User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

 Teng... teng... teng..... bunyi keras suara kentongan di siang hari itu telah membuyarkan lamunan seorang suster muda. Segera dilihatnya jam kecil di atas meja di sudut kamarnya, ah.... sudah jam 12 siang rupanya, pantas saja kentongan itu sudah dibunyikan. Suster muda itu pun dengan perlahan beranjak dari tempat duduknya, dirapikannya jubah dan kerudungnya, kemudian ia pun bergegas menuju ke kapel untuk doa siang.

Saat itu sebenarnya hatinya sedang merasa gundah gulana, seharian itu ia tak dapat berkonsentrasi dalam pekerjaannya, entah apa yang mengganggu pikirannya namun yang jelas hal itu telah membuatnya hanya melamun dan melamun saja di depan jendela pondok kecilnya. Dan selama perjalanannya menuju ke kapel siang hari itu, ia merasakan adanya suatu kekosongan dalam hatinya. "Ah... Tuhanku, hatiku sedang gelisah, rasanya aku tak kan dapat mengikuti doa siang ini dengan baik...." Begitu keluhnya dalam hati ketika ia sampai di depan kapel kecil itu. Dengan langkah gontai, ia masuk ke dalam kapel. Dipandangnya salib di belakang altar sambil ia mengambil air suci dan membuat tanda salib. Diserukannya nama Yesus secara perlahan dalam hatinya kemudian ia melangkah perlahan menuju tempat duduknya.

Suasana hening kapel saat itu seakan membuatnya takut, entah mengapa, dirasakannya dadanya bergetar. Dari tempat duduknya, ia menatap Yesus yang tersalib di depannya dan kemudian ditatapnya juga tabernakel tempat Yesus bersemayam. "Oh... mengapa dadaku bergetar begitu kencang, dan mengapa hatiku menjadi begitu kosong...? Yesus... tolonglah aku...." Dengan lirih ia berkata dalam hatinya, ingin rasanya ia menangis saat itu. Kepalanya terasa begitu berat dan seakan ada beban yang menindih di atas pundaknya. "Oh.. Tuhan, maafkan aku, aku tak dapat berdoa saat ini..." kembali ia mengeluh dalam hatinya. Acara doa siang hari itu pun berlalu tanpa ada kesan apa-apa di dalam hati suster muda itu. Ia mengikutinya hanya sekedar sebagai kewajiban dan ketaatan pada peraturan komunitasnya. Selebihnya, ia tak dapat merasakan apa-apa, ia tak dapat merasakan kehadiran Tuhan saat itu, kering .... dan gersang rasanya.

Suasana hati yang sedang gelisah itu pun masih dibawanya sampai pada acara makan siang bersama setelah doa. Benar-benar tersiksa rasanya saat itu, ia tak dapat menikmati lezatnya makanan yang tersedia siang itu, dan keceriaan para saudarinya yang ada di ruang makan justru membuat hatinya semakin tersayat dan sedih. Ia berusaha menutupi kegelisahan hatinya itu dengan ikut berbicara walaupun hanya sebentar-sebentar saja. Ya... sedapat mungkin biarlah orang lain tak menyadari kerisauan hatinya itu. Acara makan siang yang hanya berlangsung sekitar empat puluh lima menit itu pun dirasakannya berjalan amat lama dan membosankan, padahal biasanya ia sangat menyukai acara rekreasi pada saat makan siang. Namun hari itu... semuanya menjadi lain, semuanya menjadi tidak menyenangkan. "Ah.... Tuhanku, ampunilah aku....."

Ketika semua acara siang hari itu usai, suster muda itu segera bergegas meninggalkan ruang makan dan ia berjalan perlahan menuju ke sebuah tempat di salah satu sudut pertapaan. Tempat itu adalah salah satu tempat yang ia sukai sejak ia berada di pertapaan itu. Di sana ia dapat melihat sawah-sawah yang terhampar di bawah dan ia pun dapat melihat gunung yang indah walaupun hanya terlihat kecil saja. Ia juga dapat melihat pohon-pohon yang tumbuh di sekitar lereng-lereng jurang di seberangnya. Ya... tempat itu telah banyak kali dikunjunginya sejak ia tinggal di situ, dan ia selalu saja menyukai tempat itu.

Saat itu, terik matahari cukup tajam, namun suster itu tak menghiraukannya. Ia lebih memikirkan ganjalan yang ada di hatinya. Di atas sebuah batu yang cukup besar, ia duduk dan memandang alam di sekitarnya. Ia mendengarkan kicauan burung dan dirasakannya angin yang bertiup menggoyangkan dedaunan pohon. Dicobanya merasakan kenikmatan alam saat itu dan diheningkannya hatinya. Ia ingin mendengarkan suara hatinya saat itu. Dipejamkannya mata dan ia mulai berdoa perlahan dalam hati ,"Tuhanku... lihatlah aku saat ini, aku terluka, aku merasa sendirian...." Baru saja ia mengucapkan satu kalimat itu, air matanya sudah tak dapat dibendung lagi. Ia mulai menangis dan menangis, walaupun tanpa suara namun air matanya mengalir deras membasahi pipinya dan jatuh ke atas jubah coklatnya. Sedih sekali rasa hatinya saat itu. Rupanya ia merasakan adanya suatu kesendirian dan terluka. "Tuhan, engkau mengerti apa yang ada di dalam hatiku saat ini, aku merasa berat sekali, aku tak tahan.... mengapa hal ini harus terjadi padaku? Aku sudah berusaha untuk berbuat yang baik bagi orang lain, namun mengapa aku harus merasakan penderitaan dan penghinaan ini?" Ia mulai mencurahkan seluruh isi hatinya saat itu dalam hati kepada Tuhan. Dipercayainya bahwa Tuhan mendengar jeritan hatinya dan seluruh kekesalannya itu.

Kembali diingatnya peristiwa beberapa hari yang lalu saat ia mengalami suatu hal yang amat tidak enak dengan sesamanya. Ia merasa bahwa ia telah berusaha untuk selalu berbuat baik kepada sesamanya dan mengasihi mereka seperti ajaran yang ia dapat dalam Injil dan dalam setiap pengajaran. Namun kenyataannya ia justru yang dikecewakan, dan saat itu hatinya memberontak dan tidak terima. Ia merasa amat sakit dan kecewa. Ia tidak mengerti mengapa ia dapat mengalami hal yang tidak enak itu? Dibayangkannya dulu bahwa hidup seperti yang dijalaninya saat ini adalah suatu hidup yang jauh dari segala masalah. Dipikirnya dulu bahwa dengan menjalani hidup sebagai seorang religius, maka ia akan mendapat suatu kehidupan yang selalu damai dan tanpa suatu perselisihan atau masalah. Ah... rupanya pikirannya itu terlalu naif dan tak disadarinya bahwa seorang religius pun adalah manusia biasa yang dapat juga jatuh ke dalam dosa.

Saat ini, dirasakannya benturan itu sungguh tidak enak. Apa yang tak pernah dibayangkannya sebelum ini. Dan benturan itu dirasakannya amat menyakitkan. Hatinya menjerit dan menangis, namun toh hal itu tetap harus dihadapinya, tak mungkin dihindarinya lagi. Ia harus menjalaninya dan melewatinya. "Oh Tuhanku...berat sekali rasanya... apakah mungkin aku dapat melaluinya? Tolonglah aku Tuhan...."Dibisikannya dengan pelan kata-kata itu, tak tahu lagi kepada siapa ia harus berlari kecuali kepada Tuhannya yang dipercayainya akan menolongnya.

Lama ia terdiam dalam lamunannya, sampai tiba-tiba ia teringat akan seorang kudus yang dikaguminya yaitu Santa Teresia kecil yang besar. Ia teringat akan kisah Theresia ini yang sepanjang hidupnya mengalami hal-hal yang tidak enak dengan sesamanya. Seringkali ia harus menerima segala perlakuan yang tidak baik dan penghinaan dari sesama saudari di biaranya. Ah.... Mengapa kisah tentang seorang kudus itu tiba-tiba muncul dalam benaknya? Ya... mungkin saja Tuhan ingin mengatakan sesuatu padanya melalui pengalaman St. Theresia ini. Diingatnya buku yang pernah dibacanya tentang riwayat hidup St. Theresia, bagaimana ia menerima segala perlakuan buruk dari sesamanya itu. Ia menerimanya dengan tabah, dengan senyum dan dengan cinta... Ya... dengan cinta....!!! Ah, betapa kata itu terdengar amat janggal. Penghinaan, perlakuan buruk dibalas dengan cinta. Betapa sulit untuk dibayangkan. Mungkinkah ia meniru sikap St. Theresia untuk membalas segala hal yang tidak enak dengan memberikan cinta kepada orang yang menyakitinya? Ah... suatu hal yang berat. Rasanya ia belum cukup kuat untuk melakukan hal itu.

