User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

I. CITA-CITA ROHANI

1.1 Latar Belakang Cita-cita 

Apa yang dicita-citakan St. Yohanes dari Salib sebenarnya bukan lain daripada penghayatan Injil secara penuh dan radikal, sampai sedalam-dalamnya. Atau mungkin lebih tepat, ia mau menghayati Injil, khususnya Kotbah di Bukit dan Sabda Bahagia secara utuh dan konsekuen, secara radikal. Dalam usahanya mencapai cita-cita tersebut, ia tidak mau membelok ke kanan atau ke kiri, dan tidak mengenal kompromi. Tuntutannya tampaknya keras sekali, karena cita-cita yang ingin dicapainya sangat luhur. Ia seperti seorang pedagang yang menemukan mutiara yang berharga serta menjual semua miliknya untuk membeli mutiara itu, karena dari satu pihak ia tahu, bahwa mutiara itu nilainya melebihi segala yang dimilikinya dan dari pihak lain ia tahu pula, bahwa tak mungkin mutiara itu dapat dibelinya, kalau ia tidak menjual semua hartanya. Demikian pula ia mau menyadarkan para pembacanya pertama-tama tentang nilai mutiara itu serta perlunya menjual semua hartanya untuk dapat membelinya. 

Perlu dicatat pula, bahwa di sini kita berhadapan dengan seseorang yang sudah sampai pada akhir perjalanan serta mengalami sendiri segala keindahan yang dijumpai di tempat tujuan dan kini kembali lagi untuk membimbing orang lain pergi ke tujuan yang sama. Yohanes berbicara sebagai seseorang yang mengenal teologi yang sehat serta mempunyai pengalaman yang mendalam. Karena dia mengetahui nilai apa yang harus dicapai dan kekosongan segala sesuatu yang lain, maka tuntutannya radikal sekali. Todo-nada, semuanya-kosong, untuk mencapai segalanya harus melepaskan, atau mengosongkan semuanya.

1.2. Persatuan dengan Allah 

Cita-cita Santo Yohanes sangatlah tinggi dan luhur sekali dan ia tidak puas dengan sesuatu yang kurang dari itu. Ia mau menunjukkan keagungan dan keindahan dari apa yang dapat dicapai manusia dalam hidup ini, tentu saja dengan pertolongan rahmat Tuhan. Tujuan yang ingin dicapai ini bukan lain daripada persatuan cinta kasih dengan Allah yang mengubah segalanya, suatu transformasi total ke dalam Allah: 

"Dilahirkan dalam Roh Kudus selama hidup ini berarti menjadi begitu serupa dengan Allah dalam kemurnian, tanpa suatu campuran ketidaksempurnaan apapun juga. Karenanya transforma­si murni dapat terjadi (biarpun tidak menurut hakekatnya) melalui partisipasi dalam persatuan" (Mendaki II, 5).

Kemudian persatuan ini digambarkan lebih lanjut sebagai berikut: 

"Bila hal itu terjadi (yaitu pengosongan diri), jiwa akan diterangi oleh Allah dan diubah ke dalam Allah. Dan Allah akan memberikan Ada-Nya yang adikodrati sedemikian rupa kepadanya, sehingga ia tampaknya seperti Allah sendiri dan akan memiliki segala sesuatu yang dimiliki Allah sendiri. Bila Allah memberikan karunia adikodrati ini kepada jiwa, suatu persatuan yang demikian besarnya akan terjadi, sehingga segala sesuatu yang ada pada Allah dan jiwa menjadi satu dalam suatu transformasi partisipatif, dan jiwa itu sendiri tampaknya lebih Allah daripada jiwa. Sungguh, ia benar-benar Allah, karena partisipasi" (Mendaki II, 7). 

Dalam persatuan seperti ini, jiwa diangkat kepada suatu pengertian yang mengatasi segala pengertian: 

"Ia melihat dirinya diangkat di atas segala pengertian ko­drati kepada cahaya ilahi. Pengalaman seperti ini dapat dibandingkan dengan keadaan seseorang yang sesudah suatu tidur panjang membuka matanya dan melihat cahaya yang luar biasa yang tidak diduganya sama sekali" (Madah Rohani 15, 24). 

Dalam keadaan seperti ini jiwa dibawa kepada suatu pengenalan Allah yang begitu mendalam dan mesra, menghasilkan suatu sukacita yang begitu besar dan mendalam, yang tidak terperikan, sehingga tidak ada kata-kata yang dapat melukiskannya, karena sungguh merupakan sesuatu yang tak dapat diungkapkan, yang "ineffable". Dalam keadaan ini Allah sering mengkomunikasikan diri secara mendalam, sehingga orang boleh mengalami sifat Allah secara luhur sekali. Setiap kali diberikan, pengenalan ini tetap tinggal dalam jiwa. Ini merupakan suatu "kontemplasi murni" dan pada waktu itu jiwa mengerti dengan jelas bahwa itu tidak terperikan. Hal itu hanya bisa diungkapkan secara umum, karena kelimpahan dan kenikma­tan pengalaman ini (Mendaki II, 26, 5). 

Pengenalan luhur ini hanya dapat diterima oleh orang yang telah sampai pada persatuan dengan Allah itu sendiri, karena pada hakekatnya pengenalan ini adalah persatuan itu sendiri. Pengenalan ini meru­pakan suatu sentuhan ilahi di bagian terdalam dari jiwa. Allah sendiri yang dialami dan pengalaman ini begitu luhur dan mulia, melampaui segala pengertian (Mendaki II, 26, 5). 

Buah pengalaman ini begitu kayanya sehingga langsung mengha­puskan semua kekurangan yang tidak bisa diatasi seumur hidup, betapapun orang berusaha mati-matian untuk mengatasinya. Namun sentuhan ini sekaligus juga mengisi jiwa dengan kebajikan dan berkat dari Allah, sehingga menjadikannya indah di hadapan Allah (Mendaki II, 26, 6). 

Sentuhan-sentuhan ini menghasilkan kemanisan dan sukacita yang begitu mendalam, sehingga satu sentuhan sudah cukup untuk menghapuskan segala penderitaan dan karenanya memberikan kepada jiwa itu keberanian untuk menderita bagi dan demi Kristus (Mendaki II, 26,7). 

Kiranya perlu dicatat, bahwa pengenalan semacam ini tidak mungkin dicapai oleh usaha manusia, bagaimanapun ia berusaha untuk itu. Namun biasanya ini diberikan kepada jiwa yang siap, yaitu yang lepas dan kosong dari segala makhluk dan ikatan, pada saat­-saat yang tidak disangka-sangka (Mendaki II, 26,7). Untuk mengungkapkan hal ini Santa Teresa dari Yesus mengatakan bahwa biarpun orang belajar dan mempelajari segala ilmu selama seribu tahun, ia tidak akan pernah sampai ke situ (Puri Batin V, 4, 2). 

Dalam persatuan ini jiwa seluruhnya diubah menjadi ilahi, sehingga segala tindakannya bersifat ilahi pula, yaitu dalam segala pengenalan dan cintanya (Madah Rohani 38, 3). Perubahan di dalam Allah ini dengan indah diungkapkan Santo Yohanes dalam Nyala Cinta pada bait kedua yang berbunyi: 

O luka bakar yang manis dan menyembuhkan! 

O luka yang nikmat! 

O tangan lembut! O sentuhan halus 

yang mengandung rasa hidup kekal 

dan menghapuskan semua hutang! 

Dengan membunuh engkau menukar maut dengan hidup!

  

Dalam komentarnya kemudian Santo Yohanes menulis: 

"Dalam bait ini jiwa mengatakan bagaimana ketiga Pribadi ilahi Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putra dan Roh Kudus, melaksanakan karya persatuan ini di dalam diri-Nya. Oleh karena itu, sesungguhnya ‘tangan’, ‘luka bakar’, ‘sentuhan’, semuanya adalah satu dan sama. ... Di sini jiwa memuliakan Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Ini dilakukannya dengan memuji ketiga karunia dan anugerah yang dikerjakan Mereka di dalam dirinya. Karunia pertama adalah suatu ‘luka bakar yang nyaman’. Ini dinyatakannya sebagai karya Roh Kudus. Oleh karena itu, Dia dise­butnya sebagai ‘luka bakar yang manis dan menyembuhkan’. Karunia kedua ialah ‘rasa hidup kekal’. Ini dipandangnya sebagai karya Sang Putra, yang karenanya disebutnya ‘sentu­han halus dan lembut’. 

Karunia ketiga terdapat dalam kenyataan bahwa Ia telah mengubah dia ke dalam diri-Nya. Ini berarti penghapusan hu­tang, yaitu jiwa mendapatkan ganjarannya secara berlimpah-­limpah. Karunia ini dilihatnya sebagai berasal dari Bapa, yang karenanya disebutnya ‘tangan yang halus’." 

Biarpun di sini ia menyebut ketiganya karena sifat khusus dari efek masing-masing, ia hanya berbicara kepada Satu ketika berkata: "Dengan membunuh Engkau menukar maut dengan hidup." Sebab ketiga Pribadi itu bekerja sama dan karenanya hal itu disebutnya sebagai karya Satu saja dan segalanya menjadi milik Semua" (Bait II, 1). 

Persatuan yang mengubah segalanya ini kemudian dilukiskannya dalam segala keindahan dan keluhurannya. Dilukiskannya bagaimana jiwa dibakar oleh api ilahi dan akhirnya menjadi api, bahkan lautan api. 

"Di situ jiwa merasakan bagaimana nyala api itu bertambah besar dan kuat dan bagaimana dalam nyala ini cintanya naik begitu tingginya, sehingga ia mendapat kesan bahwa dalam lubuk batinnya ada sebuah lautan api, yang seperti pasang surut turun naik dan dengan demikian memenuhi dirinya selu­ruhnya dengan cinta. Seluruh alam semesta tampak baginya sebagai sebuah lautan api yang membuat ia tenggelam. Ia tidak melihat tepinya lagi dan juga tidak tampak lagi cakrawala di mana cintanya berhenti. Dalam dirinya ia mengalami, seperti yang telah kita lihat, pusat cinta yang hidup ini" (II, 10). 

Dalam Malam Gelap diterangkan bagaimana persatuan ini adalah suatu persatuan yang menetap dan sempurna, sejauh hal itu mungkin dalam hidup yang fana ini. Hal ini terjadi lewat sentuhan-sentuhan ilahi yang aktual dan substansial yang terjadi dalam persatuan ilahi itu. Di sini jiwa itu telah dimurnikan, mencapai kedamaian dan dikuatkan. Ia menjadi kokoh, tidak goyah, sehingga ia secara tetap dapat menerima persatuan itu, yang adalah perkawinan ilahi antara Putra Allah dan jiwa manusia (II, 24, 3). 

Dalam keadaan seperti itu seluruh aktivitas orang itu menjadi ilahi. Segala gerak-gerik dan aktivitas jiwanya dibimbing oleh Roh Allah sendiri, bahkan gerak pertama dari jiwanya bersifat ilahi, karena dia telah diubah seluruhnya menjadi ilahi (Mendaki III, 2, 9).

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting