Print
Hits: 3975

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

 

 

Saudara-saudari terkasih!

“Seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita” (Yes 9:5). Nubuat yang disampaikan Yesaya saat ia menangkap masa depan dari kejauhan, menghibur Israel dalam pencobaan dan kegelapannya, sekarang diwartakan kepada para gembala sebagai kenyataan masa kini oleh Malaikat, yang dari langit bercahaya mengatakan: ”Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:11). Tuhan ada di sini. Sejak saat ini, Allah benar-benar “Allah bersama kita”. Dia tidak lagi Allah yang jauh, yang dengan suatu cara hanya bisa ditangkap dari kejauhan, dalam ciptaan dan dalam kesadaran kita sendiri. Dia telah memasuki dunia. Dia dekat dengan kita. Kata-kata Kristus yang telah Bangkit kepada para pengikut-Nya juga disampaikan kepada kita: “Ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20). Penyelamat telah lahir bagimu: melalui Injil dan mereka yang mewartakannya, Allah sekarang mengingatkan kita akan pesan yang diwartakan Malaikat kepada para gembala. Ini adalah pesan yang tidak dapat membuat kita tidak berubah. Jika pesan ini benar, maka pesan ini mengubah segalanya. Jika pesan ini benar, pesan ini juga mengubah saya. seperti para gembala, saya juga harus berkata: Ayo, saya ingin pergi ke Betlehem untuk melihat sang Sabda yang muncul di sana. Kisah para gembala ini dimasukkan ke dalam Injil dengan suatu alasan. Kisah ini menunjukkan kepada kita cara yang benar untuk menanggapi pesan yang juga telah kita terima. Apa yang hendak dikatakan oleh para saksi pertama penjelmaan Allah ini kepada kita?

Hal pertama yang dikatakan Injil kepada kita adalah para gembala sedang berjaga- mereka dapat mendengarkan pesan ini karena mereka sedang berjaga. Kita juga harus berjaga agar kita dapat mendengarkan pesan ini. Kita harus menjadi orang yang benar-benar berjaga. Apa maksudnya? Perbedaan utama antara seorang yang bermimpi dan seorang yang sadar adalah orang yang bermimpi ada dalam dunianya sendiri. Diri seorang yang bermimpi terkunci dalam dunia mimpi, di mana hanya ada dia sendiri dan dia tidak terhubung dengan yang lain. Berjaga berarti meninggalkan dunia pribadi seseorang dan masuk kepada kenyataan bersama, satu-satunya kebenaran yang dapat menyatukan semua orang. Konflik dan kurangnya rekonsiliasi dalam dunia kita mengalir dari kenyataan bahwa kita terkunci dalam kepentingan dan pendapat kita sendiri, terkunci dalam dunia pribadi kita yang kecil. Keegoisan, baik individual maupun kolektif, menjadikan kita tahanan kepentingan dan keinginan kita yang bertentangan dari kebenaran dan memisahkan kita satu sama lain. Sadarlah, kata Injil kepada kita. Melangkahlah keluar, dan masuklah ke dalam kebenaran persekutuan yang agung. Untuk menjadi sadar dan bangun, berarti membangun suatu penerimaan akan Allah: untuk keheningan yang dipilih-Nya sebagai cara untuk membinging kita; untuk berbagai tanda kehadiran-Nya. Ada orang-orang yang menggambarkan dirinya sebagai “bisu tuli secara religius”. Anugerah kemampuan untuk menangkap kehadiran Allah dipandang sebagai sesuatu yang tidak dimiliki oleh beberapa orang. Dan memang- cara berpikir dan bertindak kita, mentalitas dunia zaman ini, seluruh lingkup pengalaman kita mengarah untuk melemahkan daya tangkap kita akan Allah, untuk membuat kita menjadi “bisu tuli” terhadap Dia. Namun, di dalam setiap jiwa, kerinduan akan Allah, kapasitas untuk berkomunikasi dengan-Nya, tetap ada, entah dengan cara yang tersembunyi atau jelas. Agar tiba kepada kesadaran untuk berjaga ini, suatu kesadaran awal akan hal ini merupakan hal yang mendasar. Kita perlu berdoa bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain, bagi mereka yang tampak ‘bisu tuli’ namun di dalam dirinya tersimpan kerinduan besar akan Allah yang menyingkapkan diri-Nya. Teolog besar Origenes mengatakan ini: jika saya memiliki rahmat untuk melihat apa yang Paulus lihat, saya akan dapat memandang sejumah besar malaikat (bdk. Luk 23:9) pada saat ini (Liturgi Ilahi). Tuhan sendiri hadir di tengah kita. Tuhan, bukalah mata hati kami, agar kami berjaga dan melihat dengan jelas, dan karenanya membawa Engkau makin dekat juga kepada sesama kami!

Mari kita kembali kepada Injil Natal. Injil mengatakan kepada kita bahwa setelah mendengarkan pesan Malaikat, para gembala mengatakan satu sama lain: “Mari kita pergi ke Betlehem….lalu mereka cepat-cepat berangkat” (Luk 2:15,16). “Mereka cepat-cepat berangkat” adalah yang dikatakan secara secara literal oleh teks Yunani (terjemahan Indonesia TB-LAI mengungkapkan maksud teks Yunani secara literal, berbeda dengan teks yang dipakai Paus dalam Misa). Apa yang diungkapkan kepada mereka, merupakan suatu hal yang begitu penting sehingga mereka harus pergi dengan cepat-cepat. Sesungguhnya apa yang dikatakan kepada mereka memang bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Penyelamat telah lahir. Putera Daud yang lama dinanti-nantikan telah datang ke dunia ini di kotanya sendiri. Apa lagi yang lebih penting daripada ini? Tidak ada keraguan bahwa mereka juga dipengaruhi oleh rasa penasaran, tetapi pertama-tama dan terutama mereka digerakkan oleh rasa terpesona akan berita mengagumkan yang telah disampaikan kepada mereka, kepada semua orang, kepada mereka yang kecil, kepada yang tampaknya tidak penting. Mereka bergegas- mereka pergi. Dalam kehidupan sehari-hari kita, kenyataannya tidaklah begitu. Bagi banyak orang Allah tidak mendapat prioritas, berita ini tidak membuat kita merasa perlu segera bergegas. Dan begitulah, sebagian besar kita memilih untuk menundanya. Pertama kita tidak melihat apa yang mendesak dari berita ini pada saat ini dan di sini. Dalam daftar prioritas kita Allah sering kali ditempatkan di akhir. Kita cenderung berpikir Allah dapat diurus nanti-nanti saja. Injil mengatakan kepada kita: Allah adalah prioritas tertinggi. Peraturan Hidup Santo benediktus memuat ajaran ini: “Jangan menempatkan segala sesuatu di atas karya Allah (i.e. ibadat harian)”. Bagi para rahib, Liturgi adalah prioritas utama. Semua yang lain diurus sesudahnya. Pada dasarnya, hal ini berlaku bagi setiap orang. Allah itu penting, jauh lebih penting daripada semua yang penting dalam hidup kita. Para gembala mengajarkan kepada kita prioritas ini. Kita harus belajar dari mereka agar tidak dihancurkan oleh semua hal yang menekan kita dalam hidup sehari-hari. Dari mereka kita belajar kebebasan batin untuk meletakkan semua tugas di tempat kedua- betapapun pentingnya itu- demi membuka jalan kita kepada Allah, untuk mempersilakan Dia memasuki kehidupan dan waktu kita. waktu yang diberikan kepada Allah, dan dalam nama-Nya, kepada semua orang adalah waktu yang tidak bisa hilang. Karena waktu ini adalah saat dimana kita benar-benar hidup, saat kita menghayati kemanusiaan kita secara penuh.

Beberapa penafsir menekankan bahwa para gembala, jiwa-jiwa sederhana, adalah yang pertama datang keapda Yesus di dalam palungan dan berjumpa dengan Penebus dunia. Orang-orang bijak dari Timur, yang mewakili mereka yang mapan secara sosial dan memiliki kemasyhuran, tiba beberapa waktu kemudian. Para penafsir mengatakan: hal ini wajar saja. para gembala tinggal di dekat tempat kelahiran Kristus. Mereka hanya perlu “melangkah pergi” (bdk. Luk 2:15), sama seperti halnya kita mengunjungi tetangga kita. Orang-orang Majus, tinggal di tempat yang jauh. Mereka harus menempuh perjalanan panjang dan sulit untuk sampai di Betlehem, Mereka butuh bimbingan dan arahan. Hari ini juga ada jiwa-jiwa sederhana yang tinggal dekat dengan Tuhan. Mereka adalah tetangga-tetangga-Nya yang dapat menjumpai Dia dengan mudah. Namun kebanyakan kita di dunia masa kini hidup jauh dari Yesus Kristus, Allah yang menjadi daging untuk tinggal di tengah kita. Kita menghayati hidup kita dengan filosofi-filosofi di tengah urusan-urusan duniawi dan pekerjaan yang seluruhnya menyerap kita dan ada yang jarak yang jauh dari palungan. Dengan segala cara Allah telah mencari dan menjangkau kita lagi dan lagi, sehingga kita dapat berusaha untuk membebaskan diri dari kekacauan pikiran dan aktifitas kita dan menemukan jalan yang menuntun kepada-Nya. Sudah tersedia suatu jalan bagi kita semua. Tuhan menyediakan suatu jalan bagi kita semua dengan tanda-tanda yang mudah ditangkap. Dia memanggil setiap kita, sehingga kita dapat berkata: “Ayo, mari kita pergi ke Betlehem- kepada Allah yang telah datang menemui kita.” Ya, sesungguhnya Allah telah menghampiri kita karena kita tidak dapat menjangkau Dia. Jalan menuju Allah terlalu berat untuk kita. Tetapi, Allah telah turun. Dia mendatangi kita. Dia menempuh sebagian besar perjalanan kita untuk menuju Dia. Sekarang Ia mengundang kita; datang dan lihatlah betapa Aku mencintaimu. Datang dan lihatlah Aku ada di sini. Transeamus usque Betlehem, kata Alkitab Latin. Mari kita pergi ke sana! Mari kita melampaui diri kita sendiri! Mari kita berjalan menuju Allah dengan segala macam cara; melalui jalan batin yang terarah kepada-Nya, dan juga melalui jalan-jalan yang nyata- Liturgi Gereja, pelayanan kepada sesama, dimana dalam hal-hal ini Kristus menantikan kita.

Mari sekali lagi kita mendengar secara langsung dari Injil. Para gembala mengatakan satu sama lain alasan mengapa mereka pergi: “Mari kita melihat apa yang telah terjadi”. Secara literal teks Yunani mengatakan: “Marilah kita melihat Firman ini, yang muncul di sana.” Ya, inilah kebaruan yang radikal dari malam ini: kini Firman bisa dilihat. Firman telah menjadi daging. Allah yang tidak dapat dgambarkan- karena setiap gambaran hanya akan mengerdilkan atau menyelewengkan diri-Nya- Allah ini kini telah dapat dilihat dalam gamaran-Nya yang sejati, seperti dikatakan oleh Santo Paulus (bdk. 2Kor 4:4; Kol 1:15). Dalam sosok Yesus Kristus, dalam keseluruhan hidup dan pelayanan-Nya, dalam kematian dan kebangkitan-Nya, kita dapat melihat Firman Allah dan misteri kehidupan Allah sendiri. Para Malaikat juga telah berkata kepada para gembala: “Hal ini akan menjadi tanda bagimu, kamu akan melihat bayi berbalutkan kain lampin dan berbaring di palungan” (Luk 2:12; bdk. 2:16). Tanda Allah, tanda yang diberikan kepada para gembala dan kepada kita, bukanlah mukjizat yang mengagumkan. Tanda Allah adalah kerendahan hati-Nya. Tanda Allah adalah Dia membuat diri-Nya kecil; Dia menjadi anak kecil, marilah kita menyentuh-Nya saat Ia meminta cinta kita. Bagaimana kita dapat menginginkan suatu tanda yang berbeda, tanda kekuasaan dan keagungan Allah yang memaksa dan tidak dapat dilawan! Tetapi tanda-Nya mengundang kita kepada iman dan cinta, dan dengan itu memberi kita harapan: inilah yang Allah sukai. Dia memiliki keuasaan, Dia baik dari diri-Nya sendiri. Dia mengundang kita menjadi seperti Dia. Ya, kita menjadi seperti Allah jika kita membiarkan diri kita dibentuk oleh tanda ini; jika kita belajar untuk rendah hati dan dengan demikian memperoleh kebesaran sejati; jika kita menolak kekerasan dan menggunakan hanya senjata kebenaran dan cinta. Origenes mengambil salah satu perkataan Yohanes Pembaptis, melihat bahwa hakekat kekafiran diungkapkan dengan simbol batu: kekafiran adalah suatu kurangnya perasaan, kekafiran adalah hati dari batu yang tidak mampu untuk menerima cinta dari Allah dan mencintai-Nya. Tentang orang-orang kafir, Origenes mengatakan: “Kekurangan dalam perasaan dan akal budi, mereka diubah menjadi batu dan kayu” (Luk 22:9). Kristus, ingin memberi kita hati dari daging. Saat kita melihat Dia, Allah yang menjadi manusia, hati kita terbuka. Dalam Liturgi Malam Suci, Allah datang kepada kiita sebagai manusia, agar kita sungguh-sungguh menjadi manusia. Mari kita sekali lagi mendengarkan Origenes: “Sesungguhnya, apakah gunanya bagimu Kristus datang dalam daging jika Ia tidak memasuki jiwamu? Marilah kita berdoa agar Dia datang kepada kita setiap hari, agar kita dapat berkata: Aku hidup, tetapi bukan aku lagi yang hidup, tetapi Kristus hidup dalam aku (Gal 2:20)” (dalam Luk 22:3).

Ya, itulah yang harus kita doakan pada Malam Suci ini. Tuhan Yesus Kristus, yang lahir di Betlehem, datanglah kepada kami! Masuklah dalam diriku, dalam jiwaku. Ubahlah aku. Perbaruilah aku. Ubahlah aku dan kami semua dari batu dan kayu menjadi manusia yang hidup, yang didalamnya cinta-Mu hadir dan dunia diperbarui. Amin.


Diterjemahkan oleh: Daniel Pane

© Copyright 2009 - Libreria Editrice Vaticana