Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 


"Dari Debu Bumi Surga Diraih Kembali" 

 

Dalam pandangan Kristen, keselamatan diperoleh melalui “debu” bumi. Debu adalah tanda kefanaan manusia yang kini menjadi “jalan menuju kebangkitan, ke firdaus yang diraih kembali”. Hal ini dikatakan oleh Bapa Suci dalam perayaan tobat yang dipimpinnya di Basilika Santa Sabina di Bukit Aventine, pada hari Rabu Abu, tanggal 22 Februari. Berikut ini adalah terjemahan dari homili Paus yang disampaikannya dalam bahasa Italia. 

 

Para saudara terhormat (para Uskup) dan saudara saudari terkasih, 

Bertepatan dengan hari tobat dan puasa - Rabu Abu- ini kita memulai suatu perjalanan baru menuju kebangkitan pada hari Paskah, yaitu perjalanan masa Prapaskah. Saya ingin merenungkan secara singkat simbol liturgi yaitu abu, yang merupakan suatu tanda lahiriah, suatu unsur alamiah, yang dalam liturgi menjadi simbol suci yang sangat penting pada hari yang menandai permulaan masa Prapaskah ini. Pada zaman dahulu, dalam kebudayaan Yahudi, merupakan suatu kebiasaan yang umum untuk meletakkan abu di atas kepala sebagai tanda pertobatan, dan untuk mengenakan kain yang koyak atau berupa karung. Sebenarnya, bagi kita orang-orang Kristen, saat ini merupakan saat yang penting yang ditandai dengan upacara yang patut direnungkan dan dampak rohani yang penting. 

Pertama-tama abu merupakan salah satu tanda lahiriah yang membawa alam semesta (kosmos) ke dalam liturgi. Di antara tanda-tanda semacam ini yang terpenting adalah tanda-tanda Sakramen: air, minyak, roti dan anggur, yang merupakan unsur-unsur sakramental yang sejati yang melaluinya kita menerima rahmat Kristus yang datang di antara kita. Abu ini bukanlah tanda sakramental, namun tanda ini berhubungan dengan doa dan pengudusan umat Kristen. Nanti, sebelum peletakan abu di atas kepala setiap kita - yang akan segera kita lakukan- abu-abu ini akan diberkati dengan menggunakan salah satu dari dua rumusan yang disediakan:  Dalam rumusan yang pertama, abu ini disebut sebagai “simbol yang sederhana,” dalam rumusan yang kedua kita secara langsung menyerukan berkat atas abu dengan mengacu kepada teks kitab Kejadian yang menyertai peletakan abu di atas kepala: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan akan kembali menjadi debu” (bdk. Kej 3:19). 

Mari kita sejenak merenungkan bagian kitab Kejadian ini. Bagian teks ini ditutup dengan hukuman yang ditetapkan Allah setelah terjadinya dosa asal. Allah mengutuk si ular yang menyebabkan pria dan wanita berbuat dosa. Kemudian Ia menghukum sang perempuan dengan mengatakan bahwa ia akan melahirkan dengan kesakitan yang luar biasa dan akan memiliki suatu hubungan yang sulit dengan suaminya. Kemudian Ia menghukum sang pria dengan mengatakan bahwa Ia akan berpeluh dan bekerja keras dan kemudian mengutuk tanah dengan berkata “Terkutuklah tanah karena kamu,” (Kej 3:17) karena dosamu. Maka, pria dan wanita tidak dikutuk secara langsung sebagaimana si ular, tetapi karena dosa Adam; terkutuklah tanah yang darinya manusia diambil. Marilah kita membaca kembali kisah mengagumkan mengenai bagaimana Allah menciptakan manusia dari Bumi. “Kemudian Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah” dan “Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu” (Kej 2: 7-8). Maka tanda abu mengingatkan kita akan rangkaian besar dalam penciptaan yang menyatakan bahwa manusia merupakan suatu kesatuan yang unik antara materi dan nafas Ilahi, yang dihadirkan melalui gambaran debu yang dibentuk oleh Allah dan diberi kehidupan dengan nafas Ilahi yang dihembuskan ke dalam hidung ciptaan baru tersebut. Dalam kitab Kejadian, debu memiliki konotasi yang negatif karena dosa. Sebelum kejatuhan manusia, debu tanah merupakan unsur yang sepenuhnya baik, yang karena disirami oleh hujan (bdk. Kej 2:6) dan karena karya Allah mampu menumbuhkan “berbagai pohon yang menarik dan baik buahnya untuk dimakan” (Kej 2:9). 

Setelah kejatuhan manusia, Allah menghukum bumi hana untuk menghasilkan “semak dan rumput duri” kecuali jika manusia mengusahakannya dengan “susah payah” (bdk. Kej 3:17-19). Maka, debu tanah tidak lagi menjadi tanda daya kreatif Allah yang terbuka kepada kehidupan, melainkan menjadi tanda suatu kematian yang tak terhindarkan, “Sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19). 

Dalam teks Kitab Suci ini tampak jelas bahwa tanah ambil bagian dalam nasib manusia. Dalam salah satu homilinya, S. Yohanes Krisostomus mengatakan, “Lihatlah bagaimana setelah ketidakpatuhannya, segala sesuatu dikenakan kepada manusia dengan cara yang berbeda dari gaya hidup sebelum kejatuhannya” (Sermones in Genesis 17:9; PG 53,146). Pengutukan tanah ini memiliki suatu fungsi “penyembuhan” bagi manusia agar dapat mempelajari keterbatasan dan kodrat manusiawinya dari “kekerasan” dunia ini (ibid.). Tafsiran kuno lainnya meringkaskan hal ini dengan indah, dan berkata: “Adam diciptakan murni oleh Allah untuk melayani Dia. Semua makhluk diciptakan untuk melayani manusia. Ia ditetapkan untuk menjadi tuan dan raja atas semua ciptaan. Tetapi ketika manusia memeluk kejahatan, ia melakukannya dengan mendengarkan sesuatu diluar dirinya sendiri. Hal ini meresap sampai ke kedalaman hatinya dan mengambil alih seluruh keberadaannya. Maka, seiring dengan teracunnya manusia oleh kejahatan, ciptaan yang telah membantu dan melayani manusia pun ikut teracuni bersamanya” (Pseudo-Macarius, Homili 11, 5: PG 34, 547). 

Seperti telah kami singgung sebelumnya dengan mengutip S. Yohanes Krisostomus, pengutukan tanah ini memiliki fungsi “penyembuhan”. Maksudnya ialah bahwa kehendak Allah itu selalu baik dan lebih mendalam daripada sekedar mengutuk. Tentu saja, kutukan itu pada dasarnya datang dari dosa dan bukan dari Allah. Allah tidak mencegah lahirnya kutuk itu karena Ia menghormati kebebasan manusia dan konsekuensinya walaupun hal itu bersifat negatif. Namun, di dalam hukuman dan dalam kutukan terhadap tanah ini ada kehendak baik yang datang dari Allah. Ketika Ia berkata kepada manusia, “Kamu adalah debu, dan akan kembali menjadi debu”, bersama dengan pemberian hukuman yang adil, Ia tidak hanya mewartakan hukuman tetapi juga berkehendak untuk mewartakan jalan keselamatan, yang akan terbuka melalui bumi, yaitu melalui “debu”, melalui “daging” akan dikenakan oleh Sang Sabda (yang menjadi daging). 

Dalam sudut pandang karya keselamatan inilah teks kitab Kejadian kembali diulangi dalam Liturgi Rabu Abu: sebagai undangan kepada pertobatan, kerendahan hati dan kesadaran akan kefanaan kita, bukan supaya kita tenggelam dalam putus asa, tetapi agar dalam kefanaan kita ini kita menyambut kedekatan yang tak terpikirkan dengan Allah yang dengan melewati kematian telah membuka jalan kepada kebangkitan, kepada firdaus yang dibuka sekali lagi. Ada suatu teks dari Origenes yang menyatakan hal serupa: “Apa yang pada mulanya adalah daging, dari bumi, manusia dari debu” (bdk. 1 Kor 15:47) dan telah dihancurkan oleh kematian kembali menjadi debu dan abu- sebagaimana tertulis: kamu adalah debu, dan akan kembali menjadi debu- diciptakan untuk dibangkitkan kembali, dan kemudian, menurut jasa jiwa yang mendiami tubuh tersebut, pribadi tersebut mencapai kemuliaan tubuh rohani” (Sui principi 3,6,5: S.Ch, 268,248). 

“Jasa jiwa” yang dibicarakan oleh Origenes ini dengan sendirinya secara mendasar adalah jasa Kristus dari kuasa misteri Paskah-Nya. S. Paulus telah meringkaskan hal ini untuk kita dalam suratnya yang kedua kepada umat Korintus, bacaan kedua hari ini: “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2 Kor 5:11). Kemungkinan kita menerima pengampunan Allah pertama-tama bergantung kepada kenyataan bahwa Allah sendiri, dalam diri Putera-Nya, ingin ambil bagian dalam keadaan manusiawi kita, tetapi tidak dalam kerusakan dosa. 

Bapa membangkitkan Dia melalui kuasa Roh Kudus dan Yesus, sang Adam baru, menjadi, sebagaimana dikatakan oleh S. Paulus, “Roh yang memberi hidup” (1 Kor 15:45), buah pertama dari ciptaan baru. 

Roh yang sama yang membangkitkan Yesus dari kematian juga dapat mengubah hati kita dari batu menjadi daging (bdk. Yeh 36:26). Kita berseru kepada-Nya sebagaimana dalam Mazmur Miserere: “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!” (Mzm 51: 10,11) . Allah yang sama itu juga yang telah mengusir nenek moyang kita dari Eden dan kemudian mengutus Putera-Nya ke dunia yang rusak oleh dosa ini tanpa menyayangkan Putera-Nya itu, agar kita sebagai anak-anak yang hilang dapat kembali, bertobat, dan ditebus oleh belas kasih-Nya, ke tanah air sejati kita. Semoga hal ini sungguh terjadi pada kita, pada semua umat beriman, dan kepada semua yang dengan rendah hati mengakui bahwa mereka membutuhkan keselamatan. Amin. (Diterjemahkan oleh Sdr. Daniel Pane).

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting