Print
Hits: 4851

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Manusia selalu memiliki suatu kesadaran dan kerinduan untuk berkontak dan mengalami persatuan dengan Allah, walaupun kesadaran dan kerinduan ini tidak selalu dapat diungkapkannya dengan tepat. Artikel ini membahas fenomena tersebut dalam kaitannya dengan tradisi Kristen dan tradisi Asia lainnya. Secara khusus bagian kedua ini membandingkan pengalaman persatuan dengan Allah menurut tradisi Asia dengan pandangan Kekristenan mengenai persatuan dengan Allah.


Persatuan Dengan Allah

1. Pengalaman Advaita di Asia

Berbicara tentang persatuan dengan Allah, segera harus kita sadari adanya perbedaan yang cukup besar artara keyakinan iman kristen dan pernyataan pengalaman tradisi spiritual Asia. Tentu saja yang dimaksud di sini ialah pengalam­an yang terdalam, saat manusia bersatu dengan Allah sedalam-dalamnya.

Menurut kesaksian tradisi spiritual Asia, pengalaman tertinggi bersifat advaita, non­dualisme, artinya, bahwa bila orang mencapai pengalaman yang tertinggi orang akan sadar, bahwa sesungguhnya segala-galanya adalah satu saja. Pada taraf ini tidak ada perbedaan lagi antara Tuhan dan manusia, karena pada hakekatnya yang ada hanya Tuhan saja. Dalam terminologi Hindu dikatakan, bahwa manusia itu pada hake­katnya adalah Brahman sendiri: Tat tuam asi - engkaulah itu. Bila orang masih mengalami perbe­daan antara Tuhan dan manusia, itu sebabnya karena ia belum mencapai yang tertinggi. Itu masih belum tahap akhir, betapapun mulianya dan tingginya yang sudah dicapai itu. Apabila arang mengalami suatu persatuan yang mesra dengan Tuhan, namun masih ada perbedaan antara Tuhan dan manusia, itu berarti masih belum puncaknya. Dalam hal ini yang dimaksud ialah suatu pengalaman yang amat dalam, yang melampaui segala konsep dan pemikir­an, suatu pengalaman yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Pengalaman ini merupakan suatu kenyataan yang begitu meyakinkan, sehingga tidak dapat disangkal begitu saja.

Memang dalam masa lampau orang-orang Barat terlalu mudah memberikan etiket monisme pada semuanya itu serta memandangnya sebagai suatu filsafat yang sesat. Padahal di sini bukan melulu soal filsafat. Filsafat dalam arti Barat, bukan suatu soal sistem pemikiran, melainkan ungkapan suatu pengalaman yang bersifat tak dapat diung­kapkan, yang melampaui segala pemikiran dan kon­sep. Pengalaman ini sungguh-sungguh tak terlukiskan dan dibenarkan oleh pengalaman itu sendiri.

Pengalaman ini pulalah yang menjadi dasar seluruh budhisme dan kepada pengalaman itulah Budha ingin menghantar para pengikutnya. Budha menolak berbicara tentang isi pengalaman itu, karena pengalaman itu sungguh tidak dapat diung­kapkan. Berdasarkan pengalaman itu diungkapkan kebenaran, bahwa segala-galanya adalah satu. Bagi orang Budhis tujuan yang mau dicapainya ialah untuk merealisir kebudhaannya. Bahwa ia itu, bahwa setiap manusia itu, sesungguhnya ialah Budha sendiri. Pada hakekatnya semua manusia adalah Budha, karena itu setiap orang budhis dapat mengatakan, bahwa ia adalah Budha. Oleh sebab itu, yang dikejar mereka bukanlah persatuan dengan Budha, melainkan merealisir bahwa ia adalah Budha. Ia adalah Budha sejak semula, namun tidak sadar, karena itu ia harus menyadari dan merealisirnya. Dalam hal ini realisasinya bukan sekedar menyadari secara intelektual, bahwa ia adalah Budha, melainkan mengalami secara nyata, bahwa ia adalah Budha. Pengalaman ini merupakan sesuatu yang amat kuat dan membe­kas dalam sekali pada jiwa seseorang dan mempe­ngaruhi hidupnya. Dalam budhisme zen pengalaman terdalam ini disebut kensho, artinya melihat kodratnya sendiri yang terdalam. Kensho tidak dapat diungkapkan, sehingga hanya orang yang mengalaminya saja akan dapat mengertinya. Bila orang sampai di situ ia akan melihat, bahwa sesungguhnya segala sesuatu adalah satu. Selama orang masih melihat perbedaan, itu tanda bahwa ia belum sampai kepada pengalaman yang terdalam.

Sesungguhnya hal yang sedemikian itu juga tidak asing dalam mistik Jawa. Biasanya persatu­an yang tertinggi itu disebut dengan istilah jumbuhing kawula Gusti, atau juga pamoring kawula Gusti, atau juga manunggaling kawula Gusti, yang artinya: bersatunya hamba dengan Tuhannya. Juga di sini pada umumnya orang mengi­kuti advaita, yakni bahwa pada persatuan tahap terakhir tidak ada lagi kawula dan Gusti, karena kawula sudah menjadi Gusti atau lebih tepat dikatakan, bahwa pada hakekatnya kawula itu adalah Gusti sendiri.

Pengalaman serupa ini terlalu nyata dan meyakinkan dan bersifat universal sekali, se­hingga tidak dapat kita abaikan begitu saja secara murahan. Juga akhir-akhir ini para ahli yang mengadakan penyelidikan tentang hal ini sepakat tentang kesungguhan pengalaman seperti itu. Mereka juga sepakat, bahwa pengalaman itu harus dipisahkan dari alat yang mengungkapkan­nya, artinya bahwa itu bukan soal pemikiran melulu, melainkan pertama-tama soal pengalaman yang pada dasarnya memang tidak dapat diungkap­kan tetapi yang mau diungkapkan juga untuk dikomunikasikan pada orang lain.

2. Pengalaman Persatuan Kristiani

Dari pihak lain iman kristen selalu menga­jarkan, bahwa dalam pengalaman persatuan yang terdalam pun, masih tetap ada jarak antara manu­sia dan Allah. Di sini istilah yang dipakai ialah senantiasa persatuan, menjadi satu dengan Allah, menjadi serupa dengan Allah. Bila orang kristiani sadar, bahwa pada dasarnya ia memiliki kodrat ilahi, kodrat ini diterimanya dari Tuhan sebagai suatu karunia, bukan miliknya sejak semula. Oleh karena itu, bagi orang kristiani soalnya bukan untuk merealisir kodratnya yang terdalam, melainkan untuk mengalami suatu transformatio, suatu perubahan, yang menjadikannya serupa dengan Allah sendiri, sampai akhirnya dia menja­di Allah karena rahmat. Bahkan dalam persatuan yang terdalam pun antara manusia dengan Allah, tidak pernah terjadi identifikasi. Bagi orang kristiani dalam persatuan yang terdalam ini manu­sia masih berhadapan muka dengan Allah, biarpun tidak dapat dikatakan bahwa di sini ada dualis­me. Barangkali dalam hal ini santa Teresa Avila merupakan suatu contoh yang unik dan jelas. Dalam bukunya: Istana Jiwa (Interior Castle) digambarkan dan dilukiskannya persatuan yang tertinggi itu. Dalam persatuan yang amat tinggi, tetapi belum yang tertinggi, manusia dan Allah digambarkannya sebagai nyala api lilin yang disatukan. Nyala menjadi satu saja, tetapi masih tampak nyata, bahwa lilinnya dua. Ini sudah merupakan suatu persatuan yang amat luhur dan tinggi sekali, namun belum puncaknya. Dalam persatuan yang tertinggi, keadaan manusia dan Tuhan itu oleh santa Teresa digambarkan seperti sebuah sungai yang bermuara dalam lautan, lebur sama sekali ke dalamnya, sehingga tidak dapat dipisahkan maupun dibedakan lagi. Gambaran ini dipakainya untuk menyatakan, bahwa di sini manusia sungguh-sungguh menjadi satu dengan Tuhan. Kalau gambaran ini diambil begitu saja dan lepas dari seluruh konteksnya, dapatlah disimpulkan, bahwa apa yang dikatakan santa Teresa itu sama dengan yang diutarakan oleh para penganut advaita. Namun kalau dilihat lebih teliti, justru ada perbedaan yang besar sekali. Di sini santa Teresa yang menceritakan pengalam­annya sendiri itu selalu sadar, bahwa ia hanya seorang makhluk kecil dan lemah. Dalam kesatuan yang terdalam itu ia selalu berhadapan muka dengan Allah, ia selalu berdialog dengan-Nya. Tak pernah terpikir sedetik pun dalam benaknya, bahwa ia sama dengan Allah. Justru sebaliknya sering­kali ia menyadari dirinya begitu kecil dan tak terbatas jauhnya dari Allah.

Namun, kiranya bagi orang kristiani contoh yang paling normatif ialah Yesus sendiri. Yesus senantiasa hidup dalam persatuan yang amat mesra dan dalam dengan Bapa. Ia benar-benar satu dengan Bapa, sehingga Ia dapat berkata, "Bapa dan Aku adalah satu.” Dan teks ini sering kali dipakai para penganut advaita sebagai bukti, bahwa sesungguhnya Yesus menganut paham yang sama dengan mereka, hanya saja orang kris­tiani yang tidak mengertinya. Namun, kiranya tidak boleh dilupakan fakta-fakta yang begitu jelas menunjukkan bahwa dalam kesatuan yang begitu dalam dengan Bapa, Yesus tetap sadar, bahwa Ia bukan Bapa dan Bapa bukan Dia, sehingga Ia selalu dalam keadaan berdialog dengan Bapa, suatu kenyataan: yang berbeda dengan paham advaita. Oleh sebab itu dapatlah dikatakan, bahwa sesungguhnya pengalaman kristiani memang lain daripada advaita, tetapi tidak bertentangan de­ngannya. Mana yang lebih dalam? Bagaimana menerangkanya? Dan bagaimana pula memperdamai­kan kedua pengalaman yang tampaknya bertentangan itu? Dapatkah keduanya diperdamaikan?

3. Pandangan Kristen tentang Advaita

Bagi para penganut advaita memang tak ada persoalan. Segala pengalaman, betapapun dalam dan luhurnya, selama masih mengandung perbedaan antara engkau dan aku, belumlah yang terdalam. Memang tetap hal itu juga diakui keluhurannya dan sangat perlu dalam perjalanan rohani, artinya: selama orang belum sampai kepada puncak. Para penganut advaita yang benar-henar sampai kepada pengalam­an ini adalah orang-orang yang rendah hati dan sama sekali tidak sombong. Mereka menghargai segala praktik devosi dan hubungan pribadi dengan Allah dan diakui perlunya semua itu selama orang belum sampai ke tujuan. Namun, satu kali orang telah sampai, semuanya itu akan lenyap. Baginya tak ada hubungan personal, karena tak ada pertemuan dari muka ke muka, sebab segalanya adalah satu.

Hubungan sebagai Bapa dan anak, atau sebagai mempelai yang sering kita jumpai dalam agama kristiani tidak kita temukan dalam Hinduisme. Hal ini dikarenakan menurut pengertian mereka sesungguh­nya tidak ada apa-apa selain Dia - Yang Ada. Seorang tokoh besar aliran ini, yang secara hebat mengalami advaita, adalah Sri Ramana Maharishi, wafat pada tahun 1951. Kadang-kadang dia memang tergerak hatinya untuk menuliskan syair bagi Arunachala, yang dipandangnya sebagai bapak, namun hubungan itu toh tidak nyata, hanya sebagai suatu bayangan saja. Dan memang Sri Ramana Maharishi, tokoh agung ini, senantiasa mengajarkan advaita, non-dualisme.

Bagaimana reaksi orang kristiani? Advaita ini sungguh-sungguh merupakan suatu tantangan yang besar sekali, yang tidak dapat dielakkannya lagi, sehingga ia harus dihadapi dengan sungguh-sungguh. Bila orang kristiani memang yakin, bahwa wahyu yang diterimanya memang definitif dan merupakan ungkapan terdalam mis­teri Allah, ia harus dapat mengatasi pengalaman advaita ini serta mengintegrasikannya dalam pengalaman imannya sendiri. Untuk menanggapi hal ini memang sudah ada beberapa orang yang berusa­ha memberikan pemecahan. Dalam hal ini khususnya perlu disebutkan tiga nama, yakni Jacques Albert Cuttat, Henri le Saux, OSB dan Yves Raguin, SJ. Di samping itu kiranya juga perlu disebutkan nama Raymond Panikkar, Pr.

Jacques Albert Cuttat telah membahas persoalan ini secara panjang lebar pula, namun di sini hanya akan kita bahas bersama usaha le Saux dan Yves Raguin, yang berusaha memberikan suatu sintese berda­sarkan kebudayaan yang berbeda sekali. Henri le Saux, atau Abhisiktananda, yang hidup sebagai sanyasi (pertapa Hindu) kristen di India, memba­hasnya bertitik tolak dari latar belakang kebu­dayaan Hindu. Yves Raguin dari pihak lain memba­hasnya dengan latar belakang budhisme, khususnya zen.

Bagi le Saux, advaita merupakan fakta yang tidak dapat diragukan lagi kebenaran dan keas­liannya. Kecuali itu juga merupakan pengalaman tertinggi yang dapat dicapai manusia tanpa rahmat istimewa dan tanpa wahyu istimewa pula, artinya suatu pengalaman tertinggi yang dapat dicapai manusia di luar tata wahyu kristiani.

Untuk sampai ke sini manusia mulai dengan menguasai pancaindera, perasaan, dan gerak pikir­annya, sehingga akhirnya sampai kepada suatu keheningan yang besar, yang memungkinkan dia sampai ke dasar jiwanya. Di situlah, bila tiba saatnya akan menggema sabda abadi "ego sum, I am" dari Dia - Yang Ada. Sabda ini yang merupa­kan realitas tertinggi akan begitu memenuhi seluruh kesadaran orang tadi, sehingga dalam segala keadaan ia hanya mendengar dan melihat Dia - Yang Ada itu. Oleh karena itu, dalam segala sesuatu ia hanya melihat Dia - Yang Ada saja dan cahayanya begitu menyilaukan mata, sehingga ia tak mampu melihat sesuatu lain kecuali Dia - Yang Ada itu.

Pengalaman akan realitas ini begitu hebat­nya, sehingga tak mungkinlah ia melihat sesuatu lain. Untuk menerobos cahaya yang menyilaukan ini dibutuhkan sesuatu lain yang lebih kuat dari pandangan mata kita yang biasa. Orang kristiani mengerti, karena imannya, bahwa ini masih belum semuanya. Namun, ia sendiri tidak mampu keluar dari cahaya yang membutakan itu. Hanya Tuhanlah yang dapat mengeluarkannya dari situ dan membuatnya sadar, bahwa dalam pengalaman advaita ini sesungguhnya masih ada tempat untuk berdialog dengan Tuhan. Oleh karena itu, di sini advaita itu diatasi dan sekaligus diintegrasi­kan. Dalam kebutaan yang disebabkan oleh cahaya ilahi tersebut, Tuhan memanggilnya dari tengah-tengah cahaya itu. "Engkaulah puteraKu" dan karena panggilan itu ia dapat menjawab. "Abba, Bapa" dan dengan itu ia dikeluarkan dari cahaya yang membutakan itu, atau barangkali lebih tepat, ia diberi kemampuan untuk melihat menembus cahaya itu.

J.A. Cuttat menceritakan pengalaman seorang sanyasi kristen di ashram Sri Ramana Maharishi, yang rupanya bukan lain daripada le Saux sen­diri, sebagai berikut, "Mula-mula diriku sen­diri seperti bulan yang mencapai zenith pada suatu malam yang cerah dan tenang. Kemudian matahari pribadi ilahi terbit dan "aku"ku, seperti bulan pada pagi hari, lenyap dari kesa­daranku, namun ia tetap ada, seperti bulan pada siang hari dan tetap di sana, di suatu tempat. Maka pada saat inilah saya mendengar panggilan Allah yang hidup pada pengarang Mazmur, “fu es, filius meus, engkaulah puteraku....” Inilah panggilan Bapa, yang dengan cara tertentu mela­hirkan aku kembali seluruhnya, roh, jiwa, dan badan, yakni pribadiku sendiri, dari suatu kedalaman tak terbatas jiwaku.”

Jadi rupanya menurut le Saux, pengalaman terdalam yang disebut advaita, non-dualisme ini, merupakan suatu pengalaman Allah pada suatu kedalaman jiwa yang besar. Saat itu sinar kehadir­an Allah membutakan segala pandangan lain­nya. Dan orang hanya dapat keluar dari situ karena campur tangan Allah secara langsung saja.

Dalam hal ini rupanya Yves Raguin agak berbeda pandangan. Baginya juga pengalaman itu merupakan suatu pengalaman yang amat dalam, akan tetapi bukan pengalaman Allah, melainkan penga­laman akan kodratnya sendiri yang terdalam dan secara langsung, tanpa bantuan kesadaran reflek­sif. Baginya pengalaman kensho seperti yang dialami kaum budhis zen, yang juga merupakan suatu pengalaman advaita, adalah suatu pengalam­an akan kodrat insani yang terdalam. Pengalaman ini biasanya digambarkan sebagai suatu pengalam­an kekosongan, suatu "sunya.” Pengalaman ini bukan lain daripada suatu pandangan yang menda­lam tentang kodrat insani kita sendiri, tentang ada kita sendiri lepas dari segala atribut, atau dengan kata lain, memandang kodrat terdalam kita dalam keadaan polos, dalam seluruh realitasnya tanpa selubung apapun juga. Pengalaman ini hanya dapat dibenarkan olehnya sendiri, dan juga tidak dapat diungkapkan kecuali dalam pengalaman itu sendiri. Oleh karena itu, kensho sendiri sesungguhnya tidak pernah dapat didefinisikan dan yang di­tangkap oleh kesadaran kita karena sebetulnya hanya­lah tanda saja. Oleh karena ditangkap kesa­daran kita yang terbatas, maka kensho ini tampak tidak terbatas dan tak dapat dibatasi. Hanya bila kesadaran itu sendiri makin lama makin mendalam, akan tampak keterbatasannya sendiri. Namun pendalaman ini hanya mungkin terjadi oleh Kristus dan membutuhkan iman kepada-Nya.

Maka menurut Raguin ada tingkat-tingkat kensho. Yang pertama sama dengan yang dialami kaum budhis, baik mengenai isi maupun manifesta­sinya, karena merupakan realisasi dari kodrat kita yang terdalam. Kensho ini merupakan sesuatu yang sama sekali tidak dapat didefinisikan. Ditangkap oleh kesadaran kita yang terbatas, kensho ini tampaknya suatu kepenuhan yang tiada terbatas, yang tidak dapat dibatasi.

Bila Kristus membuat kita sadar akan diri sendiri, kita memasuki suatu supra kesadaran dengan mana kita menangkap kodrat kita terdalam bertolak dari kesadaran Kristus sendiri. Dalam kesadaran yang baru ini tampaklah, bahwa yang sebelumnya dilihat sebagai suatu kepenuhan, sesungguhnya belum yang paling penuh. Tampaknya memang total, utuh karena masih agak dangkal. Kristus telah membawa kita masuk dalam diri sendiri sampai pada suatu kedalaman yang melam­paui kemampuan kita. Dalam terang baru ini kita dapat melihat diri sendiri secara baru dalam Dia sendiri. Inilah tingkat kensho yang kedua. Di sini kita masih terpaku pada kensho sendiri, biarpun dalam terang yang datang dari luar dirinya.

"Semakin supra kesadaran ini membesar, terang yang membuatku menyadarinya, menyatakan sumbernya, ialah Kristus sendiri. Maka saya pun dipanggil untuk menempuh langkah yang ketiga, suatu langkah yang misterius, karena saya- mele­paskan diri dari kesadaran akan diri sendiri untuk mengambil bagian sedikit demi sedikit pada kesadaran yang dimiliki Kristus tentang dirinya sendiri. Dengan demikian "enstase"ku menjadi "extase", untuk kemudian menjadi enstase lagi dalam enstase Sang Sabda, yang dengan demikian membuat aku ambil bagian dalam kesadaran-Nya akan diri-Nya sendiri, yaitu sebagai manusia dan Allah sekaligus. Pada akhir langkah ketiga inilah direalisir pengenalan sempurna Kristus dalam persatuan yang demikian didambakan-Nya bagi para murid-Nya.

Sesudah sampai pada tahap ini dalam perja­lanan rohani tersebut, masih ada jalan yang harus ditempuh, karena Kristus mau memberi kita bagian pada pengalaman Bapa. Dalam kesadaran yang sempurna tentang diriNya Ia menghidupi, mengatakan dan memanifestasikan Bapa, karena Ia seluruhnya datang dari Bapa. Inilah langkah keempat, yang kubuat atas dorongan Kristus, ketika Ia berbagi denganku tentang kesadaranNya akan diriNya. "Siapa yang melihat Aku, melihat Bapa", kataNya kepada Filipus (Yoh 14:9).

Dalam persatuanku dengan Kristus, saya menyadari siapa Dia itu sesungguhnya. Bersama Dia, karena Dia dan dalam Dia, saya berpaling kepada Sang Sumber, ialah Bapa sendiri. Perja­lanan dari Sang Sabda Allah kepada Bapa ini dapat kupandang sebagai langkah yang kelima, suatu langkah yang kubuat dalam kepercayaan total kepada Putera Allah. Akhirnya penemuan Bapa dalam misteri-Nya merupakan langkah yang ke­enam, yakni istirahat agung pada sumber segala makhluk dan segala cinta.

Namun biarpun demikian, semakin kusadar, dan semakin aku masuk dalam misteri Ginta, semakin kumengerti, bahwa aku masih harus mengayunkan langkah yang terakhir, yang ketujuh yakni kembali kepada ciptaan dan kepada manusia saudara-saudaraku. Dibawa oleh gerak penciptaan karena cinta, aku menyadari bagaimana Allah telah menjadikan segala sesuatu.”

Setelah melihat kedua eksponen yang mengu­raikan pengalaman yang serupa dari konteks kebu­dayaan yang berbeda, kiranya masih dapat kita tanyakan, “Apakah para penganut advaita itu benar-benar mengalami Allah, ataukah hanya mengalami kodratnya sendiri yang terdalam secara total dan penuh?” Kalau menurut le Saux tidak dapat diragukan, bahwa memang mereka itu menga­lami Allah, sedangkan menurut Raguin rupanya justru tidak, sekurang-kurangnya tidak perlu. Menurut beberapa ahli lain, seperti Olivier La ombe, Jacques Maritain, Louis Gardet, rupanya memang mengatakan bukan, bahkan rupanya mereka lebih cenderung, bahwa itu bukan pengalaman Allah, melainkan pengalaman tentang kodrat sendiri yang terdalam dengan suatu cara yang tak terperikan. Namun, karena pada dasarnya kodrat manusia yang berupa jurang dalam itu berbatasan dengan jurang ilahi yang lebih besar lagi, dapatlah mereka juga mengalami Allah, asal saja mereka tetap terbuka terhadap segala kemungkinan.

Sesudah semuanya ini kiranya dapatlah disimpulkan, bahwa kehadiran Allah dalam diri manusia itu merupakan suatu misteri yang senan­tiasa dapat diperdalam terus oleh manusia. Rupanya dalam pertemuan antara iman kristen dan tradisi spiritual Asia terbukalah kemungkinan­-kemungkinan baru yang hingga hari ini belum pernah disadari orang. Di sinilah terdapat suatu kemungkinan baru yang belum banyak digali orang. Dan kita sebagai orang kristiani pun kiranya harus pula ikut menggalinya, khususnya kita yang berada di tengah-tengah tradisi besar Asia ini. Penggalian kekayaan ini pasti me­nuntut banyak sekali, karena tidak cukup hanya penggalian intelektual belaka, tetapi harus pula eksperiensial. Gereja akan makin diperkaya dan makin tampak keindahannya lewat penggalian-penggalian ini. Banyak kemungkin­an yang masih terbuka, biarpun untuk ini ditun­tut keberanian yang besar dan tekad yang tidak mudah patah, serta hidup rohani yang mendalam yang didasarkan pada pengenalan teologi katolik yang kuat dan sehat.