Print
Hits: 14181

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

 

1.  Pengantar

Banyak orang takut mendengar Pembaruan Karismatik Katolik. Sebagian orang lain alergi, menjauh, dan asing terhadap mereka yang mengikutinya. Tetapi, sebagian lagi semangat tapi kadang bersikap ekstrim. Apa yang harus kita lakukan? Sikap mana yang tepat? Apa yang harus kita buat? Siapa yang menjadi rujukan? Kita perlu mendapatkan pengertian yang tepat tentang Pembaruan Karismatik Katolik.

 

2.  Sejarah Singkat PKK

Pembaruan Karismatik Katolik (selanjutnya akan disingkat PKK) merupakan salah satu pembaruan rohani dalam Gereja Katolik. PKK lahir dari keprihatinan sebagaian umat Kristiani pasca Konsili Vatikan II, di satu pihak adanya kemerosotan iman, moral dan hidup rohani akibat pengaruh modernisme atau rasionalisme, dan di lain pihak kerinduan umat untuk masuk dalam pembaruan rohani, yakni hidup iman dan hidup rohani yang makin mendalam seturut ajaran dan tradisi Gereja. Itulah sebabnya, sekelompok cendekiawan sekitar 30 orang yang terdiri atas pakar teologi, dosen, dan mahasiswa mengadakan pertemuan “teologis-spiritual” di Universitas Duquesne, Pittsburgh-Amerika, pada tanggal 18-19 Februari 1967. Singkat kata, mereka ini mengalami pembaruan rohani melalui pengalaman “Pencurahan Roh Kudus”. Pembaruan ini menyebar sampai menghimpun 30.000 orang pada bulan Juni 1974 di Universitas Notredame, Amerika Serikat, bahkan hingga saat ini meliputi seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, PKK dimulai di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang tak jauh berbeda, yaitu di Malang pada tahun 1975 dan di Jakarta pada tahun 1976. Di Malang, PKK dimulai oleh Rm. Yohanes Indrakusuma O.Carm dan Rm. Mollink O.Carm melalui suatu Persekutuan Doa yang diikuti oleh 12 orang. Setelah berlangsung selama setahun dan melalui “Pencurahan Roh Kudus”, pembaruan ini menyebar ke Surabaya dan ke tempat-tempat lainnya. Sedangkan, di Jakarta dirintis oleh Mgr. Leo Soekoto SJ yang mengambil alih undangan kepada Rm. O’Brien SJ dan Rm. H. Schneider SJ. Tokoh pertama dari pembaruan ini ialah Bapak Abdisa (alm). Selanjutnya, pembaruan ini dilanjutkan oleh Rm. Sugiri SJ yang didatangkan dari Solo. Sejak saat itu, pembaruan itu terus berkembang dan menyebar ke pelbagai tempat di seluruh penjuru Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari pembaruan di dua tempat ini, diadakan Konvensi Nasional (Konvenas) I pada tahun 1981 hingga saat ini, dari 200 orang terus berkembang dan bertambah banyak hingga saat ini. Hasil dari pembaruan ini ialah hampir semua keuskupan memiliki Persekutuan Doa Karismatik Katolik. Kendati perkembangan berbeda pada setiap keuskupan, ada yang mendukung, tetapi tidak jarang orang bersikap hati-hati atas pembaruan ini. Kemudian pada tahun 1983, MAWI (sekarang KWI) menerbitkan Pedoman Pastoral untuk Pembaruan Karismatik Katolik. Isi dari pedoman pastoral itu adalah pembaruan ini berasal dari Roh Kudus, namun pembaruan ini harus dibimbing dengan baik supaya berkembang dengan baik.

 



3.   Hakekat dan Tujuan PKK

3.1.  Pengertian PKK

Sejak perkembangan, ada dua perbedaan istilah dari PKK, yakni “Pembaruan Karismatik Katolik” dan “Pembaruan Hidup Rohani”. Memang, keduanya hanya berbeda pernyataan saja, tetapi sesungguhnya menunjuk pada realitas yang satu dan sama. Maka, ada beberapa hal yang patut diperhatikan sebagai berikut.

Setiap pembaruan dalam Gereja, baik itu pembaruan Kitab Suci, Liturgi, Dogma dan sebagainya, dia selalu kembali pada sumber, yaitu Kitab Suci dan tradisinya. Maka, pembaruan ini mau kembali kepada semangat dan cara hidup Gereja awali (bdk. Kis 2: 41-47), yaitu keterbukaan total kepada bimbingan dan kuasa Roh Kudus, termasuk karisma-karisma-Nya.

Dalam PKK, penggunaan karisma-karisma memang penting, tetapi bukan yang terpenting dan yang terpenting ialah hidup dalam iman, pengharapan dan kasih (bdk. 1 Kor 13). Selain itu, PKK bukanlah satu-satu melainkan salah satu pembaruan yang berguna bagi Gereja, yakni suatu pembaruan rohani dalam Gereja. Suatu pembaruan yang menunjuk pada kesadaran baru dalam keterbukaan total terhadap bimbingan dan kuasa Roh Kudus.

Itulah sebabnya, kita perlu membedakan dalam PKK, aspek sosiologis dan aspek teologisnya. Kita harus tahu mana yang menjadi sarana dan mana yang menjadi tujuan. Apa yang menjadi aspek sosiologis atau sarana, sekunder, penunjang tak boleh menjadi atau menggantikan aspek teologis yang menjadi tujuannya, yang pokok, yang patut diperhatikan dan yang harus dihidupi.

 

3.2.  Hakekat PKK

Demi memahami hakekat atau inti PKK, kita perlu mengenal pula aspek sosiologis. Aspek ini hanya menyangkut ungkapan-ungkapan lahiriah dan terbatas dalam watak, kebiasaan, tradisi suatu tempat dan waktu, misalnya cara berdoa dalam PD, ungkapan-ungkapannya, tepuk tangan dan tarian. Hal ini tak dapat dimutlakkan, namun perlu sebab ini semua bersifat sebagai “bungkus” supaya orang tertarik dan mau menikmati isi, hakekat, inti atau jantung dari PKK.

Hakekat dari PKK ialah suatu penyadaran secara baru (tidak biasa dan unik) kehadiran Roh Kudus yang membarui hidup Gereja dan umat Allah. Ini yang patut diperhatikan dan tak boleh digantikan dengan aspek sosiologis. Melalui PKK, orang mengalami pembaruan hidup, suatu perubahan diri pribadi, yang meliputi budi, ingatan, kehendaknya, dari manusia lama menjadi manusia baru dalam Kristus.

Dalam segala sesuatu ia tak lagi menyandarkan diri pada kekuatan dirinya sendiri, ia menjaga jarak dari kuasa duniawi, dan ia menjauhkan diri dari kuasa-kuasa kegelapan yang nyata dalam kuasa perdukunan, dan sebagainya. Ia mulai mengandalkan Tuhan Yesus dan kuasa Roh-Nya sebagai sumber kekuatannya dan menjadi dasar dan tujuan seluruh hidupnya. Dengan demikian, melalui PKK, ia mau menggapai kepenuhan hidup Kristiani yang dirumuskan oleh Konsili Vatikan II, yakni Panggilan Universal kepada Kekudusan dan Kesempurnaan Hidup Kristiani (bdk. LG 40) atau kerap disebut persatuan yang sempurna dengan Allah dalam cinta kasih.

 

3.3.  Tujuan PKK     

Demi menggapai tujuan hidup Kristiani dan yang menjadi tujuan pokok PKK, yaitu persatuan cinta kasih dengan Allah, maka ada aspek-aspek dasar atau hidup trinitas yang perlu dihayati dalam hidup sebagai berikut:

 

3.3.1.  Hidup dalam Bimbingan dan Kuasa Roh Kudus

Suatu kesadaran baru bahwa kita sepenuhnya “Hidup dalam Roh” (bdk. Rm 8:14). Artinya, kita sebagai orang Kristiani menerima karunia Roh Kudus dalam Sakramen Pembaptisan sebagai Anak-anak Allah yang hidup dalam bimbingan dan kuasa Roh Kudus. Karena itu, kita rela meninggalkan dosa dan hidup dalam kuasa Roh Kudus. Itu berarti, kita juga bertumbuh dalam karunia (pengudusan hidup) dan karisma Roh Kudus (pelayanan demi umat Allah). Namun, tidak hanya berhenti pada pengalaman tertentu, tetapi terus berkembang sampai puncak, yaitu pengalaman Roh Kudus pada persatuan dengan Allah (bdk. ajaran S. Teresia dari Avila dan S. Yohanes dari Salib).

 

3.3.2.  Pengenalan akan Allah Bapa

Melalui PKK, orang menerima pengalaman Roh Kudus, bahwa Roh Kudus selalu menyatakan Allah itu adalah Bapa kita, “ya Abba, ya Bapa” (Rm 8:15). Bukan karena kekuatan kita, tapi dengan kuasa Roh Kudus, kita berani untuk menghayati komitmen, yaitu memasuki perjumpaan yang mesra dengan Allah yang mengubah kita. Untuk mencari dan melaksanakan kehendak-Nya. Untuk mewartakan karya agung-Nya dan menjadi Dia dicintai demi kemuliaan nama-Nya dan keselamatan jiwa-jiwa.

 

3.3.3.  Yesus Kristus adalah Tuhan dan Penyelamat

PKK membawakan kepada kita kehadiran baru Roh Kudus. Oleh kehadiran Roh Kudus itu kita boleh mengalami, bahwa Yesus sungguh-sungguh hidup. Kita juga menerima keyakinan, bahwa Yesus yang disalibkan itu telah bangkit kembali dan kini hidup dan memerintah bersama dengan Bapa. Kita juga disadarkan, bahwa Yesus adalah Tuhan dan Penyelamat kita (bdk. Flp 2: 11). Oleh kehadiran Roh Kudus ini dengan sungguh-sungguh kita dapat berkata, bahwa Yesus adalah Tuhan. Roh Kudus menyadarkan kita pula, bahwa Yesus harus menjadi pusat hidup kita. Dialah yang harus meraja di dalam hidup kita oleh kuasa dan kehadiran Roh Kudus. 

 



4.  Bahaya-bahaya yang Harus Dihindari

Untuk mencapai hakekat dan tujuan PKK, maka orang pun harus menghindari menghindari, tindakan eksterm yang bisa menghambat buah-buah rohani PKK bagi Gereja dan umat-Nya.

 

4.1.  Fundamentalisme Biblis

Memang, melalui PKK orang semakin rajin dan tekun membaca Kitab Suci, akan tetapi patut diwaspadai gejala ekstem menafsirkan Sabda Allah sesuka hati, secara terpisah, melupakan kesatuan ajaran Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium Gereja.

 

4.2.  Subjektivisme

Dengan adanya PKK, orang semakin serius menghayati dan memperdalam iman dan hidup rohani, tetapi hendaknya hati-hati supaya segala pengalaman rohani yang dimutlakkan dengan perasaan belaka, misalnya menyangka sudah mengetahui kehendak Allah padahal belum. Selain itu, hindari “yang penting Roh Kudus bekerja”, padahal amat diperlukan usaha dan tanggung jawab dari pihak manusia. Ditambah lagi betapa berbahaya jika segala sesuatu diukur dalam pengalaman emosional belaka.

 

4.3.  Kesombongan Rohani

Seperti layaknya pembaruan rohani yang lain dalam Gereja, orang hendaknya berhati-hati dan menjauhi segala bentuk kesombongan rohani, betapapun itu halus dan sulit dideteksi. Misalnya, terlalu percaya pada pernyataan-pernyataan dalam doa, padahal belum tentu dari Tuhan. Berpuas diri pada karisma, bukan pada cinta kasih. Yang penting ialah menghayati karisma dalam kasih. Tanpa kasih segala sesuatu tak ada gunanya. Seperti kata rasul Yakobus: “Iman tanpa perbuatan pada dasarnya adalah mati” (bdk. Yak 2:17).

 



5.  Hidup dalam Iman dan Kerendahan Hati

Supaya kita tak salah melangkah, maka amat penting kita hidup dalam kebajikan iman, pengharapan dan kasih. Memang, karisma-karisma itu penting, namun yang terpenting dan terutama ialah hidup dalam kasih. Jadi, pergunakan karisma dalam kasih. Mari dengan hati terbuka kita dengan peringatan dari Tuhan Yesus dan Santo Paulus:

Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!" (Mat 7:22-23)

Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.  Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.  Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih (1 Kor 13: 1-13)

 

Itulah sebabnya, betapa pentingnya sikap untuk hidup dalam iman dan kerendahan hati. Bukannya kita senang karena dipuji atau dihormati, demikian juga sebaliknya kita sedih karena tidak dihargai apapun. Justeru yang paling penting ialah hidup dalam iman (bdk. Rm 1:17). Dalam segala sesuatu kita hanya hidup dalam kepercayaan, kepasrahan dan penyerahan diri yang total kepada Allah. Ungkapan dalam iman ialah kebajikan kerendahan hati, bukan kerendahan hati palsu, seolah merendah tetapi ingin dipuji. Tidak. Kita bersikap rendah hati hati karena kita sadar bahwa kita ini lemah dan rapuh dan kita hanya mengarahkan dan membutuhkan Tuhan Yesus. Karena itu, betapa pentingnya, untuk dalam segala sesuatu, khususnya dalam situasi sulit, kita “menjatuhkan diri dalam kerahiman Allah”. Dalam kerendahan hati, cinta kasih dan kelepasan seperti yang diajarkan oleh S. Teresia dari Avila, kita berjalan dalam aman menuju Allah. Segala karisma, kita sadar berasal dari Allah, dan kita hanya kembali dan selalu kembali kepada Allah dan demi kemuliaan-Nya dan keselamatan jiwa-jiwa.

 



6.  Penutup

Memang tidak mudah untuk terjun dalam PKK. Banyak tantangan sekaligus rahmat. Tetapi kita tak perlu takut. Dengan mengertinya dengan baik, kita pun dapat menghayati dengan seimbang. Sebab, kata S. Agustinus, “Aku percaya untuk mengerti dan aku mengerti supaya aku percaya lebih baik lagi”. Akhirnya, dengan hidup iman dan kasih serta dalam kerendahan hati, kita dapat mempergunakan karisma hanya demi kemuliaan nama Allah, keselamatan kita dan keselamatan jiwa-jiwa.

 

Sumber Pustaka

Dokumen Konsili Vatikan II. Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium. Jakarta: KWI, 2002.

Indrakusuma, Yohanes. Pembaruan Karismatik Katolik: Rahmat dan Tantangan, Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Tim Carmelia. Arti Teologis Pembaruan Karismatik Katolik (sic!), http://carmelia.net/index.php/artikel/karismatik/290-arti-teologis-pembaharuan-karismatik diakses tanggal 6 September 2012.



Serafim Maria CSE

Penulis tetap di situs carmelia.net