"Aku harus berusaha bergaul dengan suster-suster yang bagiku kurang menyenangkan, menjalankan di antara hati-hati yang terluka ini peranan orang Samaria yang baik. Satu kata, satu senyum penuh kasih sering mencukupi, agar hati yang sedih dapat terhibur." (Santa Teresia Lisieux) Apa yang pernah diungkapkan oleh Santa Teresia dalam bukunya ini kembali terngiang di pikiran rubiah itu. "Menjalankan peran seorang Samaria yang baik hati, yang memberikan kasihnya kepada setiap orang tanpa kecuali bahkan kepada musuhnya. Ah... seperti itukah yang seharusnya juga kulakukan?" ia bergumam perlahan dan kembali mengulang kata-kata dari orang kudus besar itu. Sulit...sulit sekali baginya untuk mengerti dan memahami hal tersebut. "Bagaimana mungkin aku dapat mencintai orang yang telah menyakitiku?” begitu pikirannya saat itu. Ia begitu galau.

Kembali suster muda itu mencoba untuk diam saja, ia berusaha untuk dapat menenangkan hatinya. Ia mencoba untuk dapat mengerti dan menerima penderitaannya dengan rela, penderitaannya karena mendapat perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang menyakitkan dari sesamanya. Kemudian suster itu kembali teringat akan ucapan dari Santa Teresia yang dikaguminya itu ,"Apa artinya penderitaan kecil yang ditanggung dengan sabar, apabila kuingat bahwa sepanjang segala abad kita dapat mencintai Allah yang Maha Baik dengan lebih sempurna. Apalagi, dengan menderita, kita dapat menyelamatkan jiwa-jiwa." Alangkah murninya hati Theresia yang selalu dapat mengalahkan rasa sakit penderitaan dengan cinta yang besar kepada Allah, ya dengan cinta itu pula ia mendapat kekuatan untuk dapat menerima setiap penderitaan dengan sabar dan senyum. Rubiah itu pun merenungkan apa yang baru saja diingatnya. Teladan dari St. Theresia itu memang sungguh luar biasa dan seperti yang pernah diungkapkannya yaitu "panggilanku adalah cinta kasih", seperti itulah memang yang telah dijalaninya sepanjang hidupnya. Cinta... telah mengalahkan segala rasa sakit dan penderitaan.

Suster muda itu semakin dalam merenungkan apa yang dialaminya, dan dibandingkannya dengan apa yang dialami oleh Santa Teresia. Ia rupanya mulai dapat mengerti sedikit demi sedikit bagaimana semua hal yang menyakitkan itu dapat diubah menjadi sesuatu yang baik baginya. Dan saat itu ia pun terngiang juga akan satu pernyataan yang pernah dibacanya dalam buku seorang kudus besar yang lain,"cintailah sungguh-sungguh pencobaan dan pikirkanlah hal itu seakan-akan hanya merupakan suatu jalan kecil untuk menyenangkan mempelai kita, yang tidak ragu wafat untuk kita" (Santo Yohanes dari Salib). Santo Yohanes dari Salib adalah juga seorang yang ia tahu sangat mencintai penderitaan dan salib karena ia memahami bahwa dalam salib itu ia dapat bejumpa dan bersatu dengan Yesus. Ia mencintai penderitaan dan mempersembahkan semua untuk Yesus yang juga menderita. Ia dan juga Santa Teresia telah mengambil bagian dalam penderitaan Yesus.

"Ah.... Alangkah bodohnya aku ini, aku hanya memikirkan diriku sendiri, aku hanya memikirkan harga diriku saja sehingga merasa sangat menderita ketika orang lain telah menyakitiku.." suster muda itu mulai menyadari suatu hal dalam hatinya. Ia teringat akan penderitaan Yesus juga yang jauh lebih berat, Yesus yang dihina dan menerima perlakuan yang menyakitkan dari umat manusia. Ya... Yesus telah mengalami penderitaan yang begitu hebat, sedangkan dia baru saja mengalami sedikit benturan dan konflik dengan sesamanya namun sudah merasa dunia akan kiamat. Benar-benar tak pernah dipikirkannya bahwa penderitaan yang dialaminya saat ini tidak ada bandingnya dengan penderitaan Kekasihnya. Ya... Kekasihnya itu telah menderita dengan sabar, rela karena Ia amat mencintainya, karena Ia amat memperhatikan keselamatannya. Teladan itu rupanya yang juga dijalani oleh orang-orang kudus seperti St. Theresia Lisieux dan St. Yohanes Salib. Mereka rela menerima segala penderitaan dan perlakuan yang tidak enak dengan sabar dan penuh cinta. Mereka mempersembahkan penderitaan itu sebagai ungkapan cinta kepada Yesus.

Sejenak suster muda itu terdiam dan ia pun semakin menyadari arti hidupnya saat ini. Ia menyadari untuk apa ia ada di tempat itu, hidup dalam keheningan dan kesunyian. Ya... untuk apa lagi kalau bukan untuk mencintai Kekasihnya yang telah memanggilnya, untuk mempersembahkan seluruh hidupnya untuk Dia. Lalu mengapakah ia justru lebih memikirkan segala hal lain yang bukan Dia? Suster itu menyadari bahwa dengan sikapnya yang seperti itu, menganggap penderitaan sebagai beban, ia telah menduakan cintanya kepada Sang Kekasih. Ia menjadi tidak dapat mengarahkan hatinya lagi kepada Dia karena pikiran dan hatinya terlalu disibukkan oleh segala hal yang menyakitkan itu. Tak disadarinya bahwa dengan segala penderitaan dan benturan-benturan itu, Sang Kekasih sedang mengajarkan kepadanya suatu jalan menuju kekudusan, suatu jalan menuju persatuan denganNya.

Jalan yang harus dilewatinya itu memang tidak selalu mulus. Seperti jalan yang pernah dilalui oleh KekasihNya dulu menuju ke tempat kematian-Nya, maka jalan yang saat ini harus dilewatinya juga ada kalanya berbatu dan jika ia tak memperhatikannya ia dapat tersandung dan jatuh. Penderitaan dan benturan dengan sesamanya saat ini telah menyadarkannya bahwa dalam usaha untuk bersatu dengan Kekasihnya, ia harus juga dimurnikan, dibersihkan agar saat persatuan itu tiba, ia benar-benar telah menjadi seorang mempelai yang kudus dan suci. "Ah.... Seperti itulah yang seharusnya kulakukan, dan bukannya mengeluh dan putus asa," suster muda itu bergumam perlahan dengan senyum. Ya... ia telah menyadari suatu kenyataan baru bahwa ia harus selalu bejuang dalam perjalanan hidupnya ini. Dan satu kekuatan yang dapat mengalahkan segala hal yang tidak enak atau penderitaan itu adalah cinta. Ya... cinta kepada Kekasihnya akan menjadi kekuatannya dan kesadaran bahwa ia juga dicintai oleh Kekasihnya itu akan lebih lagi menguatkan langkah kakinya.

Benturan... perselisihan... penderitaan akibat salah paham tak akan dapat lagi mengganggunya selama ia memiliki cinta, selama ia mau mempersembahkan hal itu demi cinta pada Sang Kekasih. Ya.... Akan diingatnya terus kalimat pendek dari St. Theresia "panggilanku adalah cinta kasih", ia berharap bahwa ia akan dapat belajar sedikit demi sedikit dari kedua orang kudus besar yang amat dikaguminya itu dan terutama ia mau belajar dari Sang Kekasihnya sendiri dengan mencintai semua orang, bahkan yang tidak simpatik sekalipun “ Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah  bagi orang yang mencaci kamu." (Luk. 6 : 27-28) Itulah yang diinginkan oleh Kekasihnya untuk dilakukannya.

Hati suster itu sekarang terasa lebih lega dan ringan setelah ia dapat menyadari semua hal itu. Cinta... cinta akan mengalahkan segalanya. Ah... memang akan terasa sulit namun ia yakin dengan bantuan Kekasihnya sendiri ia akan melalui semua pejuangan dan penderitaan dengan tabah, dengan senyum, dan dengan cinta......

Dengan tersenyum, suster muda itu pun beranjak dari tempat duduknya dan dirapikannya kembali skapulirnya dan juga kerudungnya yang sedikit berantakan karena tiupan angin, lalu dengan langkah ringan diayunkannya kakinya kembali ke pondoknya. Ia merasa begitu damai dan sukacita, ia telah memahami arti panggilannya dan arti pejuangan hidupnya. Ia memahami bagaimana ia harus menerima semua peristiwa dalam hidupnya. Satu kata saja akan menguatkannya, satu kata itu akan membangkitkan semangatnya dalam menjawab panggilan Kekasihnya. Satu kata itu.... Cinta.....

 

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting