Print
Hits: 7759

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Judul dari tulisan ini, kalau saya tidak salah ingat, adalah judul dari sebuah buku yang ditulis entah oleh St. Robertus Bellarminus atau St. Alphonsus Maria de Ligouri, judul aslinya adalah Ars morendi. Kurang lebihnya isi buku itu menceritakan bagaimana seharusnya seorang Kristen mempersiapkan kedatangan saat kematiannya. Mengapa kematian perlu dipersiapkan? Setidaknya ada dua alasan:


Pertama, karena kematian sudah pasti akan kita alami;

Kedua, karena saat kedatangannya tidak kita ketahui.

Persiapan menyambut kematian merupakan sesuatu yang penting karena kematian merupakan saat-saat yang menentukan dalam penyelamatan kita. Kematian adalah saat-saat terakhir yang membatasi waktu kita untuk memilih atau menolak rahmat Allah yang dimanifestasikan dalam diri Kristus dan merupakan saat kita beralih dari kehidupan dunia ini kepada kematian yang akan datang (KGK no. 1021).

Gereja sendiri menghendaki agar semua orang Kristen yang mendekati kematian dikuatkan dengan sarana pemeliharaan rohani yang istimewa terutama dengan sakramen pengurapan orang sakit, pengakuan dosa dan Komuni bekal suci (viaticum). Penerimaan ketiga sakramen ini secara istimewa disebut sebagai “sakramen yang mempersiapkan kita untuk tanah air surgawi” atau sakramen yang melengkapi peziarahan kita di dunia ini (KGK no. 1524-1525).

Persiapan menghadapi kematian dapat dibedakan menjadi dua bentuk persiapan yaitu persiapan jangka panjang dan jangka pendek.Persiapan jangka pendek meliputi penerimaan sakramen-sakramen yang mempersiapkan kita untuk tanah air surgawi seperti yang telah kita bahas diatas, persiapan ini umumnya dilakukan pada saat mulai terlihat tanda-tanda kematian mendekat seperti menderita penyakit yang parah atau usia yang telah lanjut.Sementara persiapan jangka panjang merupakan persiapan menghadapi kematian yang kita lakukan bahkan sebelum terlihat adanya tanda-tanda kematian akan mendekat, pada singkatnya persiapan ini adalah persiapan seumur hidup.

Ada sebuah cerita mengenai kehidupan St. Luigi di Gonzaga (nama “Luigi” biasanya diubah dialeknya menjadi “Aloysius” dalam bahasa Indonesia). Suatu ketika St. Luigi, yang waktu itu adalah seorang frater Yesuit, pergi bermain bilyar bersama para konfraternya. Selagi mereka bermain bilyar, seorang konfraternya bertanya “Jika kalian akan mati satu jam lagi apa yang akan kalian lakukan?”. Hampir semua frater menjawab “Saya akan lari ke Gereja berdoa di depan Sakramen Mahakudus dan menerima Sakramen Tobat”, tetapi St. Luigi punya jawaban yang lain, dengan tenang ia menjawab “Kalau satu jam lagi saya akan mati maka saya akan tetap main bilyar”. Jawaban ini adalah jawaban yang sangat indah dan ia berani menjawab demikian karena ia sudah siap untuk mati. Dari cerita ini pula kita diajak untuk selalu siap menghadapi kematian yang saatnya tidak dapat diduga-duga.

Pada prinsipnya persiapan jangka panjang menghadapi kematian yang dijalani oleh Luigi adalah hidup secara kudus. Jika hidup kita kudus maka kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti karena ia akan merupakan perhentian yang akan menghantar kita kepada kebahagiaan yang abadi, mungkin untuk alasan ini juga St. Fransiskus dari Asisi menyebut kematian sebagai “saudari maut”. Hidup kudus, atau menjalani hidup sesuai dengan kehendak Allah selalu mempunyai dua dimensi yaitu menyangkut kasih kepada Allah dan kepada sesama.  Jadi anggapan dari sejumlah orang bahwa memberi perhatian kepada persiapan kematian akan membuat kita mengabaikan kehidupan duniawi kita dan menjalani hidup seperti orang paranoid yang kerjanya hanya berdoa menunggu mati adalah omong kosong.

Seorang Kristen yang mempersiapkan kematiannya dengan baik akan mengisi hidupnya dengan kasih kepada Allah dan sesama, termasuk ke dalam kasih kepada sesama adalah bekerja dengan baik memenuhi kewajibannya kepada keluarga, kantor atau toko atau instansi apapun tempat ia bekerja, teman, masyarakat dan negara. Seorang Kristen yang mempersiapkan kematiannya dengan baik akan mengisi seluruh hidupnya agar mendatangkan kebaikan bagi sebanyak mungkin orang yang dapat ia jumpai. Menapaki jalan kekudusan adalah inti dari kehidupan seorang Kristen dan ia harus menjiwai seluruh aspek kehidupan seorang Kristen termasuk juga pada saat ia mempersiapkan kematiannya.

Namun persiapan jangka panjang kita pada umumnya tidak berjalan se-lancar yang kita inginkan. Kita seringkali jatuh ke dalam dosa dan mengacaukan keselamatan kita sendiri. Kita bersyukur bahwa Allah selalu mau mengampuni dosa kita dan mau menerima kita kembali, lebih dari itu ia juga Ia pun memberi kita rahmat yang cukup untuk tidak berbuat dosa lagi walau kenyataannya kita sering menolak untuk bekerjasama dengan rahmat itu. Dalam hal ini kita perlu sering diingatkan agar mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan baik.  Peringatan dari Allah melalui GerejaNya itu pun pada prinsipnya merupakan bagian dari persiapan kita, saya senang menyebutnya sebagai persiapan rohani.

Termasuk ke dalam persiapan rohani itu pertama-tama adalah liturgi yang digunakan Gereja untuk mengiringi kepergian anggota-anggotanya yang meninggal. Liturgi itu memuat doa-doa dan bacaan Kitab Suci yang memuat berbagai pesan penting mengenai apa yang diimani oleh Gereja tentang kematian dan bagaimana kita sebagai orang Kristen harus mempersiapkan diri menyambutnya. Ini juga termasuk liturgi yang digunakan Bunda Gereja saat merayakan sakramen pengurapan orang sakit, pengakuan dosa, dan Komuni bekal suci bagi putera-puterinya yang berada dalam sakratulmaut.

Selanjutnya tentu saja adalah keseluruhan liturgi Gereja terutama Misa Kudus karena di dalamnya selalu terdapat permohonan doa tidak hanya bagi mereka yang telah meninggal tetapi juga agar kita dapat ambil bagian dalam kebahagiaan surgawi, selain itu juga leksionari telah memberi jatah yang cukup bagi pilihan bacaan-bacaan Kitab Suci yang menunjuk kepada peristiwa kedatangan Tuhan pada akhir zaman dan juga pada akhir hidup kita. Peringatan dan persiapan yang kita terima melalui perayaan Sakramen dan liturgi bukan hanya dari sisi pewartaan di mana melaluinya kita dapat menimba pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana kita harus menjalani hidup kita agar dapat menyambut kematian dengan baik tetapi juga karena melalui perayaan-perayaan itu, terutama melalui penerimaan Sakramen, Allah memberi kita banyak rahmat yang menguatkan dan memampukan kita untuk menjalani hidup kita sebagaimana seharusnya.

Akhirnya, setiap kali kita berdoa Salam Maria kita selalu mengucapkan “ Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang, dan waktu kami mati” dan Gereja menghormati St. Yoseph, suami dari Santa Perawan sebagai pelindung bagi mereka yang menghadapi ajal. Menurut tradisi Yoseph meninggal dengan Yesus dan Maria disisinya. Semua orang Kristen tentunya ingin mengalami kematiannya dengan cara seperti itu, dengan didampingi oleh Yesus dan Maria.