User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Article Index

2.3. Krisis dalam devosi Maria

Menurunnya devosi Maria di dalam Gereja Katolik disebabkan oleh beberapa faktor penting. Di antara pengaruh-pengaruh yang penting kita jumpai pandangan hidup yang sekularistis dan juga teologi liberal. Yang dimaksud dengan pandangan hidup yang sekularistis di sini ialah sekularisme yang puas dengan hal-hal fana melulu serta terbatas pada dunia ini saja dan  yang mengandung suatu gagasan hedonistis, terutama dalam ungkapan seksualnya yang begitu mendewakan seks. Jelaslah bahwa dalam iklim semacam ini orang tidak bisa mengerti apa arti keperawanan suci itu. Maka gagasan Santa Maria sebagai perawan samasekali tidak dapat masuk akal mereka. Sedangkan teologi liberal yang dimaksud di sini ialah yang begitu mendewakan  rasio serta menundukkan iman pada rasio dan khususnya yang meremehkan, bahkan menyangkal keallahan Kristus serta menyangkal,  bahwa Kristus lahir dari seorang perawan. Teologi semacam itu tidak hanya kurang memiliki dasar yang kuat dan kurang bersandar pada suatu riset kristologis yang kuat, namun lebih-lebih merupakan suatu sikap sesat yang membawa kepada kesimpulan-kesimpulan yang sesat dan yang menyesatkan banyak orang. Dewasa ini pengaruh sekularisme dan teologi liberal tersebut sudah merembes ke dalam Gereja dan mempengaruhi banyak umat, biarpun pengaruh tersebut tidak sama dalamnya. Juga kalangan imam dan religius tidak kebal terhadapnya. Di Indonesia pengaruh itu bahkan muncul dari kalangan para imam yang begitu saja mengoper sekularisme dan teologi liberal dari dunia barat dan menyebar ke mana-mana.

Jelaslah kiranya, bahwa sikap yang  sekularistis  dan pendekatan yang bersandar pada teologi liberal yang menyangkal atau sekurang-kurangnya meragukan sendi dasar dogmatis hidup kristiani kita dan yang juga menjadi dasar devosi Maria itu, sangat merugikan devosi itu sendiri. Mereka itu tidak berminat dan tidak tertarik kepada bentuk-bentuk devosi seperti itu. Tentu saja sikap sekularistis dan teologi liberal yang meremehkan dogma-dogma katolik serta bimbingan Gereja ini mempunyai dampak negatif yang jauh lebih besar terhadap pemikiran dan kehidupan kristen sebagai keseluruhan bukan hanya terhadap devosi Maria, namun di sini bukan tempatnya untuk membahas persoalan tersebut

Namun keliru pula bila mengatakan, bahwa menurunnya devosi itu disebabkan melulu oleh pandangan yang sekularistis dan  oleh teologi liberal saja. Kiranya perlu disadari pula bahwa bentuk-bentuk  devosi masa pra-konsili, seperti yang kita  jumpai dipraktekkan dalam keluarga-keluarga, dalam sekolah-sekolah dan dalam devosi populer dalam paroki-paroki, seringkali tidak sesuai dengan tuntutan Konsili untuk pembaharuan hidup kristiani.

Sebelum Konsili banyak sekali orang katolik yang tidak sadar bahwa kesalehan pribadi mereka mengikuti pola-pola yang berbeda dari ibadat resmi Gereja. Liturgi dirayakan dalam bahasa Latin dan karenanya umat hanya bisa mengikuti lewat  terjemahan-terjemahan belaka dan karenanya kurang bisa menyatu dengan imam yang merayakan liturgi tersebut. Bersamaan dengan imam yang merayakan liturgi, mereka mengucapkan doa-doa pribadinya sendiri, misalnya doa rosario, sedangkan imam yang ditolong misdinar melanjutkan "acaranya" sendiri. Juga praktek membagikan komuni sebelum Misa dimulai, yang merupakan praktek sangat umum dalam Gereja pra-konsili, menunjang sikap dualistis ini.

Kecuali itu pengertian yang umumnya amat dangkal tentang doa menimbulkan praktek-praktek keliru. Karena banyak pastor pra-konsili yang tidak tahu berdoa spontan, maka dalam banyak kesempatan, untuk memulai suatu acara tertentu, orang mengucapkan saja doa Bapa Kami atau Salam Maria. Demikian pula banyak penitensi yang diberikan dalam kamar pengakuan hanya berupa sekian kali doa Salam Maria atau Bapa kami. Kalau demikian itu gembalanya, umatnya lebih-lebih lagi. Mereka tidak pernah belajar doa spontan, sehingga dalam hampir segala kesempatan mereka memakai doa Bapa Kami dan Salam Maria saja. Walaupun doa-doa itu memang sangat indah dan diilhamkan Roh Kudus, namun jelaslah, bahwa maksudnya bukan demikian itu. Kekaburan tentang doa ini juga ikut menjadi sebab kekaburan tempat devosi dalam penghayatan iman.

Konsili Vatikan II menimbulkan suatu perombakan besar dan banyak orang yang tidak siap menghadapi hal ini, lebih-lebih di Eropa dan Amerika, sehingga sampai dewasa ini masih cukup banyak usaha untuk kembali ke Misa tridentina yang dilakukan oleh sekelompok orang. Di Indonesia memang tidak terjadi seperti di Eropa dan Amerika, namun cukup banyak pula suara dari orang-orang tua yang menyayangkan hilangnya sesuatu yang indah dari masa lampau.

Konstitusi Liturgi, dokumen besar pertama Konsili Vatikan II tidak hanya memasukkan bahasa vernakular dalam liturgi Barat begitu saja, melainkan punya tujuan lain. Pemakaian bahasa vernakular dimaksudkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan utama yang mau dicapainya, yaitu pembaharuan hidup doa kristiani. Dalam pembaharuan dan pengembangan liturgi orang hendaknya selalu ingat, bahwa partisipasi aktif dan penuh dari umatlah yang menjadi tujuan pembaharuan tersebut. Partisipasi yang aktif dan penuh inilah yang harus menjadi sumber utama untuk memupuk semangat kristiani yang sejati (Konstitusi Liturgi 14). Dengan kata lain semua orang kristen harus dijiwai oleh semangat Gereja yang berdoa. Cara doa Gereja yang dibimbing Roh Kudus dalam doa-doanya yang resmi, harus menjadi norma untuk ibadat kristiani yang sejati. Hal ini dengan tegas dan tepat sekali diungkapkan Paus Paulus VI dalam ensiklik "Marialis cultus": "Liturgi mempunyai nilai eksemplar untuk bentuk-bentuk ibadat lainnya". Dan juga: "liturgi adalah  norma pokok untuk kesalehan kristiani" (Marialis Cultus  1.23).

Kiranya  jelas pula, bahwa Konsili sama sekali  tidak bermaksud menjadikan Liturgi satu-satunya bentuk ibadat kristiani dalam tubuh umat Allah. Hidup rohani tidak terbatas pada partisipasi pada perayaan liturgis saja. Orang kristen memang dipanggil untuk berdoa bersama dengan saudara-saudaranya, namun ia juga dipanggil untuk masuk ke dalam kamarnya dan di sana berdoa secara pribadi dan tersembunyi kepada Bapa surgawi. Konsili juga menganjurkan adanya devosi popular serta memuji devosi tersebut, namun sekaligus menunjukkan syaratnya yang amat penting : “Devosi-devosi ini harus diungkapkan sedemikian rupa, sehingga serasi dengan masa-masa liturgis, sesuai dengan liturgi suci, dan dengan cara  tertentu ditimba daripadanya, serta  menghantar  umat kepadanya, karena liturgi jauh mengatasi masing-masing devosi tersebut" (Konstitusi Liturgi 12).

Siapa yang memperhatikan himbauan Konsili tersebut dengan serius, akan melihat, bahwa praktek-praktek devosi pra-konsili yang bentuk-bentuknya masih banyak kita jumpai hingga sekarang ini, tidak menunjang kehidupan liturgis, malahan menjauhkan orang daripadanya dan bertentangan dengan semangatnya. Kesukaran yang utama terdapat dalam pendekatan rohaninya yang berbeda. Yang menjadi soal bukanlah terutama bagaimana seharusnya devosi tadi dihayati, atau bagaimana ia secara indah diungkapkan oleh para pengarang rohani tertentu, tetapi bagaimana nyatanya hal itu dihayati dalam keluarga-keluarga dan paroki-paroki. Kiranya harus dikatakan, bahwa dalam kenyataan, bentuk konkritnya berbeda arah dengan liturgi Gereja.

Kiranya baik pula menyebutkan beberapa perbedaan utama yang ada. Pertama-tama harus dikatakan, bahwa ibadat liturgis secara jelas sekali berpusat pada Allah. Bahkan pada pesta-pesta Maria dan para Kudus yang menduduki tempat yang begitu besar dalam perayaan liturgis, hampir semua doa diarahkan kepada Bapa kita surgawi dengan perantaraan Kristus dalam kesatuan dengan Roh Kudus. Sebaliknya devosi-devosi Maria pra-konsili menunjukkan kecenderungan untuk memberikan tempat yang semakin banyak kepada Bunda Maria dalam doa-doanya, seolah-olah Maria adalah segalanya. Banyak imam dan religius, apalagi kaum awam, yang berdoa lebih banyak kepada Bunda Maria daripada kepada Allah sendiri. Dalam hidup doanya mereka dipengaruhi oleh suatu pengetrapan salah dari pameo tua yang berbunyi:" De Maria numquam satis", tentang Maria kita tidak pernah merasa cukup. Mereka mengembangkan suatu pendekatan rohani dengan melebih-lebihkan suatu unsur tertentu, sehingga berat sebelah. Sebaliknya ibadat liturgis ditandai oleh suatu keseimbangan antara pelbagai macam unsurnya. Sungguh berarti, bahwa Konsili Vatikan II dalam pembahasannya tentang Maria, menuntut adanya keseimbangan dalam hubungan dengan ajaran dan devosi kepada Maria. " Dengan sungguh-sungguh Konsili ini menghimbau para teolog dan para pengkotbah sabda illahi, supaya dalam membahas tentang martabat yang khas dari Bunda Allah, mereka dengan hati-hati dan benar menghindarkan kepalsuan dari sikap  yang melebih-lebihkan, tetapi dari pihak lain menyingkirkan sikap picik yang sangat membatasi itu"(Konstitusi tentang Gereja 67). Teks ini dan bahwa sikap yang berlebih-lebihan itu disebutkan sebagai yang pertama, menunjukkan adanya situasi konkrit yang dihadapi Konsili waktu itu.

Dalam liturgi kita lebih banyak berdoa bersama dengan daripada kepada para kudus, biarpun doa kepada para kudus, dan khususnya kepada Bunda Maria, sama sekali tidak disingkirkan. Sebaliknya dalam ibadat devosional kita jumpai kenyataan, bahwa sedikit sekali orang berdoa bersama para kudus, tetapi sebaliknya banyak sekali berdoa kepada para kudus.

Dalam liturgi tekanan diletakkan pada mediasi Kristus, satu-satunya pengantara kita, satu-satunya jalan kita kepada Bapa (Yoh. 14:6;  1 Tim. 2:5-6; Ef. 2:18). Dalam praktek devosi pra-konsili kita jumpai penekanan besar pada mediasi Maria. Prinsip "melalui Maria kepada Yesus dalam kenyataannya lebih banyak disebut daripada "melalui Yesus kepada Bapa". Itulah sebabnya, mengapa Konsili dalam pembahasannya yang indah tentang Maria, begitu menekankan "mediasi Kristus yang satu-satunya itu"(Konstitusi tentang Gereja60).

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting