Print
Category: Tulisan Rm. Yohanes Indrakusuma CSE
Hits: 9909

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Pertama-tama kita harus menyadari bahwa sebagai orang Kristiani, panggilan kita adalah panggilan untuk menjadi anak-anak Allah. Hal ini merupakan panggilan yang paling mendasar bagi kita semua. Panggilan berkeluarga atau panggilan khusus hidup religius merupakan cara, sarana, dan jalan yang kita tempuh yang berbeda satu dengan yang lain. Akan tetapi, panggilan pokok sebagai orang Kristen adalah untuk menjadi serupa dengan Yesus Kristus. 


Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus memulai dengan pujian kepada Allah dan pujian untuk kekayaan menjadi orang Kristen. Suatu kesadaran yang mendalam harus selalu menyertai kita. “Terpujilah Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam surga ” (Ef 1:3). Dalam hal ini kita disadarkan bahwa kita diberi suatu berkat rohani dari surga dan berkat yang berlimpah-limpah. Sebab di dalam Yesus Kristus, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Kita semua telah dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan. Hal ini berarti bahwa Allahlah yang memilih kita, bukan kita yang memilih Allah. Kita dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan, sebelum segala sesuatu ada di dunia ini, Tuhan sudah memikirkan kita terlebih dahulu. 

Sebagai gambaran, kita dapat mengandaikan bahwa Allah itu seperti seorang seniman, yakni seorang pemahat. Seorang pemahat yang melihat sepotong kayu yang belum dibentuk dan di dalamnya dia sudah melihat sebuah patung yang indah yang mau dijadikannya, sebuah patung yang sangat bagus yang sudah direncanakannya. Demikian juga dengan rencana Tuhan tentang kita. 

Tuhan melihat kita masing-masing sebagai yang dipanggil-Nya dan Dia melihat keindahan kita, Dia sudah melihat kesudahan kita, yaitu dalam keindahannya yang sempurna. Sebab Allah memilih kita supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Agar dapat menjadi patung yang sangat indah di hadapan Tuhan, maka dapat dipastikan harus melalui proses yang panjang, dipotong, digergaji, dipahat, diamplas, dan sebagainya. Seandainya kayu yang dipahat oleh seorang seniman itu dapat merasa seperti kita manusia, maka dapat dipastikan bahwa dia seringkali menjerit-jerit dan bertanya: Mengapa saya dipotong? Mengapa saya dipahat? Mengapa saya diamplas? 

Rencana Tuhan itu merupakan rahmat yang paling besar seperti yang dikatakan Santo Paulus “Dalam kasih, Dia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef 1:5). Jadi kita sudah sejak semula ditentukan oleh Allah untuk menjadi anak-Nya. Kita adalah anak-anak Allah di dalam Sang Putera-Nya, Yesus Kristus. Dalam Injil Yohanes dikatakan, “Barangsiapa percaya dan menerima Dia, diberi-Nya kuasa untuk menjadi anak-anak Allah.”  Jadi, di dalam Yesus Kristus kita dijadikan anak. Ketika kita percaya kita dijadikan oleh-Nya supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan kepada kita dalam Dia yang dikasihi-Nya. Oleh karena itu, kita dipanggil menjadi anak-anak Allah karena kebesaran kasih karunia-Nya, suatu panggilan yang mendahului segala sesuatu.

Sebelum kita dipangggil, kita ini adalah orang-orang yang berdosa sehingga kita dijadikan benar dan dibenarkan oleh Yesus Kristus. Kita dipanggil untuk menjadi anak-anak di dalam Yesus Kristus sebab di dalam Yesus dan oleh darah-Nya kita memperoleh penebusan, yaitu pengampunan dosa menurut kekayaan kasih karunia-Nya yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. Sebab Dia telah menyatakan rahasia-Nya kepada kita sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan-Nya yang dari sejak semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus. Dia menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita. 

Apa sebetulnya kehendak Allah itu kepada kita, tidak lain ialah supaya kita menjadi anak-anak-Nya, supaya kita menjadi kudus tak bercacat di hadapan Tuhan dan inilah panggilan kita sebagai orang Kristen secara umum. Sabda ini juga diteguhkan oleh Santo Yohanes, “Bahwa untuk menjadi anak-anak Allah sebetulnya merupakan suatu rahmat yang besar sekali.”

Seperti dikatakan oleh Santo Yohanes dalam suratnya, “Lihatlah betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah dan memang kita adalah anak-anak Allah” (1 Yoh 3:1). Ini suatu rahmat bahwa kita boleh menjadi anak-anak Allah dan itulah sebetulnya yang menjadi dasar hidup kita. Kita dijadikan anak, karena rahmat pengudus yang menjadikan kita anak-anak Allah dan kita mengambil bagian di dalam hidup Allah sendiri. Inilah panggilan dasar sebagai orang Kristen. 

Di atas panggilan dasar ini kemudian dibangun suatu panggilan khusus sebagai religius atau berkeluarga. Panggilan khusus sebagai religius dan berkeluarga sebetulnya dasarnya sama, yaitu rahmat Allah atau sebagai anak-anak Allah juga. Seorang religius dipanggil secara khusus melalui sarana-sarana dan jalan-jalan yang khusus pula. Panggilan ini merupakan panggilan yang cuma-cuma dari Allah, seperti yang diungkapkan di dalam Kitab Yeremia 1:4-5 dikatakan:

“Firman Tuhan datang kepadaku bunyinya: sebelum Aku membentuk engkau di dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau…”

Panggilan Yeremia adalah panggilan yang agak khusus:

“Dan sebelum engkau keluar dari kandungan Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau untuk menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer 1:5). 

Panggilan Yeremia merupakan cerminan panggilan kita, karena kita dipanggil sudah sejak semula oleh Allah untuk bersatu dan bahagia bersama-Nya.

Kesadaran bahwa kita dipilih dan dipanggil sejak semula akan menguatkan kita pada saat-saat kesulitan, kekeringan, kegelapan, saat-saat yang mencekam, dan bila kita digoda untuk meninggalkan panggilan itu. Kita harus menyadari bahwa kita sudah dipanggil oleh Tuhan sejak semula dan kita seluruhnya adalah milik Allah dan untuk mengabdi Dia saja dalam hidup ini serta boleh bersyukur pada-Nya akan rahmat panggilan itu. 

“Akulah yang memilih engkau, sabda Tuhan.”  Bukan kita yang memilih Allah, tetapi Allahlah yang memilih kita. Mungkin dalam menjawab panggilan Tuhan, kita akan merasa seperti Yeremia sendiri yang mengatakan, “Ah Tuhan, sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda” (Yer 1:6). Atau kita juga bisa mengalami seperti Nabi Yesaya, ketika dia dipanggil dan dia melihat Tuhan, dia berkata, “...celakalah aku, sebab aku ini adalah manusia yang najis bibir dan hidup di tengah bangsa yang najis bibir...” (Yes 6:5).  Akan tetapi, Tuhan sendiri yang menguduskan Yesaya. Tuhan juga meneguhkan Yeremia dengan bersabda, “Jangan katakan bahwa aku ini masih muda, tetapi kepada siapa engkau Kuutus, haruslah engkau pergi dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu haruslah engkau sampaikan” (Yer 1:7). 

Panggilan Yeremia sebagai nabi seolah-olah bertentangan dengan kodratnya sehingga dia kadang-kadang ingin lari dari tugas dan panggilan itu, apalagi ketika dia harus mengatakan kebenaran kepada orang-orang yang tidak benar, menyerukan damai kepada orang yang berperang dan bermusuhan. Yeremia begitu terbakar hatinya, dia didorong untuk berbicara. Panggilan Tuhan begitu kuat. Yeremia dipanggil semata-mata hanya karena kasih karunia dan anugerah Tuhan, tidak ada jasa dari pihak Yeremia sebelumnya. Tuhan sendirilah yang menentukannya, Tuhan sendiri yang memanggilnya secara khusus. Yeremia sudah dikenal oleh Tuhan sebelum dia dibentuk di dalam rahim ibunya.

Panggilan Yeremia merupakan panggilan khusus, hal ini berlaku bagi semua religius. Mengapa ada yang dipanggil sebagai religius, menjadi imam, biarawan dan biarawati? Apakah mereka itu merupakan orang-orang yang memiliki kelebihan dalam segala hal jika dibandingkan dengan orang yang dipanggil untuk berkeluarga? Tentu tidak.

Jikalau kita merenungkan panggilan para murid Yesus sendiri, maka kita dapat melihat bahwa Tuhan Yesus sendiri yang memilih rasul-rasul-Nya dan Tuhan sendiri yang menghendaki-Nya. Mereka yang dipilih itu bukan orang-orang yang istimewa, bukan orang terpelajar, atau orang terpandang. Inilah rahasia dan misteri panggilan Allah. Justru orang yang sederhana, petani, nelayan kelas bawah, orang-orang kecil, seperti rasul-rasul itulah yang akhirnya merupakan pondasi dan penopang-penopang Gereja yang kuat dan kokoh. Sampai saat ini para rasul itu masih tetap kita kenang dan kita hormati. Mereka adalah orang-orang biasa yang dipakai Tuhan dalam karya keselamatan-Nya. Mereka bukanlah orang-orang yang terpelajar, melainkan hanya buruh kasar sebagai nelayan. Akan tetapi, Tuhanlah yang memilih mereka dan kemudian oleh rahmat Tuhan, mereka dibentuk, diubah, dan dimampukan seperti yang kita kenal. “Karena kasih karunia Tuhan, aku ada seperti adaku sekarang ini,”  demikian kata Santo Paulus dalam 1 Kor 15:10.

Ketika Yesus menyatakan hal ini, banyak orang tidak mengerti, tetapi Tuhan Yesus menegaskan bahwa “tidak semua orang dapat mengerti.” Namun, bagi mereka yang dikaruniai itulah yang akan mengerti. Orang menanggapi panggilan Tuhan karena terpesona oleh Kerajaan Allah yang luhur itu dan terpesona oleh pribadi Yesus sendiri, yang merupakan sumber kebahagian dan keselamatan sehingga rela meninggalkan segala sesuatu untuk menanggapi suara panggilan Tuhan Yesus ini.

Semua nilai yang ditinggalkan itu merupakan nilai-nilai manusiawi yang indah dan menarik, misalnya membangun keluarga itu adalah sesuatu nilai yang indah dan bukan nilai yang negatif sebab jikalau hidup berkeluarga itu tidak baik, maka manusia itu tidak ada dan tidak ada seorang pun yang masuk biara karena manusia lahir dari sebuah keluarga. 

Hidup berkeluarga itu merupakan suatu panggilan yang khusus dan indah, namun lebih indah lagi apabila manusia hanya mau hidup melulu bagi Allah, demi Kerajaan Allah. Ada suatu nilai plus, yakni dalam arti tertentu kita sudah di dalam dunia ini sudah menghayati hidup yang abadi dalam kerajaan Kristus yang eskatologis. Artinya kita hidup sudah seperti di surga, walaupun masih di dunia. Hal ini seperti yang dikatakan dalam Kitab Suci bahwa di surga tidak ada orang yang menikah dan dinikahkan, tetapi hidup seperti para malaikat. Ini adalah suatu rahmat, bahwa kita boleh mengantisipasi kehidupan di surga. Apabila hidup dan panggilan itu dihayati dengan sungguh-sungguh maka hidup dan panggilan itu merupakan surga di dunia.

Santa Teresa dari Avila beberapa kali menegaskan bahwa hidup yang sungguh-sungguh dalam biara bila dilakukan dengan konsekwen, sungguh merupakan surga di dunia. Panggilan sebagai religius merupakan suatu panggilan yang khusus. Seorang religius sudah meninggalkan nilai-nilai yang baik dan indah seperti hidup untuk berkeluarga, meninggalkan segala kenikmatan dunia, dan untuk menentukan sendiri jalan hidup. Semua nilai itu ditinggalkan hanya karena mau mencintai Yesus semata-mata. Segala kesenangan, harta benda, kebebasan hidup, ditinggalkan demi kerajaan surga yang jauh lebih indah dari semua yang kita tinggalkan, walaupun kita sudah melihatnya dengan samar-samar dalam iman.

Kerajaan Allah yang tampak dalam cara hidup religius itulah yang dikejar, karena mempunyai nilai lebih dari segala yang ada di dunia ini. Para religius dipanggil sudah sejak dalam kandungan sebelum dunia dijadikan untuk menghayati hidup di surga yang sudah dihayati oleh para malaikat dan para kudus yang sudah berbahagia bersama Allah di surga. Hidup di surga seperti malaikat tidak menikah dan tidak dinikahkan. Itulah keadaan hidup di surga kelak yang siang malam memuji dan memuliakan Tuhan bersama Anak Domba, yaitu Yesus sendiri, siang malam melambungkan pujian: kudus, kudus, kuduslah Tuhan seperti yang diungkapkan dalam kitab Wahyu. 

Akan tetapi, ada banyak nilai dalam hidup religius yang dihayati pula oleh seorang awam. Mereka yang dipanggil hidup berkeluarga maupun selibat awam, dapat memetik beberapa penghayatan hidup religius tanpa meninggalkan statusnya sebagai awam. Semua orang, baik awam maupun seorang religius yang melepaskan diri dari segala kenikmatan duniawi dan mempersembahkan hati dan cintanya hanya untuk Allah saja, bisa kita sebut sebagai seorang insan Allah. Seorang insan Allah adalah ia yang hidup dalam persatuan yang mesra dengan Penciptanya.

Oleh karena itu, seorang insan Allah hidup berdasarkan iman dan jikalau iman itu hilang, maka akan kehilangan segala-galanya. Seorang insan Allah harus selalu membangun iman ini, karena hanya dengan iman itulah memungkinkan dia untuk melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata jasmani kita. Orang yang hidup berdasarkan iman tidak dibebaskan dari liku-liku hidup seperti: rintangan, tantangan, godaan, hambatan, dan lain-lain. Justru dalam situasi-situasi sulit seperti itu kita mengalami suata kebahagiaan, suka cita, dan damai karena kita menanggungnya bersama Tuhan Yesus. Tanpa rahmat Allah, kita tidak akan dapat bertahan di dalam hidup ini.

PANGGILAN KARMEL

Seperti dikatakan oleh Santo Paulus, “Gereja merupakan suatu tubuh yang disebut tubuh mistik Kristus dengan berbagai macam anggota dan berbagai macam panggilan.” Oleh karena itu, di dalam Gereja tidak hanya ada satu panggilan, tetapi ada berbagai macam panggilan.

Sejak semula sudah ada perbedaan-perbedaan yang cukup menyolok di dalam menanggapi Injil yang diwartakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Ada banyak ungkapan yang berbeda-beda, misalnya seorang tokoh seperti Santo Paulus berbeda sekali dengan Santo Yohanes rasul. Dua tokoh yang berbeda tetapi kedua-duanya mencoba untuk mengungkapkan dan menanggapi panggilan Tuhan yang satu dan sama walau berbeda cara dan penghayatannya. Santo Paulus sebagai pewarta yang aktif, sedangkan santo Yohanes rasul lebih menghayati kasih dan cinta Tuhan dalam doa kontemplatif.

Demikian juga di dalam Gereja sepanjang masa, selalu ada serikat-serikat baru yang dibangkitkan oleh Roh kudus, untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman. Ada serikat-serikat yang rupanya ditentukan untuk jangka waktu yang cukup lama (untuk seterusnya), dan ada serikat-serikat yang ternyata hanya bertahan beberapa saat saja (satu atau dua abad saja) dan bahkan ada serikat-serikat yang tidak bertahan lama (ada yang tidak mencapai usia 50 tahun) karena setiap serikat berbeda-beda dalam menanggapi panggilan itu.

Karmel sendiri seperti kita ketahui berasal dari Palestina. Karmel merupakan suatu serikat yang lahir dalam Gereja Katolik sudah sejak lama dan lahir di daerah Timur yang dipengaruhi oleh spiritualitas Timur. Mengenai Karmel ada banyak kesaksian yang sangat menarik, misalnya: dari Paus Yohanes Paulus II, yang mengatakan: 

“Karmel merupakan suatu panggilan yang mempunyai kedudukan istimewa di dalam Gereja, yaitu suatu panggilan yang unik karena di dalam Karmel mereka menghadirkan Allah di tengah-tengah dunia melalui doa dan kontemplasi.”

Dan Paus Yohanes Paulus II menambahkan:

“Sungguh besar rahmat di dalam Karmel karena kita dapatkan adanya Pujangga Gereja dari pihak yang lemah (perempuan), bahkan ada dua, yaitu santa Teresia Avila dan santa Theresia Lisieux yang keduanya merupakan biarawati Karmel yang telah diangkat menjadi Pujangga Gereja.”

Kemudian seorang Dominikan yang bernama Regame memberikan kesaksian tentang Karmel. Dia mengatakan:

“Di antara serikat-serikat di dalam Gereja, Karmellah satu-satunya serikat yang dengan jelas dan tegas berani menyajikan kepada anggota-anggotanya suatu cita-cita yang harus dicapai, yaitu persatuan mistik.” 

Apa yang dikatakan Regame memang benar karena Karmel sebagai suatu serikat, sudah sejak semula menyajikan kepada para anggotanya persatuan mistik dengan Allah yang kita sebut dengan istilah “persatuan transforman”. Hal ini dapat kita lihat sejak zaman Santo Yohanes dari Salib dan Santa Teresa dari Avila yang menekankan persatuan mistik sebagai suatu cita-cita yang sudah ada sejak semula.

Seorang Benediktin yang bernama Lesso hidup sebagai seorang saniasin India  (pertapa gaya India). Setelah mendalami kehidupan di India, dia memuji Karmel. Dalam artikelnya yang ditulis tentang “Karmel dan India”, ia mengatakan bahwa Spiritualitas Karmel seperti yang sudah dihayati para pertapa Karmel Awali dan juga oleh Santo Yohanes dari Salib, ternyata mungkin paling cocok untuk menanggapi panggilan yang paling dalam, yaitu yang membawa kepada persatuan mistik di India. Ia mengatakan bahwa di India, kerinduan akan Allah sangat besar dan dapat dikatakan “tanah para riscci” artinya para pertapa atau rahib-rahib, yaitu mereka yang merindukan persatuan yang sangat dalam dengan Allah, walaupun mereka belum mengenal Allah secara mendalam.

Jikalau kita lihat di sini, kekuatan Karmel justru dalam bidang doa dan kontemplasi yang sangat tinggi. Karmel unggul dalam doa dan kontemplasi tetapi dalam segi lain Karmel kalah dari serikat-serikat lain. Dalam bidang doa dan kontemplasilah Karmel memiliki kekuatannya. Oleh karena itu, sebagai referensinya harus selalu kembali kepada Karmel Awali dalam bentuk spiritualitasnya. Karmel merupakan sesuatu yang khusus. 

Kehidupan para Pertapa di Gunung Karmel

Para pertapa dari Gunung Karmel, mula-mula berasal dari Eropa. Walaupun sebelumnya sudah ada orang-orang lain yang pernah bertapa di Gunung Karmel, tetapi yang menjadi asal usul para Karmelit adalah orang-orang dari perang salib yang ikut berperang dan kemudian menetap di Palestina dan akhirnya banyak yang tinggal di Gunung Karmel sebagai pertapa. 

Mereka itulah yang kemudian meminta kepada Santo Albertus, Patriaka Yerusalem untuk membuatkan suatu regula, yaitu semacam aturan-aturan untuk para pertapa yang sekarang dikenal dengan”Regula Karmel.” Walaupun Regula Karmel itu pendek dan singkat, tetapi dapat dikatakan penuh dengan Roh. Regula itu sangat sederhana, tidak ada peraturan-peraturan yang terlalu mendetail yang mengungkapkan cara hidup dan suatu semangat hidup yang semuanya diambil dari teks-teks Kitab Suci. Inti dari regula itu terdapat pada pasal tujuh yang mengatakan, “Tinggallah di dalam sel atau pondoknya masing-masing dan di situ siang malam berjaga-jaga dalam doa dan merenungkan hukum Tuhan.”  Inilah yang menjadi pokok dan inti kehidupan Karmel.

Apabila kita melihat latar belakang geografisnya, oasis Karmel itu terdiri dari beberapa pondok atau gua-gua batu di lereng gunung. Di tengah gua-gua yang didiami oleh beberapa rahib itu ada pula sebuah kapela yang tidak begitu besar. Pemandangannya sangat indah karena di sekitar lereng bisa melihat pemandangan ke arah laut. Itulah gambaran Karmel semula di Gunung Karmel. Di lereng gunung ada sebuah sumber yang disebut sumber atau sumur Elia. Sumber ini sudah ada sejak dahulu dan sampai sekarang sumber itu tidak pernah kering. Sumber itu tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk kebutuhan mereka yang tinggal di situ. Di sinilah para karmelit awali hidup dan kehidupan mereka berpusat pada hidup dalam hadirat Allah, yaitu suatu doa dan kontemplasi yang terus menerus.

Pada permulaan mereka itu hidup betul-betul seperti eremit atau pertapa, segala sesuatu dilakukan sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa tahun cara seperti hidup eremit itu dinilai tidak praktis dan tidak efektif karena banyak hal yang sulit. Misalnya bagi mereka yang mempunyai kemampuan memasak maka akan makan makanan yang enak sedangkan yang tidak mempunyai kemampuan memasak akan mengalami kesulitan. Melihat situasi demikian akhirnya mereka makan bersama dalam satu komunitas dan Misa bersama, doa bersama tetapi dalam keadaan silentium atau hening. 

Banyak rahib di Gunung Karmel yang sebetulnya tidak berpendidikan alias buta huruf. Oleh karena itu, dalam regula disebutkan:

“bagi mereka yang tidak bisa membaca dan tidak bisa mendaraskan doa brevir hendaknya mengucapkan doa Bapa kami. Pada Ibadat Pagi tujuh kali Bapa Kami, Ibadat Sore lima belas kali Bapa kami.” 

 Inilah situasi mereka pada waktu itu. Mereka itu kebanyakan orang-orang yang sederhana dan tidak terpelajar, walaupun di antara mereka ada juga beberapa imam yang berpendidikan. Dalam perjalanan waktu, karena situasi zaman dan setelah para rahib pindah ke barat ke daerah kota-kota akhirnya cara hidup mereka berubah.

