Print
Hits: 21735

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Kata-kata mutiara di atas terlukis dengan indah pada selembar kartu nikah (wedding card), untuk sepasang pengantin baru yang berbahagia. Ungkapan tersebut bukanlah sekedar ungkapan biasa atau sekedar kata-kata yang indah, akan tetapi dibalik kata-kata tersebut, terkandung suatu makna yang mendalam. ‘Love me little, love me long’, mau mengungkapkan penyerahan diri yang total antara dua pribadi yang saling mencintai. ‘Cinta’ suatu kata yang sarat dengan makna. Cinta menyangkut sikap penerimaan terhadap yang dicinta tanpa memandang kelemahannya. Dengan kata lain ‘menerima apa adanya’ dengan segala kelemahan dan kerapuhannya. 

Cinta tidak dibatasi oleh waktu. Segala yang ada dan yang akan ada akan lenyap tetapi cinta tidak dapat lenyap. Banyak hal yang kita lakukan didunia ini; segala kebutuhan, segala keinginan dan rencana kita, namun disurga tempat kediaman kita selama-lamanya, kita hanya melakukan cinta. Disurga abadi, kita hanya mencintai Sang Segala Cinta, Allah sendiri. Dari kekal hingga kekal cinta tak termusnahkan. 

Cinta dalam perkawinan

Demikian jugalah cinta antara sepasang suami istri sebagai wakil dari Allah di dunia ini. Cinta itu telah bersemi dalam hati mereka masing-masing dan Allah telah mengikat mereka dalam perkawinan yang suci. Sebagaimana cinta Allah terhadap manusia, abadi sifatnya, demikian juga cinta dalam perkawinan antara suami dan istri mempunyai sifat yang abadi dan tak terbatalkan oleh siapapun. Betapa agung dan mulianya cinta itu karena ia merupakan anugerah Sang Cinta sendiri, yaitu Allah. Akan tetapi bagaimana kenyataannya? Untuk hal ini saya akan mengisahkan suatu kisah nyata yang mungkin banyak juga kita jumpai dalam kehidupan kita dewasa ini. 

Berawal dari persoalan kecil, akhirnya sebuah keluarga sepakat untuk berpisah. Yang satu akan mencari jalannya sendiri dan yang lainnya akan menempuh suatu hidup baru. Walaupun sudah bertahun-tahun mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak yang merupakan buah dari perkawinan itu, toh diantara mereka tidak ada kesamaan pendapat untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga mereka. Mereka mengerti sepenuhnya bahwa jalan yang mereka ambil bukanlah suatu jalan yang terbaik yang dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, tetapi mereka tetap bertahan pada pendirian masing-masing. 

Sejak pertemuan pertama 14 tahun yang lalu, keduanya saling mencintai. Sebagai ungkapan dari cinta mereka, keduanya sepakat untuk menikah, membangun suatu keluarga yang bahagia. Suatu keluarga yang dijiwai dan dikuasai oleh cinta yang sejati, cinta yang murni; cinta suami pada istri dan sebaliknya dan cinta anak kepada orang tua dan sebaliknya. Itulah cita-cita mereka. Sejak awal rencana pernikahan, cita-cita itu sudah tertanam dalam hati mereka masing-masing. 

Akhirnya hari pernikahan yang mereka nantikan itu sudahlah tiba. Tak ada kekurangan sesuatu apa pun yang menghalangi pernikahan itu. Semuanya berjalan dengan lancar. Disaksikan oleh orang tua kedua mempelai, dua insan ciptaan Allah yang saling mencintai itu, berarak dengan langkah gontai menuju altar Tuhan. Dibawah tangan seorang imam sebagai alat Tuhan dan wakil-Nya didunia ini, mereka berjanji ‘sehidup-semati’ mengarungi samudra kehidupan rumah tangga mereka. Dihari yang indah dan istimewa itu, semuanya bahagia. Sebuah gereja tua berdiri dengan kokoh disana menjadi saksi bisu peristiwa yang agung ini. Alam semesta; langit yang cerah dan bintang yang berkedap-kedip dimalam hari menjadi saksi kebahagiaan kedua insan. 

Waktu demi waktu mereka tapaki bersama dalam cinta dan kebahagiaan. Tidak ada sesuatu pun yang kurang. Semua kebutuhan tercukupi. Kebahagiaan mereka bertambah ketika Tuhan mengaruniakan anak sebagai buah dari kasih mereka. Apa yang mereka cita-citakan sebelum pernikahan terwujudlah sudah. Mereka mencapai kebahagiaan secara nyata. 

