Print
Hits: 7639

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Perlahan namun pasti matahari bergulir semakin ke Barat. Permukaan Danau Tiberias yang kini jingga seolah siap menyambut sang mentari yang hendak beristirahat. Dengan tatapan nanar, Petrus memandang jauh tak terpusat. Sekali-kali ditariknya nafas dalam-dalam, dan setiap kerutan dahinya seolah berkata, “Aku sedih bagai sekarat.“

Setelah lama berdiam diri, akhirnya Petrus pun menoleh kepada teman-temannya, “Aku pergi menangkap ikan.“ ″Kami pergi juga dengan engkau,“ demikian teman-temannya menyahut. Para murid Yesus itu pun bertolak dari pantai danau, dan membiarkan diri digoyang ombak yang mengalun lembut. Suasana kesedihan menyelimuti hati para murid, karena kini tidak ada lagi Yesus dalam perahu. Tidak ada lagi Yesus yang mengajar. Tidak ada lagi Yesus yang berjalan di atas air. Singkat kata, Yesus tidak ada lagi. Salib telah ditinggikan dan Yesus telah direndahkan hingga ditelan bumi. Masih adakah harapan untuk kebahagiaan?

1. Penderitaan Mendewasakan Manusia

Ada begitu banyak penderitaan yang tak dapat kita hindarkan. Kesulitan, kesedihan, kehilangan, semua mengelilingi kita bagai awan tebal yang enggan beranjak. Mungkin kita bisa membatasi penderitaan, bahkan melawannya, namun siapakah yang dapat menghilangkannya? Ketika kita mencoba untuk lari dari penderitaan, dan menarik diri dari segala sesuatu yang menyakitkan, justru tiba-tiba kita temukan diri terdampar dalam kehidupan yang hampa, mengambang, dan kosong. Mengapa gerangan?

Menyingkir atau menghindar dari penderitaan tidak akan menyembuhkan kita. Kita akan disembuhkan justru dengan menerima penderitaan, karena kita akan menjadi dewasa melaluinya, dan menemukan maknanya dalam persatuan kita dengan Kristus yang telah menderita dengan cinta tak terbatas. Bersama Yesus, kita temukan makna penderitaan sebagai jalan penyucian yang menuju kedewasaan. Jalan penderitaan adalah jalan harapan. Seorang martir Vietnam Paul Le-Bao-Tinh mengatakan,

″Aku Paul, dirantai bagi nama Kristus, ingin menceritakan kepadamu pencobaan yang setiap hari menggangguku. Dengan demikian, engkau akan dibakar dengan cinta bagi Allah dan bergabung bersamaku dalam memuji-Nya, karena bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. (bdk. Mzm 136) Penjara di sini benar-benar merupakan gambaran dari neraka abadi. Siksaan keji mulai dari borgol dan rantai besi, masih ditambah lagi kebencian, dendam, fitnah, sumpah serapah, perselisihan, kutukan, keterpurukan, dan kesedihan yang mendalam, semua menjadi santapan sehari-hari. Akan tetapi, Allah yang telah membebaskan tiga pemuda dari tungku api, yangselalu bersamaku. Dia telah memerdekakan aku dari kengerian ini dan membuat segalanya menjadi manis, karena bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Di tengah segala siksaan yang mengerikan ini, rahmat Allah memenuhi aku dengan kegembiraan dan sukacita. Aku tidak sendiri, karena Kristus bersamaku. Setiap hari kumelihat para kaisar dan pejabat beserta ajudannya menghujat Engkau, oh Tuhan yang bertahta di atas kerubim dan serafim. Bagaimana aku bisa tahan menghadapi pemandangan ini? Lihatlah, para kafir telah menginjak-injak salib-Mu. Di manakah kemuliaan-Mu? Melihat ini semua, dengan cinta menggebu yang kumiliki bagi-Mu, kunyatakan bahwa aku lebih suka tubuhku dicabik-cabik dan mati sebagai saksi cinta-Mu. Oh Tuhan, tunjukkanlah kekuatanmu, selamatkanlah aku, peliharalah aku, sehingga dalam kelemahanku kekuatan-Mu dinyatakan dan dimuliakan di hadapan seluruh bangsa.”

Paul mengalami pertumbuhan dalam hidup rohaninya, justru karena dengan tabah ia menghadapi setiap penderitaan yang memadati hari-harinya. Setapak demi setapak jalan penderitaan, menghantar jiwa menuju puncak kedewasaan rohaninya.

Byurr.. kembali jala dilepaskan ke dalam laut oleh para murid Yesus, namun lagi-lagi jala itu kosong. Tidak ada seekor ikan pun yang dapat mereka tangkap sepanjang malam itu. Sungguh malam yang suram. Jala yang kosong itu seolah mengejek hati mereka yang hampa sejak ditinggal Guru tercinta. Dengan membisu mereka biarkan diri diayun ombak malam, yang tanpa mereka sadari justru membawa mereka semakin dekat dengan saat-saat yang berharga, saat mereka akan berjumpa dengan Sang Guru.

Demikianlah kedewasaan terjadi saat jiwa mengalami perjumpaan dengan Allah. Sesudah malam selalu ada fajar menyingsing. Di ujung gelapnya gua penderitaan selalu ada secercah cahaya harapan, karena Yesus berdiri di sana, menantikan kita yang sedang berlatih berjalan. Merangkak, merambat, terluka oleh tajamnya bebatuan gua, namun setiap luka itu membuat kulit semakin tebal, dan kaki semakin kuat. Harapan di ujung gua itu memberikan kekuatan untuk terus berjalan sekali pun luka-luka di kaki sungguh menyakitkan. Hingga akhirnya, dengan lincah kita pun dapat melangkah, menjumpai Dia yang menantikan kita dan memberikan segala rahmat-Nya.

“Allah, Dialah yang mengikat pinggangku dengan keperkasaan dan membuat jalanku rata, yang membuat kakiku seperti kaki rusa dan membuat aku berdiri di bukit.” (Mzm 18:33-34)

2. Derita adalah Cinta

Keluhan Petrus, ″Aku pergi menangkap ikan,“ segera disahut oleh teman-temannya, ″Kami pergi juga dengan engkau.“ Kualitas seseorang ditentukan dari seberapa mampu ia menanggung derita dan seberapa baik ia dapat menerima dan mengerti penderitaan orang lain. Teman-teman Petrus bisa merasakan kepedihan luka hati Petrus, dan bahkan lebih dari itu, mereka ingin ikut menanggung penderitaan itu bersama-sama. Orang yang tidak dapat mengerti penderitaan orang lain adalah orang yang berhati kejam. Dan orang tidak akan dapat mengerti penderitaan orang lain, kecuali dia sendiri pernah mengalami penderitaan, dan menemukan makna yang indah di balik penderitaan tersebut.

Menerima penderitaan sesama berarti kita mengambil penderitaannya sedemikian rupa sehingga seolah penderitaan itu menjadi penderitaan kita juga. Penderitaan itu menjadi penderitaan bersama yang ditembus oleh terang cinta.

Apabila di dalam benak setiap orang ada pikiran “kesejahteraanku dan kepentinganku yang paling utama,” maka kebenaran dan keadilan tinggallah sebuah dongeng belaka. Kekerasan dan ketidakbenaran akan segera berdaulat. Oleh karena itu, setiap orang perlu menanamkan dalam diri sendiri, “Kebenaran dan keadilan harus berdiri di atas kenyamanan dan kesejahteraan fisikku, kalau tidak, hidupku adalah sebuah kebohongan.” Pada akhirnya, jawaban “YA” kepada cinta menjadi sumber penderitaan, karena cinta adalah keluar dari diri sendiri. Cinta membutuhkan penghilangan “aku” dan membiarkan diri semakin kecil dan disakiti. Cinta tidak akan pernah ada tanpa penolakan terhadap diri sendiri yang menyakitkan. Tanpa itu semua, cinta hanyalah sebuah keegoisan murni dan bukan lagi cinta. Paul Le-Bao-Tinh, sang martir Vietnam, masih dapat melihat sesamanya yang menderita walau hidupnya sendiri penuh penderitaan.

“Saudara-saudara tercinta, ... aku menuliskan hal-hal ini kepadamu supaya imanmu dan imanku dipersatukan. Di tengah-tengah segala taufan dan guntur aku melemparkan jangkarku ke singgasana Allah. Jangkar itu tidak lain adalah harapan hidup hatiku. Ini adalah sebuah surat dari "Neraka", yang mengandung semua kengerian dari sebuah concentration camp. Begitu banyak penyiksaan dan kekejaman, namun semuanya itu menyingkapkan kebenaran Mazmur, “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam, maka kegelapan pun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.”

Melalui wafat-Nya Yesus masuk ke alam maut, Ia turun ke "Neraka," dan karenanya Dia dekat dengan mereka yang dilemparkan ke sana. Ia mengubah kegelapan mereka menjadi terang. Penderitaan dan penyiksaan memang masih mengerikan dan hampir tak tertahankan. Namun bintang harapan telah bangkit, jangkar hati manusia kini dapat menggapai singgasana Allah. Kejahatan dilepaskan dalam diri manusia, Sang Cahaya bersinar penuh kemenangan, penderitaan bukan lagi penderitaan, melainkan berubah menjadi sebuahhymne pujian.

Inilah solidaritas Allah terhadap derita manusia, yang terjadi karena adanya cinta. Mereka yang mengaku sebagai murid Kristus perlu menjadikan hal ini sebagai teladan utama dalam hidupnya. Melupakan diri sendiri, melenyapkan “si aku”, mati terhadap diri sendiri, ini semua dilakukan agar orang lain hidup, hingga akhirnya kita pun dapat berseru bersama dengan Santo Paulus,

“Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal 2:20)

3. Derita Melahirkan Harapan, Membangkitkan Iman

Malam merambat dari menit ke menit, dari jam ke jam, dan para murid pun saling bertatapan. Hari sudah hampir pagi, namun tak seekor ikan pun sudi singgah ke dalam jala mereka. Sudah lama rasanya dunia tak memihak mereka lagi. Hati mereka yang hampa semakin terhanyut oleh deburan ombak yang melantunkan nyanyian kesedihan, kehilangan, dan kegagalan.

Segala jenis dan ukuran kegagalan pernah kita alami dalam kehidupan ini. Itu semua melelahkan dan menghancurkan, kecuali jika ada sinar terang harapan agung yang tidak dapat dihancurkan oleh apa pun juga. Kalau kita tidak dapat lagi berharap lebih dari yang bisa kita pikirkan, dengan segera hidup kita menjadi hidup yang tanpa harapan. Sungguh penting untuk dapat terus berharap, bahkan jika tampaknya tidak ada apa pun yang dapat diharapkan lagi. Ada sebuah kepastian besar bahwa di atas semua kegagalan, hidup kita dipegang teguh oleh kekuatan Cinta yang tak terhancurkan. Harapan inilah yang akan memberikan keberanian dan daya tahan uji bagi kita.

“Bukan, aku tidak kenal Dia!” Itulah kegagalan Petrus yang pertama di malam itu. Ia menyangkal Yesus, Guru yang sebetulnya sangat ia cintai. “Bukan, aku tidak!” Itulah kegagalan Petrus yang kedua. “Bukan, aku tidak tahu apa yang engkau katakan!” Astaga! Hanya dalam waktu singkat Petrus sudah tiga kali menyangkal Gurunya. Maka berkokoklah ayam, dan Yesus pun berpaling memandang Petrus. Sebuah tatapan yang sulit untuk digambarkan. Tak ada penghakiman, tak ada pertanyaan, hanya ada kasih penuh pengertian. Tak tahan menanggungnya, Petrus pun berlari meninggalkan tempat itu dengan sedihnya. (bdk. Luk 22:57-62)

Kini Petrus hanya bisa diam termangu di perahu. Kegagalan itu begitu menyakitkan. Tidak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini selain jika kita sendiri menyakiti orang yang kita cintai. Dan yang lebih menyakitkan bagi Petrus adalah tak ada lagi kesempatan untuk meminta maaf, untuk memperbaiki kesalahan, karena beberapa jam kemudian setelah kejadian itu Sang Guru pun wafat di kayu salib.

Angin laut bertiup semakin dingin, membuat hati Petrus pun semakin ciut. Sedikit demi sedikit segala sedih, gagal, dan derita menghabiskan hatinya. Sungguhkah habis? Tidak, ternyata tidak. Ada sebuah kobaran kecil, memang sangat kecil, hampir pudar, tetapi tidak pernah mati, berpijar di relung terdalam hatinya. Itulah pijar harapan, yang akan terus menyala sekalipun semuanya sudah mati. Dan bahkan nyala harapan itulah yang akan menyulut api lainnya. Penderitaan mengajarkan banyak kepada kita tentang pengharapan. Pengharapan yang memampukan kita untuk terus melangkah karena kita tahu kepada Siapa kita percayakan hidup ini. Inilah penderitaan yang melahirkan harapan, membangkitkan iman.

Tak terasa hari pun mulai siang. “Hai anak-anak, apakah kamu mempunyai lauk pauk?” Di tepian pantai Danau Tiberias berdirilah Yesus memanggil para murid-Nya. Jawab mereka, "Tidak ada." Maka kata Yesus kepada mereka, "Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu peroleh." Lalu mereka menebarkannya dan mereka tidak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan. Maka murid yang dikasihi Yesus itu berkata kepada Petrus, "Itu Tuhan." Ketika Petrus mendengar, bahwa itu adalah Tuhan, maka ia mengenakan pakaiannya, sebab ia tidak berpakaian, lalu terjun ke dalam danau. (bdk. Yoh 21:5-7)

Dua ribu tahun yang lalu, tepian pantai Danau Tiberias merekam peristiwa sejarah yang penting, sekaligus sangat indah dan manis. Dua pasang mata saling menatap penuh kasih, tidak ada rasa takut karena merasa bersalah dan ingin lari, juga tidak ada tatapan sakit hati dan dendam karena telah disangkal. Yang ada hanyalah kasih, kasih, dan semata kasih. “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Tuhan tahu, teman-temannya tahu, bahkan ikan-ikan di laut pun tahu betapa Petrus mengasihi Gurunya. Dengan segenap cinta yang ada Petrus pun menjawab, “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” (Yoh 21:15) Saat itulah Yesus memandang murid-Nya yang sudah mulai dewasa ditempa derita. Penderitaan telah membuatnya bertumbuh dalam iman, harapan, dan kasih. Oleh karena itu, tak heranlah ketika akhirnya Yesus berkata, “Gembalakanlah domba-dombaku.”

Yesus menderita untuk kita dan bangkit untuk kita pula. Masa Prapaska diwarnai dengan pantang, puasa, dan penyangkalan diri. Itu semua adalah latihan sederhana untuk mati terhadap diri sendiri. Di dalam masa Prapaska ini kita diajak untuk menderita demi Kristus agar pada saatnya nanti kita juga dapat bangkit bersama Dia. Di penghujung Prapaska ada Paska. Itulah yang perlu kita pegang selalu dalam keseharian kita, terutama saat bergumul dalam derita. Akan ada Paska bagi kita semua dan biarlah harapan itu terus menyala di hati kita.

“Angin topan bertiup menimpa pohon-pohon, menggugurkan daun-daun kering, dan merontokkan ranting-ranting lapuk. Akan tetapi, topan itu tak dapat mencabut Salib Suci yang tertanam dalam di perut bumi. Jangan menyesali hilangnya ranting-ranting itu. Jika tidak ada angin pun mereka pasti akan jatuh, dan jika mereka tidak jatuh pun masih tetap perlu dipangkas. Jika engkau ingin menghindari penderitaan, jangan berharap untuk menjadi seorang kudus.” (Kardinal Nguyen Van Thuan)