Pada permulaan mereka adalah kontemplatif murni. Nicolaus dari Perancis, seorang mantan Jendral Ordo Karmel, menulis sebuah buku yang disebut “IGNEA SACITA” artinya “Panah Berapi.”  Buku ini menguraikan cita-cita hidup Karmel Awali dan kecenderungan para rahib yang kemudian pindah ke kota-kota. Dulu kehidupan mereka keras, setelah pindah ke kota kehidupan mereka menjadi kendor, semangat duniawi mulai masuk, dan sebagainya. Nicolaus menggambarkan keindahan, kehidupan para rahib awali di Gunung Karmel. Mereka itu pada umumnya kontemplatif yang terpusat seluruhnya dalam kontemplasi, doa, dan meluangkan banyak waktu untuk Tuhan. Kadang-kadang beberapa orang dari mereka turun gunung untuk mewartakan sabda Allah yang telah mereka alami sendiri di dalam kontemplasi.

Oleh karena itu, pewartaan mereka bersumber pada kontemplasi yang sungguh-sungguh. Cita-cita Karmel Awali ini dituangkan dalam regula yang mengatakan “...siang malam tinggal dalam pondoknya atau disekitarnya dengan berjaga-jaga dalam doa dan merenungkan sabda Tuhan” Hal ini bertujuan untuk hidup terus menerus dalam hadirat Allah. Cita-cita ini dihayati oleh para anggota Karmel hingga saat ini.

Dalam Kitab rahib pertama yang ditulis pada abad ke-13, di situ diungkapkan sejarah dari pertapa Gunung Karmel yang juga banyak mengalami tantangan. Oleh karena karmel dianggap liar, tidak ada Bapak pendirinya, dan muncul pertanyaan siapa pendiri Karmel, maka akhirnya mereka memilih nabi Elia sendiri sebagai Bapak dan pemimpin Karmel. Pernyataan ini pun perlahan-lahan diterima oleh Gereja. Dalam kitab para rahib pertama ditemukan juga cita-cita karmel awali, sebagai suatu kesadaran yang cukup nyata.

Cita-cita Karmel:

Pertama “dengan bantuan rahmat Allah, mempersembahkan suatu hati yang suci dan murni, bebas dari noda dosa aktual.” Inilah yang disebut bagian asketis. 

Kedua: “Sudah dalam hidup ini boleh merasakan dalam hati kekuatan kehadiran Allah dan mengalami dalam Roh kemanisan kemuliaan surgawi.” Itu berarti sama dengan suatu pengalaman mistik yang dalam, yang menjadi cita-cita Karmel sejak semula. Rahmat ini merupakan karunia Allah semata-mata dan orang mau mempersiapkannya dengan mempersembahkan hati yang suci dan murni, bebas dari noda dosa aktual.

Bebas dari noda dosa aktual artinya hidup dalam suara hati yang murni bebas dari segala noda dosa. Inilah cita-cita yang disediakan oleh Karmel bagi para anggotanya, suatu cita-cita yang sangat luhur dan sangat tinggi. Thomas Morthen memberi komentar tentang karmel bahwa cita-cita Karmel itu sangat luhur dan tinggi. Keluhuran Karmel terdapat di dalam kontemplasi dan hidup terus menerus di hadirat Allah siang dan malam sambil merenungkan Sabda Tuhan.

REFORMASI DALAM KARMEL

Beberapa yang terkenal dalam karmel adalah:

a.  Reformasi Yohanes Soreth

Dia adalah salah seorang Jendral Karmel yang sangat tegas. Melihat adanya kemerosotan dalam cara hidup para karmeit, ia mengadakan pembaharuan semangat atau reformasi. 

b. Reformasi Albi

Albi adalah sebuah kota di Perancis Selatan. Di sana diadakan reformasi yang cukup berkembang.

c. Reformasi Manthua di Italia

Reformasi Manthua menekankan untuk kembali kepada keheningan dan kesunyian, kembali kepada cita-cita Karmel Awali. Dengan cita-cita Karmel Awali, mereka mau kembali kepada primat kontemplasi. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Baptista Manthua.
d. Reformasi Turin di Perancis

Sebetulnya sangat mempengaruhi seluruh ordo waktu itu. Tokoh yang terkenal, yaitu Yohanes dari Samsone seorang bruder yang buta. Dia sejak kecil sudah buta, tetapi akhirnya diterima di dalam karmel, dan menjadi seorang mistikus yang besar. Dia juga mempunyai bakat musik yang luar biasa.

e. Reformasi Teresa dari Avila

Ketika Teresa dari Avila mulai mendirikan biaranya (biara OCD), dia mau kembali kepada cita-cita Karmel Awali dan dia selalu mengatakan, “Lihatlah anak-anakku, kita ini keturunan para rahib dari Gunung Karmel.”

Tiap-tiap kali Santa Teresa dari Avila selalu menekankan untuk mengikuti cara hidup para rahib di Gunung Karmel. Cita-cita Teresa ialah bahwa akhirnya kita diarahkan kepada persatuan yang transforman dengan Allah, yang semuanya telah dia tuangkan dalam bukunya “Puri Batin”. Tujuannya supaya kita perlahan-lahan dibawa kepada persatuan cinta kasih dengan Allah lebih dalam, sehingga kita betul-betul menjadi satu dengan Allah.

Persatuan yang dimaksudkan Teresa diungkapkan paling jelas dalam buku Puri Batin, walaupun dalam riwayat hidupnya telah diungkapkan dan juga dalam bukunya yang berjudul “Jalan Kesempurnaan.”

f. Reformasi Yohanes dari Salib

Santo Yohanes dari Salib ini adalah anak rohani Teresa dari Avila sekaligus juga menjadi pembimbingnya. Santa Teresa melihat dalam diri Santo Yohanes dari Salib seorang pribadi yang kuat untuk memulai reformasinya bagi para pria. Teresa seorang mistik yang menulis dari kelimpahan hatinya yang mengungkapkan hal-hal tentang hidup rohani yang begitu indah. Berbeda dengan Santo Yohanes dari Salib, dia betul-betul seorang teolog. Dia mempunyai suatu pemikiran yang jelas dan mempunyai dasar teologi yang sehat, yang tidak dimiliki oleh Teresa. Karya Teresa tentang Puri Batin sungguh mengagumkan banyak orang. Walaupun dia tidak mempunyai dasar Teologi tetapi dapat mengugkapkan hal-hal yang sangat dalam yang tidak diungkapkan oleh orang lain. Ini semua semata-mata merupakan rahmat Allah dari hasil persatuan dan pengalaman pribadi dengan Allah, yang disebut karya mistik. Sebaliknya santo Yohanes dari Salib berdasarkan pengalamannya sendiri dan pengalaman dari banyak orang, dia mampu mengungkapkan secara teologis dan sangat jelas walaupun dia selalu memakai banyak lambang, tetapi jelas sekali mengenai cita-cita yang sangat luhur.

Santo Yohanes dari Salib sejak semula menyadarkan kita akan cita-cita persatuan mistik dengan Allah. Melalui Santo Yohanes dari Salib , kita disadarkan betapa pentingnya nilai seseorang yang mencapai persatuan transforman. Dia mengatakan bahwa satu orang yang mencapai persatuan cinta kasih itu lebih besar nilainya daripada beribu-ribu orang lain yang tidak sampai ke persatuan itu. Dari sini kita bisa mengerti, mengapa Tuhan Yesus satu kali wafat di salib cukup untuk menebus dosa seluruh umat manusia bahkan seluruh umat manusia, karena segala yang dilakukan Tuhan Yesus bersifat ilahi, karena Dia adalah Allah. Maka juga orang-orang seperti Santo Yohanes dari Salib, Santa Theresia dari Lisieux, atau Santa Teresa dari Avila jauh lebih berharga daripada ribuan orang lain bahkan jutaan orang yang tidak sampai pada persatuan itu.