User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Sebagai orang Kristen perlulah menyadari bahwa dari waktu ke waktu kehidupan rohani harus bertumbuh, semakin lama semakin mencapai kesempurnaan. Umpamanya, seperti tanaman mulai dari benih yang ditabur ke tanah, kemudian disirami, dipupuk, dirawat, hingga akhirnya berbunga dan berbuah. Seperti itulah gambaran seharusnya dengan hidup rohani kita.


Sebagai orang Kristen perlulah menyadari bahwa dari waktu ke waktu kehidupan rohani harus bertumbuh, semakin lama semakin mencapai kesempurnaan. Umpamanya, seperti tanaman mulai dari benih yang ditabur ke tanah, kemudian disirami, dipupuk, dirawat, hingga akhirnya berbunga dan berbuah. Seperti itulah gambaran seharusnya dengan hidup rohani kita. Santo Gregorius dari Nyssa mengatakan: “Dalam hidup rohani, tidak maju berarti mundur.” Jelaslah, tidak ada istilah berhenti di tengah jalan, atau cukup sampai di sini saja, karena hidup rohani merupakan proses terus-menerus dengan segala perjuangannya yang baru berhenti apabila kita telah meninggal. Kematian bagi orang Kristen bukanlah akhir dari segala-galanya, tetapi awal dari suatu kehidupan yang baru, di mana kita akan meninggalkan tubuh yang fana untuk mengenakan tubuh yang baka, di mana kita akan memandang Allah dari muka ke muka dan bersatu dengan-Nya. Inilah tujuan hidup kita, menjadi kudus seperti Allah sendiri adalah Kudus: “Haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus.” (Im. 11:44)

Panggilan untuk hidup kudus ini diserukan oleh Gereja dalam Konsili Vatikan II: “…semua orang Kristen dalam setiap keadaan atau status hidup dipanggil kepada kepenuhan hidup Kristiani dan kepada kesempurnaan kasih.”  (Lumen Gentium No. 40) Kita semua dipanggil menjadi kudus tanpa terkecuali. Karena Allah sendiri yang menghendaki agar kita mengejar kekudusan itu. Lalu apakah kekudusan itu? Kekudusan pada dasarnya merupakan kesempurnaan dalam cinta kasih. Cinta kasih inilah yang merupakan unsur utama dan hakiki serta khas dalam kesempurnaan kristiani.

Semakin kita bertumbuh dalam cinta kasih, maka kita juga akan semakin bertumbuh dalam kekudusan. Pertama-tama cintakasih kepada Allah kemudian cinta kasih kepada sesama, berarti mengasihi Allah demi diri-Nya sendiri, mengasihi diri kita sendiri dan mengasihi sesama demi Allah. Semakin kita bertumbuh dalam cinta kasih ini, maka semakin kita bertumbuh di dalam kesempurnaan kristiani. Sadarilah bahwa nilai manusia di hadapan Allah tidak diukur berdasarkan kemampuan-kemampuannya, baik prestasi, harta, kedudukan. Dan bagi mereka yang aktif dalam melayani Tuhan nilainya tidak diukur berdasarkan banyak dan besarnya pelayanan di hadapan Allah, atau banyaknya visiun-visiun, ekstase, levitasi, dan sebagainya. Semuanya itu bukanlah suatu ukuran, melainkan cinta kasih yang menjiwai semuanya itulah yang menjadi ukuran. Tepatlah apa yang dikatakan Santo  Yohanes Salib, seorang Pujangga Gereja dari Ordo Karmel bahwa, “Pada senja kehidupan ini, kita akan diadili menurut cintakasih.”

Untuk dapat berkembang dalam cinta kasih ini, yang tidak boleh diabaikan yakni hubungan pribadi dengan Allah di dalam Yesus Kristus. Jika orang Kristen melalaikan hubungan pribadi ini, maka ia tak ubahnya dengan mayat yang berjalan, karena secara fisik ia kelihatan hidup dengan melakukan pelbagai aktivitas, padahal jiwanya mati. Ini menjadi realitas orang modern dewasa ini yang lebih memperhatikan tubuh jasmani dengan berusaha lebih cantik, gagah, dan sebagainya, namun tubuh rohani yaitu jiwanya sendiri seringkali tidak diperhatikan. Padahal, jiwa inilah yang menentukan untuk kehidupan kita sesudah tubuh jasmani kita mati. Maka, hubungan pribadi dengan Allah ini sangat menentukan bagi hidup kita kelak dan sudah mulai sekarang ini.

Pada dasarnya, kehidupan kekal ialah mengenal Allah dan mengenal Yesus Kristus yang telah diutus Allah (lih. Yoh. 17:3). Lalu, “Bagaimanakah mengembangkan hubungan pribadi dengan Allah ini?” Tidaklah sulit, karena Yesus telah memberikan sarana untuk mencapainya dengan memberikan Roh-Nya sendiri, seperti yang dikatakan oleh Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma: “Pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.” (Rm. 5:5) Sehingga dengan percaya kepada Yesus Kristus, kita diberi Roh Kudus yang memampukan kita untuk hidup sebagai anak-anak Allah.

Supaya hubungan ini dapat terus berkembang di bawah ini ada sarana-sarana pokok yang dapat dipakai untuk membangun bangunan rohani kita. Yang disebut sebagai 4 pilar penyanggah seluruh bangunan rohani kita, yaitu :

 
1. Pilar Hidup Rohani Pertama: DOA

Doa merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan orang Kristen. Kita harus meneladan kehidupan Tuhan Yesus sendiri, yang walaupun di tengah-tengah segala kesibukan-Nya, Dia selalu meluangkan waktu untuk berdoa, entah itu pada malam hari setelah bekerja keras seharian penuh (bdk. Mat. 14:23, Mrk. 6:46, Yoh. 6:15). Atau pagi-pagi sekali sebelum fajar menyingsing, Ia bangun dan mencari tempat sunyi untuk berdoa (lih. Mrk. 1:35, Luk. 4:42, Luk. 9:18). Doa selain untuk menjalin relasi pribadi yang mesra dengan Bapa, juga mengawali setiap saat penting di dalam hidup Yesus, misalnya permulaan karya-Nya di depan umum setelah pembaptisan di sungai Yordan, sebelum memilih keduabelas murid, waktu perubahan rupa di atas gunung, sebelum mengajar doa Bapa Kami (lih. Luk. 3:21, 6:12, 9:29, 11:1). Ia berdoa untuk para murid, khususnya untuk Petrus sebelum menghadapi percobaan besar itu; ketika di taman Getsemani dalam kegelisahan-Nya yang dahsyat, Ia mengajak para murid berdoa dan berjaga-jaga.

Bagi Tuhan Yesus doa merupakan prioritas, walaupun sesungguhnya dalam seluruh kehidupan-Nya, Dia sudah bersatu terus-menerus dengan Bapa. Maka, kita pun harus meneladani Tuhan sendiri. Ingatlah seperti yang disabdakan Tuhan sendiri, “Di mana hartamu berada, di situ hatimu berada.” (Mat. 6:21) Jika Allah menjadi harta kita, menjadi penting bagi kita dan menjadi prioritas dalam hidup kita, maka kita pasti menyediakan waktu untuk menjalin hubungan pribadi dengan-Nya. Pada dasarnya, doa berarti memasuki hubungan pribadi dengan Allah dalam iman dan cinta kasih.

 St.Teresia Avila mendefinisikan doa sebagai suatu persahabatan dengan Allah, ‘berbicara dengan seorang Sahabat yang mengasihi kita’ merupakan suatu komunikasi antara seorang sahabat dengan Sahabatnya atau antara seorang anak dengan Bapa Yang Mahabaik. Kalau dalam kehidupan sehari-hari kita mempunyai sahabat-sahabat, apalagi jika itu sahabat yang akrab, kita pasti punya waktu untuk bersama-sama dengan dia. Perhatikanlah seseorang yang sedang jatuh cinta, semua ingatan, pikiran, angan-angan pasti terus terbayang si dia. Omong kosong kalau orang jatuh cinta, tetapi tidak ada waktu untuk orang yang dicintainya. Demikian juga dalam hubungan dengan Allah, Dia Yang Maha segala-galanya mau bersahabat dengan kita, ciptaan-Nya. Maka, kita perlu menyediakan waktu yang khusus untuk bertemu dengan Dia secara pribadi.

Satu hal yang perlu diingat, doa tidak tergantung kepada perasaan-perasaan kita, misalnya, kalau sedang ‘in’ doanya lama dan menggebu-gebu, tetapi kalau doa terasa berat, kering, doanya kemudian ditinggalkan. Tentunya ini tidak benar! Sikap yang benar, entah itu ada hiburan atau tidak, entah itu basah atau kering, kita harus tetap berdoa, sesuai dengan waktu yang telah kita tetapkan untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Justru, jikalau orang itu tetap setia dan tekun di dalam doa apabila mengalami kekeringan, itu merupakan tanda baik, karena Tuhan ingin membawa orang tersebut masuk ke dalam doa yang lebih dalam. Ini merupakan tanda bahwa Tuhan mulai mau memberikan makanan yang keras, tidak hanya susu saja. Yang penting di sini adalah ketetapan hati untuk tetap setia dan bertekun di dalam doa. Namun, kita tidak perlu menolak apabila menerima hiburan-hiburan dalam doa, tetapi bersyukurlah kepada Tuhan karena hiburan-hiburan itu akan memberi semangat dan kekuatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.


2. Pilar Hidup Rohani Kedua: Hidup di Hadirat Allah

Selain kita memerlukan waktu-waktu khusus untuk berjumpa dengan Allah secara pribadi melalui doa-doa, kita juga perlu menyadari kehadiran Allah secara terus-menerus dalam hidup keseharian kita. Allah hadir begitu dekat, Dia bukan Allah yang jauh, sehingga kita tidak perlu memanggil-Nya dengan berteriak-teriak, tetapi Dia Allah yang begitu dekat. Namun, seringkali kehadiran Allah tidak kita sadari, padahal sesungguhnya Dia Allah yang Maha tahu dan Maha hadir (lih. Mzm. 139:7-10).

Allah hadir di mana-mana sebagai Bapa Yang Maha baik, yang akan menyertai, menjaga, dan melindungi kita. Oleh rahmat pembaptisan kita, Allah tinggal di dalam lubuk jiwa kita yang terdalam karena kita adalah bait Allah sendiri (bdk. 1 Kor. 3:16), di mana Allah sendiri, Tritunggal Yang Mahakudus: Bapa, Putra, dan Roh Kudus tinggal di dalam hati kita. Allah mau menjadikan hati kita surga kecil bagi kediaman-Nya. Allah begitu sabar kepada kita, Dia menunggu agar kita datang kepada-Nya untuk menerima kasih dan rahmat-Nya. Temuilah Dia yang tinggal di dalam hati anda. Betapa pentingnya hidup di hadirat Allah, terus-menerus menyadari kehadiran-Nya dalam segala aktivitas yang dilakukan serta membawa kita semakin berkembang dalam hidup rohani.


3. Pilar Hidup Rohani Ketiga: Jalan Cinta Kasih

Seperti  yang  dikatakan  Rasul Paulus  dalam 1 Kor. 10:31, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Santa Theresia dari Lisieux, seorang Karmelites terpanggil untuk menunjukkan suatu jalan baru bagi kita, yaitu jalan kecil. Untuk menjadi kudus kita tidak harus melakukan perkara-perkara besar. Melalui hidup yang biasa dalam hidup sehari-hari kita pun dapat menguduskan diri bagi Allah. Santa Theresia yang hidupnya sangat tersembunyi menjadi besar di hadapan Allah dan di dalam Gereja, karena kesetiaannya menghayati jalan kecil ini dengan melakukan perkara-perkara kecil dan yang biasa, serta segala pekerjaan sehari-hari. Hal ini sungguh berkenan kepada Allah karena semua itu dilakukan dengan cinta yang besar kepada Yesus.

Perlu selalu disadari bahwa di hadapan Allah setiap perbuatan tidak diukur berdasarkan besar dan prestasi lahiriah, tetapi diukur dari cinta kasih yang menjiwainya. Bahkan dalam perkara-perkara yang paling kecil sekalipun, jika itu dilakukan demi cinta kepada Yesus akan mempunyai nilai dan menjadi indah. Secara konkrit, Santa Theresia mengajak kita untuk melakukan segala sesuatu demi cinta kepada Yesus semata-mata, hanya untuk menyenangkan Hati Yesus. Maksudnya ialah secara sederhana melakukan segala sesuatu dan menanggung segala sesuatu demi cinta kasih kepada Allah.

Kita menyenangkan Yesus dan mencintai-Nya, karena Dia telah lebih dahulu mencintai kita dan Dia layak dicintai demi diri-Nya sendiri. Demikian juga kalau ada hal-hal yang tidak enak, hal-hal yang menyakitkan, beban-beban dan salib-salib dalam kehidupan kita, persembahkanlah semua itu kepada Yesus demi cinta kepada-Nya. Beban-beban dan salib-salib itu hanya ada di dunia ini, sedangkan di surga tidak ada. Salib-salib itu terjadi, karena seringkali kehendak kita bertentangan dengan kehendak Allah. Bagi Allah tidak ada masalah, tetapi kita seringkali yang membuat masalah “apa yang baik dan kuinginkan tidak kulakukan, tetapi apa yang jahat dan tidak kuinginkan justru aku lakukan.”

Karena itu persembahkanlah salib-salib, dan segala sesuatu yang tidak enak serta menyakitkan, di mana semua itu seringkali datang tanpa bisa kita hindari. Persembahkanlah demi cinta kepada Yesus untuk kemuliaan Allah dan demi penyelamatan jiwa-jiwa. Maka, tanpa kita sadari salib-salib itu akan menjadi lebih ringan karena kita pikul bersama-sama Yesus. Dan apa yang tampaknya mustahil dapat terjadi. Apa yang sebelumnya menjadi penderitaan justru bisa menjadi sumber sukacita, menjadi kesuburan rohani dalam hidup, menjadi sumber kekuatan untuk berkembang dalam hidup rohani.


4. Pilar Hidup Rohani Keempat: Keterbukaan terhadap bimbingan Roh Kudus

Pilar yang keempat, ini berlaku khususnya bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin berkembang dalam hidupnya sebagai orang kristen, karena dewasa ini banyak juga orang katolik merindukan suatu hidup yang harmonis dengan Tuhan, ingin mengenal Yesus secara lebih mendalam, dan tumbuh dalam pengenalan ini. Maka, pilar keempat yang akan menopang hidup kita yaitu disponibilitas, berarti kerelaan dan keterbukaan serta kesiapan untuk menerima bimbingan Roh Kudus.

Tanpa Roh Kudus kita tidak dapat berbuat apa-apa, hal ini dengan jelas disadari oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus. Untuk mengakui Yesus adalah Tuhan kita membutuhkan Roh Kudus (bdk. 1 Kor. 12:3). Demikian juga untuk berseru ‘Abba, Bapa’ hanya dapat dilakukan oleh Roh Kudus (bdk. Rm. 8:15). Untuk menerima Yesus Kristus sebagai pusat hidup kita, agar Dia menguasai hidup kita, dan menjadikan kita sungguh-sungguh anak-anak Allah, kita membutuhkan Roh Kudus. Kita mau membiarkan Roh Kudus bebas berkarya di dalam diri kita, untuk membebaskan kita dari keinginan-keinginan tidak teratur, dendam, sakit hati, dan lain-lain sehingga kita menjadi semakin terbuka terhadap Roh Kudus. Dengan demikian Dia sungguh-sungguh bisa menggerakkan dan memimpin seluruh hidup kita dan menjadikan  seluruh hidup kita suatu hidup yang dibimbing oleh Roh Kudus: “Anak-anak Allah ialah mereka yang digerakkan oleh Roh Kudus.” (Rm. 8:14)


Penutup

Jika keempat pilar ini sungguh-sungguh dihayati dan terpancang dengan kokoh, maka bangunan rohani akan berkembang menjadi indah sekali. Demikian juga bagi yang terpanggil untuk melayani Dia, dengan menghayati keempat pilar ini, pelayanan yang diberikan akan lebih berbuah sehingga dapat menjadi alat yang peka dan rela di tangan Tuhan, di mana Tuhan dapat dengan bebas menggunakan diri kita tanpa hambatan.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting