Print
Hits: 6552

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

 


Kita pernah melayat orang yang meninggal. Ada yang meninggal karena penyakit, kecelakaan dan usia tua. Ternyata, tak semua orang meninggal di usia tua, tapi banyak pula meninggal di usia belia. Apa itu kematian? Mengapa ada kematian? Bagaimana menghadapi kematian? Kita belajar dari Yesus.

Gereja mengajarkan tentang makna kematian. Sebab, dalam kematian, adalah suatu peristiwa yang akan dialami semua yang hidup. Namun, kita tak perlu takut menghadapi kematian. Kematian perlu dihadapi dalam iman yang besar. Sebab, kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan suatu peralihan dari hidup yang fana menuju hidup yang abadi. Artinya, sesudah perjuangan besar di dunia, kita penuh harapan masuk dalam kemuliaan surgawi.

Ajaran Kitab Suci menuturkan kisah kematian. Kendati, Yesus dan nabi Elia mampu membangkitkan orang yang mati, namun mereka akan mati kembali. Berbeda dengan Yesus yang bangkit dari alam maut untuk selamanya. Demikian juga dengan bacaan kedua, Santo Paulus memberikan kesaksian bagaimana dia mengalami “kematian atas dosa-dosa” supaya ia mampu hidup bagi Kristus, mewartakan tentang kebangkitan Kristus, dan ia menyadarkan kita bahwa panggilan Tuhan sebagai seorang Kristen adalah rahmat Allah, bukan sekedar usaha manusia belaka.

Bagi kita yang percaya pada Kristus dalam Gereja Katolik, kematian adalah anugerah. Para kudus pun merindukan dan mengalami kematian yang suci. Kerinduan mereka supaya dalam hidup ini, mereka hidup dalam pertobatan, pemurnian, dan menanggung salib dengan sukacita. Itulah api penyucian  di dunia yang lebih menguduskan daripada api pemurnian sesudah kematian. Hanya dengan hidup dan ambil bagian dalam penderitaan Kristus dalam hidup di dunia, kita mampu mengalami kemuliaan surgawi, memuliakan Allah selama-lamanya.

Realitas kematian menyadarkan kita bahwa kita sungguh membutuhkan Allah dan kuasa rahmat-Nya. Hidup ini sepenuhnya milik Allah. Hidup tak dapat disia-siakan. Hidup perlu dihayati, dimaknai, dinikmati dalam terang rahmat Allah. Hanya dalam terang iman, kita pun siap menghadapi kematian kapan pun dan di mana pun. Baik pula kita merenungkan kebijaksanaan yang menyatakan bahwa “bersiaplah untuk mati hari ini, dengan demikian kita sungguh hidup berkenan di hadapan Allah.”

Rm. Serafim Maria, CSE