Print
Hits: 16902

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Dewasa ini, banyak orang Katolik yang tidak lagi menghayati Ekaristi. Padahal di dalam perayaan keselamatan tersebut, Tuhan Yesus sungguh hadir dan datang kepada kita. Coba Anda bayangkan bila suatu hari Anda mendengar Paus mau datang berkunjung ke tempat Anda. Apa yang kira-kira Anda lakukan? Beberapa tahun lalu ketika Paus datang ke Indonesia, orang-orang begitu sibuk mempersiapkannya, bahkan diperlukan waktu satu tahun untuk persiapan itu. Orang-orang juga berebut untuk menyalami Paus. Memegang tangan beliau sebentar saja serasa luar biasa. Bagaimana lagi jika Yesus datang kepada kita? Jelas, Yesus jauh lebih besar daripada Paus sendiri. Persiapan apa yang kita lakukan? Mari kita baca artikel ini.


Kita tahu bahwa Yesus hadir secara fisik dan sakramental dalam Ekaristi. Ini dilakukan dalam konteks Misa. Oleh karena itu, perayaan Ekaristi merupakan doa yang paling kuat dan efektif. Perayaan itu bukan hanya doa suatu pribadi yang berbicara pada Allah, melainkan doa dari seluruh Gereja yang secara kolektif mendengarkan sabda Tuhan dan berbicara kepada-Nya. Pada bagian pertama perayaan Ekaristi, yaitu pada liturgi sabda, kita diberi makan sabda Tuhan. Di situ Tuhan berbicara, mengajar dan mengenyangkan kita secara rohani. Sedangkan dalam liturgi Ekaristi, kita mengalami perubahan yang mendalam di mana Allah hadir dalam rupa roti dan anggur, kemudian disusul dengan perjumpaan kita secara pribadi dengan Yesus dalam komuni. Pada waktu menerima komuni, kita menerima Pribadi yang hidup, bukan hanya sepotong roti ataupun sekedar simbol dari Kristus. Dengan menerima komuni kita menyadari kehadiran Yesus yang nyata.

Bila kita sadar bahwa yang kita terima adalah Yesus sendiri, saya kira devosi kita akan semakin bersemangat. Sebagai orang Katolik, kita tahu bahwa Ekaristi bukan sekedar lambang, tetapi Yesus sungguh hadir di situ, Yesus dalam rupa fisik. Yesus hadir dalam roti itu. Dia hadir seperti ini sampai rupa roti itu hilang dicerna tubuh kita. Walaupun demikian, Yesus tinggal di dalam diri kita. Yesus hadir pada lubuk jiwa kita yang terdalam. Hal ini hanya diajarkan dalam Gereja Katolik, khususnya oleh tokoh-tokoh Karmel, seperti S. Teresa Avila, S. Theresia Lisieux, S. Yohanes Salib dan S. Elisabet Trinitas.

Dalam Katekismus Gereja Katolik diberikan pedoman praktis bagaimana kita harus menerima komuni itu. Yang paling penting adalah kita harus menerima komuni itu dalam keadaan berahmat. Artinya, kita harus betul-betul berada dalam persahabatan dengan Tuhan, tidak ada dosa besar yang mengganggu kita. Bila kita sadar akan dosa besar, kita harus mengaku dosa dan mendapat absolusi dalam Sakramen Tobat. Akan tetapi, kita juga harus menyesali dosa-dosa yang tidak serius, namun dapat menghambat. Dosa-dosa kecil ini dapat mengakibatkan kerak-kerak pada sebuah aki dan itu semua dapat menghambat aliran rahmat Allah dalam perayaan Ekaristi.

Gereja mengajarkan pada kita agar berpuasa satu jam sebelum komuni. Ini merupakan puasa minimal. Dahulu Misa Kudus selalu dirayakan pada pagi hari dan orang berpuasa (tidak makan dan minum) sejak pukul 24.00. Sampai sekarang ini ada orang-orang yang mewajibkan diri tidak makan apa-apa beberapa jam sebelum komuni. Ini merupakan persiapan untuk menyambut seorang Tamu Agung. Apa yang dikatakan Gereja tentang persiapan menyambut komuni itu merupakan syarat-syarat mendasar. Dengan akal sehat pun dapat dimengerti bahwa kita tidak bisa mendekati komuni begitu saja. Kita harus mempersiapkan diri demi kebaikan kita sendiri karena buah-buah yang kita terima sebanding dengan disposisi/persiapan kita. Semakin baik disposisi kita semakin banyak buah yang akan kita terima.

S. Bernardus Clairvaux mengatakan, “Tuhan akan menyatakan diri kepadamu sejauh kamu menyatakan diri siap untuk menerima Dia.” Jadi, sejauh mana Tuhan akan menyatakan diri pada seseorang tergantung pada kesiapan orang tersebut. Oleh karena itu, seseorang bisa tidak menerima buah apa-apa saat komuni, karena ia kurang iman dan tanpa persiapan.


Dalam sebuah visiun, S. Maria Margareta Alacoque melihat Yesus dalam hosti kudus ketika imam membagikan komuni. Pada orang-orang tertentu Yesus tampak begitu rindu dan merentangkan tangan untuk memeluk, namun pada orang-orang lain Yesus seakan diikat oleh tali dan dipaksa masuk ke dalam mulut orang-orang itu. Yesus menerangkan kepada S. Margareta bahwa pada orang yang mempersiapkan diri dengan baik Yesus rindu untuk datang dan masuk dalam diri mereka. Sebaliknya, pada mereka yang acuh dan sembrono, Yesus seakan ditarik dan dipaksa masuk karena Ia telah berjanji untuk memberikan diri dan Ia hadir dalam hosti kudus. Ia mau masuk dengan senang hati pada orang yang berusaha mempersiapkan diri dan sungguh-sungguh berkenan kepada-Nya. Akan tetapi, Ia dengan enggan masuk ke dalam diri orang-orang Kristen yang tanpa persiapan, tidak peduli, suam-suam kuku, mudah berbuat dosa kecil dan acuh tak acuh untuk mengatasi dosa kecilnya.

Untuk mengatasi semangat minimalis (pokoknya/asal tidak berdosa), S. Alfonsus Ligouri, seorang teolog moral gereja, memberikan beberapa petunjuk. Ia berdevosi besar kepada Sakramen Mahakudus. Ia menulis bagaimana mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menerima komuni ini. S. Teresa Avila memberikan observasi ini dengan sedih, “Satu komuni saja yang diterima dengan penuh kerinduan dan iman sudah cukup untuk menjadikan orang kudus. Akan tetapi, begitu banyak orang yang menerima komuni dan kemajuannya tetap saja sedikit dalam jalan-jalan Tuhan. Bahkan, tidak ada perubahan. Bahkan, kita lihat makin lama makin mundur karena mereka tidak menghargai Tubuh Kristus.” “Kesalahannya,” kata S. Alfonsus Ligouri, “Ada pada orang yang menerima. Problemnya tidak pada makanannya, tetapi pada orang yang memakannya, karena mereka kurang mempersiapkan diri.” Ia mempelajari bagaimana para kudus mempersiapkan diri untuk menerima komuni. Misalnya, S. Aloysius Gonzaga mempersiapkan diri selama tiga hari untuk menerima komuni. Pada jaman itu komuni tidak setiap hari, hanya seminggu sekali, namun ia mempersiapkan diri dengan baik. Kita perlu merefleksikan bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menerima komuni itu.Syarat-syaratnya adalah:

 

1.Kelepasan

Menurut S. Alfonsus, ada dua cara kita mempersiapkan diri untuk komuni, yaitu dengan melepaskan diri dari ikatan-ikatan makhluk dan dengan membebaskan hati kita dari segala sesuatu yang bukan Allah. Ia menekankan hal ini dengan menceritakan riwayat hidup S. Gertrudis. Suatu hari, S. Gertrudis bertanya pada Tuhan apa yang harus dilakukannya supaya ia dapat mempersiapkan diri untuk komuni. Jawab Yesus, “Saya hanya minta satu hal, yaitu kosongkan dirimu dari segala sesuatu untuk menerima Aku.” Apa artinya? Artinya, segala sesuatu yang menarik perhatian kita atau yang mengikat hati kita harus kita arahkan kepada Allah. Jadi, hati kita harus kosong, tidak terikat apa pun dan seluruh perhatian kita terarah pada Allah. Bila ada sesuatu atau seseorang yang menjadi tujuan, maka itu akan mengalihkan perhatian kita dari Allah.

S. Yohanes Salib pada waktu berbicara tentang kelepasan secara umum (tidak berhubungan dengan komuni kudus) juga mengatakan bahwa seperti mustahil cahaya matahari tidak masuk ketika kita membuka jendela, begitupun mustahil Tuhan tidak masuk bila hati kita betul-betul kosong dan kita buka bagi Dia. Semboyan S. Yohanes Salib adalah “Kosong, kosong, kosong” agar Tuhan dapat masuk.

S. Alfonsus Ligouri mengatakan, “Semangat duniawi dapat sungguh-sungguh menghambat cinta Allah pada kita. Di mana semangat duniawi berkembang, di situ cinta kepada Allah akan menjadi dingin.” Dalam dunia sekarang ini hampir semua orang mempunyai TV. TV ada dalam setiap kamar, tidak terkecuali di biara-biara, bahkan biara-biara kontemplatif sekalipun. Dan, tidak jarang biarawan-biarawati kontemplatif nongkrong berjam-jam di depan TV. Meskipun TV sendiri tidak jahat, namun hampir seluruh program TV dijiwai oleh semangat duniawi. Misalnya, semangat “Kalau tidak suka dengan pasangan hidup, cerai saja,” “kalau tidak senang dengan pasangan hidup, cari saja yang lain.” Juga iklan-iklan menawarkan banyak kenikmatan dan kesenangan duniawi. Tanpa disadari, kita dikuasai oleh semangat duniawi dengan lahap, tak terkecuali para religius dan para imam. Ada juga para imam yang mempersiapkan diri di hadapan TV untuk khotbahnya. Katanya, untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia. Sebaliknya, saya melihat begitu banyak awam yang tersentuh hatinya oleh Tuhan sehingga meskipun mempunyai TV, mereka tidak nongkrong di depannya, melainkan hanya nonton acara berita.

TV dan majalah-majalah menyodorkan semangat duniawi yang diminum dan dimakan dengan lahapnya oleh banyak orang. Tidak mengherankan, semangat kristiani menjadi luntur dan kendur. Dan, hal-hal yang sungguh mengerikan terjadi karena mereka dikuasai oleh semangat duniawi. Oleh karena itu, kita harus melepaskan diri dari semangat duniawi, dari segala sesuatu yang bukan dari Allah. S. Yohanes Salib mengatakan, “Janganlah kamu mencintai segala sesuatu yang berasal dari dunia ini, juga kesenangan mata.” Yesus bersabda, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat 6:21).

Manusia rohani tidak menghabiskan waktunya untuk bacaan-bacaan profan, atau untuk nonton TV. Sekarang ini si iblis juga mengikat orang dengan berbagai macam permainan, video games, play station. Anak-anak pulang sekolah langsung main games. Begitu banyak waktu terbuang untuk itu. Di kantor pun para pegawai nongkrong di depan komputer, tidak untuk bekerja, tetapi bermain games. Pertandingan atau olahraga pun kalau sudah menjadi obsesi sudah bukan olahraga lagi, melainkan pemuasan nafsu saja. Itu semua kenyataan yang harus kita lihat. Olahraga baik bagi kesehatan bila tidak berlebihan, tetapi ada orang yang menjadikannya berhala atau tuhannya.

Oleh karena itu, baiklah kita berusaha untuk selalu merindukan Yesus. Saya tidak akan pernah berhenti menegaskan kembali semangat Karmel yang sederhana, namun sangat efektif: “Hidup selalu di hadirat Allah”. Seperti dikatakan dalam regula Karmel, “Siang malam merenungkan hukum Tuhan dan berjaga dalam doa.” Hidup di hadirat Allah, “Vacare Deo” (mengosongkan diri bagi Tuhan), bila kita lakukan dengan sepenuhnya akan sangat berguna. Banyak orang yang tidak hidup di hadirat Tuhan, tetapi hidup di hadiratnya sendiri dengan terus-menerus memikirkan dirinya sendiri. Atau, hidup di hadirat orang lain, hidup di hadirat musuhnya dan diliputi macam-macam ketakutan dan kekhawatiran.

Hidup di hadirat Allah berarti sadar akan kehadiran Allah, hidup bersama dengan Allah. Tidak hanya itu, bila kita senantiasa hidup di hadirat Allah, maka Roh Allah akan membantu kita,memberitahu kita akan apa yang harus kita katakan. “Apabila mereka menyerahkan kamu, janganlah kamu kuatir akan bagaimana dan akan apa yang harus kamu katakan, karena semuanya itu akan dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga” (Mat 10:19; bdk. Mrk 13:11).


 

2. Kerinduan akan Yesus dan Kasih-Nya

Penting untuk membangun suatu kerinduan yang besar untuk menerima Yesus dan kasih-Nya yang kudus, yaitu kerinduan untuk menerima Yesus dengan tujuan untuk berkembang dan maju dalam kasih ilahi. S. Alfonsus juga mengungkapkan apa yang pernah diungkapkan oleh S. Fransiskus dari Sales, bahwa tujuan utama kita menerima komuni ialah supaya kita semakin berkembang dalam kasih Allah. Jadi, bila menerima komuni, tujuan utama kita adalah bertemu dengan Yesus, Sang Pemberi Hidup serta berkembang dalam pengenalan dan kasih-Nya. Hanya mereka yang sungguh lapar akan dipuaskan. Yesus mengatakan, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran karena mereka akan dipuaskan” (Mat 5:6). Begitu pula kita, semakin kita lapar dan haus akan Yesus semakin kita akan dipuaskan.

Jangan mengira Yesus senang untuk datang pada kita jika kita tidak mempunyai kerinduan. Oleh karena itu, kita harus memupuk kerinduan akan Yesus. Kalau orang tidak rindu, Yesus seolah-olah masuk dalam diri kita dengan terpaksa dan kita tidak menerima apa-apa dalam komuni itu. Apa yang dikatakan Yesus kepada S. Matilda, “Sebagaimana seeekor lebah dengan rindu sekali hinggap pada sekuntum bunga untuk menghisap madunya, demikian pula Yesus ingin masuk ke dalam jiwa di dalam komuni, karena didorong hebatnya cinta-Nya kepada mereka itu.” Tentu saja, hal ini pada mereka yang mempersiapkan diri. Sebagaimana Yesus rindu, kita pun harus merindukan Yesus masuk dalam diri kita.

Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa merayakan Ekaristi itu bukan suatu kewajiban, melainkan suatu rahmat istimewa yang harus kita hargai sungguh-sungguh. Jika kita hanya memandangnya sebagai suatu kewajiban, maka kita merendahkan nilai Ekaristi. Hanya mereka yang sungguh lapar akan dipuaskan dalam perjamuan Ekaristi. Hanya mereka yang betul-betul lapar merindukan Yesus (lebih daripada sekedar merindukan jamahan dan penyembuhan-Nya) akan menerima kuasa-Nya. Jika orang merindukan Yesus, maka ia akan menerima lebih. Dalam hal ini akan ada pertukaran suci, seperti dikatakan kepada S. Katarina Siena, “Engkau perhatikan Aku. Tugasmu hanyalah memperhatikan Aku dan Aku akan memperhatikan seluruh kebutuhanmu.” Maka, kalau kita hanya bertekad untuk merindukan Yesus, untuk dapat lebih mengasihi-Nya, maka Dia akan memperhatikan kita dan memberikan segala-galanya. Injil mengatakan, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33). Inilah yang utama: mencari Yesus demi Yesus sendiri, maka yang lainnya akan ditambahkan. Sehubungan dengan ini—meski sedikit berbeda—kalau kita sungguh memperhatikan dan melayani Tuhan, kita tidak akan kelaparan. Ini sungguh suatu pertukaran yang suci dan indah: kita memperhatikan Tuhan dan Tuhan akan memperhatikan segala kebutuhan kita.


3. Ucapan syukur

Setelah menerima Tuhan Yesus yang hadir dalam rupa roti ini kita harus sadar dan bersyukur kepada Tuhan. Kita harus sadar bahwa inilah saat yang istimewa, inilah saat yang khusus, karena waktu itu secara fisik dalam rupa Sakramen Mahakudus, Yesus hadir dalam diri kita. Saat itu dalam rupa roti, Ia hadir dengan seluruh kemanusiaan dan keallahan-Nya.

Kita tahu bahwa Yesus hadir, karena itu kita harus mengambil waktu lebih untuk (menyadari) Tuhan yang hadir. Jangan menyanyi, tetapi cobalah berbicara dari hati ke hati, karena inilah saat yang kudus, saat Tuhan hadir bagi kita. “Tidak ada doa yang lebih berkenan pada Allah daripada doa yang kita panjatkan sesudah komuni,” kata S. Alfonsus. Pada zaman itu, ada orang-orang yang setelah komuni membaca bacaan rohani. S. Alfonsus mengingatkan untuk tidak memakai waktu itu untuk membaca, tetapi untuk berbicara dengan Tuhan.

Sayang, kadangkala MC “Memaksa” umat untuk mendengarkan obrolan MC yang omong kosong. Seringkali MC mengajak umat untuk berbicara dengan Tuhan, tetapi MC sendiri tidak berhenti berbicara, sehingga orang dipaksa tidak untuk berbicara pada Yesus, tetapi untuk mendengarkan komentarnya yang berlebihan. Jika MC memberikan komentar pendek, misalnya “Marilah sekarang kita berbicara pada Tuhan yang sudah hadir dalam diri kita”, itu baik. Akan tetapi, komentar jangan berlebihan untuk memberi kesempatan umat berbicara dengan Yesus. Saat itulah kita berbicara dengan Yesus. Kita bisa memperbarui penyerahan diri kita, “Yesus, kuserahkan diriku kepada-Mu. Biarlah Engkau mencurahkan kasih-Mu kepadaku. Berilah aku rahmat untuk lebih dapat mengasihi Engkau.” Sesuai dorongan hati masing-masing, kita mohon supaya boleh lebih mengenal Yesus. Setelah itu, barulah kita mohon kebutuhan-kebutuhan kita. Seperti dalam doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus kepada kita,”Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu,” kita memohon agar nama Tuhan dipermuliakan. “Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga.” Kita mengarahkan pada kemuliaan Allah, perkara-perkara Allah, barulah kemudian pada kebutuhan kita sendiri.

 

Jadi pada Ekaristi, Yesus sendiri sungguh-sungguh hadir dalam diri kita, maka kita harus datang kepada-Nya. S. Teresa Avila bertanya pada Tuhan, “Yesus, apa yang ingin aku lakukan bagi-Mu?” Yesus mengatakan, “Aku telah turun dari surga untuk memberikan rahmat yang kau butuhkan. Mintalah rahmat sebanyak yang kau butuhkan, maka engkau akan menerimanya, sejauh itu untuk tumbuh dan berkembang dalam cintakasih ilahi.”