User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Bagaimana Allah memberikan diri kepada kita ini merupakan misteri yang sangat besar seperti diungkapkan dalam nyanyian Tantum Ergo bahwa di mana indra kita tidak dapat menjangkau, di situlah iman melengkapi. Kita harus sadar akan kehadiran riil/nyata Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Tentang kehadiran riil ini St. Paulus mengatakan kepada umat di Korintus bahwa setiap kali kita mengambil bagian dalam misteri wafat dan kebangkitan Kristus itu, yang kita terima adalah tubuh dan darah Kristus sendiri (bdk. 1Kor 11:23-32).


St. Agustinus yang hidup dalam abad keempat pernah mengatakan, “Ada satu hal yang Allah tidak tahu, padahal Allah Mahatahu.” Ada satu hal yang tidak diketahui Allah, yaitu bagaimana Ia dapat memberikan suatu pemberian yang lebih besar daripada diri-Nya sendiri. Ia telah memberikan diri-Nya sendiri dalam roti Ekaristi. Allah Mahatahu, Ia mengetahui segala sesuatu, akan tetapi tampaknya dengan memberikan pemberian terakhir dalam Ekaristi, Allah seolah-olah telah menguras habis segala pengetahuan-Nya. Pemberian diri sendiri ini bukan sekedar karisma, bukan sekedar pemberian diri sendiri sebagai sahabat kepada kita. Akan tetapi, Allah telah memberikan diri-Nya kepada kita dalam suatu bentuk kemesraan yang paling dalam yang tidak bisa dipikirkan dengan cara lain, yaitu secara fisik dan rohani dalam apa yang disebut komuni itu.

Bagaimana Allah memberikan diri kepada kita ini merupakan misteri yang sangat besar seperti diungkapkan dalam nyanyian Tantum Ergo bahwa di mana indra kita tidak dapat menjangkau, di situlah iman melengkapi. Kita harus sadar akan kehadiran riil/nyata Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Tentang kehadiran riil ini St. Paulus mengatakan kepada umat di Korintus bahwa setiap kali kita mengambil bagian dalam misteri wafat dan kebangkitan Kristus itu, yang kita terima adalah tubuh dan darah Kristus sendiri (bdk. 1Kor 11:23-32). Seperti nyata dalam Injil, sejak semula Gereja dengan jelas sekali memberikan kesaksian tentang hal itu :

“Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: "Ambillah, inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu. Dan Ia berkata kepada mereka: "Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.” (Mrk 14:22-24; bdk. Mat 26:26-28; Luk 22:19-20).

Dalam konsili Trente hal itu ditegaskan kembali. Kehadiran Allah dalam rupa roti itu bersifat vere, realiter et substantialiter, artinya benar-benar (secara objektif, tidak hanya seturut pandangan subjektif), nyata (tidak hanya secara kiasan) dan substantialiter (menurut substansinya, tidak menurut tampak lahiriahnya). Suatu kehadiran yang tidak hanya secara rohani seperti yang dimaksud dalam Injil: “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Kehadiran Ekaristik ini bersifat lain, lebih dalam, dan nyata:

  1. vere = sungguh-sungguh, hadir sebenar-benarnya secara objektif, tidak tergantung pada pandangan seseorang saja.
  2. realiter = nyata, tidak hanya secara kiasan, yaitu kehadiran Yesus sebagai Allah dan manusia, baik secara fisik dengan seluruh kemanusiaan-Nya maupun secara rohani.
  3. substantialiter, menurut substansinya, tidak menurut tampak lahiriahnya saja. Apa yang dilihat sebagai roti sudah bukan roti lagi, melainkan Yesus sendiri dalam rupa roti. Hal itu berarti Yesus dalam kemanusiaan dan keallahan-Nya ada di situ. Semua ini sungguh melampaui pengertian kita.

Injil Yohanes pasal 6 sungguh-sungguh berbicara tentang kehadiran Yesus dalam Ekaristi. Dalam Yoh 6:48 Yesus mengatakan, “Akulah roti hidup.” Roti ini memberikan kehidupan kekal bagi kita, sehingga siapa yang makan dari pada-Nya tidak akan mati. Kehidupan selama-lamanya ini adalah kehidupan rohani, sebab sebagai manusia kita sudah mati, begitu juga Yesus. Maka, yang dimaksud oleh Yesus adalah hidup kekal. Dan, yang mengejutkan kita ialah pernyataan Yesus: “roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku” (Yoh 6:51). Yesus memakai kata daging, dalam arti realitasnya sebagai manusia. Orang-orang Yahudi bertengkar, karena mereka berpikir bagaimana Orang ini bisa memberikan daging-Nya. Mereka mengertinya secara harafiah, semacam kanibalisme, sedangkan kita mengertinya karena iman. Jadi, betul-betul roti yang diberikan itu adalah tubuh Yesus sendiri. Ia dalam seluruh kemanusiaan-Nya hadir di situ.

Saya ingat pendeta Marilyn Kraemer dari Amerika Serikat yang bertobat justru karena misteri ini. Seluruh keluarganya adalah pendeta. Ia pergi ke Amerika Latin dan membawa banyak orang Katolik masuk Gereja Pentakosta. Pada waktu itu ia bertemu dengan suster-suster Karmelites. Ia mencoba “menginjili” mereka, namun iman mereka cukup kuat, sehingga mereka tidak bergeming. Ia berpikir bagaimana caranya agar dapat meyakinkan mereka? “Saya akan belajar agama Katolik lebih dalam lagi agar dapat meyakinkan mereka,” kata Marilyn. Ia pulang ke Amerika dan bertemu seorang imam dan menyatakan keinginannya untuk mengerti agama Katolik lebih dalam lagi. Kemudian romo itu bertanya kepadanya, “Jika ternyata agama Katolik yang benar, bagaimana sikapmu?” Ia menjawab, “Romo, kalau ternyata agama Katolik benar saya akan menjadi Katolik. Lalu, bagaimana dengan Romo?” “Kalau engkau bisa meyakinkan saya, bahwa agamamu yang benar, saya akan mengikuti engkau masuk agamamu,” jawab romo tersebut. Berdasarkan ajaran Injil Yohanes ini Marylin semakin menyadari kebenaran iman Katolik. Maka, semakin dalam ia masuk, semakin ia sadar betapa ajaran Katolik yang benar. Dan, akhirnya ia menjadi Katolik. Ketika Uskup mendengar hal tersebut, ia segera diberi tugas membentuk sekolah evangelisasi untuk “menginjili” kembali orang-orang Katolik yang telah “menyeberang”.

Dalam buku Born Fundamentalist, Born Again Catholic, pengarang tersebut menceritakan bagaimana ia bertobat melalui ajaran Katolik, antara lain karena kebenaran iman Gereja Katolik akan kehadiran riil Yesus dalam Ekaristi. Scott Hann, seorang pendeta, juga bertobat dan menjadi orang Katolik yang memiliki devosi besar terhadap Ekaristi. Jadi, kalau kita sebagai orang-orang Katolik tidak menyadari Ekaristi, itu sungguh keterlaluan, jangan-jangan kita seperti ayam yang mati kelaparan dalam lumbung beras.

Komuni adalah persatuan dengan Kristus. Komuni mengandung kemesraan dengan Allah yang mengandung unsur fisik, emosional, dan spiritual. Itulah kemesraan dengan Allah yang meliputi seluruh kemanusiaan kita. Yesus hadir dalam rupa roti dan dalam keadaan itu Ia masuk ke dalam diri kita. Ia mau tinggal dalam rupa roti kecil yang hina. Seolah-olah kasih Allah yang tak terbatas itu belum cukup, Ia menemukan cara yang begitu luar biasa. Dalam keadaaan itu Ia taat pada manusia. Kalau kita pikirkan, sungguh luar biasa kasih Allah, bahwa Allah taat pada manusia pendosa, yaitu kepada seorang imam. Ketika imam mengucapkan kata-kata “Inilah tubuh-Ku yang dikurbankan bagimu!”, maka Allah yang tidak dapat ditampung oleh dunia ini datang dalam rupa roti dan anggur. Tentu saja Yesus akan senang datang jikalau imam itu memersembahkan Misa dengan penuh devosi dan iman yang mendalam. Akan tetapi, walaupun imamnya sembrono atau dalam keadaan tidak berahmat, Yesus tetap taat pada kata-kata imam itu karena Ia telah berjanji. Ini sungguh luar biasa dan benar-benar melampaui pengertian kita. Hanya Allah yang luar biasa dan Mahakuasa dapat melakukannya. Kalau kita pikirkan sungguh-sungguh, bagaimana mungkin Allah mau mewajibkan diri untuk taat kepada manusia yang lemah dan berdosa? Bahkan, seringkali manusialah yang tidak mau taat dan sombong. Akan tetapi, itulah kenyataannya.

Jadi, disini kita menyaksikan suatu hal yang luar biasa. Yesus mengatakan kepada orang Yahudi, “Orang yang makan roti ini tidak akan lapar lagi,” dan orang Yahudi berkata, “Tuhan berikan roti itu,” dan terkejutlah mereka ketika Yesus mengatakan bahwa roti itu adalah tubuh Yesus sendiri (bdk. Yoh 6:34-35). Mereka terkejut dan banyak di antara mereka meninggalkan Yesus, karena mereka pikir itu kanibalisme dan tidak masuk akal. Maka, mereka pun meninggalkan Yesus. Hanya dua belas rasul yang tinggal (bdk. Yoh 6:60.66-67).

Yesus tidak mencari popularitas. Ia hanya mengajarkan kebenaran. Baru kemudian hari setelah Yesus bangkit dari antara orang mati, para murid mengerti dengan baik maksud Yesus itu. Melihat reaksi orang banyak, Yesus tidak berkata, “Eh, tunggu dulu. Jangan tergesa-gesa pergi. Maksudku bukan begitu!” Yesus tidak berdalih-dalih mengapa Ia berkata begitu, tetapi justru menantang keduabelas murid-Nya sambil berkata, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh 6:67). Seperti orang-orang yang lain, keduabelas murid itu juga tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Yesus, karena saat itu mereka belum menerima Roh Kudus. Akan tetapi, mereka percaya satu hal, yaitu bahwa Yesus tidak akan bohong, Yesus benar-benar nabi yang mencintai mereka dan yang mereka cintai pula. Kata Petrus, "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh 6:68). Inilah misteri Ekaristi yang melampaui pengertian kita. Seperti yang diungkapkan dalam lagu Tantum Ergo yang dikarang oleh St. Thomas bahwa pancaindra kita tidak mampu memahami, maka iman datang menolong/mengatasi kelemahan kita. Memang, jika kita mengandalkan akal budi saja, kita tidak akan pernah mengerti. Saya sedih akan orang yang kehilangan iman. Orang digoda untuk tidak percaya. Akan tetapi, disinilah keberanian iman kita: “Kepada siapakah kami akan pergi, karena Engkau memiliki sabda hidup yang kekal.”

Hidup Para Kudus dan Sakramen Mahakudus

Hidup para kudus menceritakan banyak sekali peristiwa yang menunjukkan cinta mereka yang besar pada Sakramen yang Mahakudus ini, karena mereka melihat segala-galanya dalam pandangan kontemplatif, yaitu pandangan iman. Mereka melihat apa yang tidak mungkin dilihat oleh mata jasmani manusia, karena mereka telah melihatnya dengan mata iman. Ini merupakan sesuatu yang mengagumkan. Di dalamnya mereka melihat rahmat yang tak terkatakan.

Tradisi dan devosi terhadap Sakramen Mahakudus sudah dimulai oleh para bapa Gereja. Dasarnya adalah Kitab Suci sendiri, seperti yang kita jumpai dalam Injil sinoptik, khususnya Injil Yohanes, namun juga dalam tulisan-tulisan St. Paulus. St. Yohanes Krisostomus, pengkotbah ulung bermulut emas, secara mendalam menangkap arti Ekaristi ini, “Kita dipanggil untuk memersatukan diri kita dengan Tuhan yang bahkan para malaikat pun tidak berani memandang-Nya. Kita dipanggil untuk memersatukan diri dengan-Nya. Kita dijadikan satu tubuh dan satu daging dengan Tuhan sendiri.” Demikian pula, St. Cyrillus Alexandria berkata, ”Sebagaimana dua lilin yang dijadikan satu, demikian juga jiwa yang menerima komuni dipersatukan sedemikian rupa, sehingga Yesus tinggal di dalam dirinya.” Juga St. Thomas menyatakan bahwa ”Ekaristi adalah Sakramen cintakasih Allah dan tanda kasih Allah yang paling besar.”

St. Teresa Avila, karena imannya, tidak dapat meragukan kehadiran Allah dalam Ekaristi ini. Ungkapan doanya sungguh menyentuh hati, “Saya tahu bahwa saya memiliki Engkau dalam Sakramen Mahakudus. Dan, saya melihat Engkau sebagaimana orang-orang dahulu melihat Engkau. Karena itu saya bertanya bagaimana orang dapat mengharapkan sesuatu yang lain.” St. Teresa Avila sangat mengagumi penyelenggaraan Allah yang mau datang kepada kita dalam rupa roti dan anggur. “Bagaimana saya seorang pendosa yang miskin, yang seringkali menghina Engkau, berani menghadap Engkau bila saya melihat Engkau dalam segala kemuliaan-Mu. Tetapi dalam rupa roti bagiku lebih mudah untuk mendekati Engkau. Seandainya Engkau tidak tersembunyi, siapakah Tuhan, yang berani mendekati Engkau dengan hati yang begitu dingin, dengan hati yang tidak pantas, dan dengan ketidaksempurnaan yang begitu banyak?” Hal itu disadari St. Teresa Avila secara mendalam karena ia telah diberi rahmat oleh Tuhan untuk itu.

Dalam sebuah visiun, St. Margareta Maria Alacoque melihat penampakan seperti berikut ini ketika orang-orang menerima komuni: pada orang-orang tertentu Yesus datang dengan rindu dan dengan tangan terentang seolah-olah mau memeluk orang tersebut, tetapi pada orang-orang lain ia melihat Yesus seperti terikat tangan-Nya dan dipaksa masuk ke dalam mulut mereka. Kemudian Yesus menerangkan, bahwa Ia rindu sekali untuk datang dan masuk dalam hati orang-orang yang mempersiapkan diri dengan baik dan yang merindukan kedatangan-Nya, tetapi sebaliknya Ia terpaksa masuk dalam diri orang-orang yang sembrono, yang hidupnya tidak berkenan kepada-Nya, yang tidak secara serius mengatasi dosa-dosanya, walaupun itu hanya dosa-dosa ringan, yang menyambut komuni tanpa persiapan yang baik, tanpa kerinduan, hanya karena kebiasaan belaka. Ke dalam diri mereka Yesus seolah-olah diseret masuk ke dalam mulut mereka dan terpaksa masuk karena terikat oleh janji-Nya sendiri. Disini kita dapat merasakan kerendahan hati Tuhan Yesus sendiri.

St. Alfonsus Liguori menuliskan dengan indah keluhuran dan keindahan Sakramen ini, “Tuhan Penyelamat kita yang begitu pantas dikasihi pada malam terakhir hidupnya, karena mengetahui bahwa waktunya sudah tiba bagi Dia untuk wafat karena cinta-Nya kepada manusia, tidak mau meninggalkan kita sendirian di lembah air mata ini. Akan tetapi, supaya Ia tidak terpisah dari kita bahkan lewat kematian, maka Ia mau meninggalkan diri-Nya bagi kita lewat Sakraman Mahakudus ini. Setelah memberikan segala yang tidak terbatas dan tak ternilai ini (makanan rohani/hosti kudus), Ia tidak memberikan hal yang lainnya karena ini sudah merupakan hal yang melampaui pengeritan kita”.

St. Gemma Galgani secara fisik mengalami kelaparan pada saat sebelum menerima komuni dan bila komuni itu ditunda ia seperti akan pingsan karena kerinduan dan kelaparan akan Yesus. Ini memang suatu rahmat khusus, sehingga kerinduan dan kelaparannya akan makanan rohani ini terungkap dalam rasa fisik, rasa lapar.

Dalam riwayat St. Teresa Avila juga dikatakan bahwa suatu saat dalam hidupnya ia sering sakit dan bila sakit ia tidak mampu menerima komuni. Maka, ia berdoa supaya jangan sampai terhalang menerima komuni karena sakitnya itu. Tuhan mendengarkan doanya, sehingga sebelum komuni sakitnya hilang, supaya ia dapat menyambut komuni. Setelah itu ia sakit lagi dan menderita, namun bagi dia ini tidak apa-apa karena yang penting ia bisa menyambut komuni.

St. Filipus Neri, seorang imam Italia, dalam pelayanannya di Roma ditandai oleh mujizat yang begitu banyak. Hidupnya ditandai oleh sukacita yang begitu mendalam dan memancar keluar. Orang kudus ini telah melewatkan banyak waktu di hadapan Sakramen Mahakudus. Seringkali ia mengalami ekstase. Satu hal yang menarik ialah bahwa seringkali dia tidak bisa tidur karena begitu rindu untuk menerima komuni kudus. Bila ia menyambut komuni, khususnya pada saat minum darah Kristus, seolah-olah ia tidak bisa lepas dari piala yang dipakainya, sehingga piala yang dipakainya menjadi aus karena digigit, terdorong oleh kerinduannya itu.

St. Antonius Maria Claret, pendiri Serikat Clarisian berdevosi besar kepada Sakramen Mahakudus. Kita tahu kalau kita menerima komuni, komuni itu tinggal di dalam diri kita sekitar 10-15 menit dan sesudah itu bentuk roti itu akan hancur. Menurut para ahli kehadiran riil Yesus berhenti pada saat roti itu hancur. Maka, kehadiran riil Yesus sudah tidak ada lagi setelah 10-15 menit tinggal di dalam diri kita. Akan tetapi, St. Antonius diberi karunia oleh Tuhan sebagai tabernakel berjalan, sehingga kehadiran riil Yesus menjadi lebih lama dalam dirinya. Pada Konsili Vatikan I seorang uskup lain melihat kehadiran Yesus dalam dirinya. Ketika St. Antonius lewat, uskup itu langsung berlutut menyembah Yesus yang ada dalam dirinya, tetapi bukan menyembah St. Antonius Claret.

Kita harus percaya semata-mata karena iman, namun dalam kemurahan-Nya Tuhan kadang-kadang memberikan mujizat pada kita. Yang terkenal adalah mujizat Ekaristi di Lanciano, Italia. Waktu itu ada seorang imam yang meragukan kehadiran riil Yesus itu. Akan tetapi dia mau berusaha tetap percaya. Pada saat konsekrasi, tiba-tiba hosti itu berubah menjadi daging dan keluar darah dan sampai sekarang hosti itu tetap disimpan. Setelah diteliti, hosti yang berubah dan berdarah itu ternyata merupakan jaringan tubuh manusia, yaitu jaringan hati manusia, dan darahnya dari golongan AB.

Di Santarem, Spanyol, ada seorang wanita yang karena suaminya selingkuh, pergi ke dukun dan minta agar suaminya kembali. Dukun tersebut minta dibawakan hosti yang sudah dikonsakrir. Hal ini digunakan untuk menghujat Tuhan. Caranya bagaimana? Begitu wanita itu menyambut komuni, segera hosti itu dikeluarkannya dari mulut dan dipindahkannya ke dalam sapu tangan. Dalam perjalanan dilihatnya hosti itu berdarah begitu banyak. Akhirnya, ia dan suaminya bertobat dan ia memberitahukan pastor parokinya. Hosti tersebut tetap disimpan dalam wujud ini sampai sekarang.

Pada waktu perang Vietnam orang komunis mau menjadikan sebuah biara susteran untuk barak tentara. Muder/pimpinannya mempunyai iman yang mendalam akan Ekaristi. Ia berkata, “Kamu jangan mengotori kapel itu, karena itu adalah kediaman Raja segala raja.” “Mana rajamu?” tanya tentara komunis itu. Suster tersebut mengantar tentara itu menuju kapel dan menunjukkan tabernakelnya sambil berkata, “Rajaku tinggal dalam tabernakel itu.” Mendengar itu tentara komunis tadi langsung mengambil senapannya, membidik, dan menembak ke arah tabernakel itu. Namun, belum lagi dengung senapan itu menghilang, tentara tersebut rebah ke tanah dan mati seketika itu, terkena serangan jantung. Maka, para tentara tersebut tidak berani mengusik tempat itu lagi.

Kadang-kadang Tuhan memakai orang-orang tertentu untuk menyatakan kasih dan kuasa-Nya. Pada waktu perang Vietnam itu juga, ada sebuah gereja yang ditutup tentara komunis dan sebagai penghujatan terhadap Allah, tabernakel dibuka secara paksa dan hosti kudus yang ada dalam tabernakel dibuang berserakan di lantai gereja. Umat tidak berdaya dan tidak dapat berbuat apa-apa. Waktu itu ada seorang gadis Vietnam Katolik berumur sebelas tahun yang menyaksikan semuanya itu. Sesudah itu setiap hari gadis tersebut menyelinap masuk ke gereja dan sambil berlutut menjilat hosti tersebut dan memakan-Nya, tiap hari hanya satu hosti, karena ia mengira setiap hari hanya boleh menyambut komuni satu kali. Suatu hari seorang tentara melihatnya dan mengamati dia. Ketika gadis itu menyambut komuni tersebut, tentara tadi menembaknya dan gadis tersebut mati seketika itu. Namun, ketika si tentara berusaha membuka mulut gadis itu untuk merampas hosti tersebut, apa pun yang dilakukannya, ia tidak mampu membuka mulut gadis tersebut. Dengan itu, Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya. Dalam sejarah masih ada contoh-contoh mengagumkan sehubungan dengan devosi kepada Ekaristi. Misalnya, St. Tarcisius yang dibunuh karena devosinya terhadap Ekaristi.

Allah juga melakukan mujizat Ekaristi dengan cara lain. Dalam riwayat hidup St. Lidwina dari Schiedam yang mengalami kecelakaan sebagai gadis dan kemudian lumpuh seumur hidup, diceritakan bagaimana pada tahun-tahun terakhir hidupnya ia hanya bertahan hidup berkat komuni kudus yang diterimanya. Banyak mujizat terjadi dengan perantaraan St. Lidwina, walaupun ia sendiri tetap lumpuh. Lebih dekat pada kita ialah riwayat Martha Robin, seorang wanita Perancis yang meninggal dunia pada tahun 1967. Ia menderita kelumpuhan selama bertahun-tahun lamanya, namun dari tempat tidurnya ia mempengaruhi banyak orang untuk bertobat kepada Tuhan dan mempunyai pengaruh besar dalam Gereja di Perancis. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, seperti St. Lidwina, ia tidak dapat makan apa-apa kecuali hosti kudus yang diterimanya setiap hari dan itu berlangsung selama bertahun-tahun lamanya. Mujizat itu dilakukan Tuhan untuk menunjukkan kuasa Ekaristi.

Ada cerita lain yang mengagumkan: seorang anak kecil karena suatu kecelakaan, menjadi lumpuh total, tetapi anak itu mempunyai iman yang sungguh luar biasa. Nama anak itu Audry Santo. Ia lahir pada zaman kita ini, pada tahun 1983. Anak ini tidak bisa bergerak sama sekali (lumpuh total), tetapi masih dalam keadaan sadar. Dia tidak bisa bicara, tidak bisa makan apa-apa, dia hanya bisa makan komuni. Anak ini memang luar biasa, sehingga hampir tiap hari dipersembahkan Misa di kamarnya untuk dia. Dia hidup hanya dari komuni, tanpa makan apa-apa, dan tanpa infus, namun melalui dia ribuan orang bertobat. Rumah dan kamarnya menjadi tempat ziarah banyak orang dan banyak mujizat yang terjadi melalui dia. Uskupnya memberi ijin sehingga di kamarnya ada Sakramen Mahakudus. Dengan demikian, Audry hidup terus-menerus dalam hadirat Sakramen Mahakudus. Banyak sekali terjadi mujizat lewat Ekaristi itu. Suatu saat hosti yang ada dalam monstran di kamarnya tiba-tiba berubah menjadi daging dan mengeluarkan darah. Seorang ahli ilmu pengetahuan hendak menyelidiki darah dalam monstran itu. Karena dia tidak mau menyentuh hosti itu, maka dia mencoba melihatnya lewat lanula dengan mikroskop. Dari situ ia melihat jaringan-jaringan tubuh manusia yang berasal dari jaringan jantung terdapat dalam hosti yang berdarah itu.

Mujizat-mujizat Ekaristi ini sebetulnya dilakukan Tuhan untuk menguatkan iman umat-Nya dan merupakan peneguhan-peneguhan yang kadang-kadang dalam situasi tertentu dilakukan Tuhan untuk mengingatkan kita akan realitas yang ada. Tuhan kadang-kadang menunjukkan kejadian-kejadian seperti itu untuk menyatakan kehadiran-Nya yang nyata.

Kita bisa berkata, alangkah indahnya kalau bisa melihat mujizat itu, tetapi tanpa iman semuanya itu akan sia-sia. Seperti yang dikatakan Yesus kepada Rasul Thomas, "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya" (Yoh 20:29). Yesus dalam Sakramen Mahakudus nyatanya ada di tengah-tengah kita. Oleh karena itu, bila kita menyambut Yesus dalam komuni, walaupun mata jasmani kita tidak melihat, tetapi kita bisa melihat Dia dengan mata iman.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting