User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

 II. JALAN MENUJU KE PUNCAK GUNUNG

2.1. Pelbagai Macam Jalan yang Ditempuh Orang 

Kiranya jelas pula bahwa menghadapi cita-cita yang demikian luhurnya, cita-cita yang telah dialaminya sendiri, Santo Yohanes mengajak kita untuk mendaki puncak itu tanpa ayal dan dengan hati yang mantap, sambil dengan jelas melihat jalannya. Ia adalah seorang pembimbing yang telah mencapai puncak itu sendiri dan ingin membawa kita ke sana. Di sanalah disediakan karunia-karunia luar biasa bagi kita oleh Allah sendiri, keindahan dan kebahagiaan yang tidak terperikan. Setelah melihat sendiri segala keindahan itu dan kekayaan yang tersedia untuk kita dan tahu bahwa dibandingkan dengan harta kekayaan itu, semua yang kita miliki dan ketahui bukan lain daripada sampah belaka, dapat dimengerti bahwa dia dengan sangat tegas dan radikal mendesak kita untuk menempuh jalan yang ditunjukkannya. 

Secara singkat dapat dikatakan bahwa jalan yang menuju ke puncak itu sesungguhnya hanya satu, yaitu cinta kasih yang radikal, yang merindukan yang termulia, Allah sendiri, Yang Segalanya. Untuk mencapai Yang Segala itu orang harus mau meninggalkan segala sesuatu yang dapat menghambatnya. Maka dilihat dari perspektif ini, dalam hubungan dengan segala ciptaan, betapapun luhurnya itu, hati harus tetap kosong, tidak lekat, tidak terikat, supaya dapat berpaut seutuhnya pada Allah. Dalam gambar yang dibuatnya yang melukiskan pendakian Gunung Karmel, kita jumpai suatu kontras antara jalan yang menuju ke puncak dan jalan sampingan yang merupakan jalan buntu. Di situ dilukiskannya dua jalan dari roh yang tidak sempurna: yang satu ingin memiliki barang-barang yang bersi­fat duniawi, yaitu milik, kesenangan, pengetahuan, hiburan, isti­rahat, yang akhirnya menuju jalan buntu. Yang lain, juga dari roh yang tidak sempurna, ingin memiliki barang-barang surgawi dan tampaknya rohani, namun sesungguhnya sama tidak sempurnanya, karena mengejarnya dengan semangat pemilikan yang akhirnya juga menuju jalan buntu. Barang-barang rohani itu ialah kemuliaan, kesenangan, pengetahuan, hiburan, istirahat. 

Sebaliknya, jalan yang menuju ke puncak ialah jalan kekoson­gan: kosong, kosong, kosong, kosong dan di atas gunung juga ko­song. Akan tetapi, justru jalan inilah yang membawa orang ke puncak di mana Sang Kekasih Ilahi telah menantinya dengan segala macam berkat dan rahmat, yaitu segala sesuatu yang dapat diharapkan orang. Di sini kita jumpai suatu paradoks: Karena orang tidak menginginkan apa-apa, ia mendapatkan segalanya. "Karena aku tidak menginginkannya, aku memiliki semuanya tanpa keinginan,” baik barang-barang duniawi maupun barang-barang surgawi, karena di dalam Allah kita memiliki segalanya.

2.2. Jalan Kelepasan 

Secara radikal sekali Santo Yohanes menuntut kelepasan. Dalam riwayat hidupnya diceritakan, bagaimana suatu hari Dona Ana de Penalosa (seorang janda yang menjadi anak rohaninya dan yang untuknya ditulisnya Nyala Cinta yang indah itu) berlutut di hada­pannya dan meminta petunjuk kepadanya. Santo Yohanes hanya berka­ta, "nada, nada, nada, kosong, kosong, kosong.” Segala sesuatu harus dilepaskan demi cinta kepada Allah. 

Segala sesuatu harus ditinggalkan, harus dilepaskan. Semua keinginan harus ditanggalkan, karena keinginan-keinginan itu menghambat manusia dalam perjalanannya menuju Allah. Kita harus menuju kepada Allah lepas dari segala keinginan akan barang duniawi maupun rohani. Hanya keinginan akan Allah dan kehendak-Nya saja yang diperbolehkan, namun keinginan akan Allah itu pun hanya boleh lewat iman, harapan, dan cinta kasih saja. Pengosongan itu harus mencakup segi afektif, segi intelektual, ingatan dan kehen­dak, bahkan pengalaman-pengalaman religius tertentu. Jadi suatu pengosongan yang menyeluruh. Yang dimaksud dengan pengoson­gan di sini ialah sikap lepas, tidak terikat. 

Tuntutan itu diajukan demi tercapainya sesuatu yang lebih tinggi, yang lebih luhur. Maka pikiran Santo Yohanes bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan amat positif. Hal ini jelas dari paradoks yang dilukiskan juga dalam sketsa Mendaki Gunung Karmel: yang satu menunjukkan bahwa kalau kita mengejarnya, maka barang-barang itu lari, tetapi kalau kita meninggalkannya, kita malahan memperoleh sega­lanya. Dalam sketsa Mendaki Gunung Karmel, hal ini dijelaskan pada dua jalan buntu: "Semakin saya ingin memilikinya, semakin kurang saya mendapatnya,"­ sedangkan sebagai kontrasnya di atas gunung dikatakan "Karena aku tidak menginginkannya, aku memiliki semuanya tanpa keinginan." Sedangkan buah-buah yang dijumpai di atas gunung dilukiskan seba­gai berikut: damai, sukacita, kebahagiaan, kesukaan, kebajikan, kebenaran, kekuatan, cinta kasih, kesalehan. Kemudian sebagai ungkapan bahwa dia memiliki secara bebas tanpa kelekatan dikata­kan, "Kemuliaan bukan apa-apa bagiku; penderitaan bukan apa-apa bagiku." Dan akhirnya dikatakan bahwa di atas gunung itu sudah tidak ada jalan lagi, karena bagi orang yang benar tidak ada hukum; ia menjadi hukum bagi dirinya. Ini merupakan pernyataan yang amat berani, yang memang bisa disalahtafsirkan. Yang dimak­sudkan di sini ialah bahwa segala hukum Tuhan sudah mendarah­daging baginya, karena secara sempurna ia telah bersatu dengan Tuhan, sehingga Roh Kudus sendirilah yang memimpinnya serta menji­wai segala sesuatu yang dilakukannya. Kepekaan batinnya menjadi sedemikian rupa, sehingga ia tidak membutuhkan petunjuk lahiriah lagi. 

Satu hal yang perlu ditambahkan di sini ialah kenyataan bahwa bagi St. Yohanes kelepasan ini adalah soal cinta. Tanpa cinta kasih kepada Allah tak mungkinlah orang bisa melepaskan segalanya itu. Untuk bisa melepaskan "cinta" pada barang-barang duniawi, haruslah ada cinta yang lebih kuat kepada Allah. 

"Cinta akan kesenangan dan kelekatan padanya, biasanya menya­lakan kehendak untuk menikmati barang-barang yang memberikan kesenangan. Untuk mengalahkan keinginan-keinginan ini serta menyangkal kesenangan itu, orang perlu dibakar secara lebih mendalam oleh cinta lain, cinta yang lebih baik, yaitu cinta kepada Sang Mempelai Ilahi. Dengan menemukan kepuasan dan kekuatan dalam cinta ini, orang akan memperoleh keberanian dan ketekunan untuk menyangkal diri dalam segala keinginan yang lain. Cinta kepada Sang Mempelai bukan hanya satu-satu­nya syarat untuk mengalahkan kekuatan keinginan inderawi ini, namun di samping itu masih dibutuhkan suatu kerinduan cinta yang menyala-nyala, sebab keinginan inderawi ini digerakkan dan ditarik demikian kuatnya kepada objek-objek inderawi, sehingga bila bagian rohani jiwa itu tidak dibakar oleh kerinduan lain yang lebih besar akan perkara-perkara rohani, jiwa tidak akan bisa mengalahkan beban kodrat kita, maupun memasuki malam inderawi. Dia juga tidak akan memiliki keberanian untuk hidup di dalam kegelapan akan segala sesuatu dengan menyangkal segala keinginannya untuk barang-barang itu" (Mendaki I, 14, 2). 

Untuk sampai kepada tujuan yang mau dicapainya, orang tidak hanya harus mengosongkan diri dalam bidang inderawi, atau memasuki malam gelap inderawi, tetapi dia juga harus mengosongkan diri dalam bidang yang menyangkut kegiatan intelektual, kegiatan inga­tan, dan kehendaknya. 

Dalam perjalanan kepada persatuan ini semua pengenalan harus ditanggalkan, baik yang kodrati maupun yang adikodrati, yaitu yang bersifat khusus dan jelas, kecuali beberapa hal yang justru terma­suk dalam hakekat persatuan itu sendiri, misalnya seperti sentu­han substansial dan sabda substansial. Sebaliknya orang harus lewat jalan kontemplasi yang gelap, samar-samar dan umum, yang merupakan jalan aman kepada persatuan tersebut. Jalan kontemplasi ini pada hakekatnya bukan lain daripada jalan iman dalam cinta. 

Mengapa semua ini harus ditinggalkan? Sebabnya ialah karena Allah mengatasi segala gagasan, ide-ide, pikiran, dan pengertian kita. Allah tidak dapat digambarkan, karena itu segala pengenalan yang bersifat jelas dan khusus bukan sarana yang cocok untuk persatuan ini. Oleh karenanya kita harus lewat jalan iman yang gelap. Bila pada permulaan pemakaian budi, fantasi, imajinasi, dapat membantu orang untuk lebih mengenal Allah serta melepaskan diri dari ikatan dosa, namun kemudian semuanya itu tidak berguna lagi bila orang dibawa masuk oleh Tuhan ke dalam kontemplasi ilahi yang gelap itu. 

Sampai sekarang ini yang dibahas adalah malam gelap yang bersifat aktif, baik malam inderawi maupun rohani, artinya kita masih secara aktif ikut ambil bagian di dalamnya. Namun, bila kita telah siap dan dengan segenap hati mencari dan merindukan Allah, maka Tuhan sendiri akan memegang tangan kita dan membawa kita masuk ke dalam malam gelap yang pasif, mula-mula inderawi dan kemudian, bila kita setia, juga ke dalam malam gelap rohani. Pemurnian yang aktif hanya menyentuh pinggiran atau lapisan luar ada kita, tetapi pemurnian yang pasif akan menyentuh sampai kepada bagian terdalam jiwa kita serta membersihkan segalanya. Besarlah taruhannya. 

Prinsip-prinsip yang dibicarakan tentang budi berlaku pula untuk pemurnian ingatan dan kehendak. Juga ingatan harus dibersih­kan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan, sehingga hanya ingatan akan Tuhan saja yang ada di dalam dirinya. Demikian pula kehendak harus seluruhnya terarah kepada Tuhan, tidak boleh ada sesuatu lain yang mengikatnya. Tuhan harus dicintai di atas segala sesuatu dan hanya Tuhan saja. Bila kita mencintai Tuhan dengan segenap hati, kita akan tahu pula bagaimana bersikap terhadap perkara-­perkara lain. Sekali lagi, tuntutannya keras sekali, karena cita-citanya amat luhur. Semakin bernilai dan berharga barangnya, semakin besar harga yang harus dibayar untuk memperolehnya. 

Mengapa St. Yohanes dari Salib begitu menekankan pengudusan pribadi ini sampai pada persatuan yang mengubah segalanya itu? Sebabnya bukan lain, karena ia sadar benar-benar, bahwa satu faal cinta kasih yang diperbuat orang dalam tingkat transformasi ini jauh lebih berharga daripada semua perbuatan yang diperbuat orang seumur hidup tanpa mencapai tingkatan ini. Sebab pada tingkatan persatuan ini seluruh aktivitasnya merupakan aktivitas Roh Kudus sendiri (Nyala Cinta I, 2). Oleh sebab itu pula, satu orang yang menca­pai tingkatan ini lebih berharga bagi Allah, bagi Gereja, dan bagi keselamatan manusia daripada beribu-ribu yang lain yang tidak mencapai tingkatan ini. 

Namun satu pertanyaan timbul dalam hati, “Apakah cita-cita seperti itu dapat menyapa manusia modern?” Pertanyaan itu memang agak sukar dijawab, tetapi dari banyaknya buku-buku tentang St. Yohanes dari Salib, walaupun hanya merupakan karya-karya kecil, yang terjual, kiranya dapat disimpulkan, bahwa cita-citanya tetap mampu menggugah hati manusia modern yang merindukan Allah. Sekaligus St. Yohanes dari Salib dapat menjadi pembimbing yang aman bagi mereka yang mendaki Gunung Allah.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting