User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah, bukan karena jasa-jasa mereka, tetapi menurut rencana dan rahmat-Nya. Mereka telah dibenarkan dalam Tuhan Yesus dan melalui pembaptisan yang dicari dalam iman, mereka benar-benar menjadi anak-anak Allah dan mengambil bagian dalam kodrat Allah sendiri. Dengan cara ini mereka dijadikan sungguh-sungguh kudus. Kemudian, karena karunia Allah, mereka juga harus berpegang teguh padanya dan menyempurnakan dalam hidupnya kekudusan yang telah mereka terima itu. Bagi Santa Teresa dari Avila, kekudusan itu dapat dicapai melalui persatuan yang mesra dengan Allah di dalam doa, yang kemudian digambarkannya dalam suatu “puri batin” yang begitu indah. Mari kita masuk ke dalam puri batin kita.


Karangan ini sebenarnya adalah epilog pada buku yang sedang dicetak: Dalam Keheningan Dasar Samudera. Menjelajahi Puri Batin Santa Teresa dari Avila. Dalam buku tersebut diuraikan tahap-tahap perjalanan rohani manusia menuju Tuhan seperti yang diuraikan Santa Teresa dari Avila.

1. Panggilan kepada kekudusan

Setelah menjelajahi Puri Batin bersama Santa Teresa dan melihat segala keindahannya, biarlah hati kita dibakar oleh kerinduan untuk juga benar-benar memasuki Puri Batin itu dan terus berjalan sampai kepada kediaman Sang Raja, Tuhan Allah kita. Bagi Santa Teresa telah menjadi jelas, bahwa kita semua dipanggil ke situ dan itu pula yang juga menjadi keyakinan Santo Yohanes dari Salib:

“Karenanya jiwa-jiwa itu, karena partisipasi, memiliki segala kekayaan yang sama seperti yang dimiliki Sang Putera karena kodrat-Nya. Akibatnya mereka itu sungguh-sungguh menjadi ilahi karena partisipasi, menjadi serupa dengan Allah dan menjadi sahabat-sahabat Allah” (Madah Rohani 39:6).

Tuhan Yesus sendiri meringkaskan ajaran-Nya dengan suatu perintah yang mengejutkan: “ Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna" (Mat 5:48). Perintah Tuhan ini ditegaskan kembali oleh Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium, Konstitusi tentang Gereja, yang mengutip ayat tadi serta menambahkan:

“Dia sendiri (Tuhan) adalah Pengambil-Inisiatif dan Pelaksana kekudusan hidup ini. Karena Dia telah mengutus Roh Kudus ke atas semua manusia supaya Dia dapat mengilhami mereka dari dalam untuk mencintai Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga mereka (bdk. Mrk 12:30) dan agar supaya mereka dapat saling mengasihi sama seperti Yesus telah mengasihi mereka (bdk. Yoh 13:34;15:12).

Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah, bukan karena jasa-jasa mereka, tetapi menurut rencana dan rahmat-Nya. Mereka telah dibenarkan dalam Tuhan Yesus dan melalui pembaptisan yang dicari dalam iman, mereka benar-benar menjadi anak-anak Allah dan mengambil bagian dalam kodrat Allah sendiri. Dengan cara ini mereka dijadikan sungguh-sungguh kudus. Kemudian, karena karunia Allah, mereka juga harus berpegang teguh padanya dan menyempurnakan dalam hidupnya kekudusan yang telah mereka terima itu. Mereka telah diperingatkan oleh Sang Rasul supaya hidup sebagaimana “layaknya para kudus” (Ef 5:3) dan sebagai “orang pilihan Allah, yang kudus dan dikasihi, mereka harus mengenakan hati yang penuh belaskasihan, kebaikan, kerendahan hati, kelembutan, kesabaran” (Kol 3:12) dan supaya memiliki buah-buah Roh Kudus untuk kekudusan (bdk Gal 5:22; Rm 6:22). Karena kita sesungguhnya bersalah dalam banyak hal (bdk Yak 3:2), kita semua membutuhkan kerahiman Allah secara kontinyu dan karenanya harus berdoa setiap hari: “Ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12).

