Print
Hits: 23737

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Devosi adalah dedikasi pribadi seorang kristen kepada seorang kudus atau kepada salah satu aspek dari kehidupan Kristus. Jika dipahami sesuai dengan yang diajarkan oleh Gereja, devosi sungguh merupakan bantuan bagi perkembangan hidup rohani seorang Kristen. Sayangnya, banyak orang Kristen tidak memahami apa yang diajarkan oleh Gereja tentang devosi sehingga bantuan yang bermanfaat ini akhirnya justru membuat iman Kristen kita menjadi kabur. Artikel ini membantu Anda untuk memahami devosi secara benar sesuai yang diajarkan oleh Gereja.


PENGANTAR

Dalam kehidupannya, orang kristen (=katolik) seringkali tidak bisa membedakan mana yang utama dan mana yang hanya tambahan saja, mana yang primer dan harus di nomor satukan dan mana yang sekunder, yang kalau perlu boleh tunggu. Demikian pula dalam kehidupan imannya, orang kristen sering tidak dapat membedakan mana yang primer dan mana yang sekunder, sehingga hal ini tidak jarang mengaburkan penghayatan imannya. Cukup banyak orang yang tidak bisa membedakan bahwa misalnya doa rosario, walaupun sangat berguna dan banyak dianjurkan, tidak sama nilainya  dengan perayaan Ekaristi. Bagi mereka keduanya itu sama pentingnya, atau bahkan mungkin menganggap rosario lebih penting, karena dianjurkan oleh Bunda Maria dalam pelbagai macam penampakan.

Ketidak jelasan ini menyebabkan, bahwa hidup iman banyak orang kristen menjadi kabur. Banyak yang hidupnya terpancang pada devosi-devosi tertentu serta melupakan unsur-unsur yang pokok, atau setidak-tidaknya menjadikan unsur yang pokok itu kabur sekali. Hal ini akan punya pengaruh dalam perkembangan imannya, baik bagi pribadi itu sendiri, ataupun kelompoknya, kalau ia punya pengaruh yang besar. Tak jarang kita jumpai ungkapan-ungkapan iman yang amat sentimental dan kurang berpegang pada kebenaran iman yang diwahyukan Tuhan.

Devosi yang berlebih-lebihan dapat merugikan dan menggelapkan inti penghayatan iman yang sejati. Karena itu memang perlu sekali melihat hubungan devosi dan iman, supaya penghayatan iman itu menjadi sehat.

I. IMAN, DASAR HIDUP KRISTIANI

1.1.Hubungan iman dengan cintakasih dan pengharapan

Sebagai dasar hidup kristiani iman tidak bisa dilepaskan dari kasih dan pengharapan, yang sesungguhnya merupakan suatu kesatuan. Karena itu di sini akan kita  singgung  sebentar. Sesungguhnya iman, harapan dan cintakasih merupakan tiga hal yang terpenting di dunia ini. Kita tidak dapat melebih-lebihkan pentingnya hal ini, karena ketiganya bersama-sama merupakan satu-satunya yang perlu. Tak ada yang lebih penting daripada ketiga hal itu, karena oleh ada atau tidaknya kita memperoleh surga atau neraka, hidup kekal atau kematian kekal, kebahagiaan kekal atau kesengsaraan kekal. Tidak ada hal yang lebih menentukan daripada perkara tersebut.

Ketiganya disebut kebajikan teologal, karena obyek ketiganya ialah  Allah sendiri. Melalui kebajikan teologal ini kita dipersatukan dengan Allah sendiri. Karenanya kebajikan teologal ini pula yang merupakan pintu surga. Seseorang yang tidak punya iman kepada Allah, yang tidak berharap kepada-Nya, yang tidak mengasihi Allah, tidak dapat masuk ke surga, sebab jika demikian surga akan menjadi neraka baginya. Ia tidak dapat berbahagia bersama Allah, tidak lebih daripada waktu masih di dunia.

Iman, harapan dan cintakasih merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa kasih iman itu mati, hanya khayalan belaka, tidak nyata. Cinta yang tidak bersandar pada iman bukan kasih yang sejati, bukan agape, hanya perasaan belaka dan merupakan sesuatu yang bersifat sentimentil belaka, yang begitu tergantung dari keadaan hati seseorang, yang selalu berubah-ubah. Pengharapan tanpa iman hanya merupakan optirmisme belaka dan pengharapan tidak sama dengan optimisme. Lawan dari pengharapan ialah keputus-asaan, yang merupakan suatu dosa yang mematikan, bukannya pesimisme, yang merupakan suatu sifat psikologis belaka. Pengharapan tanpa kasih mengisolir manusia dan bersifat egois dan merupakan kemunafikan orang yang memandang dirinya sendiri benar. Sebaliknya iman tidak mungkin ada tanpa pengharapan, karena Allah yang kita percayai memberikan banyak janji-janji.

Ketiganya ini merupakan dasar dari segala kebajikan. Semua kebajikan lainnya tergantung dari ketiganya ini, karena ketiganya merupakan kunci untuk memasuki kehidupan Allah di dalam jiwa kita dan semua kebajikan lainnya merupakan ciri dari hidup illahi tersebut, bukan segala program perkembangan diri yang dewasa ini begitu banyak dipasarkan orang.

Kiranya penting sekali bagi kita untuk kembali kepada dasar hidup kristiani ini, karena dewasa ini hal itu sering tidak dimengerti orang. Kita hidup dalam suatu jaman teknologi canggih, tetapi sekaligus menunjukkan adanya jurang-jurang gelap yang dalam sekali. Dengan mengimpor teknologi dari dunia Barat, kita juga mengimpor kebudayaan pasca kristiani dan banyak yang tidak menyadarinya. Dunia moderen ini merupakan kontra-tanda yang jelas sekali dari ketiga kebajikan teologal ini. Hidup dunia ini di dasarkan atas keragu-raguan, keputus-asaan dan egoisme. Dunia memandang iman sebagai sesuatu yang naif dan ketinggalan jaman, pengharapan sebagai khayalan belaka dan cintakasih dilihatnya sebagai suatu kelemahan. Di sekitar kita dapat  disaksikan adanya materialisme yang semakin berkembang, yang sesungguhnya bukan lain daripada ketidak percayaan dan ateisme praktis.  Kita saksikan pula meningkatnya angka bunuh diri dan depresi, yang sesungguhnya bukan lain daripada keputus-asaan belaka. Kita saksikan pula berkembangnya pandangan hidup yang berpusat pada diri  sendiri, yang merupakan suatu kultus  diri  sendiri, perkembangan diri sendiri, di mana cintakasih sama sekali tidak masuk akal dan bahkan suatu kebodohan besar. Karena itu sudah menjadi urgen sekali, bahwa kita kembali kepada yang dasariah dari hidup kristen kita, kembali kepada dasar-dasar hidup rohani yang benar, supaya tidak tenggelam dan hanyut dalam arus dunia yang ateistis itu.

Tanpa rahmat Allah, yang hanya datang kepada kita lewat iman, harapan dan kasih, tidak seorang pun dapat menjadi baik seperti yang dikehendaki Allah. Tanpa cintakasih keadilan menjadi kekejaman. Tanpa pengharapan, keberanian berubah menjadi kenekadan belaka. Tanpa iman, segala kebijaksanaan dunia ini menjadi kebodohan belaka di mata Allah.



1.2. Iman: memasuki hubungan pribadi dengan Allah

Dalam Kitab Suci iman pada umumnya dilihat sebagai iman yang menyelamatkan. Melalui iman ini kita menerima hidup  Allah sendiri, yang bukan lain daripada hidup kekal. Ini merupakan sikap dasar kita, di mana kita dengan hati, dengan kehendak, dengan pusat ada kita, berkata "ya" kepada Allah dan bukannya berkata "tidak".Dalam arti ini percaya atau mengimani berarti menerima, yaitu menerima Allah sendiri.

Iman ini mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pembaptisan: "Siapa yang percaya dan dibaptis akan selamat. Siapa yang tidak percaya akan dihukum." (Mrk. 16:16). Iman ini merupakan permulaan keselamatan. Dalam Kisah dikatakan, bahwa 3000 orang percaya dan dibaptis (Kis. 2:41). Memang, dalam Kitab Suci pembaptisan selalu dihubungkan dengan iman, mis. Kis. 8:36-37.

Santo Thomas Aquino menyatakan, bahwa pembaptisan seorang bayi memang sah, namun tidak berbuah. Karena itu kemudian hari harus dilengkapi dengan faal iman pribadi kepada Yesus sebagai Penyelamatnya. Penerimaan Yesus secara pribadi ini melengkapi pembaptisan. Maka pembaptisan harus dilengkapi dengan penerimaan Yesus Kristus sebagai Penyelamat kita pribadi: Ia telah wafat bagiku. Dengan demikian orang mengalami, bahwa ia dilahirkan kembali, seperti yang antara lain diungkapkan Santo Paulus:"Tuhan telah mencintai aku dan menyerahkan diri-Nya bagiku" (Gal. 2:20).

Bagi kehidupan kristen yang efektif tidak cukup hanya mengakui, bahwa Yesus adalah Penyelamat umat manusia, tetapi Ia harus menjadi Penyelamatku, artinya benar-benar kualami sebagai Penyelamat yang menyelamatkan aku pribadi, tidak hanya orang lain saja. Saya harus mengalami, bahwa Ia telah wafat bagiku.

Ini merupakan permulaan keselamatan yang sayang sekali oleh banyak orang kristen dewasa ini tidak pernah dipenuhi, mungkin termasuk para imam dan religiusnya? Oleh sebab itu banyak orang kristen yang tidak pernah dilahirkan kembali secara eksistensial. Karena itu mereka tidak pernah menjadi orang kristen yang sejati.

Dalam Evangelii Nuntiandi Paus Paulus VI menyatakan, bahwa banyak orang kristen yang disakramentalisir, namun belun pernah mengalami evangelisasi. Kalau mereka mengalami evangelisasi, mereka akan menerima Yesus Kristus sebagai Penyelamat mereka yang pribadi.

Kita harus kembali kepada pesan pokok Injil: pertemuan pribadi dengan Yesus Kristus. Kita tidak hanya harus tahu tentang Yesus, tetapi harus mengenal Yesus. Kita bisa mengetahui tentang Yesus dengan membaca Kitab Suci, dengan membaca buku-buku, dengan belajar  teologi. Namun semuanya itu baru merupakan suatu pengetahuan intelektual belaka, bukan pengenalan pribadi akan Yesus Kristus. Yang menyelamatkan bukan teologi dan pengetahuan intelektual belaka, melainkan  pengenalan yang hidup akan Yesus Kristus.  Yang menyucikan bukan pengetahuan intelektual tentang Yesus, walaupun pengetahuan ini juga berguna, namun yang menyucikan  ialah mengenal Yesus secara pribadi. Yang menentukan ialah bila kita memasuki hubungan pribadi dengan Yesus, mengalami kepribadian-Nya, kehadiran-Nya, kemesraan-Nya. Semuanya ini datang dari iman dan diperkembangkan dalam iman.

Iman ini bersifat personal atau pribadi, terarah kepada suatu pribadi, pribadi Allah sendiri. Kebajikan iman pertama-tama diarahkan kepada pribadi Allah. Beriman berarti percaya kepada Allah dalam konteks hubungan pribadi. Iman bukan sesuatu yang impersonal, yang samar-samar, yang abstrak, melainkan sesuatu yang amat konkrit, yaitu percaya kepada suatu pribadi, kepada seseorang, kepada Yesus Kristus yang hidup sekarang ini dan yang memperhatikan saya. Seperti yang dikatakan Santo Paulus: "Aku tahu siapa yang kupercayai, aku percaya kepada Putera Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan hidup-Nya bagiku" (2 Tim. 1:12; Gal. 2:20) Iman ini harus sungguh-sungguh personal. bukan hanya Tuhan kita secara umum, tetapi Dia harus sungguh-sungguh secara konkrit menjadi Tuhanku, yang adanya sungguh-sungguh mempengaruhi hidupku secara mendalam, sehingga benar-benar aku tidak bisa hidup tanpa Dia. Sayang sekali bahwa bagi banyak orang kristen ada atau tidaknya Yesus itu tidak membawa pengaruh apa-apa. Apakah Yesus itu sungguh-sungguh bangkit atau tidak, Dia itu sungguh-sungguh Allah atau bukan, tidak banyak beda baginya. Bila iman kita benar dan hidup, Yesus itu Allah atau bukan, bangkit atau tidak, pasti membuat perbedaan yang amat besar bagi kita.

Sifat personal atau pribadi dari iman ini seringkali dilupakan dalam pewartaan dan pelajaran agama. Terlalu lama orang menekankan aspek sekunder dari iman, sehingga imannya menjadi steril, tidak menghasilkan buah-buah yang nyata. Supaya kita mempunyai pengertian yang lebih jelas, kiranya perlu disadari, bahwa kebajikan iman dapat dibedakan dalam dua kategori yang berbeda dan yang saling melengkapi, namun tidak sama, yaitu:

Bertahun-tahun lamanya orang melupakan aspek personal ini dan karena itu juga sering menjadi kabur, sehingga akhirnya orang begitu menekankan karya, karya dan sekali lagi karya, sedemikian rupa, sehingga arti doa menjadi lemah dan kabur.

Memang secara teoretis kita percaya kepada Kristus, tetapi dalam pelaksanaan selalu iman sekunder yang mendapat perhatian, sedemikian rupa sehingga merugikan iman yang primer. Maka perlu kembali lagi pada penekanan iman yang primer: pertama-tama percaya kepada Yesus Kristus, percaya kepada Allah yang tampak dalam diri Yesus Kristus: “siapa yang melihat Aku, melihat Bapa" (Yoh. 14:9).

 Kurangnya perhatian akan hal ini serta mengeringnya iman menjadi sesuatu yang intelektualistis belaka, antara lain juga menjadi sebab lahirnya devosi-devosi yang tidak sehat, karena memang umat membutuhkan sesuatu yang lebih hangat, yang lebih mesra. Maka itu iman primer harus diutamakan, yang lain jangan diabaikan.


1.3. Mengasihi Sang Pewahyu

Iman sekunder terarah kepada apa yang diwahyukan kepada kita, kepada kebenaran-kebenaran yang dinyatakan Tuhan kepada kita. Kita percaya semuanya itu karena kita pertama-tama percaya kepada Yesus. Seimbang dengan keterpautan pada Yesus, berkembanglah pula iman sekunder itu. Jadi semakin mendalam dan semakin berkembang hubungan kita dengan Yesus, semakin mendalam dan semakin berkembang pula iman sekunder kita. Jadi iman sekunder merupakan konsekuensi dan sekaligus juga bukti dari iman primer itu. Iman sekunder bersumber dan mengalir dari iman primer, sekaligus merupakan bukti keaslian iman primer kita. Sebab bila iman kita kepada Yesus itu sungguh otentik, maka dengan sendirinya akan mengalir dan menyatakan diri dalam iman yang sekunder. Namun biarpun demikian iman primer tetap adalah yang pertama, walaupun tidak bisa dipisahkan dari yang lain itu.

Sebagaimana kasih kepada Allah merupakan yang pertama dan terutama, walaupun kasih kepada sesama merupakan bukti keotentikannya, demikian pula hubungan iman primer terhadap iman sekunder.

Sejauh kita percaya kepada Kristus, kita juga percaya kepada segala ajaran-Nya, karena kedua hal ini tidak terpisahkan. Iman sekunder menunjukkan kadar iman primer, maka iman primer itu perlu diuji. Namun bila kita melihat, bahwa belum banyak isi iman kita, janganlah  putus asa. Ini merupakan suatu  dorongan  untuk berkembang.

Dalam Yoh 5:39 Tuhan Yesus mengatakan, bahwa walaupun ahli-ahli Kitab Suci menyelidiki Alkitab, namun mereka tidak sampai kepada Yesus. Suatu kenyataan yang tragis sekali! Lebih tragis lagi, itu bukan hanya realitas masa lampau, tetapi terjadi dewasa ini juga. Ada ahli kitab suci yang tidak pernah mengenal Yesus yang hidup, ada “teolog” yang tidak ber-Tuhan dan ada ahli moral yang tidak bermoral. Mengapa? Mereka menekankan iman sekunder, bukan iman primer, sehingga yang primer menjadi kabur. Kalau mereka mengenal Allah benar-benar, mereka juga akan mengenal apa yang datang dari Allah. "Siapa yang dari Allah, mendengarkan sabda Allah" (Yoh. 8:47). Kalau kita menerima Sang Pewahyu, kita juga akan menerima apa  yang diwahyukan-Nya. Kalau kita mengenal Dia yang memberikan wahyu, kita juga akan mengenal apa yang diwahyukan-Nya. Karena itu seringkali terjadi, bahwa orang yang sederhana lebih mudah mengenali karya-karya Allah, sedangkan orang-orang yang pandai malahan sering tersesat, tidak tahu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Suatu contoh yang indah kita jumpai dalam Yoh. 6, di mana Yesus berbicara tentang Ekaristi. Waktu itu Yesus menyatakan, bahwa barangsiapa tidak makan daging-Nya dan minum darah-Nya, tidak akan mendapat hidup. Karena hal itu terasa tidak masuk akal, maka orang banyak meninggalkan Dia. Namun Yesus tidak mundur dan tidak mengurangi tuntutan-Nya. Ia malahan menantang kedua belas rasul, apakah mereka juga mau meninggalkan Dia. Mereka tetap setia kepada Nya, walaupun mereka juga tidak mengerti, karena mereka mempunyai hubungan pribadi yang mesra dengan Dia dan mereka mengasihi Dia.

Melalui iman ini orang percaya karena kesaksian orang lain dan ini tentu saja mengandaikan suatu hubungan pribadi. Semakin orang berpaut pada seseorang, semakin dia juga berpaut pada ajarannya. Demikian juga sebaliknya. Hal ini jelas misalnya dalam Yoh. 5:24: "Siapa yang percaya pada sabda-Ku (iman sekunder), dia juga akan percaya kepada Dia yang mengutus Aku (iman primer)".

Jadi dalam seluruh hidup kita yang menentukan sesungguhnya ialah iman ini tadi, primer dan sekunder, dengan segala nuansanya. Segala yang lain diarahkan kepada perkembangan iman ini, demikian juga halnya dengan pelbagai macam bentuk devosi.


II. DEVOSI DAN PENGHAYATAN IMAN KRISTEN

2.1. Tempat devosi dalam penghayatan iman

Iman kristen merupakan suatu kekayaan yang besar sekali, sehingga  tidak  pernah dapat dikuras habis dalam segala aspeknya. Masing-masing dapat menghayati suatu aspek dari iman itu tanpa dapat menguras segala kekayaannya. Karenanya iman yang sama dapat diungkapkan dengan pelbagai macam cara dan orang masih tetap belum menghabiskan kekayaannya. Demikian pula dalam kehidupan pribadinya, orang kristen membutuhkan ungkapan yang berbeda-beda bagi imannya dan tiap pribadi, sesuai dengan watak dan pembawaan serta kecenderungannya pribadi, mempunyai ungkapannya sendiri. Dari situlah lahir apa yang disebut devosi-devosi.

Devosi adalah dedikasi pribadi seorang kristen kepada seorang kudus atau kepada salah satu aspek dari kehidupan Kristus, yang merupakan suatu sumber inspirasi khusus bagi orang tersebut. Bagi orang tadi, orang kudus tertentu, atau Bunda Maria, atau aspek tertentu kehidupan Kristus, mempunyai daya tarik khusus baginya dan memberikan semangat khusus pula kepadanya. Ia merasa tertolong dan diteguhkan dalam perjalanan hidupnya. Sikap inilah yang akhirnya menimbulkan  praktek-praktek religius tertentu yang menekankan peranan seorang kudus atau misteri illahi tertentu dalam hidupnya.

Berdoa dan merenungkan misteri tertentu dapat memberikan inspirasi kepada orang-orang tertentu untuk lebih mendekat kepada Allah, serta menjadikan dia lebih berpaut kepada-Nya. Karena keterbatasannya, orang tidak dapat menghayati seluruh aspek misteri Allah yang begitu kaya itu. Suatu aspek tertentu cukup membuatnya untuk semakin membaktikan dirinya kepada  Allah. Perhatian kepada suatu aspek misteri Allah tentu saja tidak dapat menjadi alasan untuk mengabaikan aspek-aspek lainnya. Sebab jika demikian halnya, itu akan menjadikan hidupnya berat sebelah dan devosi itu menjadi tidak sehat. Maka harus seimbang.

Sebagaimana dalam suatu keluarga ada hubungan khusus antara anggota keluarga itu, demikian pula dalam keluarga Allah. Disitu seringkali terjadi dan berkembang suatu hubungan khusus antara anggota-anggota Gereja, baik antara anggota yang masih hidup maupun dengan anggota yang sudah meninggal, yaitu para kudus. Orang kristen tertentu dapat merasa tertarik kepada salah seorang kudus tertentu, yang hidup atau semangatnya menjadi inspirasi baginya. Kadang-kadang suatu kelompok tertentu, seperti para religius atau kelompok kerasulan tertentu, mempunyai seorang kudus tertentu sebagai pelindungnya, karena mereka berkarya sesuai dengan semangatnya ataupun mohon perlindungannya yang khusus.

Kalau devosi-devosi ini kita hubungkan dengan iman seperti yang sudah kita lihat, maka jelaslah, bahwa devosi-devosi ini kalau benar-benar otentik, harus membantu dan memperkembangkan iman yang sejati, yang terarah kepada Allah sendiri. Maka itu devosi ini perlu dinilai dalam hubungannya dengan iman: sejauh mana hal itu membantu pertumbuhan iman, sejauh mana devosi tadi memperkembangkan hubungan yang pribadi dengan Allah dalam iman, harapan dan cintakasih.

2.2. Persoalan devosi Maria

Di antara devosi-devosi yang berkembang dewasa ini di antara umat katolik Indonesia khususnya, kita jumpai devosi kepada Bunda Maria dalam segala bentuknya. Untuk mengungkapkan devosi itu kita jumpai pelbagai macam bentuk. Didirikannya gua-gua Maria hampir di mana-mana menunjukkan minat umat terhadap devosi ini. Demikian pula  pelbagai  macam  bentuk novena  kepada  Bunda  Maria mengungkapkan sikap ini. Karena itu perlulah sebentar melihat hubungan yang ada antara devosi-devosi ini dengan penghayatan iman Kristen, karena dalam hal ini dapat terlihat jelas hubungan antara devosi dan iman.

Dalam Lumen Gentium, Konstitusi tentang Gereja, Konsili Vatikan II telah memberikan uraian yang panjang dan yang secara teologis, merupakan suatu uraian yang paling menyeluruh dan lengkap yang pernah dihasilkan oleh suatu Konsili Ekumenis. Namun biarpun demikian tidak lama sesudah itu devosi kepada Bunda Maria menurun secara menyolok sekali dalam Gereja Katolik, khususnya di Eropah dan Amerika Utara. Pimpinan hirarki merasakan  pula kemerosotan ini dan karenanya mereka merasa berwajib untuk memberikan petunjuk-petunjuk. Usaha-usaha semacam ini mendapat ungkapannya yang paling berarti dalam ensiklik: "Marialis cultus" yang dikeluarkan Paus Paulus VI dalam tahun 1974. Dokumen ini rupanya tidak mendapatkan tanggapan yang berarti dalam Gereja. Namun akhir-akhir ini devosi kepada Bunda Maria mulai berkembang lagi. Demikian pula di Indonesia.

Berhubung dengan devosi Bunda Maria ini kiranya perlu dibedakan antara situasi negara-negara Eropa dan Amerika Utara pada umumnya dengan yang kita jumpai di Indonesia. Karena perbedaan ini kiranya perlu pula kita bahas secara terpisah.

Di Eropa dan Amerika kita jumpai minat yang menurun untuk devosi ini, biarpun akhir-akhir ini ada minat baru lagi untuk devosi tersebut, antara lain karena penampakan Bunda Maria di Medugorje. Seperti dalam bidang-bidang lain juga dalam hal devosi kepada Bunda Maria kita jumpai suatu polarisasi yang tidak sehat. Dari satu pihak kita jumpai adanya kelompok tertentu yang menghendaki kembalinya bentuk-bentuk devosi seperti masa lampau. Dari pihak lain kita jumpai orang-orang yang sesungguhnya berminat sedikit sekali terhadap devosi ini, biarpun banyak yang tidak berani mengatakannya secara terang-terangan. Yang menjadi soal di sini bukanlah bagaimana mengembalikan devosi-devosi masa lampau, melainkan di mana tempatnya yang tepat dalam penghayatan iman kristen kita. Yang menjadi pokok persoalan ialah  bagaimana seharusnya sikap kita terhadap Bunda Allah dan apa hubungannya dengan iman kristen kita yang berpusat pada Allah. Untuk lebih  mengerti persoalan ini kiranya perlu kita lihat sebentar mengapa devosi-devosi kepada Bunda Maria menurun. Apa sebabnya, bahwa praktek-praktek devosi yang dahulu begitu berarti bagi generasi-generasi yang lampau dan yang memberikan suatu ciri khas katolik, kini kurang berarti bagi generasi yang ada sekarang ini.

Di Indonesia persoalannya sedikit berbeda, biarpun ada kesamaannya pula. Sejauh yang dapat diamati devosi kepada Bunda Maria memang menurun, sebab tidak kita jumpai praktek-praktek seperti dahulu lagi. Dari pihak lain minat umat masih besar sekali dan bahkan menunjukkan adanya devosi yang berlebih-lebihan dan kadang-kadang bahkan mendekati tahyul, sehingga mengaburkan arti iman yang sejati. Dalam devosi yang berlebihan ini kadang-kadang kita mendapat kesan, bahwa Bunda Maria menggantikan tempat Allah dan menjadi semacam dewi. Bunda Maria begitu memenuhi seluruh kehidupan dan kesadaran orang, sehingga seolah-olah tidak ada tempat lagi bagi Tuhan sendiri. Dalam hal ini devosi kepada Bunda Maria tidak menghantar orang kepada Allah, namun menggantikan Allah. Rupanya sikap ini disebabkan karena kurangnya pembinaan iman yang benar, karena kaburnya pengertian iman yang sejati. Juga karena liturgi seringkali amat kering.

Dari pihak lain kita jumpai pula orang-orang yang membuang sama sekali devosi Maria ini ataupun menjadi segan, sekurang-kurangnya tidak tahu lagi di mana tempatnya dalam penghayatan iman kristen kita, karena pengaruh ekumenisme tidak sehat. Dengan demikian juga dalam hal ini kita jumpai polarisasi yang tidak sehat. Untuk lebih mengerti situasi ini, baiklah kiranya kita lihat persoalan ini secara lebih mendalam.


2.3. Krisis dalam devosi Maria

Menurunnya devosi Maria di dalam Gereja Katolik disebabkan oleh beberapa faktor penting. Di antara pengaruh-pengaruh yang penting kita jumpai pandangan hidup yang sekularistis dan juga teologi liberal. Yang dimaksud dengan pandangan hidup yang sekularistis di sini ialah sekularisme yang puas dengan hal-hal fana melulu serta terbatas pada dunia ini saja dan  yang mengandung suatu gagasan hedonistis, terutama dalam ungkapan seksualnya yang begitu mendewakan seks. Jelaslah bahwa dalam iklim semacam ini orang tidak bisa mengerti apa arti keperawanan suci itu. Maka gagasan Santa Maria sebagai perawan samasekali tidak dapat masuk akal mereka. Sedangkan teologi liberal yang dimaksud di sini ialah yang begitu mendewakan  rasio serta menundukkan iman pada rasio dan khususnya yang meremehkan, bahkan menyangkal keallahan Kristus serta menyangkal,  bahwa Kristus lahir dari seorang perawan. Teologi semacam itu tidak hanya kurang memiliki dasar yang kuat dan kurang bersandar pada suatu riset kristologis yang kuat, namun lebih-lebih merupakan suatu sikap sesat yang membawa kepada kesimpulan-kesimpulan yang sesat dan yang menyesatkan banyak orang. Dewasa ini pengaruh sekularisme dan teologi liberal tersebut sudah merembes ke dalam Gereja dan mempengaruhi banyak umat, biarpun pengaruh tersebut tidak sama dalamnya. Juga kalangan imam dan religius tidak kebal terhadapnya. Di Indonesia pengaruh itu bahkan muncul dari kalangan para imam yang begitu saja mengoper sekularisme dan teologi liberal dari dunia barat dan menyebar ke mana-mana.

Jelaslah kiranya, bahwa sikap yang  sekularistis  dan pendekatan yang bersandar pada teologi liberal yang menyangkal atau sekurang-kurangnya meragukan sendi dasar dogmatis hidup kristiani kita dan yang juga menjadi dasar devosi Maria itu, sangat merugikan devosi itu sendiri. Mereka itu tidak berminat dan tidak tertarik kepada bentuk-bentuk devosi seperti itu. Tentu saja sikap sekularistis dan teologi liberal yang meremehkan dogma-dogma katolik serta bimbingan Gereja ini mempunyai dampak negatif yang jauh lebih besar terhadap pemikiran dan kehidupan kristen sebagai keseluruhan bukan hanya terhadap devosi Maria, namun di sini bukan tempatnya untuk membahas persoalan tersebut

Namun keliru pula bila mengatakan, bahwa menurunnya devosi itu disebabkan melulu oleh pandangan yang sekularistis dan  oleh teologi liberal saja. Kiranya perlu disadari pula bahwa bentuk-bentuk  devosi masa pra-konsili, seperti yang kita  jumpai dipraktekkan dalam keluarga-keluarga, dalam sekolah-sekolah dan dalam devosi populer dalam paroki-paroki, seringkali tidak sesuai dengan tuntutan Konsili untuk pembaharuan hidup kristiani.

Sebelum Konsili banyak sekali orang katolik yang tidak sadar bahwa kesalehan pribadi mereka mengikuti pola-pola yang berbeda dari ibadat resmi Gereja. Liturgi dirayakan dalam bahasa Latin dan karenanya umat hanya bisa mengikuti lewat  terjemahan-terjemahan belaka dan karenanya kurang bisa menyatu dengan imam yang merayakan liturgi tersebut. Bersamaan dengan imam yang merayakan liturgi, mereka mengucapkan doa-doa pribadinya sendiri, misalnya doa rosario, sedangkan imam yang ditolong misdinar melanjutkan "acaranya" sendiri. Juga praktek membagikan komuni sebelum Misa dimulai, yang merupakan praktek sangat umum dalam Gereja pra-konsili, menunjang sikap dualistis ini.

Kecuali itu pengertian yang umumnya amat dangkal tentang doa menimbulkan praktek-praktek keliru. Karena banyak pastor pra-konsili yang tidak tahu berdoa spontan, maka dalam banyak kesempatan, untuk memulai suatu acara tertentu, orang mengucapkan saja doa Bapa Kami atau Salam Maria. Demikian pula banyak penitensi yang diberikan dalam kamar pengakuan hanya berupa sekian kali doa Salam Maria atau Bapa kami. Kalau demikian itu gembalanya, umatnya lebih-lebih lagi. Mereka tidak pernah belajar doa spontan, sehingga dalam hampir segala kesempatan mereka memakai doa Bapa Kami dan Salam Maria saja. Walaupun doa-doa itu memang sangat indah dan diilhamkan Roh Kudus, namun jelaslah, bahwa maksudnya bukan demikian itu. Kekaburan tentang doa ini juga ikut menjadi sebab kekaburan tempat devosi dalam penghayatan iman.

Konsili Vatikan II menimbulkan suatu perombakan besar dan banyak orang yang tidak siap menghadapi hal ini, lebih-lebih di Eropa dan Amerika, sehingga sampai dewasa ini masih cukup banyak usaha untuk kembali ke Misa tridentina yang dilakukan oleh sekelompok orang. Di Indonesia memang tidak terjadi seperti di Eropa dan Amerika, namun cukup banyak pula suara dari orang-orang tua yang menyayangkan hilangnya sesuatu yang indah dari masa lampau.

Konstitusi Liturgi, dokumen besar pertama Konsili Vatikan II tidak hanya memasukkan bahasa vernakular dalam liturgi Barat begitu saja, melainkan punya tujuan lain. Pemakaian bahasa vernakular dimaksudkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan utama yang mau dicapainya, yaitu pembaharuan hidup doa kristiani. Dalam pembaharuan dan pengembangan liturgi orang hendaknya selalu ingat, bahwa partisipasi aktif dan penuh dari umatlah yang menjadi tujuan pembaharuan tersebut. Partisipasi yang aktif dan penuh inilah yang harus menjadi sumber utama untuk memupuk semangat kristiani yang sejati (Konstitusi Liturgi 14). Dengan kata lain semua orang kristen harus dijiwai oleh semangat Gereja yang berdoa. Cara doa Gereja yang dibimbing Roh Kudus dalam doa-doanya yang resmi, harus menjadi norma untuk ibadat kristiani yang sejati. Hal ini dengan tegas dan tepat sekali diungkapkan Paus Paulus VI dalam ensiklik "Marialis cultus": "Liturgi mempunyai nilai eksemplar untuk bentuk-bentuk ibadat lainnya". Dan juga: "liturgi adalah  norma pokok untuk kesalehan kristiani" (Marialis Cultus  1.23).

Kiranya  jelas pula, bahwa Konsili sama sekali  tidak bermaksud menjadikan Liturgi satu-satunya bentuk ibadat kristiani dalam tubuh umat Allah. Hidup rohani tidak terbatas pada partisipasi pada perayaan liturgis saja. Orang kristen memang dipanggil untuk berdoa bersama dengan saudara-saudaranya, namun ia juga dipanggil untuk masuk ke dalam kamarnya dan di sana berdoa secara pribadi dan tersembunyi kepada Bapa surgawi. Konsili juga menganjurkan adanya devosi popular serta memuji devosi tersebut, namun sekaligus menunjukkan syaratnya yang amat penting : “Devosi-devosi ini harus diungkapkan sedemikian rupa, sehingga serasi dengan masa-masa liturgis, sesuai dengan liturgi suci, dan dengan cara  tertentu ditimba daripadanya, serta  menghantar  umat kepadanya, karena liturgi jauh mengatasi masing-masing devosi tersebut" (Konstitusi Liturgi 12).

Siapa yang memperhatikan himbauan Konsili tersebut dengan serius, akan melihat, bahwa praktek-praktek devosi pra-konsili yang bentuk-bentuknya masih banyak kita jumpai hingga sekarang ini, tidak menunjang kehidupan liturgis, malahan menjauhkan orang daripadanya dan bertentangan dengan semangatnya. Kesukaran yang utama terdapat dalam pendekatan rohaninya yang berbeda. Yang menjadi soal bukanlah terutama bagaimana seharusnya devosi tadi dihayati, atau bagaimana ia secara indah diungkapkan oleh para pengarang rohani tertentu, tetapi bagaimana nyatanya hal itu dihayati dalam keluarga-keluarga dan paroki-paroki. Kiranya harus dikatakan, bahwa dalam kenyataan, bentuk konkritnya berbeda arah dengan liturgi Gereja.

Kiranya baik pula menyebutkan beberapa perbedaan utama yang ada. Pertama-tama harus dikatakan, bahwa ibadat liturgis secara jelas sekali berpusat pada Allah. Bahkan pada pesta-pesta Maria dan para Kudus yang menduduki tempat yang begitu besar dalam perayaan liturgis, hampir semua doa diarahkan kepada Bapa kita surgawi dengan perantaraan Kristus dalam kesatuan dengan Roh Kudus. Sebaliknya devosi-devosi Maria pra-konsili menunjukkan kecenderungan untuk memberikan tempat yang semakin banyak kepada Bunda Maria dalam doa-doanya, seolah-olah Maria adalah segalanya. Banyak imam dan religius, apalagi kaum awam, yang berdoa lebih banyak kepada Bunda Maria daripada kepada Allah sendiri. Dalam hidup doanya mereka dipengaruhi oleh suatu pengetrapan salah dari pameo tua yang berbunyi:" De Maria numquam satis", tentang Maria kita tidak pernah merasa cukup. Mereka mengembangkan suatu pendekatan rohani dengan melebih-lebihkan suatu unsur tertentu, sehingga berat sebelah. Sebaliknya ibadat liturgis ditandai oleh suatu keseimbangan antara pelbagai macam unsurnya. Sungguh berarti, bahwa Konsili Vatikan II dalam pembahasannya tentang Maria, menuntut adanya keseimbangan dalam hubungan dengan ajaran dan devosi kepada Maria. " Dengan sungguh-sungguh Konsili ini menghimbau para teolog dan para pengkotbah sabda illahi, supaya dalam membahas tentang martabat yang khas dari Bunda Allah, mereka dengan hati-hati dan benar menghindarkan kepalsuan dari sikap  yang melebih-lebihkan, tetapi dari pihak lain menyingkirkan sikap picik yang sangat membatasi itu"(Konstitusi tentang Gereja 67). Teks ini dan bahwa sikap yang berlebih-lebihan itu disebutkan sebagai yang pertama, menunjukkan adanya situasi konkrit yang dihadapi Konsili waktu itu.

Dalam liturgi kita lebih banyak berdoa bersama dengan daripada kepada para kudus, biarpun doa kepada para kudus, dan khususnya kepada Bunda Maria, sama sekali tidak disingkirkan. Sebaliknya dalam ibadat devosional kita jumpai kenyataan, bahwa sedikit sekali orang berdoa bersama para kudus, tetapi sebaliknya banyak sekali berdoa kepada para kudus.

Dalam liturgi tekanan diletakkan pada mediasi Kristus, satu-satunya pengantara kita, satu-satunya jalan kita kepada Bapa (Yoh. 14:6;  1 Tim. 2:5-6; Ef. 2:18). Dalam praktek devosi pra-konsili kita jumpai penekanan besar pada mediasi Maria. Prinsip "melalui Maria kepada Yesus dalam kenyataannya lebih banyak disebut daripada "melalui Yesus kepada Bapa". Itulah sebabnya, mengapa Konsili dalam pembahasannya yang indah tentang Maria, begitu menekankan "mediasi Kristus yang satu-satunya itu"(Konstitusi tentang Gereja60).


2.4. Devosi Maria dan Ekumenisme

Dalam devosi popular tentang Maria hingga hari ini, kita jumpai suatu kecenderungan untuk menggantikan tempat Kristus dengan Maria, tentu saja tidak dalam teori, namun dalam penekanan praktek devosional. Demikian pula dalam devosi Maria pra-konsili kita jumpai kecenderungan untuk memberikan peranan yang semakin hari semakin besar kepada Maria, peranan yang dalam pengertian tradisi Gereja Katolik yang otentik, sebenarnya merupakan peranan Roh Kudus. Kardinal Suenens yang juga mempunyai kebaktian yang besar kepada Bunda Maria, mengemukakan pula persoalan ini:

Lebih dari satu orang kristen (yang bukan katolik) merasa diri kurang enak bila berhadapan dengan ungkapan-ungkapan yang sering kita (umat katolik) pakai untuk Maria. Banyak dari bahasa ini,  menurut pandangan mereka, menderita kekeliruan umum, yaitu menggantikan Roh Kudus dengan Maria. Bagi mereka tampaknya kita memberikan kepada Maria apa yang sesungguhnya menjadi peranan dasar dan khas dari Roh Kudus. Khususnya ungkapan-ungkapan tertentu sangat mengejutkan mereka, seperti misalnya: Kepada Yesus melalui Maria; Maria membentuk Kristus dalam diri kita; Maria adalah penghubung antara kita dengan Kristus; Maria berperan dalam karya penebusan. Berhadapan dengan rumusan seperti itu saudara kita yang protestan menyanggah, bahwa justeru Roh Kuduslah yang harus membawa kita kepada Yesus, membentuk Yesus dalam diri kita, mempersatukan kita dengan Yesus dan untuk bekerja sama secara unik dalam karya penyelamatan. Rasa tidak enak mereka ini harus membantu kita untuk menyadari adanya hirarki kebenaran dalam Wahyu dan mereservir bagi Roh Kudus peranan primer-Nya. Sesudah itu barulah kita dapat mengenakan ungkapan-ungkapan tersebut kepada Maria secara benar, tetapi secara sekunder, yang berasal dari dan selalu dalam ketergantungan pada Roh Kudus(Kard. Suenens, A New Pentecost?, Seabury Press, 1975, p. 198).

Catatan kardinal Suenens ini menunjukkan, bahwa devosi kepada Bunda Maria dalam ungkapannya yang tradisional, bukan hanya tidak sesuai dengan liturgi Gereja, tetapi juga tidak mempunyai dasar biblis yang sehat. Bahkan dalam banyak kasus, sekali lagi bukan secara teoretis, tetapi dalam penghayatan praktis, devosi Maria tidak jarang menjadi suatu idolatri, penyembahan berhala, sehingga bukannya tanpa alasan bila saudara-saudara kita protestan sering menuduh kita orang-orang katolik menyembah Maria, menyembah berhala. Berhala ialah apa atau sesuatu yang menggantikan tempat Tuhan. Maka bila Maria menggantikan tempat Tuhan, ia menjadi berhala. Seperti yang diungkapkan Paus Paulus VI, dewasa ini dibutuhkan suatu dasar biblis untuk kesalehan kristiani pada unumnya. Devosi kepada Bunda Maria juga tidak bisa dikecualikan dari arah dasar dan umum ini (Marialis Cultus30).

Kelalaian untuk memberikan dasar biblis yang perlu ini, menyukarkan saudara-saudara kita protestan untuk berbagi dengan kita dalam devosi ini, atau sekurang-kurangnya untuk mengerti devosi Maria kita. Memang benar, bahwa sebelum Konsili orang tidak terlalu ambil pusing soal ini dan tidak pernah memikirkan, bagaimana caranya agar supaya saudara-saudara kita yang protestan bisa mengertinya. Namun dalam Gereja pasca Konsili ini, dalam suatu iklim ekumenis yang menandai kehidupan seluruh Gereja, kiranya perlu pula menyehatkan kehidupan devosional kita, khususnya devosi kepada Bunda Maria. Yang mengganggu orang-orang kristen lainnya umumnya bukan devosinya sendiri kepada Bunda Maria, namun tidak adanya keseimbangan dalam devosi tersebut serta tidak adanya dasar biblis. Sebab ternyata bahwa saudara-saudara protestan yang terbuka juga mempunyai suatu devosi kepada Bunda Maria, seperti yang misalnya kita jumpai dalam komunitas Roger Schutz di Taize, Perancis, atau komunitas Basilea Schlink di Jerman. Demikian pula Vinson Synan, seorang tokoh Gereja Pentekosta Amerika, berhubung dengan penghormatan kepada Bunda Maria, mengatakan, bahwa mereka khususnya belum melaksanakan sabda Tuhan, khususnya seperti yang tertulis dalam Luk. 1:48.

Bahkan sebelum Konsili sudah ada kritik tentang bentuk devosi Maria dalam Gereja Katolik. Kritik-kritik semacam itu biasanya berasal dari orang-orang yang dianggap liberal dan tidak jarang mereka secara berat sebelah dipengaruhi oleh orang-orang protestan, seperti yang juga kita jumpai hingga hari ini. Dapat dimengerti, bahwa karenanya mereka tidak ditanggapi secara serius. Akan tetapi, ada juga kritik-kritik yang datang dari orang-orang katolik yang memiliki cinta yang mendalam kepada Maria dan Gereja dan yang kesetiaannya terhadapnya tidak dapat diragukan. Mereka ini memiliki pengertian yang mendalam tentang semangat Gereja yang sejati serta kebutuhannya yang mendesak. Contoh klasik dalam hal ini ialah kasus J.A. Jungmann SJ, yang memberikan suatu kritik yang sehat dan seimbang dalam sebuah buku tentang "Kabar Gembira dan Pewartaan kita" yang diterbitkan dalam tahun 1936. Himbauannya untuk memperbaiki kehidupan devosional Gereja mendapatkan tantangan yang hebat dari orang-orang yang sudah terlanjur tumbuh dalam bentuk-bentuk devosi tersebut, termasuk banyak imam dan uskup. Akibatnya buku Jungmann tersebut harus ditarik dari peredaran.

Karena kritik-kritik membangun seperti yang dilontarkan oleh Jungmann itu tidak dihiraukan, Konsili menjumpai suatu situasi di mana devosi kepada Bunda Maria sedang mengalami krisis. Dari satu pihak dewasa ini banyak orang yang menyadari keterbatasan nilai devosi tersebut, serta kesukarannya untuk menyerasikan bentuk-bentuk devosi tradisional dengan tuntutan Konsili untuk pembaharuan. Namun sayang sekali, bahwa dari pihak lain mereka tidak menyadari pula nilai-nilai besar suatu devosi Maria yang otentik. Di pihak lain banyak pula yang tidak pernah mengerti serta menerima semangat pembaharuan Konsili. Bagi mereka itu pembaharuan Konsili hanya merupakan perubahan tata cara belaka dan tidak pernah mempunyai dampak religius yang mendalam. Mereka menangisi merosotnya devosi Maria dan yang dipikirkannya hanya kembali kepada bentuknya yang semula, tanpa perubahan semangat ataupun ungkapan lahiriahnya. Kedua-duanya sama kelirunya.

Kembali begitu saja kepada masa lampau tidaklah dapat dibenarkan. Pengembalian ke masa lampau berarti membuat fotocopy dari masa lampau dan bukan sesuatu yang asli, berarti mengabadikan yang usang, jatuh ke dalam museumisme, yaitu menghidupkan kembali hal yang seharusnya masuk museum. Sikap ini tidak mengerti keterbatasan masa lampau dan tidak terbuka  untuk pengertian baru, untuk situasi dan kebutuhan baru. Maka tepatlah bahwa Paus Paulus begitu menekankan perlunya suatu pembaharuan, bukan hanya kembali ke masa lampau. Sri Paus menyatakan, bahwa ibadat umat beriman serta penghormatan mereka kepada Bunda Maria dalam sejarah telah mengambil bentuk beraneka ragam sesuai dengan situasi jaman dan tempat, sesuai pula dengan kepekaan yang berbeda-beda dari para bangsa dan kebudayaan. Karena itu bentuk-bentuk devosi tersebut terikat oleh keadaan jaman dan kebudayaan tertentu, sehingga perlu diperbaharui. Dengan demikian unsur-unsur yang sampingan dapat diganti, untuk memberikan penekanan kepada unsur-unsur yang pokok dan hakiki, yang selalu baru, serta mengintegrasikan data-data doktrinal yang diperoleh dari refleksi teologis dan dari ajaran Magisterium (Marialis Cultus 24).


III. MENUJU PRAKTEK DEVOSI YANG SEHAT DAN SEIMBANG

3.1. Devosi yang Berarah Biblis dan Liturgis

Sekarang perlu kita tanyakan, dalam arti manakah kemerosotan devosi Maria itu merupakan kerugian bagi komunitas gerejani kita dewasa ini ? Apakah pertama-tama karena orang katolik dewasa ini berdoa lebih sedikit kepada Bunda Maria? Tentu saja kita ingin, agar supaya orang-orang katolik memberikan tempat yang lebih banyak kepada Bunda Maria dalam doa mereka. Akan tetapi sesungguhnya bukan itu yang menjadi soal, maka kita harus masuk lebih dalam lagi. Mungkin sekali bahwa tempat Maria dalam hidup mereka hanya merupakan suatu warisan tradisional belaka, sedangkan sesungguhnya Maria tidak pernah berarti banyak bagi mereka. Mereka belajar tentang hal itu di sekolah dan dalam keluarga dan mereka hanya turut pengaruh lingkungan saja. Maka ketika yang lain-lain berhenti  berdevosi kepada Bunda Maria  antara lain karena pengaruh orang non-katolik, mereka juga  turut berhenti. Mereka tidak merasa kehilangan sesuatu yang berharga. Karena devosi mereka itu dangkal saja, sesungguhnya tidak banyak nilainya.

Orang-orang kristen semacam ini biasanya tidak mempunyai keyakinan pribadi dan dalam hidupnya juga tidak punya hubungan yang sungguh-sungguh pribadi dengan Allah. Mereka itu dapat ditolong dengan benar-benar memperdalam dan menjadikan personal hidup kristiani mereka. Mereka itu menbutuhkan sesuatu lain, bukan hanya suatu devosi tertentu, tetapi lebih daripada itu.

Ada orang-orang katolik lainnya yang dalam waktu pra-konsili memiliki suatu devosi yang kaya dan hangat kepada Bunda Maria. Apa yang dipelajarinya di dalam keluarga dan di sekolah telah dijadikannya milik pribadi mereka. Karena keyakinan pribadi, mereka mengikuti acara-acara yang diselenggarakan di paroki mereka dan mengambil manfaat daripadanya. Tanpa banyak persoalan mereka mengikuti pola umun dalam devosi mereka. Sesudah Konsili, seringkali karena perjumpaan-perjumpaan dengan umat bukan katolik, untuk pertama kalinya mereka menyadari adanya persoalan yang terkandung dalam bentuk devosi tradisional. Mereka juga menyadari ketegangan yang ada antara praktek devosi masa lampau dan apa yang dikehendaki Konsili dalam pembaharuan ibadat kristiani.

Sayang sekali, bahwa pada umumnya tidak seorang pun yang menunjukkan kepada mereka, bagaimana mereka dapat secara kreatif mengintegrasikan unsur-unsur hakiki devosi itu dengan tuntutan pembaharuan yang diminta Konsili. Tak ada orang yang membantu mereka mengintegrasikan unsur-unsur liturgis dan biblis yang menandai pendekatan Konsili Vatikan II. Secara naluriah mereka merasa, bahwa penjajaran begitu saja tidak dapat memecahkan persoalan yang ada. Kita memang harus waspada, supaya tidak menjadikannya suatu gado-gado dalam suatu perayaan tertentu.  Tetapi soalnya lebih mendalam lagi, yaitu bagaimana mengintegrasikan suatu hidup doa yang berwarna liturgis dan biblis dalam perayaan resmi Gereja, serta suatu hidup devosional yang tidak sesuai dengan pendekatan liturgis dan biblis? Sebab bukankah Konsili menghimbau, agar supaya semua devosi, pada segala  waktu, disesuaikan dengan semangat liturgis? (Konstitusi Liturgi 13).

Orang-orang semacam ini biasanya mempunyai itikad yang baik sekali dan terbuka untuk semua nasehat yang positif. Tak ada jalan lain daripada menunjukkan, bahwa liturgi dan Kitab Suci memupuk hubungan pribadi yang otentik dengan Bunda Maria, serta mengandung banyak bahan untuk menghangatkan devosi kepada Bunda Maria. Supaya devosi ini sungguh-sungguh menjadi sehat dan otentik, dibutuhkan dasar yang kuat dari sabda Allah sendiri dan harus diwarnai olehnya.

Kita juga harus menyadari, bahwa Kitab Suci dan liturgi tidak hanya memberikan penghargaan yang tinggi kepada Bunda Maria, tetapi juga memupuk suatu hubungan yang pribadi dan hangat dengan dia. Juga perlu dicatat, bahwa doa yang pribadi dengan tepat memilih ungkapan yang informal dan lebih personal daripada dalam liturgi resmi. Devosi kita kepada Bunda Maria harus bersifat liturgis dan biblis dalam arah dasarnya, namun tidak berarti bahwa kita harus mengoper begitu saja bahasa Kitab Suci dan liturgi dan tidak boleh memberikan ungkapan yang lebih pribadi.

Kemudian kita juga harus memberikan tempat yang selayaknya kepada Bunda Maria dalam doa-doa pribadi kita, sebagaimana layaknya seorang anak dan dengan hati yang gembira dan penuh syukur. Ini tidak berarti, bahwa kita harus kembali kepada jumlah volume devosi Maria seperti dahulu lagi. Kita harus selalu ingat, bahwa volume yang diberikan untuk devosi Maria harus bersandar pula pada liturgi dan Kitab Suci. Konsili juga mengingatkan kita agar supaya menjauhkan kepicikan pandangan dalam hubungan dengan devosi Maria. Volume suatu devosi yang mesra, hangat dan spontan tidak dapat diukur secara matematis. Yang perlu dijaga dalam hal ini ialah agar supaya devosi itu tidak tumbuh liar, sehingga devosi itu bukannya menghantar orang kepada Allah, tetapi malahan menjauhkan orang daripada-Nya, atau sekurang-kurangnya mengaburkan kedudukan Allah sendiri.


3.2. Per Jesum ad Mariam

Akhirnya kita jumpai pula sekelompok orang, makin hari makin banyak, yang hidup dalam masa pasca Konsili. Mereka tidak dipengaruhi devosi masa lampau dan  mereka ini sesungguhnya belum pernah memasuki suatu hubungan yang pribadi dengan Maria. Pendekatan yang ada tidak pernah menyapa mereka, dan tidak ada orang yang menunjukkan kepada mereka suatu pendekatan yang memadai yang sesuai dengan situasi mereka. Yang dimaksud di sini bukan hanya mereka yang tumbuh dalam masa pasca Konsili, tetapi juga mereka yang kemudian bertobat setelah dewasa dan yang sungguh berpaling kepada Kristus dan menerima Dia sebagai Tuhan dalam hidupnya. Sejauh mereka menemukan jalan kepada Kristus serta mengalami Dia sebagai yang hidup, Bunda Maria tidak mempunyai tempat yang khusus dalam perjalanan hidup mereka itu. Kelompok ini semakin hari semakin besar jumlahnya dan dengan demikian pula devosi kepada Bunda Maria juga akan menurun. Apa yang dapat kita perbuat untuk membawa orang-orang ini, agar supaya menghargai Bunda Maria sebagaimana mestinya? Barangkali dalam hal ini kita dapat belajar dari komunitas kristen awali.

Hanya sedikit saja dari antara orang kristen awali yang mengenal Bunda Maria secara pribadi, misalnya mereka-mereka yang bertobat pada hari Pentekosta. Perhatian mereka terhadap Bunda Maria merupakan akibat dari pengalaman pentekostal  mereka. Demikian pula orang-orang kristen lainnya yang bertobat kepada Kristus sesudah mereka itu. Dalam hidup mereka kita jumpai proses berikut: Roh Kudus pertama-tarna membawa mereka kepada penyerahan diri yang total kepada Yesus Kristus, Tuhan yang mulia, dan menjadikan Dia Tuhan dalam hidup mereka. Hanya fakta, bahwa Maria adalah Bunda Tuhan Yesus, menjadikan dia amat penting bagi mereka, biarpun mereka tidak pernah mengenal dia secara pribadi. Hal ini tercermin pula dalam pembentukan Injil. Dalam Injil Markus, yang merupakan Injil tertua, Maria praktis tidak pernah disebut, hanya satu kali saja dan itu pun dalam konteks yang tidak menguntungkan. Namun kemudian dalam Injil yang lainnya, dalam Lukas dan Matius dan kemudian dalam Injil Yohanes, Maria mulai tampil dalam peranannya yang mengagumkan. Di situlah mulai disadari tempat Maria yang unik dalam rencana keselamatan Allah, tanpa mengaburkan tempat dan peranan Kristus sendiri. Di situlah Maria tampil dengan jelas sebagai Bunda Yesus, Bunda Allah.

Orang-orang kristen awali yang beruntung dapat mengenal Bunda Maria secara pribadi, pastilah senang dengan  rahmat istimewa ini. Namun dalam hal inipun sikap mereka terhadap Maria ditentukan oleh sikap mereka terhadap Yesus yang sekarang ini mempunyai arti yang sedemikian besarnya bagi mereka. Mereka semua yang bertemu secara pribadi dengan Bunda Maria selalu menarik keuntungan dari percakapan mereka dengan dia. Dalam hal semacam itu Maria selalu menghantar mereka lebih dekat pada Yesus.

Dalam kehidupan orang-orang kristen awali kita jumpai suatu prinsip hidup rohani yang dapat dirumuskan sebagai berikut: "Melalui Yesus kepada Maria", per Jesum ad Mariam. Padahal dahulu sering kita junpai ungkapan: per Mariam ad Jesum, melalui Maria kepada Yesus, serta lupa, bahwa ungkapan yang pertama juga sama benarnya dan bahkan, bila dimengerti secara tepat, sesungguhnya lebih dasariah lagi. Kedua rumusan yang tampakya bertentangan ini sesungguhnya mempunyai nilainya sendiri-sendiri. Yang satu tidak mengecualikan yang lain, namun sebaliknya yang satu melengkapi yang lain.

Kiranya baik pula melihat kepada Santo Yohanes Penginjil, murid dan sahabat Tuhan Yesus, yang mengenal Dia secara begitu mesra dan mendalam. Bunda Maria tidak membawa dia kepada Yesus, tetapi Yesuslah yang membawa dia kepada Maria dan bahkan menyerahkan dia kepadanya sebagai seorang putera. Memang benar, bahwa hidupnya yang selanjutnya bersama dengan Maria, membawa dia semakin dekat pada Yesus. Tentu saja pendekatan model Yohanes ini bukan satu-satunya cara pendekatan yang mungkin. Dalam diri Santo Yusuf kita jumpai model pendekatan yang berlawanan. Jelaslah bahwa Santo Yusuf lebih dahulu mengenal Maria, karena dia adalah suaminya. Tanpa persahabatannya yang mendalam dengan Maria, pastilah dia tidak akan mengenal Yesus secara begitu mendalam dan menjadi bapak asuh-Nya. Tak seorang pun dapat berkata, bahwa pendekatan Santo Yusuf itu keliru. Dalam kasusnya memang itu yang paling baik. Santo Yusuf ternyata bukan merupakan kekecualian, sebab banyak orang kristen yang lewat suatu devosi yang kuat kepada Bunda Maria, telah menemukan Kristus dalam hidupnya. Namun kita juga harus realistis, bahwa cara pendekatan Yohanes de facto adalah cara pendekatan para rasul dan orang-orang kristen awali, demikian pula yang dialami banyak orang pada jaman kita ini.

Dari segi pendekatan pastoral penting sekali, bahwa kita harus mulai dari tempat di mana kita menemukan mereka. Bagaimanapun juga kita harus menyadarkan mereka, bahwa devosi kepada Bunda Maria bukanlah tujuan yang harus dicapai. Itu hanya merupakan suatu sarana untuk sampai kepada suatu persatuan yang lebih mesra dengan Allah, sebagaimana Dia telah menyatakan diri kepada kita lewat Putera dalam Roh Kudus. Bila tempat Allah dikaburkan dalam devosi Maria, hal itu dengan jelas menandakan, bahwa devosi tadi kurang sehat, kurang dewasa. Yang kiranya perlu diperhatikan bukanlah kuantitas devosi itu sendiri, melainkan kualitasnya, yang bersumber dari suatu inspirasi yang mendalarn yang berasal dari pengertian dasariah iman kristiani kita, suatu inspirasi yang berasal dari suatu pengintegrasian sempurna suatu hidup doa yang berpusat pada Allah, yang berasal dari kedalaman cinta pribadinya serta kepercayaan dan keterlibatannya.

Dalam hubungan dengan orang-orang yang telah menemukan Kristus, jalan yang terbaik dan paling efektif untuk sampai kepada devosi Maria yang pribadi, ialah identifikasi kita dengan Yesus, yang adalah Tuhan, Penyelamat dan saudara illahi kita. Melalui Marialah Allah pada kepenuhan masa telah memperkenankan Putera-Nya menjadi salah seorang di antara kita, saudara dan saudari-Nya. Terhadap pernyataan cintakasih Allah yang melampaui pengertian kita ini, sesungguhnya tepat sekali bila kita menjawabnya dengan mengidentifikasikan diri dengan Yesus dalam pendekatan kita terhadap Maria. Bersama Kristus kita mendekati Allah sebagai Bapa kita (Ef. 2:18), tetapi dalam pendekatan kita kepada Maria pun kita mengidentifikasi diri dengan Kristus. Kristus memperkenankan kita menyebutnya Bunda kita dan menyerahkan kita ke dalam pemeliharaannya. Tema kebundaan, tentu saja kebundaan yang dilihat dalam terang misteri Kristus, yaitu: Maria Bunda Kristus dan Bunda kita dalam Kristus, harus menjadi tema pokok dalam setiap devosi Maria yang sejati.

Tema kebundaan ini memang sudah selalu menjadi tema pokok dalam devosi Maria dalam Gereja Katolik. Namun dengan berbicara tentang Maria sebagai Bunda kita, devosi popular seringkali menyimpang dan mengabaikan beberapa butir yang penting, dan karenanya menimbulkan penyimpangan yang tidak sehat.

Dalam kehidupan kita sebagai manusia serta perkembangannya dalam arti tertentu, kita lebih banyak berhutang kepada ibu daripada kepada ayah. Anak laki-laki sering merasa dirinya lebih dekat kepada ibu daripada kepada ayah. Akan tetapi dalam hidup kita dengan Allah, Maria sama sekali tidak dapat memberikan kepada kita hidupnya sendiri. Dia hanya alat belaka untuk menyalurkan hidup Allah kepada kita. Dalam kehidupan manusiawi kita, ayah dan ibu saling melengkapi dan kita membutuhkan keduanya. Tetapi dalam arti yang sebenar-benarnya Allah adalah sekaligus ayah dan ibu kita. Ia memiliki segala sifat seorang ibu yang penuh kasih secara sempurna. Apakah kita sadar bahwa Allah tidak sejajar dengan Bunda Maria? Segala cinta mesra Santa Perawan Maria hanyalah merupakan pantulan terbatas dari cinta-Nya yang tidak terbatas. Dalam keluarga ibu insani melengkapi bapa insani, seringkali jauh mengatasi dia sebagai pribadi dan pendidik dan karenanya pantas mendapatkan cinta lebih besar daripada ayah. Tetapi apakah kita sadar, bahwa hal ini tidak berlaku dalam hubungan kita dengan Allah dan dengan Bunda Maria?

Devosi kepada Bunda Maria harus sungguh-sungguh memperhatikan peringatan Konsili, agar supaya kita waspada benar-benar terhadap salah tafsiran dalam devosi kita kepada Bunda Maria (Konstitusi tentang Gereja67). Kita harus berusaha sungguh-sungguh, agar supaya kekayaan besar dari devosi Maria yang otentik, dapat dimengerti dan diterima secara penuh oleh saudara-saudara kristen kita yang bukan katolik. Juga Paus Paulus minta, agar supaya pembaharuan devosi Maria ini bersifat ekumenis (Marialis Cultus  33). Karena itu, dalam hubungan ini sebaiknya kita menghindarkan istilah-istilah yang dengan mudah dapat menimbulkan salah tafsir dari pihak saudara-saudara non-katolik, seperti umpamanya ungkapan "Maria mediatrix", Maria perantara segala rahmat, atau co-redemptrix.

Dokumen-dokumen Konsili serta pasca Konsili, di samping tema pokok tentang kebundaan, dan dalam hubungan dengan tema tersebut, membahas tentang tempat Maria yang khusus dalam Gereja sebagai bunda dan model Gereja. Bila kita menyebutnya "Bunda Gereja", yang dimaksud terutama ialah peranannya dalam  Gereja. Maria tidak melahirkan ataupun membentuk Gereja. Tetapi karena Kristus Puteranya, ia dihubungkan secara mendalam dengan peristiwa kelahiran Gereja dan dalam diri Yohanes, murid dan sahabat-Nya, Kristus mempercayakan mempelai-Nya, yaitu Gereja, ke dalam pemeliharaannya sebagai ibu.

Devosi Maria berasal dari pengertian kita yang tepat tentang tempat Maria yang unik dalam rencana keselamatan Allah, tetapi akhirnya berarti memberikan tempat yang seharusnya dalam hidup doa kita. Dalam hal ini sekali lagi, kita harus bercermin pada praktek liturgis dan bersandar pada data-data biblis. Sekali lagi devosi Maria harus sungguh-sungguh menghantar orang pada Allah dan bukan malahan mengaburkan tempa-Nya. Bila ini benar untuk devosi Maria, hal ini benar pula untuk segala bentuk devosi kepada para kudus.