User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Kalau sekiranya kita bisa menghitung, berapa banyak keluarga yang berantakan? Berapa banyak pasangan suami-isteri yang bercerai atau berpisah? Berapa banyak keluarga yang hidupnya tidak harmonis? Misalnya di Keuskupan Agung Jakarta saja tercatat rata-rata 20 pasangan setiap bulan yang minta "cerai" (sumber: Majalah "Hidup" edisi No. 31, 30 Juli 2000), belum lagi yang tidak melapor dan sebagainya. Semuanya adalah gara-gara tidak setia! Keluarga-keluarga tersebut mengabaikan kesetiaan suami-isteri, orang tua terhadap anak dan sebaliknya. 

Kesetiaan dalam keluarga

Kesetiaan hidup berkeluarga bukan hanya soal suami-isteri tidak bercerai atau pisah ranjang (karena memang dalam perkawinan sakramental tidak ada perceraian) atau anak-anak yang tidak melawan orang tuanya. Saya katakan "bukan hanya" berarti hal tersebut termasuk penting juga dalam membina hidup keluarga. Seperti misalnya, dewasa ini rupanya semakin menjadi suatu "trend" kalau suami mempunyai WIL (Wanita Idaman Lain) atau isteri mempunyai PIL, (Pria Idaman Lain). Bankan ada orang berpandangan bahwa "selingkuh" itu merupakan "selingan indah bagi keluarga utuh". Inilah suatu penjungkirbalikan nilai-nilai kesetiaan perkawinan. Kesetiaan dengan hanya satu pasangan diabaikan begitu saja.

Realitasnya mereka tidak cerai dan hidup keluarganya biasa-biasa saja. Akan tetapi, salah satu pasangan atau bisa saja keduanya bersikap seperti hamba yang jahat (lihat Mat. 24:45-51). Kalau ada majikan ia bersikap baik, tetapi ketika majikannya pergi ia berbuat semaunya. Demikianlah dalam perselingkuhan, selingkuh terjadi karena pasangannya tidak ada di sisinya, tetapi ketika berhadapan dengan pasangannya dia bersikap baik supaya tidak diketahui kejahatannya. Seperti misalnya, kisah yang dimuat dalam suatu majalah: Ada satu pasangan suami-isteri yang telah lama menikah dan sudah mempunyai anak. Mereka hidup biasa-biasa saja dan tidak ada pertengkaran yang mengarah kepada perceraian. Namun suatu ketika si suami sakit dan akhirnya meninggal. Setelah itu barulah diketahui bahwa suaminya mempunyai WIL, bahkan sudah mempunyai seorang anak. Demikian pula banyak anak yang bersikap baik-baik saja ketika berhadapan dengan orang tuanya tetapi saat orang tuanya pergi atau tidak dapat memantaunya, mereka berbuat semaunya. Misalnya, tidak jarang anak perempuan yang kelihatannya di rumah baik dan taat namun kemudian orang tuanya dikejutkan bahwa dia yang masih sekolah itu hamil di luar nikah. Atau seorang anak yang kelihatannya pendiam tetapi kemudian diketahui sebagai pecandu narkoba danfree sex, dan sebagainya.

Ketidaksetiaan dalam keluarga yang mengakibatkan keluarga berantakan seringkali dimulai dari ketidaksetiaan dalam hal-hal yang kecil (bdk. Luk. 16:10). Misalnya pernah saya baca dalam suatu majalah bahwa ada pasangan suami-isteri yang telah menikah lebih dari lima belas tahun. Pada awalnya hidup perkawinan mereka sangat indah, saling memperhatikan dan melayani. Namun setelah anak mereka lahir mulailah sang istri  sibuk dengan kegiatan rumah tangga, sehingga waktu untuk memperhatikan kebutuhan suaminya semakin berkurang. Suami pun mulai mencari kesibukan sendiri dengan pekerjaannya sehingga kurang memperhatikan isterinya. Bahkan sebagai ayah, dia juga kurang setia mendidik anak-anaknya. Akibatnya mereka sulit diatur dan nakal. Hidup keluarga mereka tidak harmonis seperti pada awal perkawinan. Akhirnya, sang isteri bertemu dengan orang lain yang ternyata menaruh perhatian padanya, maka terjadilah perselingkuhan. Hal itu sebenarnya tidak akan terjadi kalau mereka saling setia dalam perkara kehidupan sehari-hari.

Keluarga Kudus Nasaret

Kita dapat bercermin pada teladan kesetiaan Keluarga Kudus Nasaret: Yesus, Maria, dan Yusuf. Yusuf adalah seorang yang murni, jujur, tulus hati dan taat kepada Allah. Hal itu terbukti dari keputusannya untuk tetap memilih mengambil Maria sebagai isterinya setelah diberitahu oleh Malaikat Tuhan lewat mimpi. Ia tidak berkeras hati untuk menceraikan Maria, tetapi mau setia mendampingi Maria yang telah mengandung dari Roh Kudus (bdk. Mat. 1:18-25). Kesetiaan Yusuf ini sangat menolong Maria, karena jika diketahui oleh masyarakat bahwa ia mengandung tanpa suami maka akan berakibat buruk bagi dirinya. Dia setia mendampingi Maria ketika sedang mengandung, Mengantarnya ke kota Bethlehem sampai pada saat kelahiran Yesus. Ia juga dengan setia mengasuh Yesus dan mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya. Maria juga tampil sebagai wanita bersahaja yang setia. Kesetiaan Maria kepada Allah jelas tidak diragukan lagi. Walaupun data konkret dari Kitab Suci tidak lengkap, tetapi kita bisa memastikan bahwa Maria seorang isteri yang setia kepada suaminya dan seorang ibu yang setia mendidik serta mendampingi Yesus anaknya. Bahkan Maria setia mendampingi Yesus sampai di bawah kayu salib. Sedangkan Yesus sendiri pada masa kanak-kanak dan sebelum tampil mewartakan Kabar Gembira dikatakan bahwa la tetap berada dalam asuhan Yusuf dan Maria (bdk Luk. 2:51). Artinya, walaupun Yesus adalah Putera Allah, Ia mau merendahkan diri dan hidup taat dalam asuhan orang tuanya, sampai akhirnya Ia harus melaksanakan misi dari Bapa-Nya.

Relasi keluarga Kudus Nasaret ini sangat harmonis, Mereka hidup dalam ketaatan kepada Allah. Misalnya tiap-tiap tahun mereka pergi ke Bait Allah di Yerusalem untuk merayakan Paskah. Kemudian ketika Yesus berusia dua belas tahun, mereka bertiga pergi bersama-sama ke Bait Allah. Kesetiaan Yusuf dan Maria sebagai orang tua tercermin juga ketika Yesus hilang dalam perjalanan pulang ke Nasaret setelah merayakan Paskah. Tiga hari penuh mereka mencari puteranya sampai menemukan kembali di kota suci tersebut. Ketika menemukan-Nya, mereka tidak mendakwa atau memarahi Yesus tetapi mencoba menerima dan merenungkannya di dalam hati walau tidak mengerti dengan alasan Yesus (bdk. Luk. 2:42-51).

Perkawinan Yusuf dan Maria diwujudkan dalam saling mencintai yang sangat murni dan tulus. Di antara mereka terdapat suatu rahasia yang mengikat persatuan tersebut menjadi tak-terputuskan, yakni Yesus Kristus. Yesus mengubah cinta manusiawi mereka ke suatu tingkat adikodrati. Mereka dengan kehendak yang bebas mau menjawab "ya” kepada kehendak Allah, supaya Yesus menjadi hal terpenting dalam cinta mereka dan supaya mereka mengatur cinta bersama mereka hanya untuk mengabdi Yesus Kristus.

Itulah juga rahasia tiap perkawinan, ia diadakan dalam cinta kepada Kristus. Pria dan wanita yang menikah secara kristiani bertujuan untuk saling mengasihi sedemikian, sehingga di antara dan di dalam mereka terdapat suatu rahasia besar: Yesus Kristus. Walaupun di dalam hidup berkeluarga selalu ada duka dan sengsara namun ikatan yang tak kunjung putus terdapat di mana mereka saling mengasihi yang bersumber pada Yesus Kristus.

Demikianlah Keluarga Kudus Nasaret adalah contoh bagi tiap keluarga kristiani. Cinta orang tua untuk satu sama lain dan untuk anak-anaknya, cinta antara suami-isteri dalam pernikahan hendaknya selalu didasarkan pada Yesus Kristus.

Bagaimana supaya setia?

1.    Kesetiaan Anda kepada Allah akan menentukan juga kualitas kesetiaan di dalam keluarga, seperti teladan Maria dan Yusuf. Karena kalau Anda menghadapi tantangan dan godaan tanpa bantuan rahmat Allah, Anda akan mudah jatuh dalam ketidaksetiaan. Misalnya, melihat suami serong maka istri lari ke dukun, persoalan tidak selesai tetapi justru semakin parah.

2.    Mohonlah kepada Allah agar Dia mengaruniakan rahmat kesetiaan. Sebab setia itu memang sulit apalagi ketika menghadapi tantangan dan godaan dan Anda tidak bisa menaklukkan egoisme Anda. Allah adalah sumber kekuatan. Mohonlah agar Roh Kudus membimbing dan menguatkan Anda untuk setia, karena salah satu buah-buah Roh adalah kesetiaan (Gal. 5:22). Dan percayalah"Tuhan adalah setia; la akan menguatkan hatimu dan memelihara kamu terhadap yang jahat” (2 Tes. 3:3). Ciptakan kebiasaan berdoa bersama di dalam keluarga Namun kalau berdoa bersama anak-anak, janganlah terlalu lama supaya tidak membosankan mereka. Dari penelitian, keluarga yang biasa berdoa bersama hidupnya jauh lebih harmonis.

3.    Bertekunlah merenungkan Sabda Tuhan, menghayati sakramen-sakramen dalam Gereja terutama Ekaristi dan perkawinan.

4.    Berkumpullah dalam suatu komunitas beriman yang mendukung Anda untuk tetap setia dalam hidup berkeluarga.

5.    Usahakan adanya komunikasi yang terbuka, baik antara suami-isteri maupun orang tua dengan anak. Menciptakan suasana harmonis dalam perkara-perkara kecil sehari-hari.

6.    Bersedia dengan tulus mengampuni bila ada konflik, perselisihan atau dilukai. Berapa kali? Sampai tujuh puluh kali tujuh kali (Mat.18:22), artinya terus menerus dalam kehidupan berkeluarga.

7.    Kemudian berusaha memperbaiki apa yang salah, dan berusaha untuk memahami serta menerima kelemahan.

Keberhasilan memelihara kesetiaan dalam hidup rumah tangga akan dirasakan bukan hanya milik anggota keluarga itu sendiri, tetapi akan menjadi kesaksian bagi keluarga-keluarga yang lain. Oleh karena itu, jadikanlah keluarga anda sebagai keluarga kristiani yang meneladani Keluarga Kudus Nasaret. Tuhan memberkati.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting