Print
Hits: 4739
Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Ada suatu kisah tentang seekor ikan kecil yang mendengar seorang guru yang sedang mengajar murid-murid mengenai pentingnya air dalam hidup. Maka ikan kecil ini mulai merenungkan, “Jika air begitu penting, maka aku harus segera menemukannya, jika tidak aku akan segera mati.” Maka, dia mulai bertanya-tanya tentang air kepada ikan lainnya yang ada di sungai itu, tetapi tidak seekor pun mengetahui tentang hal itu. Akhirnya, seekor ikan tua yang bijaksana mengatakan kepada ikan kecil itu bahwa dia telah dikelilingi air selama hidupnya, dan hidupnya sangat tergantung dari air. Maka ikan tua itu menyarankan, “Nikmatilah dan bersyukurlah atas air yang ada, serta milikilah untuk melanjutkan kehidupanmu.”

Seperti ikan kecil itu, wanita Samaria pada sumur Yakub, sedikit sekali mengenal tentang, “Air yang berkelimpahan” yang mampu membebaskan, memberikan, dan menopang hidup. Ketidaktahuannya bukanlah tentang masalah air biasa, tetapi tentang “Air Hidup” yang ditawarkan Yesus. Dia menyebutnya suatu karunia Allah (lih. Yoh. 4:10), yang digambarkan tidak hanya memuaskan, tetapi juga sangat penting untuk memenuhi tujuan hidup setiap orang, “Barangsiapa minum air yang Kuberikan tidak akan haus lagi. Sungguh, air yang Kuberikan akan menjadi mata air di dalam dirinya sampai pada hidup yang kekal (Yoh. 4:14).

Yesus sendiri menawarkan karunia ini: Barangsiapa haus, baiklah ia datang Kepada-Ku dan minum” (Yoh. 7:37). Sedangkan mereka yang tidak haus akan air ini dapat pula menerimanya (misalnya, bayi-bayi yang dibaptis), mereka yang “Haus akan kebenaran” (bdk. Mat. 5:6) akan mencarinya dengan tujuan untuk menemukan Yesus.

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “Air hidup” itu? Itulah, “Rahmat” tempat Allah hidup di tengah-tengah kita, yang memampukan kita untuk bekerja sama dengan kodrat ilahi. Rahmat adalah suatu cerminan dari keberadaan Allah yang Mahabesar, yang mampu memberikan hidup dan menopang kita.

S. Thomas Aquinas yang dikenal sebagai “Dokter rahmat” mengajarkan bahwa rahmat adalah cinta Allah yang paling hakiki, yang digaungkan kembali kepada-Nya dari orang yang telah menerima rahmat itu melalui pikiran, kata-kata, dan tingkah lakunya. Dengan dilimpahkannya sebagai rahmat, cinta Allah memberikan kepada jiwa suatu pernyataan dari kekudusan dan hidup Allah sendiri. Hal ini membuat jiwa begitu bersukacita bagi Allah. Seperti anak-anak mempunyai kemiripan dengan orang tuanya, begitu pula anak-anak Allah akan mempunyai kemiripan dengan Allah ketika mereka dipenuhi oleh rahmat. Jadi rahmat yang kita terima merupakan rahmat terbesar dari Bapa yang hadir dalam diri Yesus, yang dilimpahkan kepada kita oleh Roh Kudus.


Campur tangan ilahi dapat dikatakan sebagai urutan-urutan rahmat yang terjadi dalam diri kita. Misalnya, rahmat aktual membimbing kita kepada rahmat pengudus. Rahmat pengudus disebut juga rahmat habitual sebab rahmat ini menetap, menjadi kebiasaan, sehingga jiwa tidak terkena oleh dosa berat. Hal ini, berbeda dengan rahmat aktual. Rahmat aktual hanya sesaat saja mempengaruhi jiwa dengan mendorong akal budi untuk melihat atau memotivasi kehendak untuk melakukan kebaikan atau menghindar kejahatan.

Seringkali urutan rahmat ini berlipat ganda. Coba bayangkanlah sebentar bahwa Anda adalah seorang budak yang sedang dijual atau dilelang. Penawar tertinggi akan membeli anda dan kemudian memberitahukan bahwa anda bukan lagi seorang budak, tetapi menjadi seorang yang merdeka. Ini adalah suatu analogi dari rahmat keselamatan yang telah kita terima. Rahmat ini menyebabkan timbulnya rahmat-rahmat aktual yang lain, yang akhirnya membantu perkembangan rahmat pengudus. S. Paulus menggambarkan urutan ketiga langkah ini, “Rahmat Allah yang membawa keselamatan telah datang kepada semua orang. Dia mengajar kita untuk mengatakan ‘Tidak’ kepada kefasikan dan kesenangan-kesenangan duniawi, dan untuk hidup secara bijaksana, adil, dan beribadah kepada Tuhan” (bdk. Tit. 2:11-12).

Namun kemudian setelah dibebaskan dari perbudakan, Anda menjadi seorang penjahat yang sekarang sedang menunggu keputusan hukuman mati karena suatu kejahatan. Akan tetapi, secara tiba-tiba diberitahukan bahwa kejahatan anda diampuni. Anda tidak hanya diselamatkan dari kematian, tetapi juga telah diampuni segala kejahatannya. Situasi ini menggambarkan rahmat keselamatan yang diberikan oleh Tuhan, yang diikuti oleh rahmat pengampunan, yang kemudian diikuti oleh banyak lagi rahmat dan karunia ilahi. Paulus melukiskan urutan berganda ini, “Dalam Kristus kita beroleh penebusan dan pengampunan menurut kekayaan kasih dan rahmat-Nya, yang dilimpahkan kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian” (Ef. 1:7).

Seperti sumbangan yang diberikan kepada orang-orang terlantar, rahmat juga diberikan kepada kita oleh Allah secara cuma-cuma. Tidak ada cara untuk dapat memperolehnya, meskipun bila kita sangat menginginkannya. S. Paulus menegaskan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu sehingga jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef. 2:8-9). Akan tetapi terhadap rahmat yang diberikan, kita dapat menggunakannya, mengabaikannya, menolaknya bahkan menghilangkannya. Jika seseorang yang ceroboh menghilangkan uang yang diberikan kepadanya atau menghabiskan uang itu untuk minuman keras atau obat terlarang, maka si pemberi uang akan sangat kecewa. Begitu pula kita! Kita tidak boleh menyia-nyiakan segala rahmat dan karunia Allah yang sangat berharga, tetapi kita harus mengembangkannya. S. Paulus menegaskan dalam 2Kor 6:1, “Kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima.”

S. Agustinus menunjukkan suatu bagian yang penting dalam menerima rahmat, “Allah memberi ketika Dia menemukan tangan-tangan yang terbuka.” Ketika tangan kita penuh dengan banyak barang, bagaimana mungkin kita dapat menerima hadiah lainnya? Jika kita dibebani oleh segala kesenangan-kesenangan duniawi, bagaimana kita dapat menerima rahmat yang berlimpah dari tangan Allah? S. Yakobus memperingatkan, “Setiap orang yang memilih persahabatan dengan dunia menjadi musuh Allah” (bdk. Yak. 4:4).

Hanya jika kita dapat melihat “Kekayaan kasih karunia Allah yang berlimpah-limpah,” maka dengan berbagai cara akan dicurahkan hujan rahmat kepada kita masing-masing. Seperti para pengembara kehausan di padang gurun yang menikmati air hujan yang turun dengan derasnya, kita akan berusaha keras untuk memperoleh setiap tetesan hujan rahmat dari hati Allah yang penuh cinta sehingga kita akan hidup dan berkembang dalam kasih karunia Allah. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menyenangkan hati Allah selain melimpahkan segala kasih karunia dan rahmat-Nya kepada kita, supaya kita senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu, malahan berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.

 

(Sumber The Art of Loving God; by John H. Hampsch, CMF. Diterjemahkan oleh: Sr. Marie Alphonsa, P. Karm)