Karena itu jelaslah, bahwa semua orang kristen, apapun status dan kedudukannya, dipanggil kepada kepenuhan hidup kristiani dan kepada kepenuhan cintakasih. Melalui kekudusan ini suatu cara hidup yang lebih insani telah dipromosikan bahkan dalam kehidupan masyarakat di dunia ini. Agar supaya orang-orang beriman dapat mencapai kekudusan ini, mereka harus memakai kekuatannya sesuai dengan yang telah diterimanya, sebagai suatu pemberian dari Kristus” (LG 40).

Karena itu dapat dimengerti himbauan Santo Yohanes Salib yang mengingatkan kita akan panggilan yang begitu luhur, tetapi yang sering kita lupakan:

“O jiwa-jiwa, yang diciptakan untuk segala kebesaran itu dan dipanggil untuk memilikinya! Apa yang kamu kerjakan? Bagaimanakah kamu melewatkan waktumu? Tujuanmu sungguh rendah dan milikmu sampah! O kebutaan matamu yang menyedihkan! Kamu buta terhadap cahaya yang begitu cemerlang dan tuli terhadap suara yang begitu nyaring, sebab kamu tidak mampu melihat, bahwa sejauh kamu mencari keluhuran dan kemuliaan (manusiawi belaka), kamu tetap tinggal miskin, rendah, bodoh dan tidak layak menerima demikian banyak berkat!” (Madah Rohani 39,6-7).

Kemudian Paus Yohanes Paulus II dalam Surat Apostoliknya: Novo Millenio Ineunte, Pada Awal Milenium Baru, disingkat NMI, menegaskan kembali pernyataan Konsili Vatikan II, bahwa setiap orang kristen dipanggil kepada kepenuhan hidup kristen, artinya kepada kekudusan, bahkan hal itu harus dimasukkan ke dalam rencana pastoral secara umum:

“Pertama, saya tidak ragu-ragu menyampaikan, bahwa semua inisiatif pastoral harus ditaruh dalam hubungan dengan kekudusan..... Penemuan ulang Gereja sebagai “misteri”, atau sebagai umat yang dihimpun oleh kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus”, harus membawa serta penemuan ulang “kekudusan” Gereja, ...... “Inilah kehendak Allah, pengudusanmu” (1Tes 4:3). Itu tugas yang menyangkut tidak hanya orang-orang kristiani tertentu: Seluruh umat beriman kristiani, entah dalam status atau tingkatan manapun, dipanggil untuk kekudusan hidup kristiani dan untuk kesempurnaan cintakasih” (NMI 30).

Kemudian Paus juga menegaskan, bahwa panggilan kepada kekudusan adalah konsekuensi rahmat pembaptisan kita:

Kenyataannya, menaruh perencanaan pastoral di bawah kategori kekudusan ialah pilihan penuh dengan konsekuensi-konsekuensi. Itu mencakpu keyakinan bahwa, karena Baptis itu jalan masuk sejati ke dalam kekudusan Allah melalui inkorporasi ke dalam Kristus dan kediaman Roh-Nya, kiranya suatu pertentanganlah untuk puas-puas saja dengan hidup setengah-setengah melulu, yang ditandai oleh etika minimalisme dan religiositas yang dangkal semata-mata. Bertanya kepada para katekumen:”Maukah Anda menerima Pembaptisan ?”, berarti sekaligus bertanya: “Maukah Anda menjadi kudus ?”. Itu berarti menunjukkan di hadapan mereka hakikat radikal Kotbah di Bukit: “Hendaklah kamu sempurna seperti Bapamu di surga adalah sempurna” (Mat 5:48)..... Saatnya sudah tiba untuk mengusulkan kembali dengan penuh keyakinan kepada semua orang norma tinggi kehidupan kristiani yang biasa ini: seluruh hidup dari jemaat kristiani dan keluarga-keluarga kristiani haruslah dibimbing ke arah tujuan itu” (NMI 31).

Apakah sesungguhnya yang disebut kekudusan itu ? Dalam suratnya kepada umat di Efesus Santo Paulus berkata: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya”. (Ef 1:4). Menjadi kudus bukanlah pertama-tama soal berapa banyak kita terjun dalam kegiatan-kegiatan gerejani, berapa banyak karya sosial yang kita lakukan, atau berapa banyak doa-doa dan devosi-devosi yang kita jalankan. Semuanya itu memang perlu, tetapi bukan itu yang terutama, bukan itu yang menjadi intinya. Intinya ialah agar supaya hati kita berubah menjadi hati yang penuh kasih. Menjadi kudus bukan lain daripada menghayati dengan segenap hati perintah Allah yang mencakup segala-galanya itu, yaitu:

"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat 22:37-40).

Atau seperti diungkapkan para guru Karmel, Teresa Avila dan Yohanes dari Salib, menjadi kudus ialah menjadi satu kehendak dengan Allah, sehingga orang hanya menghendaki apa yang dikehendaki Allah saja, apapun itu. Demikian itulah yang diungkapkan oleh Santa Theresia Lisieux pada akhir hidupnya: “Aku tidak lebih suka mati daripada hidup; apa yang dikehendaki-Nya itulah yang kucintai”.

Kemudian Paus Yohanes Paulus mengungkapkan, agar supaya dalam perjalanan rohani menuju kepada kekudusan kita tidak melupakan Tradisi Mistik Gereja sendiri:

Tradisi mistik agung Gereja Timur maupun Barat mempunyai banyak pesan sehubungan dengan itu. Tradisi itu menampakkan bagaimana doa dapat berkembang, sebagai dialog cintakasih sejati, sehingga pribadi insani itu seluruhnya dikuasai dan dimiliki oleh Sang Kekasih Ilahi, bergetar karena sentuhan Roh Kudus, sebagai putera pasrah kepada hati Bapa. Maka orang akan mengalami secara hidup janji Kristus: “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya." (Yoh 14:21). Itulah perjalanan yang seluruhnya ditopang oleh rahmat; meskipun demikian perjalanan itu meminta komitmen rohani yang intensif dan disertai dengan pemurnian-pemurnian yang menyakitkan (malam gelap). Tetapi melalui pelbagai macam cara yang mungkin, itu menghantar kepada sukacita tak terkatakan, yang oleh para mistik dialami sebagai “persatuan pernikahan”. Bagaimana disini kita dapat melupakan , di antara sekian banyak teladan yang cemerlang, ajaran-ajaran Santo Yohanes Salib dan Santa Teresa Avila ?” (NMI 33).

Sungguh, cita-cita yang ditawarkan Paus disini benar-benar luar biasa, sehingga dalam program pembinaan pastoral pada umumnya, Paus menawarkan cita-cita rohani yang begitu tinggi dan luhur. Karena itu baiklah kita telusuri lebih lanjut panggilan kepada hidup mistik.

2. Mistik dan pengalaman mistik

Akhir-akhir ini pengertian tentang mistik mengalami perubahan. Kalau dahulu “pengalaman mistik” selalu dikaitkan dengan gejala-gejala luar biasa seperti ekstase, “rapture”, levitasi, namun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menyamakan pengalaman mistik dengan setiap pengalaman rohani. Bila setiap orang kristen boleh disebut mistik, maka kata itu akan kehilangan artinya. Karena itu perlulah memiliki pandangan yang seimbang, juga dalam hal ini. Kita harus membedakan antara hidup kristiani yang biasa dan hidup kristiani yang bernuansa mistik. Dalam hidup para mistik pengenalan akan Allah merupakan sesuatu yang dialami secara nyata, tidak hanya diketahui secara intelektual. Seperti dikatakan oleh Santo Yohanes Salib:

“Pengenalan yang manis dan hidup yang menurut katanya diajarkan oleh-Nya, adalah teologi mistik, pengenalan rahasia akan Allah yang oleh manusia rohani disebut kontemplasi. Pengenalan ini sangat nikimat karena merupakan suatu pengenalan lewat cintakasih. Cintakasih adalah tuan dari pengenalan ini dan yang menjadikannya benar-benar menyenangkan. Karena Allah mengkomunikasikan pengenalan dan pengertian dalam cintakasih dengan mana Ia mengkomunikasikan diri kepada jiwa, maka semua itu sangat menyenangkan bagi intelek karena merupakan pengetahuan yang menjadi bagian intelek, dan juga menyenangkan bagi kehendak karena dikomunikasikan dalam cinta yang menjadi bagian kehendak” (Madah Rohani 27, 5).

Selanjutnya dikatakan, bahwa pengenalan itu diberikan oleh Allah secara rahasia:

Dalam kontemplasi Allah mengajar jiwa dengan sangat tenang dan rahasia, tanpa diketahui bagaimananya, tanpa bunyi kata-kata, tanpa bantuan daya badani atau rohani apapun juga, dalam keheningan dan ketenangan, dalam kegelapan terhadap segala perkara inderawi dan kodrati. Manusia rohani tertentu menyebut kontemplasi ini sebagai mengenal lewat ketidaktahuan (knowing by unknowing)” (Madah Rohani 39,12).

Lewat proses yang panjang dari pemurnian-pemurnian, pencerahan dan pencurahan cintakasih yang terus-menerus, akhirnya jiwa dijadikan serupa dengan Allah lewat kematian dari diri sendiri, sehingga seperti dikatakan Santo Paulus: “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:20). Dalam hidup para mistik unsur yang hakiki ialah bahwa Allah sendirilah yang memegang segala kendali, seluruh hidupnya berada dalam kuasa dan bimbingan Roh Kudus, sedangkan gejala-gejala luar biasa seperti visiun-visiun, ekstase, “rapture” (pesona), levitasi, dll, tidaklah termasuk hakekat mistik kristiani. Dalam arti itulah setiap orang kristen dipanggil menjadi mistikus, sebagaimana ia dipanggil menjadi kudus. Itulah pula yang ditekankan oleh Santa Teresa, bahwa kita semua dipanggil untuk masuk ke dalam Puri, bahkan sampai ke Ruang VII. Demikian pula Santo Yohanes Salib dan karena itu uraian ini akan saya tutup dengan himbauan Santo Yohanes Salib:

“Demikianlah jiwa-jiwa itu, karena partisipasi, memiliki segala kekayaan yang sama seperti yang dimiliki Sang Putera karena kodrat-Nya. Akibatnya mereka itu sungguh-sungguh menjadi ilahi karena partisipasi, menjadi serupa dengan Allah dan menjadi sahabat-sahabat Allah”.

“O jiwa-jiwa, yang diciptakan untuk segala kebesaran itu dan dipanggil untuk memilikinya! Apa yang kamu kerjakan? Bagaimanakah kamu melewatkan waktumu? Tujuanmu sungguh rendah dan milikmu sampah! O kebutaan matamu yang menyedihkan! Kamu buta terhadap cahaya yang begitu cemerlang dan tuli terhadap suara yang begitu nyaring, sebab kamu tidak mampu melihat, bahwa sejauh kamu mencari keluhuran dan kemuliaan, kamu tetap tinggal miskin, rendah, bodoh dan tidak layak menerima demikian banyak berkat!” (Madah Rohani 39,6-7).

“Allah yang mahamurah dan maharahim, sungguh luhur dan mulia martabat dan panggilan kami. Apa yang tak pernah kami dengar dengan telinga, apa yang tak pernah kami lihat dengan mata dan bahkan tak pernah masuk dalam pikiran dan hati kami, itulah yang telah Kausediakan bagi kami. Kami Kaupanggil untuk hidup dalam kemesraan-Mu yang begitu mendalam, bukan hanya untuk masa sesudah hidup ini, melainkan sudah sejak dalam hidup ini, bukan karena kami layak dan pantas, melainkan semata-mata karena kemurahan dan kebaikan hati-Mu. Sungguh luar biasa kasih dan kerahiman-Mu ya Bapa, semuanya melampaui segala pengertian kami. Kami mohon, agar supaya semua saja yang membaca tulisan ini, Kaunyalakan kerinduan dalam hatinya untuk mengejar harta tak ternilai yang Kausediakan bagi kami. Berikanlah kepada kami keyakinan yang mantap akan nilai tak terkatakan dari apa yang Kausediakan bagi kami ini dan berilah kami keberanian untuk mengejarnya dengan segenap hati dan kekuatan untuk berani membayar semua harganya, sehingga sudah dalam hidup ini kami boleh mengenal dan mengalami betapa dalamnya, betapa lebarnya dan betapa tingginya kasih-Mu yang melampaui segala pengertian itu. Berilah kami rahmat-Mu, agar supaya kami akhirnya dapat hidup melulu bagi-Mu, memuji dan memuliakan Dikau sepanjang hidup kami, mulai kini sampai selama-lamanya. Amin.”

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting