Print
Category: Tulisan Rm. Yohanes Indrakusuma CSE
Hits: 16460

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Dewasa ini Gereja Katolik Indonesia sedang menggeluti realitas komunitas basis, yang ternyata tidak begitu mudah, karena realitas itu ternyata banyak sekali seginya. Gagasan dasarnya juga ternyata berbeda-beda, demikian pula titik tolaknya. Ada yang berorientasi pada persoalan sosial, perjuangan keadilan, namun ada juga yang lebih berorientasi kepada realitas rohani dan keagamaan. Dalam uraian kami pada halaman-halaman berikut akan lebih berbicara tentang sistim sel dalam rangka hidup gerejani yang menyeluruh, yang bertitik tolak pada usaha penghayatan Injil dalam iman.


Pengantar

Dewasa ini Gereja Katolik Indonesia sedang menggeluti realitas komunitas basis, yang ternyata tidak begitu mudah, karena realitas itu ternyata banyak sekali seginya. Gagasan dasarnya juga ternyata berbeda-beda, demikian pula titik tolaknya. Ada yang berorientasi pada persoalan sosial, perjuangan keadilan, namun ada juga yang lebih berorientasi kepada realitas rohani dan keagamaan. Dalam uraian kami pada halaman-halaman berikut akan lebih berbicara tentang sistim sel dalam rangka hidup gerejani yang menyeluruh, yang bertitik tolak pada usaha penghayatan Injil dalam iman. Yang akan dibahas di sini ialah suatu bentuk penghayatan Injil yang menyeluruh, yang menyangkut seluruh aspek kehidupan kristiani orang beriman. Kami akan mengemukakan dua model: yang satu ialah sistim sel paroki yang berorientasi seluruhnya pada kehidupan paroki dan segala sesuatu diarahkan kepada kehidupan paroki tersebut dalam segala aspeknya. Yang lain ialah sistim sel komunitas, yang walaupun bertujuan untuk juga menjadi ragi di dalam paroki masing-masing, namun memiliki tujuan yang lebih luas daripada paroki, walaupun akhirnya masing-masing anggota akan menjadi anggota paroki yang berguna. Kami akan memberikan gambaran yang singkat tentang realitas tersebut, namun menyeluruh.

I. REALITAS SISTIM SEL PAROKI DALAM GEREJA

1. Gereja Saint Boniface di Florida

Kalau saudara-saudara kristen dari gereja lain mengenal apa yang mereka sebut dengan istilah Gereja Sel, dalam Gereja Katolik orang mengenal apa yang disebut dengan nama Sistim Sel Paroki. Namun dengan rendah hati kita harus mengakui, bahwa inspirasi itupun datangnya dari luar Gereja Katolik dan kalau diurut-urut akhirnya kembali kepada Gereja Cho Yonggi di Korea. Rupanya itu bermula pada perkenalan Michael Eivers dari St Boniface dari Florida dengan gereja Cho Yonggi. Sesudah itu dia berusaha mengetrapkan prinsip sistim sel itu dalam parokinya dengan suatu modifikasi dan penyesuaian dengan teologi katolik. Sistim sel yang diterapkannya dalam paroki St Boniface di Florida rupanya cukup berhasil, sehingga dari suatu paroki yang hampir mati St Boniface berubah menjadi suatu paroki yang sangat hidup dan dinamis. Sebuah kesaksian yang menarik diberikan oleh Don Pigi Perini, pendiri sistim sel paroki di Milano, Italia, sebagai berikut:

Seorang romo telah menunjukkan kepada saya sebuah artikel dari suatu majalah Amerika yang berjudul: “Paroki yang berkobar-kobar.” Yang dimaksud ialah paroki St Boniface di Florida, di mana pastornya Michael Eivers, memimpin sebuah paroki yang luar biasa hidup. Maka kataku: “Mari kita lihat, apakah hal itu benar ataukah hanya dongeng saja.”

Beberapa waktu kemudian kami berada di Florida. Apakah yang saya lihat ? Tulisan itu hanyalah sebuah gambaran yang sama-samar dari realitasnya. Di situ saya jumpai “sel-sel paroki evangelisasi”, seperti yang tertulis, namun lebih dari-pada itu saya menjumpai sebuah gereja yang tidak pernah berani saya mimpikan realitasnya, sebuah gereja dari Kisah para Rasul. Rahasia kesuksesannya ? Adorasi Sakramen Mahakudus selama 6 sampai 24 jam. Dalam sebuah kapela selalu ada saja orang-orang yang berdoa di depan Sakramen Mahakudus yang ditahtakan. Di sana saya jumpai pula adanya suatu hospitalitas (kerelaan menerima tamu) yang luar biasa. Bila saya tiba dalam sebuah keluarga, orang segera berkata kepadaku: “Saya akan menceriterakan bagaimana saya telah bertemu Yesus …” Tetapi celakanya ialah, bahwa pada akhirnya orang bertanya kepada saya: “Dan Anda, bagaimanakah caranya Anda telah bertemu dengan Dia ?” Saya merasa lemas… Mereka telah berjumpa dengan Yesus, mereka ingat akan hari dan jamnya. Tetapi saya, saya pernah bertemu sekali dengan presiden Republik Jerman dan saya masih ingat. Tetapi tentang Yesus, saya tidak ingat

Apa rahasia keberhasilan St Boniface? Keberhasilan itu ditunjang oleh beberapa unsur pokok:

1.  pengalaman Roh Kudus lewat pencurahan Roh atau pembaptisan Roh Kudus yang membawa kepada pengalaman kasih Allah.

2.  semangat evangelisasi yang besar, yang ditanamkan ke dalam hati anggota-anggota sel paroki itu.

3.  penekanan pada pentingnya evangelisasi oikos, yaitu lingkungan hidup dan kerja mereka

4.  pergandaan sel yang terus-menerus

5.  adorasi kontinyu yang dilaksanakan dalam paroki

Kecuali itu St Boniface memiliki sistim pembinaan yang cukup baik dan sistim komunikasi yang lancar. Para pemimpin sel harus dibina dengan sungguh-sungguh dan mereka harus mengikuti pembinaan dalam: St Boniface Parish Cell System. St. Boniface Cell Leaders’ Training Manual. Di dalam training manual itu dipaparkan prinsip-prinsip dasar kehidupan sel dan bagaimana mengelolanya. Juga dalam pertemuan mingguan diberikan pengajaran lewat kaset yang dibagikan tiap-tiap minggu. Dengan demikian St Boniface menjadi sebuah paroki yang sangat dinamis. St Boniface menjadi paroki yang karismatik. Hal itu dapat terlaksana, karena pada awalnya paroki itu adalah paroki yang hampir mati.

Dari St Boniface inilah sistim sel paroki itu menyebar luas sampai ke Eropah lewat Don Pigi Perini dari Sant’ Eustorgio di Milano, Italia.

2. Paroki Sant’Eustorgio, di Milano, Italia.

Setelah kunjungannya ke St Boniface di Florida, Don Pigi menjadi berubah, rupanya setelah dia mengalami pencurahan atau pembaptisan Roh Kudus. Hidupnya berubah dan nilai-nilai yang dihayatinya juga berubah. Perubahan itu rupanya cukup menyolok, sehingga dia diolok-olok orang dan orang mengatakan kepadanya: Don Pigi sudah tidak waras, dia sudah di amerikanisir. Namun dia berhasil mengadakan adorasi dalam parokinya. Inspirasi yang diterimanya dari St Boniface, diterapkannya di paroki Sant’Eustorgio dengan sedikit modifikasi, sesuai dengan keadaannya. Kalau St Boniface terang-terangan karismatik, Sant’Eustrorgio rupanya tidak demikian. Namun mereka juga menekankan pentingnya pengalaman Roh Kudus serta keterbukaan terhadap karunia-karunia Roh Kudus untuk evangelisasi. Pada tahun 1994 paroki Sant’Eustorgio sudah mempunyai 100 buah sel paroki dan saat ini ada sekitar 120 sel.

San Eustorgio adalah sebuah paroki yang hidup dengan umat yang terlibat dan menjadi aktivis di dalam paroki. Sejak beberapa tahun yang lalu tiap-tiap tahun San Eustorgio mengadakan seminar tentang sistim sel paroki dengan terjemahan simultan dalam pelbagai bahasa, a.l. dalam bahasa Inggris. Untuk pelatihan itu mereka memakai buku: Cell Leaders Training Manual. Parish Cell Sistim of Evangelization.

II. DINAMIKA SISTIM SEL PAROKI

Apa yang menjadikan sistim sel paroki itu hidup? Sebenarnya apa yang akan diuraikan di sini sudah kita jumpai dalam sistim sel St Boniface dan juga dalam sistim sel Sant’Eustorgio.

1. Pengalaman Roh Kudus, dasar segala pembaharuan gerejani

Pencurahan Roh Kudus yang dibawakan oleh pembaharuan karismatik, merupakan suatu anugerah besar Allah kepada Gereja-Nya dewasa ini. Roh Kudus itulah yang menjadikan orang-orang kristen sungguh-sungguh hidup. Lewat pencurahan Roh Kudus itu orang mengalami, bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh hidup. Dengan demikian orang tidak hanya tahu, bahwa Yesus itu telah bangkit, melainkan orang juga boleh mengalami dengan suatu cara, bahwa Dia sungguh-sungguh hidup dan bahwa Yesus mengasihi dia. Pengalaman akan kasih Allah inilah yang pada hakekatnya mengubah hidupnya, mengubah pandangan hidupnya dan caranya dia memandang nilai-nilai yang ada. Pengalaman itu membawa dia masuk ke dalam suatu hubungan pribadi yang nyata dengan Allah, ke dalam suatu persekutuan hidup dengan Allah, ke dalam suatu pengenalan baru tentang Allah. Mulai saat itu hidupnya dihayatinya dalam kaitan dan dalam hubungan dengan Allah, suatu hubungan baru berdasarkan kasih, suatu hubungan antara anak dengan Bapa-Nya yang telah lebih dahulu mengasihi dia. Pengenalan dan hubungan baru inilah yang akan mendasari hidup dan karyanya selanjutnya.

Kiranya di sini perlu dibedakan dua aspek pokok dalam Pembaharuan Karismatik, yaitu aspek teologis dan aspek sosiologis. Aspek teologis mengungkapkan isi teologis dari pembaharuan itu sendiri, apa yang hakiki dan pesan yang disampaikan Tuhan kepada kita lewat pembaharuan tersebut. Aspek sosiologisnya menyatakan segala ungkapan atau ekspresi lahiriah yang memang bersifat terbatas dan terpengaruh oloeh budaya dan kondisi tertentu.

Aspek teologis: Dilihat dari segi teologisnya Pembaharuan Karismatik, atau mungkin lebih tepat disebut Pembaharuan Hidup dalam Roh, merupakan suatu pembaharuan yang menjadikan Yesus Kristus Tuhan dan pusat hidup kita dalam suatu keterbukaan terhadap karya Roh Kudus dalam segala kepenuhannya. Hal itu mengandung pokok-pokok berikut:

1.  Pengalaman nyata akan Allah yang hidup. Orang sungguh boleh mengalami bahwa Allah sungguh-sungguh hidup dan mengasihi dia. Secara nyata dia boleh mengalami kasih Allah. Pengalaman itulah yang disebut dengan istilah Pencurahan Roh Kudus. Pengalaman inilah yang mengubah seluruh hidup dan nilai-nilainya.

2.  Karena pengalaman itu Yesus menjadi sungguh-sungguh hidup dan menjadi titik pusat hidup mereka. Sekurang-kurangnya itulah yang menjadi tujuan pembaharuan tersebut.

3.  Melalui pencurahan Roh Kudus itu orang mengalami kehadiran dan aktivitas Roh Kudus dan menjadi terbuka terhadap segala karismata Roh Kudus, seperti a.l. karunia penyembuhan, nubuat, iman, dll. Itulah yang memberikan kekuatan dan kesuburan kepada segala karya pelayanan mereka.

4.  Pemakaian karisma-karisma Roh Kudus justeru membantu menghilangkan tahyul-tahyul yang ada dalam masyarakat, karena melalui pelbagai macam karisma itu orang boleh mengalami secara langsung, bahwa Allah hidup dan peduli dengan kita.

Aspek sosiologis pembaharuan karismatik adalah ungkapan atau ekspresi seperti yang kita jumpai dalam pelbagai macam persekutuan doa. Aspek itu boleh dibandingkan dengan kemasan dari isi teologis tadi dan karena itu bersifat terbatas dan relatif. De facto pelbagai macam negara punya ungkapan dan ekpresi yang berbeda-beda.

2. Evangelisasi

Berkali-kali Paus Yohanes Paulus II menekankan perlunya suatu Evangelisasi Baru yang bersifat langsung. Evangelisasi Baru ini dibedakan dengan evangelisasi indirek yang pada beberapa dekade yang lalu banyak ditekankan orang, yaitu melalui kehadirannya tanpa pewartaan Injil, biasanya lewat karya-karya sosial dan karitatif. Namun Paus Yohanes Paulus II menekankan perlunya Evangelisasi Baru itu dan hal itu ditekankannya berkali-kali pada pelbagai kesempatan. Sebelumnya Paus Paulus VI telah mengungkapkan kebutuhan itu dalam sebuah ensiklik yang boleh dipandang sebagai suatu Magna Carta untuk evangelisasi dalam dunia moderen, yaitu: Evangelii Nuntiandi, pada tahun 1974. Paus Paulus VI mengatakan, bahwa kewajiban untuk melakukan evangelisasi untuk semua manusia adalah misi hakiki Gereja, yang menjadi semakin urgen karena perubahan-perubahan besar dan luas yang menimpa masyarakat dunia dewasa ini. “Evangelisasi pada hakekatnya adalah rahmat dan panggilan khusus Gereja, identitasnya yang terdalam” (Evangelii Nuntiandi no 14).

Namun orang tidak segera menyadari perlunya evangelisasi ini dan memang lambat sekali orang baru sadar, bahwa hanya dari perubahan yang radikal dari hati kitalah orang akan dapat mengalahkan kondisi-kondisi penghambat yang ada dalam masyarakat kita, masyarakat yang bukan kristen atau sudah bukan kristen lagi. Karena itu Paus menekankan, bahwa:

Tujuan evangelisasi justeru adalah perubahan batin itu, dan bila harus mengungkapkannya dengan kata-kata, yang paling tepat ialah mengatakan, bahwa Gereja barulah menginjili, jika dia, semata-mata karena kuasa illahi dari Kabar yang diwartakannya, ia (Gereja) berusaha mempertobatkan sekaligus suara hati individual dan kolektif manusia, aktivitas-aktivitasnya, kehidupan dan lingkungan konkrit yang mengelilingi mereka (Evangelii Nuntiandi no 18).

Kiranya perlu disadari adanya suatu pandangan keliru yang sering menghinggapi para petugas Gereja dewasa ini, bahkan banyak uskupnya, bahwa mereka melupakan suatu fakta historis yang sudah berlangsung selama duaribu tahun. Setiap kali terdapat fakta, bahwa agama kristen telah mengubah suatu masyarakat, kehidupan suatu negara atau bahkan negara-negara, hal itu tidak terjadi dengan deklarasi prinsip-prinsip yang disebarluaskan lewat media komunikasi, atau lewat pernyataan-pernyataan, ataupun lewat dialog dengan para penguasa politik, melainkan lewat kuasa cintakasih dan evangelisasi yang mengubah hati manusia. Sesudah manusia-manusia itu tersentuh oleh cintakasih Yesus dan kuasa Injil, maka masyarakat sipil mengikuti perubahan itu dengan mengubah hukum-hukumnya.

Berbicara tentang gerakan-gerakan baru dalam Gereja, Paus Yohanes Paulus II melihat semuanya itu sebagai suatu karunia Allah bagi Gereja dan dunia, khususnya untuk karya evangelisasi:

Gerakan-gerakan itu merupakan suatu karunia sejati dari Allah untuk evangelisasi baru dan untuk aktivitas misioner yang sesungguhnya. Jadi saya menganjurkan, agar supaya gerakan-gerakan baru itu diperkembangkan dan supaya orang minta bantuan mereka untuk memberikan kekuatan dan semangat, khususnya pada orang-orang muda, untuk hidup kristiani dan karya evangelisasi, dalam suatu pandangan yang lebih pluralistik dalam bentuk persekutuannya dan dalam ekspresinya (Redemptoris Missio no 72).

Para uskup Italia telah melakukan suatu terobosan baru dalam kesadaran mereka untuk karya evangelisasi ini lewat pengakuan mereka akan rahmat dan karunia Roh Kudus yang diberikan kepada persekutuan-persekutuan awam dan mengundang mereka untuk melibatkan diri secara lebih mendalam lagi:

Persekutuan kaum awam merupakan suatu realitas wajib untuk evangelisasi baru dan karenanya harus semakin membuka diri dengan besar hati untuk karya misi, lebih-lebih karena kita melihat usaha-usaha yang semakin nyata untuk menyingkirkan iman dan nilai-nilai kristiani dari kehidupan masyarakat, juga dalam negara kita (yaitu Italia). (Le Aggregazioni Laicali nella Chiesa).

Tetapi sayang sekali, kesadaran itu masih belum banyak dijumpai di antara para pastor, sebagian karena ketidak mampuan mereka untuk menjalankan tugas panggilan mereka secara terbuka dan dewasa sebagai pemersatu dalam persekutan paroki. Lagipula mereka umumnya tidak memiliki visi yang jelas, yang rohani dan karismatik tentang misi mereka.

Tujuan evangelisasi ini sesungguhnya bukan lain daripada membentuk komunitas-komunitas orang beriman, di mana orang dapat secara nyata mengalami kuasa cinta Allah, kehadiran Roh Kudus yang memperkuat persaudaraan di antara mereka, serta karya penyelamatan Allah dalam Ekaristi dan sakramen-sakramen. Komunitas-komunitas seperti itu akan mampu mempengaruhi secara mendalam kehidupan para anggotanya dan mengubah cara hidup mereka. Adanya komunitas-komunitas seperti itulah yang merupakan syarat untuk evangelisasi yang sejati.

Adanya komunitas-komunitas seperti itu mengingatkan kita akan realitas Gereja Awali, di mana orang yang baru percaya langsung dibaptis dan diterima dalam komunitas serta berkembang di situ. Sebaliknya dalam paroki-paroki kita seringkali terjadi, bahwa seseorang harus mengikuti katekese yang lama sekali, minimal setahun, kadang-kadang bahkan dua tahun, sebelum dapat dibaptis dan sesudah itu, sering tidak berkembang dan karenanya masih sering lepas dari Gereja. Sebaliknya dewasa ini gereja-gereja kelompok Betani dapat membaptis orang yang bertobat hanya seminggu sesudah pertobatan mereka dan memasukkan mereka ke dalam kelompok selnya dan mereka itu terus bertahan, karena terus diberi pembinaan yang berkelanjutan.


SISTIM SEL KOMUNITAS

(Bagian kedua)

Rm.Yohanes Indrakusuma, O.Carm

3. Evangelisasi oikos

Dalam sistim sel paroki ini, baik di St Boniface maupun di Sant’Eustorgio, yang ditekankan ialah evangelisasi oikos. Oikos adalah kata Yunani untuk rumah tangga, seperti yang kita jumpai dalam Kis 10:2: Kornelius dan seluruh keluarganya (oikos). Oikos itu kemudian dikembangkan untuk meliputi orang-orang yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, di rumah, tempat kerja, tempat hobby, dll, pendeknya tempat di mana kita sering berinteraksi dengan orang-orang tertentu.

St Boniface Church mengemukakan kelompok-kelompok yang boleh disebut oikos itu sebagai berikut:

1.  anggota keluarga

2.  mereka yang hidup berdekatan, para tetangga

3.  mereka yang punya minat dan hobby yang sama, perkumpulan-perkumpulan olah-raga, dll.

4.  panggilan atau profesi yang sama, di mana kita sering berinteraksi secara teratur, orang-orang tempat kerja kita1

Dalam kehidupan bermasyarakat kita pasti ada dalam oikos kita, orang-orang yang belum mengenal Yesus, yang tidak percaya, yang mempunyai problem, yang perlu dievangelisir. Konsep dasar dalam evangelisasi oikos ini adalah kesadaran, bahwa sebagai orang kristen kita dipanggil untuk evangelisasi, pertama-tama dalam lingkungan hidup yang sudah ada. Di situlah oang harus melibatkan diri tanpa suatu dalihpun juga. Relasi yang dihayatinya itu juga dikehendaki Allah dan sebagai murid Yesus dia tahu, bahwa dia tidak berhak untuk mengeluh, tetapi bahwa sebaliknya dia dipanggil untuk mengubah situasi dan lingkungan hidup itu, untuk menjadi terang bagi orang-orang di sekitarnya yang belum percaya, menjadi penghiburan bagi yang menderita, pengharapan dalam segala kesukaran. Setiap murid Yesus harus menerima dalam iman tiap pribadi dan tiap situasi menjadi suatu tempat berahmat.

Dilihat sepintas lalu evangelisasi oikos ini tampaknya sempit, serta kurang produktif dalam evangelisasi, karena hanya menyangkut orang-orang yang sudah kita kenal. Namun dalam kenyataannya hal itu justru menjadi lebih efektif daripada yang dapat kita duga. Mengapa? Setiap orang dapat memiliki hubungan dengan 20 sampai 50 orang per hari. Bila dalam kerangka ini seorang penginjil berusaha mencari orang yang tidak beriman, serta membawanya kepada Yesus, ia akan menemukan jumlah yang cukup banyak untuk dibawa kepada Yesus selama beberapa tahun. Jika orang yang diinjili pada gilirannya menjadi seorang penginjil, relasi itu menjadi luas sekali, karena masing-masing memiliki relasi yang tidak sama dengan orang-orang dalam oikos yang sama. Seorang anggota keluarga misalnya, dapat memiliki hubungan teratur dengan 20 orang, tetapi satu keluarga yang terdiri dari 4 orang, akan memiliki sekurang-kurangnya 60 relasi dan yang menjadi sahabat bersama biasanya tidak lebih dari 10 orang. Hal yang sama dapat dikatakan tentang suatu kelompok sahabat atau kelompok kerja. Oleh karenanya dengan cara ini harapan untuk menjangkau suatu daerah, bukanlah suatu utopia.

Mereka yang mengikuti metode evangelisasi oikos tidak perlu menjalin suatu hubungan baru dengan orang lain. Menyadari hal ini sungguh penting untuk refleksi kita. Suatu hubungan baru mempermudah tugas seorang penginjil. Dia dapat menarik keuntungan dari entusiasme yang dibangkitkannya pada diri orang yang mendengarkan dia berbicara tentang imannya, serta sukacita yang dialaminya sebagai anggota komunitas. Dengan demikian akan lebih mudah bagi dia untuk membawa orang itu kepada pertobatan kepada Allah dan kepada kehidupan kristen, sedangkan hubungan yang lebih erat dengan komunitas dapat menyusul kemudian. Namun dalam proses ini si penginjil tidak dengan sendirinya diubah.

Sebaliknya, berkarya dalam oikos itu lebih sukar dan lebih besar tuntutannya, sebab si penginjil harus sungguh menunjukkan, bahwa dia adalah saudara bagi orang yang dihubunginya, ia harus menunjukkan perhatian dan kasih persaudaraan yang baru. Bila ada suatu hubungan keluarga atau antara sahabat yang sudah lama, yang ingin diperbaharui, syaratnya ialah, bahwa kita sendiri harus diperbaharui dan bahwa hal itu dapat dilihat oleh pihak yang lain tadi. Orang yang ingin kita injili harus melihat keotentikan pertobatan kita sendiri, supaya kemudian dapat menerima kesaksian kita.

Metode ini menerangkan adanya suatu kebenaran dasar, bahwa tidak mungkinlah menutupi pertobatan si penginjil, keterlibatannya dalam doa, dalam kasih kepada sesamanya demi Yesus, pelayanannya yang murah hati dan tekun sebagai ungkapan ketaatannya kepada perintah Yesus.

Spiritualitas para penginjil ini bukanlah untuk berkata: “Belajarlah mengenal Yesus, belajarlah mewartakan Injil dan tumbuhlah dalam iman”, melainkan: “Bertobatlah kepada saudaramu, kasihilah dia dalam nama Yesus, dan lakukanlah baginya segala sesuatu yang akan dilakukan Yesus seandainya Dia berada di tempatmu, sehingga ia melihat dan menjadi kagum tentang caramu melayani dia”.

Cara pewartaan ini memang lebih sulit dan banyak tuntutannya, namun memberikan manfaat dan kebaikan yang lebih besar bagi si penginjil sendiri, sehingga mampu mengubah lingkungan hidup yang konkrit.

4. Kehidupan dan pergandaan sel

4.1. Belajar dan tumbuh dalam sel

Kehidupan sistim sel ini berkisar pada sel-sel itu. Sel itu merupakan tempat orang mengenal Yesus, mendapat pelayanan dan penyembuhan, tumbuh di dalamnya dan memperoleh semangat dan ketrampilan untuk ikut melayani. Inilah pelajaran dasar yang mereka terima dan kemudian hal itu dapat diperdalam oleh pembinaan khusus ke arah itu, sehingga profesionalitas mereka dalam hal itu menjadi semakin berkembang. Hidup bersama para saudara yang sungguh-sungguh percaya dan yang sudah mengalami kasih Yesus, akan menjadikan dia juga berkembang dalam iman dan kasih. Iman itu tidak pertama-tama diajarkan, melainkan ditularkan. Di samping itu pelajaran yang diterima dalam sel serta adanya sharing-sharing akan menguatkan imannya serta pertumbuhan hidup rohaninya. Di situ pulalah ia belajar mengenal dan mempelajari Kitab Suci serta mengenal jalan-jalan Tuhan lebih dalam. Demikian pula ia akan memperoleh semangat untuk ikut melayani dengan pelbagai macam cara, antara lain untuk ikut mewartakan Injil kepada lingkungan oikosnya.

4.2. Pergandaan sel

Sebuah sel dipimpin oleh seorang pelayan sel. Sementara itu sambil jalan, pelayan sel itu harus menunjuk seorang asisten, seorang wakil pelayan sel, yang harus dibinanya dan diikut sertakan dalam memimpin dan melayani sel. Ia ikut mempersiapkan wakil pelayan sel untuk kemudian menjadi pelayan sel. Bila kemudian sel sudah cukup besar dan siap untuk mempergandakan diri, wakil pelayan sel itu menjadi pelayan sel dalam sel yang baru itu, sedangkan pelayan sendiri tetap memimpin selnya.

Sifat sebuah sel yang hidup ialah mempergandakan diri. Kalau sel tidak menggandakan diri atau bermultiplikasi, sel itu sakit atau mati. Jadi sifat sel yang sehat harus selalu mempergandakan diri. Berapa lama sel itu dapat membelah, tergantung pada beberapa faktor, sehingga waktu pergandaan satu sel dengan yang lain tidak sama, walaupun dapat dibuat semacam target.

4.3. Metode pergandaan

Dalam sistim sel paroki ini metode pergandaan yang diikuti ialah metode pergandaan sel, bukan tiap-tiap anggota membentuk selnya sendiri, karena pada hemat saya itu yang lebih banyak segi positifnya dan yang dengan mudah dapat dimasukkan ke dalam struktur Gereja Katolik. Dari semula para anggota sel harus disadarkan, bahwa panggilan merekalah untuk melipat gandakan diri dalam suatu semangat misioner, sehingga mereka mampu menanggung sakitnya perpisahan itu.

Perpisahan yang terus-menerus itu pada hakekatnya dapat diatasi atau dikurangi sakitnya dengan mengadakan suatu perubahan sedikit. Kalau misalnya sel-sel itu dikumpulkan dalam suatu wilayah, maka pelayan wilayah beserta para pelayan sel dan wakilnya dapat membentuk sebuah sel inti. Dengan demikian hubungan mereka lebih konstan dalam jangka waktu yang lebih lama dan sementara itu mereka akan sudah lebih dewasa iman dan hidup afektifnya. Dalam sel inti itulah mereka, di samping bersekutu seperti sel-sel lainnya, dapat bersama-sama membahas persoalan yang timbul dalam sel masing-masing.

Di samping itu, secara teratur mereka juga mengadakan pertemuan wilayah yang mengumpulkan para anggota seluruh wilayah. Dengan demikian pertemuan dalam kelompok sel yang kecil diimbangi oleh pertemuan dalam kelompok yang besar, yang menyadarkan mereka, bahwa mereka itu sesungguhnya bagian dari suatu kesatuan yang lebih besar. Dalam pertemuan seperti itulah dapat diberikan pengajaran-pengajaran khusus untuk memperdalam iman mereka.

Pertemuan dari seluruh paroki diadakan dalam perayaan Ekaristi Hari Minggu yang hendaknya dibuat sedemikian rupa, sehingga sungguh-sungguh menjadi suatu perayaan, di mana umat bersama-sama memuji dan memuliakan Allah dengan hati yang gembira. Dalam paroki St Boniface yang seluruhnya bersifat karismatik, perayaan Ekaristi mingguan itu sungguh hidup sekali. Demikian pula di Sant’Eustorgio perayaan Ekaristi hari Minggu juga hidup, walaupun rupanya bukan dengan gaya karismatik a la Indonesia dengan banyak tepuk tangan.

5. Pembinaan

Suatu faktor penting, bahkan menentukan keberhasilan sel ini, ialah pembinaan. Hal itu sungguh-sungguh disadari oleh pemrakarsa sel paroki di St Boniface, Florida, demikian pula di San Eustorgio. Pembinaan ini bersifat ganda.

 5.1. Pembinaan para pelayan sel.

Orang yang akan menjadi pelayan sel harus menjalani semacam training, semacam pembinaan untuk jangka waktu tertentu. Saint Boniface telah membuat suatu program pembinaan untuk para pelayan sel yang bertujuan memberikan motivasi serta ketrampilan untuk melayani. Dalam program pembinaan itu tidak dituntut kualifikasi yang tinggi untuk para calon pelayan sel. Di situ dikakatan, bahwa cukuplah, jika para pelayan sudah lebih maju selangkah daripada para anggota selnya. Untuk itu mereka membuat sebuah Training Manual yang diberi judul: St Boniface Parish Cell System. Cell Leaders’ Training Manual. Di San Eustorgio di Milano training manual itu desebut dengan istilah: Cell Leaders Training Manual. Parish Cell System of Evangelization. Training itu terdiri dari 6 session, masing-masing selama 2 jam. Di antara session-session itu ada tugas-tugas yang harus dilaksanakan para peserta.

 5.2. Pembinaan para anggota sel

Pembinaan itu dilakukan lewat kaset pengajaran yang dibagikan tiap minggu kepada tiap sel. Rupanya itu berinspirasi pada praktek gerejanya Cho Yonggi, yang memberikan bahan pengajaran untuk tiap minggu. Pada awalnya Cho Yonggi membiarkan tiap pelayan sel menyusun pengajarannya sendiri, namun dengan segera ia melihat, bahwa hal itu mudah menimbulkan kekacauan, karena tiap pelayan sel tidak sama, sehingga pengajaran yang diberikanpun berbeda. Kecuali itu pengajaran yang diberikan secara demikian itu mudah menimbulkan kesesatan dan perbedaan-perbedaan yang merugikan. Berdasarkan pengalaman tersebut, Cho Yonggi menuliskan sendiri pengajaran yang harus dibahas dalam pertemuan sel. Pengajaran itu dimuat dalam majalah mereka yang tiap minggu dibagikan kepada umat, sehingga sebelumnya umat dapat mempelajarinya dan kemudian dalam pertemuan sel berikutnya, mereka dapat sharing dan berdiskusi tentang hal itu. Bila Cho sendiri berhalangan, pengajaran itu diberikan oleh asistennya. Dengan demikian terpeliharalah kesatuan dalam Gereja itu.

6. Doa dan adorasi

Seperti yang disinyalir oleh Don Pigi tentang paroki St Boniface, rupanya kekuatan mereka terdapat dalam tempat yang diberikan pada doa dan adorasi dalam kehidupan para anggota sel itu. Setiap orang diharapkan mempersembahkan waktunya minimal satu jam dalam seminggu untuk mengadakan adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus. Dengan demikian dapat diadakan adorasi abadi berantai dalam paroki itu. Hidup doa merupakan unsur pokok dan dasar dalam kehidupan umat itu dan itulah yang dapat memeliharanya untuk senantiasa bersatu dengan Tuhan Yesus.

[1]St Boniface Parish Cell System, Session I, p 4


SISTIM SEL KOMUNITAS

(KOMUNITAS TRITUNGGAL MAHAKUDUS: SUATU PERWUJUDAN SISTIM SEL KOMUNITAS

(Bagian ketiga)

Rm.Yohanes Indrakusuma, O.Carm

Bila sistem sel paroki terikat pada suatu paroki, sebaliknya Sistim Sel Komunitas dapat merupakan suatu realitas lintas paroki, bahkan lintas keuskupan. Kalau sistim sel paroki sangat tergantung dari pastor parokinya, sehingga bila pastor parokinya ganti, sel tadi dapat mengalami kesukaran. Sebaliknya Sel Komunitas tidak tergantung dari pastor paroki dan dapat berjalan terus dengan lancar, walaupun pastor parokinya ganti. Di dalam Gereja dewasa ini terdapat pelbagai macam Sel Komunitas dengan nuansa yang berbeda-beda. Di luar negeri banyak berkembang apa yang disebut dengan istilah Covenant Community, Komunitas Perjanjian, a.l. di Perancis, Filipina, dll. Di Indonesia juga ada beberapa sel komunitas, di antaranya yang paling berkembang saat ini ialah Komunitas Tritunggal Mahakudus. Pada kesempatan ini saya hanya akan menguraikan tentang Komunitas Tritunggal Mahakudus saja.

1. Sejarah singkat KTM

Komunitas Tritunggal Mahakudus, selanjutnya disingkat KTM, didirikan dalam suatu retret bersama umat di Ngadireso, Tumpang, Malang, pada tanggal 11-13 Januari 1987. Komunitas ini merupakan suatu komunitas awam seluruhnya, walaupun dalam menampung dalam dirinya imam-imam dan religius sebagai anggota istimewa. Komunitas ini dibentuk dalam suatu keprihatinan terhadap pembaharuan karismatik yang dari satu pihak memiliki potensi besar sekali, tetapi dari pihak lain membutuhkan suatu pelengkap. Waktu itu sudah disadari, bahwa Persekutuan Doa seperti adanya, tidak memungkinkan suatu pembinaan yang mantap, padahal sangat dibutuhkan kader-kader awam. Karena itu dibentuklah Komunitas Tritunggal Mahakudus ini dengan harapan, agar terbentuklah suatu barisan kader awam yang handal, yang katolik 100% dan karismatik 100%, yang setia kepada Gereja dan dapat menjadi garam dan ragi di tempat hidup mereka masing-masing. Walaupun didirikan pada tahun 1987, namun sesungguhnya perkembangannya sempat tersendat selama beberapa tahun karena faktor kurang tenaga pembina. Baru pada beberapa tahun terakhir ini perkembangan mereka menjadi mantap, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Pada awalnya kehidupan komunitas itu hanya ada di Jawa Timur, dalam keuskupan Malang dan Surabaya dan itupun lebih terbatas pada 2 kota besar: Surabaya dan Malang. Namun dalam waktu relatif singkat, komunitas itu mulai melebar ke kota-kota lain di dua keuskupan tersebut dan bahkan sudah mulai melebar ke Jawa Tengah. Sekarang ini KTM sudah melebarkan sayapnya bahkan sampai keluar Jawa: Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah dan Utara, Banjarmasin, Bali. Sejak beberapa tahun yang lalu anggota-anggota yang pindah keluar negeri juga ikut menyebar luaskan KTM di mancanegara, a.l. di Singapore, di beberapa kota di Australia dan Amerika Serikat.

2. Suatu visi inisial

Alasan dasar mengapa saya mendirikan KTM, adalah suatu kesadaran ganda, yaitu:

  1. Untuk terus tumbuh dan berkembang dalam hidup baru dan hidup dalam Roh, dalam situasi zaman ini, umat membutuhkan orang-orang lain yang seiman dan sekeyakinan untuk tumbuh bersama di dalam Tuhan. Dengan kata lain, mereka membutuhkan suatu komunitas.
  2. Dalam Gereja dibutuhkan kader-kader awam yang sungguh-sungguh karismatik dan sungguh-sungguh Katolik.

Pada waktu itu saya melihat, bahwa orang-orang yang terjun dalam Pembaharuan Karismatik memang sungguh-sungguh diperbaharui hidupnya dan bersemangat besar setelah mendapat pencurahan Roh Kudus. Itulah sebabnya juga mengapa dengan gigih saya terus memper-kembangkan pembaharuan itu, walaupun untuk itu saya harus banyak menanggung penderitaan. Namun saya juga melihat, bahwa untuk berkembang secara benar, baik ke dalam maupun keluar, dibutuhkan suatu pembinaan yang terarah dan teratur. Kehidupan karismatik dalam persekutuan doa biasa umumnya tidak memadai. Pada waktu itu saya juga sudah melihat, bahwa banyak sekali orang-orang Katolik, yang terjun dalam pembaharuan karismatik, telah terkontaminasi secara tidak sehat oleh kelompok-kelompok non-Katolik, sehingga tanpa disadari iman mereka tidak murni Katolik lagi. Bahkan ada tokoh-tokohnya yang meremehkan sakramen-sakramen, Bunda Maria, dll. Karena itu, setelah mempertimbangkan semuanya, saya terdorong untuk mendirikan suatu komunitas awam dengan ciri-ciri berikut:

  1. Suatu Komunitas yang seutuhnya karismatik dan seutuhnya Katolik
  2. Tempat pembinaan kader-kader awam yang handal, yang memberikan jaminan mutu, yang setia dan berdedikasi tinggi.

Dengan demikian anggota-anggotanya diharapkan dapat menjadi:

Orang-orang Katolik yang penuh iman dan Roh Kudus, mengenal Allah secara pribadi dan menjadikan Yesus Kristus pusat hidupnya.

  1. Orang-orang Katolik yang dewasa, yang dapat mempertanggung jawabkan imannya serta yang mencintai Gereja.
  2. Saksi-saksi Kristus yang meyakinkan, yang dapat memberikan kesaksian tentang Yesus Kristus dalam lingkungan hidup masing-masing.
  3. Orang-orang Katolik yang memiliki semangat pelayanan sejati, yang dapat melakukan pelayanan terpadu sebagai komunitas dalam kesatuan dan di bawah bimbingan Uskup setempat.

Dengan berjalannya waktu, saya semakin yakin, bahwa inspirasi awal itu bukan hanya dari saya sendiri, melainkan bersumber pada Tuhan sendiri.

3. Spiritualitas KTM

Spiritualitas KTM bersumber pada spiritualitas karismatik Katolik dari satu pihak dan dari pihak lain dari spiritualitas Karmel. Keduanya telah menyatu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup dan pelayanan KTM. Karena itu KTM merupakan suatu persekutuan hidup, dengan suatu komitmen, bukan hanya sekedar persekutuan doa.

3.1. Spiritualitas Karismatik Katolik

KTM dalam hidup dan karyanya berinspirasi, bahkan dijiwai oleh Pembaharuan Karismatik Katolik, namun KTM tidak identik dengan persekutuan doa. KTM boleh disebut karismatik pertama-tama dalam arti teologisnya, bukan dalam arti sosiologisnya. Hal itu dapat diuraikan lebih lanjut sebagia berikut:

1.  Dalam keyakinan dan hidupnya KTM bergantung seluruhnya dari Roh Kudus dan kuasaNya.

2.  Kesadaran akan ketergantungannya pada Roh Kudus diperolehnya lewat suatu pengalaman Roh Kudus yang dialaminya lewat suatu pencurahan Roh Kudus.

3.  Dalam hidup dan karyanya secara nyata KTM mengandalkan kuasa dan bimbingan Roh Kudus.

4.  Khususnya di dalam pelayanannya KTM mempergunakan karunia-karunia Roh Kudus yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia sadar, bahwa tanpa karunia-karunia Roh Kudus KTM tidak akan dapat memberikan pelayanan yang diharapkan daripadanya.

5.  Disebut karismatik Katolik, karena dalam penghayatan hidup dan karyanya KTM ingin tetap menjadi orang Katolik yang sejati, Katolik 100% dalam persekutuan dengan seluruh Gereja di bawah pimpinan uskup.

Secara sosiologis KTM tidak identik dengan persekutuan doa karismatik, tidak identik dengan manifestasi-manifestasi persekutuan doa yang memang dapat berbeda-beda. Artinya, seorang anggota KTM tetap dapat menjadi seorang anggota yang baik, walaupun ia tidak ikut dalam persekutuan doa. Suatu persekutuan hidup mengandaikan komitmen-komitmen tertentu, dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu, sedangkan sebuah persekutuan doa umumnya tidak memiliki semuanya itu.

3.2. Spiritualitas Karmel

Dalam hidupnya KTM ditandai dan diwarnai oleh spiritualitas Karmel, karena memang lahir dan dibesarkan dalam iklim Karmel. Kekayaan tradisi Karmel telah mewarnai dan menandai secara mendalam kehidupan KTM dan khususnya dapat membantu KTM dalam perjalanan rohaninya menuju ke kedalaman Allah. Lewat bimbingan para tokohnya yang besar, seperti Santo Yohanes Salib, Santa Teresa Avila, Santa Theresia Lisieux, dll, KTM dibawa kepada penghayatan lebih mendalam hidup kristiani dan rohaninya. Mereka mengajarkan kepada kita lorong-lorong yang harus kita jalani dan bahaya-bahaya yang harus dihindari dalam perjalanan menuju kepada Allah. Pada dasarnya spiritualitas karismatik dan spiritualitas Karmel merupakan suatu kesatuan yang selama ini telah memperkaya kehidupan KTM.

Lewat pencurahan Roh yang dibawakan Pembaharuan Karismatik, orang dibawa kepada pertobatan yang mendalam kepada Allah, serta menjalin suatu hubungan pribadi yang baru dengan Allah. Hubungan baru ini mendasari hidup baru kita. Bersamaan dengan itu orang disadarkan akan kekayaan iman Katolik kita, akan kuasa Roh Kudus, akan karunia-karuniaNya. Oleh Pembaharuan ini kita dibawa kepada suatu bentuk pelayanan yang baru, yang penuh kuasa. Kemudian kekayaan Karmel membantu kita memperdalam hubungan pribadi dengan Allah tersebut, memberikan suatu kedalaman yang mantap dan terus berkembang di dalam hubungan ini. Para guru Karmel mengajarkan kepada kita kekayaan dan kebesaran cinta-kasih Allah, mengajarkan jalan-jalan yang harus ditempuh dan kendala-kendala yang harus dihindari, sehingga kita dapat mencapai tujuan hidup kita bersama, yaitu persatuan cinta-kasih dengan Allah

4. Visi Misi Komunitas Tritunggal Mahakudus

KTM telah menerima karunia-karunia Roh Kudus, Ia juga diberi karunia untuk mengalami sendiri “pengenalan akan Yesus Kristus yang mengatasi segala sesuatu” (Flp 3:8), serta “mengalami bersama para kudus betapa dalamnya, betapa lebarnya, betapa tingginya cinta-kasih Allah” (Ef 3:18-19). Karena telah mengalami kasih Allah yang telah mengasihinya lebih dahulu, ia dijadikan mampu untuk mengasihi Allah: “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh 4:19).

Setelah mengalami sendiri kasih Allah yang melampaui segala pengertian dan yang memperbaharui segala sesuatu, KTM dipanggil untuk mewartakan kasih Allah yang menyelamatkan dalam Yesus itu kepada semua manusia. Hal itu dilakukannya dalam kuasa Roh Kudus yang telah diberikan Allah kepadanya.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas kiranya Komunitas Tritunggal Mahakudus memiliki Visi dan Misi yang mantap, yang dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut:

Dalam kuasa Roh Kudus

mengalami dan menghayati sendiri

kehadiran Allah yang penuh kasih dan menyelamatkan,

sampai pada persatuan cinta-kasih,

serta membawa orang lain kepada pengalaman yang sama.

Rumusan tersebut dapat diterangkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Dalam kuasa Roh Kudus: Roh Kudus merupakan dasar dan sumber segala sesuatu, baik untuk mengalami dan menghayati kehadiran dan cinta-kasih Allah, maupun untuk membawa orang lain kepada pengalaman yang sama. Hal itu dilaksanakan lewat kuasa Roh kudus yang disalurkan dan dinyatakan lewat pelbagai macam kasih karunia, sakramen-sakramen dan karismata.

2. Mengalami dan menghayati sendiri: soalnya di sini bukan hanya untuk mengetahui saja, melainkan harus sampai pada pengalaman. Walaupun hal itu tetap terjadi dalam iman, namun harus sungguh-sungguh merupakan suatu pengalaman yang nyata, yang menjadi sumber penghayatan. Kita harus lebih dahulu mengalami sendiri, sebelum kita dapat memberikan kesaksian tentang hal itu.

3. Kehadiran Allah: Kehadiran ini dialami sebagai suatu kehadiran yang penuh kasih, yang menolong, melindungi, memelihara, yang menyembuhkan dan menyelamatkan. Karena itu kita dapat selalu mengharapkan dan mengandalkan pertolonganNya.

4. Persatuan cinta-kasih: Kehadiran Allah yang menyelamatkan itu perlahan-lahan tetapi pasti, asal tidak ada hambatan, akan mengubah dan memperbaharui kita, mulai dari lubuk terdalam kita, sampai pada seluruh lapisan ada kita. Oleh sentuhan-sentuhan rahmatNya kita diubah dan diilahikan sedemikian rupa, sehingga kita benar-benar menyerupai Allah, seperti kayu yang dimasukkan ke dalam api akhirnya menjadi api sendiri. Oleh transformasi itu seluruh ada dan kegiatan kita diilahikan, sehingga akhirnya segala faal dan perbuatan kita memperoleh nilai ilahi. Satu orang yang sampai pada persatuan cinta-kasih itu lebih berharga dan lebih berguna bagi dunia dan Gereja daripada ribuan, bahkan jutaan lainnya, yang tidak sampai pada tahap tersebut. Inilah yang menjadi cita-cita Karmel sejak semula dan yang diharapkan juga menjadi cita-cita kita.

5. Membawa orang lain pada pengalaman yang sama: Setelah kita sendiri mengalami kehadiran Allah yang menyelamatkan tersebut, walaupun belum sampai pada puncaknya, kita juga mau membawa orang lain kepada pengalaman yang sama, supaya merekapun boleh mengalami keselamatan yang leimpah yang datang dari Allah itu.

5. Kehidupan dasar KTM: hidup dalam sel

Kehidupan dasar KTM pada dasarnya sama dengan kehidupan sistem sel paroki, yaitu bertumpu pada kehidupan dalam sel dengan unsur-unsur pokok seperti yang dijumpai dalam sistem sel paroki, yaitu pengalaman Roh Kudus, keterbukaan terhadap karya Roh Kudus secara utuh, terhadap karunia-karunianya, semangat evangelisasi. Dasar kehidupan KTM ialah kehidupan dalam sel. Pertemuan sel diadakan minimal sebulan sekali. Sebuah sel terdiri dari 7-15 orang anggota, maksimum 15 orang. Karena semangat evangelisasinya, setiap sel diharapkan setelah beberapa waktu berkembang dan membelah diri menjadi dua sel baru. Satu sel dapat berkembang dan membelah diri setelah satu tahun atau lebih, yang satu lebih lambat, yang lain lebih cepat.

Sebuah sel dipimpin oleh seorang pelayan sel dan dibantu oleh seorang wakil. Kami memakai istilah pelayan untuk memberikan penekanan, bahwa kepemimpinan pada hakekatnya adalah pelayanan. Bila sel berkembang dan kemudian membelah diri, wakil pelayan menjadi pelayan sel yang satu dan pelayan yang lama tetap memimpin sel yang satunya lagi.

Bila sel-sel terus berkembang, beberapa sel (lima sampai 6 sel) membentuk satu wilayah; beberapa wilayah membentuk sebuah distrik dan beberapa distrik membentuk suatu regio. Regio-regio itu ada dibawah kepemimpinan Pelayan Umum beserta dewannya, yang bertanggung jawab kepada Gembala Umum yang mendampingi mereka.

Sekarang ini KTM memiliki sekitar 270 buah sel yang tersebar di pelbagai tempat, baik di Indonesia sendiri maupun di luar negeri. Namun hingga hari ini di mancanegara keanggotaannya pada umumnya masih meliputi orang-orang Indonesia yang berada di sana.

6. Penggembalaan dalam KTM

Kehidupan KTM berkisar pada kehidupan sel. Dalam sel itulah mereka dibina untuk hidup sebagai saudara. Mereka mengadakan sharing, berdoa bersama, saling mendoakan, saling mene-guhkan. Di situ pula mereka mendapatkan pelayanan dan pembinaan yang dilakukan oleh seorang pelayan sel. Karena jumlahnya kecil, pelayanan dan pembinaan itu dapat dilakukan dengan mudah. Seorang pelayan sel tidaklah harus menjadi ahli dalam segala hal. Cukup bahwa ia telah lebih maju selangkah dari yang lainnya. Untuk itu ia mendapat pembinaan khusus.

7. Pembinaan

Pembinaan ini merupakan bagian utama dan terpenting dari kehidupan KTM. Tanpa pembinaan yang terarah dan kuat, KTM tidak mungkin dapat berkembang. Karena itu untuk para anggota KTM telah dipersiapkan dan sedang dipersiapkan pengajaran yang bertahap dan terarah. Dalam kehidupan KTM dapat dibedakan tiga jenis pengajaran.

1. Pengajaran dan renungan yang diterima dalam tiap pertemuan sel.

2. Pengajaran bertahap yang diberikan untuk para anggota sejak permulaan hingga perkembangan selanjutnya. Untuk itu telah disusun sebuah kurikulum dan bahan-bahan sebagian telah selesai dibuat, sedangkan yang lainnya sedang disusun. Diharapkan, bahwa setelah beberapa tahun para anggota memiliki pembinaan teologis dan spiritual yang cukup memadai.

3. Pengajaran yang diberikan dalam pertemuan-pertemuan besar bersama, baik itu dalam pertemuan di wilayah-wilayah, maupun di distrik-distrik ataupun dalam retret bersama

8. Pelayanan KTM

Pada dasarnya KTM dapat melakukan pelayanan apa saja yang dibutuhkan Gereja. Biarpun demikian KTM juga punya preferensi, yaitu pewartaan Kabar Gembira, pendalaman iman, pelayanan penyembuhan, baik jasmani, batin maupun rohani. Pelayanan rohani kepada umat yang menderita. Sebenarnya dengan memperluas keanggotaannya KTM membantu pembinaan dan pembentukan orang katolik yang handal dan bersemangat misioner.

Kesimpulan: Sistim sel komunitas dan sistim sel paroki, harapan Gereja Millenium III

Melihat semua yang telah dibahas sebelumnya, kiranya dapatlah disimpulkan, bahwa sistim sel komunitas dan sistim sel paroki merupakan suatu wadah yang dapat menampung aspirasi umat dalam Millenium III ini. Dalam situasi konkrit Gereja Katolik dewasa ini, kiranya kedua bentuk itu memang dibutuhkan oleh umat. De fakto keduanya sudah ada dalam Gereja. Sel-sel komunitas dengan pelbagai macam variasinya telah tumbuh dengan subur dalam Gereja, bahkan sebelum adanya sistim sel paroki dan itu telah tersebar luas di seluruh Gereja. Dalam struktur hirarkis Gereja yang ada ini, sistim sel komuntias itulah yang rupanya lebih memungkinkan hidup dan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berkembang, sebab adanya sistim sel paroki mengandaikan keterlibatan penuh dari pastor paroki. De fakto itulah bentuk sel yang sangat berkembang dewasa ini dan yang menyebabkan Paus Yohanes Paulus II berkata, bahwa suatu musim semi baru telah mulai di dalam Gereja.