Tetapi apa yang terjadi setelahnya? Lama-kelamaan kebahagiaan itu seolah-olah menjauh dari mereka. Apa yang menjadi penyebab semuanya itu? Seperti kisah menarik dalam Kitab Suci yaitu kisah leluhur perdana kita yang jatuh dalam dosa, dimana kebahagiaan Firdaus yang mereka kecap yang dianugerahkan Allah, sirna dalam sekejap. Demikian juga yang dialami keluarga ini. Saat mereka berada dipuncak kebahagiaan, tiba-tiba terjadi sesuatu yang berlawanan dengan kebahaigaan itu. Sebagai akibatnya, disana muncul polusi kurang pengertian, kurang menerima kelemahan sesama. Badai kecurigaan melanda biduk yang sedang berlayar disamudra kehidupan mereka. Lama-kelamaan api cinta yang berkobar dalam hati mereka menjadi semakin redup seperti nyala sebuah pelita yang kehabisan minyak. Kebahagiaan yang mereka alami bertahun-tahun seolah-olah menjadi kenangan belaka. Disana tidak ada lagi kedamaian, tidak ada lagi sukacita, yang ada hanyalah dendam, kebencian dan sakit hati. Disana hanya ada isak tangis dan tertawaan dangkal. Dalam keadaan seperti itu, siapa yang dapat bertahan? Keluhan demi keluhan terngiang dari dalam hati…… 

Kisah tragis kehidupan keluarga diatas merupakan satu dari sekian ribu kisah tragis yang dialami oleh insan-insan rumah tangga dewasa ini. Tak dapat disangkal, ini merupakan suatu kenyataan yang terjadi didunia kita. Banyak keluarga dewasa ini berada dalam masalah yang pelik dan berada diambang perceraian. Keadaan ini bukan saja terjadi dalam agama non kristen, tetapi juga dalam agama kristen sendiri. Sangat disayangkan dan patut disesalkan karena mereka mengkhianati janji mereka sendiri dalam Sakramen Perkawinan, sekaligus juga mengkhianati janji setia mereka dihadapan Tuhan. Padahal kehidupan keluarga merupakan masa depan Gereja. Keluarga merupakan tempat lahirnya insan-insan Allah. Akankah kita dapat melaksanakan amanat Injil Kristus jika keluarga kita mengalami perpecahan, mengalami percekcokan, mengalami perceraian? 

Panggilan yang luhur dan mulia

Pada halaman pertama Kitab Suci, setelah Allah menciptakan jagat raya, Ia menciptakan manusia; pria dan wanita menurut citra-Nya (Kej 1:28). Ia memberkati mereka dan berfirman: “Beranak cucu dan bertambah banyaklah.” Untuk tujuan perkembangbiakan inilah, Allah menciptakan Hawa. Allah berfirman: “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan seorang penolong yang lain baginya yang sepadan dengan dia.” Artinya, partner sederajat dan sangat dekat dengan dia. Maka Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam. Lalu berkatalah Adam: “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan sebab ia diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej 2:23-24). 

Konsili Vatikan II berbicara tentang perkawinan sebagai anugerah Allah: “Persekutuan hidup dan kasih suami istri yang mesra, diadakan oleh seorang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. Allah sendirilah Pencipta perkawinan” (GS 48). Sebagai tanda bahwa Allah adalah Pencipta dan Penganugerah perkawinan itu, maka perkawinan kristiani selalu berada dibawah tangan Allah, melalui kehadiran-Nya dalam Sakramen Perkawinan. Karena pencipta perkawinan itu pada hakikatnya adalah suci, maka perkawinan kristiani bersifat suci adanya. Allah sendiri yang mempersatukan mereka. 

Allah menghendaki perkembangbiakkan manusia sebagaimana ciptaan-Nya yang lain. Karena itu, Allahlah yang menghendaki persatuan manusia dengan sesamanya sebagai suami istri. Akan tetapi, yang menjadi dasar dari persatuan ini adalah cinta kasih dari antara kedua pribadi, sebagaimana Allah sendiri adalah kasih (1Yoh 4:16). Maka manusia diundang Allah untuk mengambil bagian dalam kodrat-Nya yang terdalam, yaitu kasih. Perkawinan merupakan ungkapan cinta antara manusia dan merupakan wujud nyata dari pengambilbagian manusia dalam kodrat ilahi Allah, yaitu cinta. 

Oleh sebab itu, yang menjadi dasar dari perkawinan adalah cinta. Cinta yang dimaksud lebih dari perasaan ketertarikan sebagai pria dan wanita. Suatu tindakan saling menyerahkan diri dan saling menerima. Menerima yang dicinta apa adanya dan menerima yang mencinta sesuai dengan adanya. “Saya menerima engkau sebagai istri saya, saya menerima engkau sebagai suami saya.” Kesepakatan saling menerima ini diwujudkan demikian, bahwa ‘kedua-duanya menjadi satu daging’ (Kej 2:24). 

‘Saling menyerah dan saling menerima’ ini merupakan suatu ungkapan cinta yang sejati dalam perkawinan. Menerima bukan saja kelebihan dan menolak kelemahannya, melainkan mencakup seluruh aspek kepribadiannya. Saling menyerah bukan saja saat suka melainkan juga dalam keadaan duka. Singkatnya menerima dan menyerah apa adanya dan dalam keadaan apapun. Dalam kenyataannya, ternyata cinta sejati sebagai suami istri tidak tergantung pada hal-hal lahiriah, berupa kekayaan, ketampanan, kacantikan, kepandaian, dll karena pada kenyataannya banyak rumah tangga yang mengalami perpecahan justru dari kalangan-kalangan tersebut. Karena semua kekayaan, kecantikan, ketampanan, kepandaian tidak dapat menggantikan cinta yang sejati, cinta yang murni yang dianugerahkan Allah. Cinta sejati terletak dalam saling mengerti satu dan yang lainnya. Mengerti pribadi dia sebagai citra Allah dan mau menerimanya sebagai anugerah Allah. Disinilah kekuatan dari cinta suami istri. 

Jika hal demikian yang terjadi, maka yakinlah bahwa “Air yang banyak tidak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghayutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina” (Kid 8:7). Cinta yang sejati tak dapat dibeli dengan harta, kedudukan, pangkat, kepandaian dll. “Sebab cinta kuat seperti maut dan nyalanya seperti nyala api Tuhan” (Kid 8:7). Madah cinta Santo Paulus mencakup segala-galanya: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengaharapkan segala sesuatu sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4-8). 

Karenanya, panggilah hidup berkeluarga merupakan panggilan yang amat luhur dan mulia karena memang dianugerahkan Allah sendiri dan hidup berkeluarga merupakan wujud nyata dari suatu jawaban manusia terhadap undangan Allah untuk mengambilbagian dalam kodrat-Nya. Tak seorangpun dapat meremehkan panggilan ini. Tanpa panggilan hidup berkeluarga, maka perintah Allah: ‘Beranakcucu dan bertambah banyaklah’ tidak mungkin dapat terwujud. Seandainya panggilan hidup berkeluarga tidak ada, maka panggilan untuk hidup keperawanan demi kerajaan Allah pun tidak mungkin ada. Tidak bermaksud membandingkan satu yang lainnya, keduanya merupakan panggilan Allah yang harus ditanggapi manusia sebagai anugerah yang mulia, luhur dan indah. Karena itu, Santo Yohanes Krisostomus mengatakan: “Barangsiapa meremehkan perkawinan sekaligus juga merongrong keluhuran keperawanan, barang siapa memuji perkawinan juga meningkatkan penghormatan terhadap keperawanan.” Justru hidup keperawanan demi Kerajaan Allah ada, karena ada hidup berkeluarga. 

Perkawinan itu tak terputuskan

“Apa yang telah dipersatukan Allah tak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:16) merupakan teks yang sangat kuat dalam Kitab Suci yang diucapkan oleh Yesus sendiri tentang kekuatan dari perkawinan itu. Perkawinan merupakan anugerah Allah. Ia yang mempersatukan kedua insan. Oleh karena perkawinan merupakan karya Allah bagi manusia maka karya yang suci itu tak dapat dipisahkan atau dibatalkan oleh tangan manusia kecuali ada alasan yang kuat yang berlawanan dengan hukum perkawinan. Dalam iman katolik, perkawinan dimeteraikan oleh tangan Allah sendiri dalam sakramen perkawinan. Olehnya, perkawinan tak akan dan tak dapat diceraikan oleh manusia. Inilah yang merupakan ciri atau kekhasan pernikahan atau perkawinan kristiani terutama katolik. Jika suatu saat, karena ketegaran hati dan ketidaktaan terhadap perintah Allah ini, maka itu adalah tanggung jawab setiap pribadi dihadapan Allah. 

“Mereka bukan lagi dua melainkan satu” demikianlah dikatakan Yesus. Adalah suatu karya Allah ketika Ia mempersatukan Adam dan Hawa. “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”, karena Hawa diambil dari tulang rusuk Adam. Allah menyatukan kedua insan dan persatuan ini tak terpisahkan. Inilah hakikat perkawinan yang diajarkan Yesus. Seorang bapa Gereja, Santo Tertulianus mengungkapkan hal ini dengan sangat indah: “Bagaimana saya dapat melukiskan kebahagiaan perkawinan, yang disatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan oleh berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa. Betapa mengagumkan pasangan itu; dua orang beriman dengan satu harapan, satu keinginan, satu cara hidup, satu pengabdian, anak-anak dari satu Bapa, abdi dari satu Tuhan. Tak ada pemisahan diantara mereka dalam jiwa maupun dalam raga tetapi sungguh dua dalam satu daging. Bila dagingnya satu, satu pula roh mereka.”

Mengapa Gereja Katolik sangat keras dalam hal perkawinan? Ini karena gereja melihat suatu makna yang terdalam dari perintah Tuhan sendiri. “Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.” Mereka (suami istri) dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam kesatuan mereka melalui kesetiaan dari hari kehari terhadap janji perkawinannya untuk saling menyerahkan diri seutuhnya. Perkawinan Katolik dipandang sebagai suatu anugerah Allah dan anugerah Allah adalah baik adanya. Didalam perkawinan Allah berkarya dengan rahmat-rahmatnya. “Sakramen perkawinan adalah tanda untuk perjanjian Kristus dan Gereja. Ia memberi rahmat kepada suami istri agar saling mencintai dengan cinta, yang dengannya Kristus mencintai Gereja. Dengan demikan rahmat sakramen menyempurnakan cinta manusiawi suami istri, meneguhkan persatuan yang tak terhapuskan dan menguduskan mereka dijalan menuju hidup abadi” (bdk. Konsili Trente DS 1799). 

Jadi perkawinan dipandang sebagai awal dari persatuan manusia dengan Allah dalam surga abadi. Karena didalam perkawinan terkandung suatu cinta yang mengarah kepada Allah walaupun dinyatakan kepada pasangan masing-masing. 

Refleksi

Banyak keluarga dewasa ini, berada diambang perceraian. Masalah demi masalah menghimpit mereka; kurang pengertian, kurang menerima satu dan yang lain, masalah anak-anak, kurang setia terhadap pasangan, masalah selingkuh, kahadiran orang ketiga dalam hidup, dll. Semuanya itu melemahkan cinta, mengaburkan kesetiaan antara kedua pihak. Siapa yang salah? Tidak bermaksud saling menuduh satu sama lain, hal ini merupakan kanyataan yang banyak kita jumpai dalam masyarakat dan kehidupan kita. Ketika masalah itu datang silih berganti dan tak tertahankan maka berbagai keluhan muncul; mencari jalan pintas. ‘Kita pisah saja.’ Itukah jalan yang terbaik? Dengan begitukah masalah terselesaikan? 

Bagaimana dengan anak-anak yang belum mengerti apa-apa harus menanggung akibatnya? Mereka tidak bersalah sedikitpun. Mereka harus berjuang untuk menerima kenyataan yaitu kehilangan orang tua yang mereka cintai. Padahal mereka masih membutuhkan kasih dari orang tua tetapi tidak mereka temukan dalam keluarga. Bagi seorang anak, orang tua adalah segala-galanya. Dari orang tua ia menerima kasih Allah, dari orang tua ia mengenal siapa Penyelamatnya. 

Sungguh sangatlah disayangkan, dari tahun ketahun angka perceraian semakin meningkat. Padahal keluraga merupakan harapan dan masa depan Gereja Kristus. Perkawinan merupakan pralambang cinta ketiga pribadi ilahi; Bapa, Putra dan Roh Kudus, mencintai tanpa batas, suatu cinta yang tak terbatasi oleh waktu. Inilah cinta abadi. Alangkah indahnya perkawinan itu jika setiap keluarga kristen menyadari hal ini. Lagi pula kehidupan keluarga atau kehidupan berumah tangga merupakan bagian yang penting pada panggilan dalam tubuh mistik Kristus. Dari sanalah anggota-anggota Gereja mulai tumbuh dalam pengenalan akan Tuhan. Melihat kenyataan ini, walaupun dari satu pihak, masih banyak pasangan katolik yang setia dalam panggilannya apa pun yang terjadi, maka salah satu pesan bunda Maria dalam penampakannya di Medjugorje adalah mendoakan pasangan atau keluarga kristiani supaya senantiasa setia dalam hidup perkawinan dan tetap saling mencintai sampai mati. 

Akhirnya cinta dalam perkawinan mencakup segala-galanya. Bukan saja dalam perasaan senang, gembira dan sukacita tetapi juga dalam susah, sedih, dukacita, penderitaan, semuanya ditanggung bersama-sama. Cinta sejati menerima pasangan apa adanya dan mencintainya sampai selama-lamanya. “LOVE ME LITTLE, LOVE ME LONG.”