:25). Sementara itu Lukas mencatat dalam kisah kelahiran Yesus “dan ia melahirkan seorang anak laki-laki...” (Luk 2:7). Fakta kelahiran melingkupi hidup Yesus dan fakta dilahirkan menandakan dimensi kemanusiaan Yesus. Bahwa Yesus sungguh-sungguh dilahirkan; seperti kata Yohanes “Sabda menjadi manusia.” Perkandungan Yesus dalam rahim Perawan Maria oleh karena kuasa Roh Kudus. Yesus dilahirkan oleh Perawan Maria. Teks-teks tentang kelahiran Yesus itu bermaksud menempatkan Yesus secara tegas di tengah umat manusia; Yesus mengalami lingkaran kehidupan dan kematian sebagai manusia, seperti yang dialami oleh manusia pada umumnya. Yesus: Allah dan manusia tinggal di antara kita. Itulah Yesus historis.

Pernyataan akan kodrat ilahi dan kodrat manusia dalam pribadi Yesus, Sabda yang menjelma itu telah diakui oleh Konsili Kalsedon yang berusia seribu lima ratus tahun pada tahun 1951. Kalsedon telah mengakui dan menyatakan bahwa jati diri Yesus Kristus harus dipahami terdiri dari dua kodrat, yaitu kodrat ilahi dan kodrat manusiawi. Dan kedua kodrat itu menjadi satu dalam satu pribadi. Maksudnya dalam pribadi Yesus, sepenuhnya benar-benar ilahi dan benar-benar manusiawi. Untuk tidak memperpanjang penelusuran arti mendalam terkait jati diri Yesus itu, kita angkat pengalaman –pengalaman manusia yang menyentuh kapasitas untuk “bertanya”, terus mencari arti dan makna dari setiap realitas hidup, dalam kaitannya dengan pengalaman cintakasih, dan pengalaman manusia yang memiliki harapan ketika berhadapan denga segala problematika hidup, mengantar kita pada kesadaran yang sama akan dimensi manusiawi bahwa manusia memiliki dorongan batin yang dinamis menuju yang tak terbatas, yang kita sebut Allah. Kata Santo Agustinus: “Engkau menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri ya Allah, dan hati kami tidak tenang sebelum beristirahat dalam diri-Mu.” Kita mengakui bahwa kita diciptakan untuk Allah dan ini bukan sebuah kebetulan. Maka pada prinsipnya, kodrat manusiawi adalah mencari dan mendambakan yang tak terbatas. Dan, ini menyingkap misteri makna menjadi manusia, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi Yesus. Konstitusi pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes, 22) mengukuhkan kemanusian Yesus Kristus. Katanya: “Kodrat manusiawi disambut, bukan luluh diserap.... Ia bekerja dengan tangan manusiawi, Ia berpikir dengan akal budi manusiawi, Ia bertindak dengan kehendak manusiawi, dan dengan hati manusiawi Ia mencintai. Karena lahir dari Perawan Maria, Ia sungguh telah menjadi seorang di antara kita, menyerupai kita dalam segalanya kecuali dosa.”

Selanjutnya menyinggung kodrat ilahi, kita menyadari bahwa kodrat Allah (apa adanya Allah sendiri) sama sekali tidak kita pahami. Kata, konsep, gambaran, nama dan definisi yang dipakai manusia tidak mampu mengungkapkan apa adanya Allah secara penuh dan utuh. Maka kita tidak dapat memahami Allah sepenuhnya dan seutuhnya. Allah adalah misteri, namun kita dalam iman Kristiani selalu berani menyatakan bahwa Allah adalah Kasih, misteri kasih yang amat mendalam. Perjanjian Baru merangkum Allah dalam satu kata: “Allah adalah Kasih” (1Yoh 4:8). Cinta kasih mampu memberikan diri-Nya sendiri, mampu mencurahkan diri-Nya sendiri, mempersatukan diri-Nya sendiri dengan orang lain. Inilah kodrat ilahi sebagai misteri cinta kasih yang mengomunikasikan diri.  Sehubungan dengan Yesus dari Nazaret, kita bertemu dengan seorang yang persatuan-Nya dengan Allah lebih mendalam dari siapa pun di antara kita. Jika kemanusian-Nya dipersatukan dengan ke-Allahan-Nya dengan cara yang sangat mendalam, maka apa yang harus kita katakan? Yesus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah.

Oleh penjelmaan-Nya Yesus “sama dengan kita, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15-5:3).  Yesus Kristus adalah Allah beserta kita. Dengan bantuan konsep kenosis atau pengosongan diri, Allah, Cinta kasih yang secara kekal mengungkapkan diri di dalam kodrat ilahi, dalam waktu, dalam kodrat manusiawi. Allah mengosongkan diri-Nya sendiri dari kemuliaan kodrat ilahi-Nya. Dalam kaitan dengan  Yesus, Paulus menulis: “Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik-Nya yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2:6-7).  Dalam konteks pencarian dan pemaknaan jati diri Yesus, maka kita patut menegaskan kembali bahwa kodrat manusiawi adalah pencarian yang mendalam, yang mendambakan yang tak terbatas. Kodrat ilahi adalah misteri Kasih yang tak terpahami sepenuhnya, yang memberikan diri-Nya seutuh-utuhnya. Kedua kodrat itu bersatu dalam penjelmaan, dalam kesatuan pribadi, Yesus. Sebagai manusia, Yesus adalah Anak Allah. Ia sepenuhnya manusia dan seperti itu Ia adalah Allah yang telah mengosongkan diri-Nya masuk dalam sejarah kita dan menyejarah bersama kita semua. Yesus benar-benar manusia dan sekaligus tetap utuhnya benar-benar Allah. Itulah keutuhan pengakuan iman kita.   

Yesus Kristus lahir sebagai pengungkapan diri Allah sendiri dalam waktu. Misteri Cinta Kasih Allah yang memberikan diri dalam diri Yesus, dalam wujud-Nya sebagai manusia, mengejawantakan pengosongan diri Allah, Kasih. Maka,  Perayaan Natal sesungguhnya menjadi momen Tuhan memberi makna bagi hidup kita secara menyeluruh.

Kelahiran Yesus, Natal,  kita rayakan bersama setiap tahun dengan kualitas iman yang bermacam-macam sesuai dengan konteks hidup dan budaya umat beriman yang beragam warnanya dan dalam lingkup peradaban yang berbeda pula.  Kenyataan ini terkadang membuat umat beriman kurang menyadari  akan makna terdalam dari Natal, Pesta Kelahiran Yesus. Maka selayaknya sambil memegang teguh butir-butir pesan pewartaan seperti yang kita uraikan di atas, kita juga perlu melihat pemaknaan Natal itu sesuai dengan konteks kehidupan umat beriman dari waktu ke waktu melalui beberapa rekam pemaknaan akan perayaan Natal itu. Oleh karena itu, melalui sajian beberapa rekam pemaknaan perayaan Natal di bawah ini, kita bisa melihat sejauh mana Pesta Natal itu dirayakan, sedalam mana iman dan motivasi umat berpartisipasi dalam Perayaan Natal tersebut di dalam lingkup kehidupan kebanyakan umat manusia, termasuk umat beriman sendiri, yang boleh saja mengalami “pergeseran.”

 

Rekam Pemaknaan Natal

Pada bagian ini, saya mau menunjukkan arti dan pemaknaan Natal yang terungkap melalui beragam cara Pesta Natal itu dirayakan dalam konteks budaya dan keimanan umat manusia atau umat beriman khususnya akan Pesta Natal itu.

Untuk sementara orang, Natal merupakan sebuah pesta komersial. Adanya tawaran diskon natal; hadirnya “papa natal” di pusat-pusat pembelanjaan yang beraksi menyalami pengunjung dan bagi-bagi hadiah. Jauh-jauh hari sebelumnya, kita melihat dekorasi natal tertatah indah, gemerlap pernak-pernik natal: beragam hiasan dan pohon-pohon natal terpajang rapih di sepanjang lorong mall juga di ruko-ruko. Sementara itu, hati dan perasaan terbuai dalam keindahan musik dan alunan merdu lagu-lagu khas Natal. Kadang terasa lucu karena kita sudah bisa mendengarkan lagu “Silent Night” di awal bulan Oktober. Mungkin inilah sebuah kemasan persiapan, bagai suguhan pembuka  menjelang dan menyongsong sajian menu utamanya yakni perayaan Pesta Natal. Ya adanya kesibukan dalam bulan-bulan sebelum akhir tahun khususnya setiap kali sebelum hari Natal. Orang sibuk mempersiapkan dan merayakan Natal. Dan pusat-pusat pembelanjaan seolah-olah menjadi pusat perayaan Natal.

Bagi yang lain, Natal merupakan sebuah pesta keluarga. Spirit “belong to” dan “to feel as a part of” keluarga sangat kuat. Semua anggota keluarga berkumpul bersama kembali, diikat satukan oleh “tali pusat” bagai “benang keluarga dan kekeluargaan.”  Setiap anggota keluarga merasa gembira di tengah keluarganya, boleh berjumpa kembali dengan anggota keluarga yang lain. Lahirlah istilah “pulang ke rumah” kalau pesta Natal. 

Bagi sejumlah orang lain, Natal dimaknai sebaliknya dari apa yang sudah dikatakan di atas. Natal, bagi mereka, merupakan sebuah pesta dalam kesunyian dan kesendirian. Tentu ini bagi yang hidup sendirian, singel, tanpa keluarga. Ada perasaan “sendirian” di tengah semarak pesta; mereka melewati pesta Natal tidak dengan siapa-siapa.

Yang lain lagi yang hidup di tengah kecamukan perang, mungkin mengejutkan kita, kalau dikatakan bahwa mereka sungguh mengalami “damai, sukacita, kegembiraan”, pada Hari Raya Natal,  karena pada hari raya Natal itu, dikatakan bahwa orang berhenti tembak-menembak. Lebih dari itu, ada yang mengalami Pesta Natal sebagai “momen sesaat” di mana orang melupakan krisis, orang melupakan semua beban dan masalah hidup, tentu hanya dengan merayakan Natal dan merasakannya di dalam relung hati.

Bagi kalangan remaja  atau pun kebanyakan orang, Natal merupakan sebuah pesta “hadiah”, maksudnya orang tukar menukar hadiah di hari pesta itu. Natal sama dengan hadiah: memberi dan menerima hadiah. Dalam konteks ini, maka terlihat bagaimana pusat-pusat pembelanjaan menjadi sangat ramai, toko-toko diisi dengan bermacam-macam hadiah. Orang berbelanja dengan harga corting. Orang seakan “demam” belanja hanya demi pesta Natal. Pikiran dan perasaan terjebak dalam sebuah “gengsi” mesti memiliki ini dan itu biar terasa nuansa pestanya. Puncak dari nuansa ini adalah “memberi, menerima dan mengucapkan terimakasih”. Di sini boleh saja, Natal dimaknai hanya sebatas sebuah hadiah. Saya merasa kita tidak berhenti di sini walau hanya sekedar “memberi dan menerima” hadiah.  Maka pertanyaan kita adalah apa tujuan yang mau diperoleh dengan tindakan “memberi dan menerima hadiah?” Mengapa orang saling “tukar-menukar hadiah?” Biasanya orang mengenangkan dan merayakan peristiwa tertentu dalam hidupnya, seperti hari ulang tahun kelahiran, hari ulang tahun pernikahan, atau ulang tahun hidup membiara dan kaul kekal atau ulang tahun imamat, dll. Pada kesempatan itu orang mendapat hadiah. Lahirlah rasa gembira dan syukur dalam diri penerima dan pemberi hadiah. Penerima tentu memerlukan hadiah itu. Penghargaan kita terhadap sebuah hadiah yakni dengan cara menggunakan hadiah tersebut. Maka dia menerimanya dengan penuh rasa syukur. Dan lebih dari itu, kita pun perlu menyadari bahwa di balik hadiah yang diterima ada pesan dan ada pula nilai-nilai luhur yang dikomunikasikan, seperti persaudaraan, penghargaan, kasih dan sukacita. Diharapkan tidak terjadi “barter” atau do ut des atau kompensasi material pada kesempatan-kesempatan istimewa yang dirayakan itu. Atau juga bukan atas dasar pertimbangan “untung-rugi.” Cinta itu pemberian karena mengasihi. “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35).

 

Natal Tanpa Yesus Bukanlah Perayaan Natal

Dengan hadiah saja, rasanya tidak cukup dan pantas kita menjadikan Natal sebagai sebuah perayaan Natal. Bagi kita umat kristiani, Pesta Natal (dari bahasa Latin: natalis kelahiran) adalah perayaan kelahiran Tuhan Yesus, Putra Allah, Penyelamat, yang dinantikan, seperti yang diwartakan oleh para Nabi. Sedangkan kata Yesus, dalam bahasa Ibrani artinya Tuhan menyelamatkan. Nomen est omen nama adalah tanda. Nama Yesus mengungkapkan identitas-Nya yang sejati dan karya misi-Nya yakni menyelamatkan manusia dari dosa dan menuntun mereka kepada Allah Bapa. Kelahiran Yesus merupakan jantung Inkarnasi. Agenda besar Tuhan adalah melaksanakan penyelamatan bagi umat manusia. Maka langkah awal yang diambil Tuhan adalah Firman, Putra Tunggal Bapa, menjadi manusia tanpa kehilangan sedikitpun keilahiannya walau Dia mengambil rupa manusia. Credo kita merangkum peristiwa Inkarnasi Firman ini. “Aku percaya akan Allah, Bapa (...) dan akan Yesus Kristus (...). Justru karena demi kita manusia dan keselamatan kita, maka Yesus turun dari suga, diutus Bapa. Berkat karya Roh Kudus, Dia dikandung oleh Perawan Maria dan menjadi manusia.

 “Telah lahir bagimu Juru Selamat.” Bahwa sang Firman Allah menjadi manusia. Penginjil mengisahkan peristiwa besar ini yakni peristiwa kelahiran Yesus. “Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:6; Mat 1:18-25). Di wilayah itu ada gembala-gembala yang sibuk dengan kerja penjagaan domba-domba. Mereka pun diberitahukan Malaikat kabar gembira bahwa “hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:11). Mereka pun diberi tanda agar gampang menemukan isi kabar yang menggembirakan itu, yakni “kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring dalam palungan” (Luk 2:12).  Tidak terlihat bahwa ada sesuatu yang mencolok mata. Yang terjadi hanyalah biasa-biasa saja. Yang dilukiskan Penginjil hanya adanya kandang binatang, lampin dan palungan dan orang tua Yesus: Maria dan Yusuf  bersama dengan bayi Yesus dalam palungan.  Lalu menyusul para gembala. Tidak ada sanak-kerabat, anggota keluarga besar yang datang pada waktu kelahiran; yang lain baru berdatangan setelah mendapat kabar. Yang terlihat lagi di dalam kandang binatang itu kebutuhan dan keperluan bagi bayi Yesus, seperti bayi-bayi lain pada umumnya.

Kondisi saat Yesus lahir sangatlah sederhana dan boleh dikatakan bahwa “memang dalam kemiskinan”. Ini sangat menakjubkan. Yesus, Putra Allah datang ke dunia bukannya dengan segala kekuasaan dan keperkasaan serta kebesarannya. Sesungguhnya Dia juga tidak dipaksakan datang. Alasannya hanyalah karena KASIH. Allah Bapa setia dalam janji-Nya dan dengan kasih pula Allah mewujudkan rencana kedatangan Putra-Nya itu demi keberpihakan dan tindakan bela rasa kepada umat manusia. Maka, tak ada tempat baginya di rumah penduduk kota. Ia merasa puas dengan lahir di dalam sebuah kandang, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan. Itu sudah cukup bagi-Nya. Dan justru di dalam konteks dan kondisi seperti inilah Yesus lahir. Yesus lahir di Betlehem di antara anak-anak miskin lainnya; menurut pandangan mata kita manusia, Yesus lemah dan tidak punya kekuatan membela diri. Yesus datang ke dunia, tinggal di antara manusia, mengambil bagian dalam kondisi hidup manusia kecuali dalam hal dosa. Firman menjadi manusia. Jauh sesudah itu, Yesus, dalam karya-Nya di tengah publik, mengatakan: “sebab ketika Aku lapar...ketika Aku haus...ketika Aku seorang asing...ketika Aku telanjang...ketika Aku sakit...ketika Aku di dalam penjara...” (Mat 25:35-36). Yesus tidak membicarakan kondisi kelahiran-Nya, tetapi yang kita lihat dari kelahiran-Nya adalah bahwa Yesus menjadi seperti kita. Karena Yesus mengatakan bahwa “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).

Natal sebagai sebuah hadiah mengingatkan kita akan peristiwa besar dan penting yaitu kelahiran Yesus. Hal ini merupakan sebuah hadiah Tuhan bagi umat manusia karena memang sangatlah diperlukan oleh umat manusia dalam seluruh proses peziarahannya. Maka jelas bagi kita umat beriman, bahwa pada perayaan Natal Tuhan Allah memberi diri kepada manusia dalam diri Yesus kristus. Maka sekali lagi kita katakan bahwa Natal merupakan sebuah Pesta Hadiah. Namun haruslah kita sadari bahwa Natal tanpa Yesus bukanlah sebuah perayaan Natal. Yesus merupakan hadiah dari Allah untuk kita. Tuhan memberi diri dalam diri Yesus dan kita umat-Nya menerima dan menyambut Yesus dalam iman, sukacita dan damai. Walau keadaan dan kondisi hidup kita sulit, tetapi kita jangan melupakan bahwa Perayaan Natal mengingatkan kita bahwa Tuhan Allah tidak pernah berhenti mencintai kita.  Allah yang transenden, jauh menjadi Allah yang immanen, dekat dalam diri Yesus Kristus dan ada menyertai kita dan bahkan tinggal di tengah-tengah kita. Karena Allah mau dan tetap bersolider serta  berbelarasa dengan kita umat-Nya dan memenuhi hati kita dengan segala rahmat (rahmat damai, cinta dan iman, dan rahmat-rahmat yang lain) dan berkat-Nya.  Natal menyusutkan egoisme kita; Natal mengusik jiwa materialistis; Natal menjauhkan gaya hidup hedonisme; Natal menghalau kejahatan dan permusuhan. Kelahiran Yesus adalah tanda kehidupan yang selalu diperbaharui dan menjadi sumber yang diandalkan bagi pengharapan dunia.

 

Berbagi: Sebuah Urgensi

Menelusuri alur renungan ini, maka kita tidak hanya sampai pada penegasan prinsip imani kita dan pembaruan butir-butir iman kita itu  akan Natal, Kelahiran Yesus, Sang Juru Selamat. Mestinya ada suatu tindak lanjut dari pemaknaan imani akan Natal Yesus itu. Rasul Yakobus mengatakan: “iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26). Hal ini menuntut suatu konsistensi dalam hidup antara perkataan dan perbuatan, antara iman dan penghayatan, maksudnya apa yang kita imani itu kita wujudkan, kita hayati dalam kehidupan harian kita. Menyadari kecenderungan dan kelemahan kita, kita perlu selalu menyikapi secara kritis seruan ini  do more talk less.

Pemikiran-pemikiran di atas mendorong dan memotivasikan kita untuk “berbagi”, satu dimensi sentral dari misi kita. Pepatah Perancis mengatakan: Noël, c’est partager. Maksudnya, Natal itu artinya membagi (berbagi). Ini mengingatkan kita bahwa kita sudah menerima secara cuma-cuma dari Tuhan maka kita diajak membagikan pula dengan cuma-cuma apa yang kita terima dari Tuhan itu. Kita dapat memahaminya bahwa ini merupakan sebuah cambuk penyemangat bagi kita umat beriman untuk memberi dengan gratis atau berbagi  kepada sesama dengan cuma-cuma karena kita sudah menerima secara gratis pula. Inilah makna Natal dan sekaligus misi kita baik secara intern maupun secara ad gentes melampaui batas-batas agama, suku dan budaya. Bahwa kita telah menerima Yesus secara cuma-cuma dan sudah tiba waktunya, dan saatnya giliran kita membagikan Yesus yang sama secara cuma-cuma pula kepada sesama.

Tidak ada sesuatu yang lebih indah, lebih penting dan lebih mendesak dari pada membagikan secara cuma-cuma kepada sesama apa yang kita peroleh dari Allah, yakni Yesus: kasih Allah dan Firman yang menjelma itu. Kita yang sudah menerima karunia iman dari Tuhan terdorong mengomunikasikan iman yang sama itu kepada sesama; kita yang sudah mendapat rahmat keselamatan dari Allah, disemangati menularkan rahmat keselamatan yang sama kepada sesama. Yesuslah inti dari pewartaan. Sabda Yesus, pengajaran-Nya dan tindakan penyelamatan-Nya menjadi isi dari kesaksian dan pelayanan kita.

Misi Evangelisasi Gereja merupakan jawaban terhadap seruan Maranatha datanglah, ya Tuhan Yesus yang patut bergema dari setiap mulut umat beriman sepanjang sejarah hidupnya dalam bingkai sejarah keselamatan. Saya mengutip Visi dan Misi CSE, Putri Karmel, dan KTM yang berbunyi: “Dalam kuasa Roh Kudus, mengalami dan menhayati sendiri kehadiran Allah yang penuh kasih dan menyelamatkan sampai pada persatuan cinta kasih serta membawa orng lain pada pengalaman yang sama.” Kebenaran yang menghidupkan, yang menjadi daging dalam diri Yesus terus mengobarkan hati setiap orang yang menerima dan mengakuinya dalam cinta kasih. Hal ini pun patut dibagikan kepada sesama secara gratis. Dalam perayaan Natal kita menyadari bahwa Allah mendekatkan diri, menyatakan kasih-Nya bahkan memberi diri-Nya bagai sebuah hadiah. Dan sikap kita, mula-mula adalah memberikan apresiasi dalam bentuk pujian dan syukur, lalu menerima hadiah itu dengan penuh cinta kasih dan iman serta berbagi dengan yang lain. Dalam hal ini Maria Bunda kita menjadi model yang tidak ada bandingannya bagi misi Evangelisasi. Bunda Maria tidak menyampaikan ide atau gagasan kepada kita melainkan Ia mengkomunikasikan Sabda yang menjelma. Maka pada kesempatan mengambil bagian dalam perayaan Natal kita boleh merasakan “kegembiraan membagi” baik Allah yang membagi maupun umat beriman yang juga berbagi kepada sesama apa yang diterimanya dari Allah. Inilah kabar gembira bagi kita semua. Allah begitu mencintai kita sehingga memberikan Putra-Nya agar dunia diselamatkan oleh-Nya.

 

Penutup

Manusia selalu dalam peziarahan. Dan pada kodratnya, manusia terus-menerus mencari Allah. Diimani bahwa Allah mewahyukan diri-Nya bagi manusia, maka manusia selalu berjuang untuk menemukan Allah, mengalami Kasih-Nya. Untuk sampai pada pengalaman akan Kasih Allah yang dihadirkan oleh Yesus Kristus, manusia mempertaruhkan  seluruh usahanya, dan Allah pun menolong manusia dengan kuasa dan rahmat-rahmat-Nya. Saya meyakini bahwa seorang manusia tidak akan pernah puas dalam hidupnya hanya bila ia sudah berjumpah dengan Allah. Santa Edith Stein menulis: “Setiap orang yang mencari kebenaran, pastilah mencari Allah, entah disadari entah tidak.” Allah mendekati kita dan mewahyukan diri-Nya kepada kita oleh karena Cinta Kasih-Nya kepada kita semua. Allah membuka diri-Nya dan seakan-akan menempuh sebuah perjalanan dari “keabadiaan” menuju “Firman menjadi manusia” yang adalah Wahyu yang paripurna dalam Yesus Kristus. Allah hadir di tengah-tengah kita dan selalu menyertai kita. Maka, melalui Yesus Kristus, Allah yang “tidak kelihatan dan jauh menjadi kelihatan dan dekat” dengan kita umat-Nya. Tujuan dari semuanya itu supaya manusia memperoleh keselamatan.