Print
Hits: 7699

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Salah satu rahmat terbesar yang dapat diterima oleh seseorang adalah persahabatan. Secara sadar atau tidak sadar setiap manusia memerlukannya untuk perkembangan pribadinya, menjadi pribadi yang utuh. Tanpa relasi dengan Allah dan sesama akan selalu ada yang hilang, yang tidak akan dapat terpenuhi dengan hal-hal yang lain, sebab ini merupakan kebutuhan mendasar setiap manusia. Persahabatan ini merupakan sebuah hubungan antar jiwa yang saling berbagi, yang membuat kasih itu menjadi tulus, luhur, mulia, dan nyata. Maka dalam semangat persahabatan, segala sesuatu dalam hidup ini akan menjadi indah, sungguh bermakna bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Semangat ini ada dalam diri Allah, berasal dari Dia dan telah ditanamkan dalam diri setiap manusia yang telah diciptakan menurut gambar-Nya. (Kej. 1:27) Manusia seharusnya menampilkan wajah Allah yang berteman dengan siapa pun, namun sayang ini tidak disadari oleh banyak orang yang cenderung mengikuti keinginannya sendiri dan jatuh dalam egoisme. Apalagi pada zaman ini yang telah banyak dijiwai oleh materialisme, konsumerisme, hedonisme, menjadikan persahabatan menjadi sesuatu yang langka. Beata Teresa dari Calcutta mengatakan, “Menurut saya, penderitaan terbesar dewasa ini adalah merasa sendirian, merasa tidak dibutuhkan, merasa tidak dicintai. Termasuk juga penderitaan karena tidak memiliki siapa pun, mengabaikan keakraban dan relasi manusiawi yang sesungguhnya, tidak mengenal apa artinya dicintai, tidak memiliki keluarga atau sahabat.

Allah dalam segala kebaikan-Nya selalu memanggil manusia untuk sadar dan kembali kepada citranya sebagai gambaran Allah sendiri yang bersahabat, menampilkan wajah Allah dalam segala kerapuhan dan kelemahan manusiawi dan Allah rindu agar manusia menjalin relasi dengan Dia dan dengan sesamanya dalam hubungan yang dijiwai cintakasih yang tulus. Menjadi seorang sahabat bagi Allah dan bagi sesamanya.

Kerinduan Allah

Sejak permulaan Allah telah menciptakan manusia untuk menjalin persahabatan dengan-Nya (bdk. Katekismus Gereja Katolik No 374). Adam dan Hawa diciptakan dalam hubungan yang baik dengan Allah, ditempatkan dalam suatu keadaan kekudusan, yaitu untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan Ilahi bersama dengan Allah, menikmati kebahagiaan sempurna dengan-Nya. Namun hubungan baik ini telah rusak karena dosa manusia. Allah yang Mahabaik terus ingin memperbaiki hubungan ini lewat para nabi dan memilih mereka menjadi sahabat-sahabat-Nya untuk menyampaikan pesan–pesan penyelamatan kepada umat-Nya. Allah rindu untuk memiliki hubungan pribadi yang erat dengan manusia, bukan untuk kebahagian Allah, karena Allah adalah sempurna dalam kebahagiaan, melainkan untuk kebaikan manusia. Allah ingin menjadikan manusia sebagai sahabat-Nya, seperti dikatakan dalam kitab Keluaran, ”..TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya...”(Kel. 33:11) Dalam Surat Rasul Yakobus dikatakan bahwa Abraham disebut sebagai “sahabat Allah.” (Yak. 2:23) Allah rindu manusia pun hidup bergaul dengan-Nya, dikatakan dalam kitab Kejadian tentang nabi Nuh, “ Nuh itu hidup bergaul dengan Allah” (Kej. 6:9), Allah rindu untuk dapat berbicara dengan umat-Nya melalui para nabi. (Ibr. 1:1) Allah sangat menghargai persahatan dan menghendaki agar manusia dapat saling menjalin relasi cintakasih yang indah ini, seperti yang dapat kita lihat dalam kisah Ruth dan Naomi, Daud dan Yonatan, Maria dan Elisabet, tentunya Yesus dengan murid-murid-Nya, dalam Injil dan bagian Kitab Suci lainnya.

Yesus Sahabat Manusia

Dalam kasih-Nya yang tak terbatas, Allah mengutus Putera-Nya untuk memulihkan hubungan yang telah retak karena dosa manusia. Allah mengangkat manusia agar memiliki hubungan yang lebih intim lagi, yaitu menjadikan manusia anak-anak-Nya, sehingga kita dapat memanggil Yesus sebagai saudara sulung (Rm. 8:29), seseorang yang sangat dekat, yang memiliki hubungan pribadi dengan saudara-saudara-Nya.

Yesus yang adalah Allah telah menjadi manusia dan diam di antara kita. (Yoh. 1:14) Allah telah menjadi manusia agar dapat secara langsung bergaul, hidup di antara manusia. Ia turut serta mengalami kehidupan manusia, dikandung dalam perut seorang ibu, dilahirkan, menjadi seorang bayi, berkembang menjadi anak-anak, remaja, dewasa, dan akhirnya wafat seperti manusia lainnya. Ia berbicara seperti manusia lainnya, Ia makan dan minum, Ia terlibat dalam kehidupan manusiawi, pergi ke Bait Allah, menghadiri pesta pernikahan, mengadakan perjamuan malam, mencari nafkah. Dan yang terpenting adalah Ia bergaul dengan semua orang, apa pun status sosial mereka. Ia ingin menjadi sahabat semua orang, Ia selalu hadir bagi mereka yang berduka cita, mereka yang tertindas, Ia menangis dengan yang menangis, dan Ia ingin semua orang menjadi sahabat-Nya. Ia telah menunjukkan diri-Nya sebagai seorang sahabat melalui perkataan dan perbuatan-Nya. Ia mengajar, berkeliling mewartakan Kabar Gembira sambil berbuat baik. Ia meyembuhkan, mengampuni, meyelamatkan, menolong orang. Dalam Injil Yohanes (Yoh. 15:12-27), Yesus memanggil murid-murid-Nya “sahabat” bukan sebagai hamba. Yesus juga menyebut diri-Nya sebagai sahabat pemungut cukai dan sahabat orang-orang berdosa. (Mat. 11:19) Yesus memiliki persahabatan dengan tiga bersaudara Maria, Marta, dan Lazarus. Ia juga memiliki hubungan khusus dengan Petrus, Yohanes, dan Yakobus, sehingga mereka diajak Yesus untuk mengalami kemuliaan cahaya Tabor, tetapi juga diajak juga untuk mengalami kesedihan yang mendalam di Taman Getsemani.

Bukti bahwa Yesus mau menjadi sahabat manusia, ialah Ia mengasihi dan peduli pada manusia. Ia menderita untuk manusia, menyerahkan diri-Nya wafat di salib demi manusia, ini ditegaskan dalam Injil Yohanes, ”Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh. 15:13)

Pola Persahabatan Yesus

Rahmat indah yang diberikan Yesus kepada manusia adalah untuk menjadi seorang sahabat. Ia tahu bagaimana menjadi seorang sahabat. Di Palestina Yesus berusaha menjadi sahabat bagi semua orang, bagi mereka yang kesepian, yang tidak dihargai, dikucilkan, dan ditolak. Ia juga berusaha menjadi sahabat bagi mereka yang merasa dirinya telah hidup benar, mereka yang merasa sudah baik hidupnya. Yesus telah memperlihatkan bagaimana menjalin relasi dengan penuh kasih sayang. Ia meringankan beban hidup, menyembuhkan, menyelamatkan sehinggga tidaklah mengherankan bila hingga saat ini dan sampai sepanjang masa Yesuslah sahabat terbaik bagi semua manusia. Berikut ini akan diuraikan bagaimana cara Yesus bersahabat.

Berpikir Sebagai Seorang Sahabat

Yesus memperlihatkan perhatian yang nyata terhadap semua orang, mulai dari seorang muda yang kaya (Mat. 19:22) sampai seorang janda yang miskin (Mrk. 12:.42). Ia memperhatikan keselamatan seorang wanita pezinah yang hampir dirajam (Yoh. 8:3), Ia memperhatikan seseorang yang dianiaya dan dirampok oleh para penyamun dalam perjalanan ke Yerikho. (Luk. 10:30) Berpikir sebagai seorang sahabat berarti menunjukkan perhatian dan minat kepada orang lain.

Yesus suka mendengarkan pendapat dan pemikiran orang. Ia memperhatikan hal-hal yang umumnya dilupakan, Ia memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang. Ada orang yang terlarut pada kepentingan sendiri, menjadikan dirinya matahari dan mengharapkan sesama menjadi planet yang mengelilinginya. Sedangkan Yesus memperlihatkan perhatian yang tulus kepada orang lain.

Bertindak Sebagai Seorang Sahabat

Seringkali setelah menyembuhkan seseorang Ia berpesan agar jangan memberitahukan kepada siapa pun. (Mat. 8:4; 9:30; 12:16, Mrk. 5:43; 7:36, Luk. 4:41) Ia tidak menuntut pujian atas perbuatan-perbuatan baik-Nya. Kerinduan-Nya adalah membuat manusia bahagia tanpa memperhatikan diri-Nya sendiri. Ia selalu melakukan kehendak Bapa, melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah, bebuat baik kepada semua orang untuk kepentingan manusia bukan untuk diri-nya sendiri.

Memiliki Perasaan Sebagai Seorang Sahabat

Kepekaan terhadap perasaan orang lain merupakan unsur penting untuk sebuah persahabatan. Yesus menangis terharu ketika melihat Maria saudara Lazarus dan Marta menangis. (Yoh. 11:35) Ia menatap dengan penuh kasih seorang muda yang kaya (Mrk. 10:21), Ia tergerak hati-Nya oleh belaskasihan ketika melihat seorang janda menangis karena anaknya meninggal. (Luk. 7:13) Yesus memiliki rasa belaskasihan yang sangat besar terhadap kesulitan orang lain. Perasaan kasih mendorong-Nya untuk membantu dan menyelamatkan manusia, karena kasihlah Ia datang ke dunia untuk kepentingan manusia. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16) Yesus tahu dan mengenal apa arti kegembiraan, penderitaan, tetesan air mata, dan kemarahan. Perbuatan dan perkataan-Nya yang dijiwai oleh kasih mengungkapkan simpati, empati, dan kasih sayang, menjadikan banyak orang mengasihi dan ingin bersahabat dengan-Nya. Yesus bukanlah seorang yang dingin, Dia bukanlah orang yang acuh tak acuh, Dia adalah pribadi yang hangat dan menunjukkan kasih-Nya secara manusiawi.

Bersahabat dengan Orang Terdekat

Allah mengasihi semua manusia, siapa pun orangnya, dan ini telah ditunjukkan dengan cara hidup Yesus yang merangkul semua orang. Yesus yang sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, dalam hidup-Nya di dunia memiliki keluarga dan teman-teman terdekat yang seringkali bertemu dibandingkan dengan mereka yang sesekali saja atau belum pernah berjumpa dengan diri-Nya. Melalui merekalah Yesus menunjukkan awal persahabatan dengan seluruh dunia. Yesus memulainya dari kelompok yang kecil lebih dahulu, baru kemudian persahabatan ini meluas. Yesus begitu dekat dengan Bunda Maria dan kelompok 12 rasul, terutama Rasul Yohanes, sehingga St. Yohanes menyadari hal ini dan menyebut dirinya sebagai murid yang dikasihi Tuhan. (bdk. Yoh. 19:20) Persahabatan dengan Yesus ini yang mendorong St. Yohanes untuk mewartakan Allah yang mengasihi manusia, mengundang banyak orang untuk datang kepada Tuhan dan mengalami relasi pribadi dengan-Nya

Memperhatikan Kebajikan Orang Lain

Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26), maka Ia memiliki sifat-sifat serupa dengan Allah, yaitu dalam diri setiap manusia memiliki kebajikan. Inilah yang dilihat oleh Yesus, ”Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Sam. 16:7) Yesus melihat sisi positif dalam diri manusia. Ia melihat potensi setiap orang untuk menjadi kudus, Ia melihat diri Allah sendiri dalam diri manusia. Maka Ia dapat bersahabat dengan perempuan Samaria, yang waktu itu dianggap sebagai kaum kafir. Ia bergaul dengan pemungut cukai yang dibenci bangsa Israel, sehingga mereka menjadi sahabat-sahabat dekatnya yang bertobat, dan akhirnya mewartakan kebaikan Tuhan, seperti Zakheus dan Matius rasul.

Yesus membenci dosa, tetapi Ia tidak membenci pendosa (St. Agustinus); Yesus mencintai pendosa, Ia tidak menginginkan kematian orang berdosa, Ia mengampuni setiap orang. Sebab di dunia ini tidak ada seorang pun yang sempurna sehingga tidak memiliki kelemahan dan dosa. Inilah yang yang menjadi dasar bahwa Yesus ingin menjadi sahabat setiap manusia, karena Ia mengasihi manusia.

Setiap kali Yesus mendekati seseorang, Ia membangun orang untuk semakin mengenal Allah, membawa pertumbuhan iman, harapan, dan kasih. Seperti ketika Ia datang sebagai seorang teman yang mendampingi perjalanan dua murid ke Emaus. (Luk. 24:13) Ia datang mendekati mereka, berjalan bersama, mengadakan dialog, mendengarkan keluh kesah mereka, dan membawa mereka kepada pengenalan akan Allah. Sehingga mereka yang semula patah semangat karena kecewa, dikobarkan dan kembali ke Yerusalem menjadi pewarta Kebangkitan Tuhan Sang Sahabat.

Persahabatan Yang Mengubah

Telah banyak orang yang mengalami transformasi, setelah memiliki relasi pribadi dengan Yesus, mengalami perjumpaan pribadi dengan-Nya. Kasih-Nya cukup untuk membuat hidup ini menjadi bahagia. Api cintakasih-Nya mampu mengubah seseorang menjadi serupa dengan Dia, menjadi seorang pribadi yang bersahabat. Dialah sumber sukacita, kegembiraan yang tak terbatas. Yesuslah sahabat jiwa yang sejati, seorang teman yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain. Relasi pribadi dengan Yesus merupakan sumber rahmat untuk menjalin relasi dengan sesama. Relasi dengan Yesus tidaklah bersifat eksklusif namun akan mengalir keluar kepada orang lain. Kehangatan dan kemanisan yang mengalir dari sumbernya akan memenuhi hubungan antar pribadi dengan kasih-Nya sendiri. Yesuslah teman terbaik bagi manusia, Dia menjadi ‘man for others’ karena Ia adalah ‘Man of God’. Yesus terlibat secara aktif dalam kehidupan manusia, keberhasilan-Nya merupakan hasil dari relasi pribadi dengan Bapa Surrgawi. Ia sering pergi sendirian untuk berdoa kepada Allah Bapa, dan inilah yang menjadi sumber inspirasi untuk juga menjalin relasi dengan manusia. Menurut St. Teresa Avila doa tak lain merupakan persahabatan yang intim, suatu percakapan dari hati ke hati dengan Dia yang kita kenal dan yang mengasihi kita. Maka lewat doalah relasi kita dengan Allah menjadi lebih berkembang yang kemudian akan mengubah pribadi kita sendiri menjadi seorang pribadi yang bersahabat.

Kamu adalah Sahabat-Ku

Yesus telah memilih banyak orang untuk menjadi rekan-rekan kerja-Nya, ”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap.” (Yoh. 15:6) Ia ingin agar kita berbuah, bekerja untuk mewartakan kasih-Nya, agar lebih banyak orang yang dapat menikmati kehangatan dan kemanisan persahabatan-Nya. Untuk itu kita perlu tetap tinggal dalam Dia dengan menjadi teman karib-Nya (Yoh. 15:15) dan melakukan apa perintah-perintah-Nya, “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.” (Yoh. 15:14) Semua adalah untuk kebahagiaan kita sendiri yang telah mencicipi kasih yang sempurna, suatu berkat rohani dari Surga, sehingga mendorong kita untuk mengasihi Dia dalam diri sesama dengan cinta yang tulus, cinta persaudaraan yang sejati. Berpikir, bertingkah laku, berbicara sebagai sahabat terhadap orang lain, karena Allah telah lebih dahulu mengasihi kita sebagai sahabat-Nya.