Print
Hits: 5197

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Kata “paus” pasti bukan merupakan kata yang asing bagi sebagian besar penduduk dunia jaman sekarang, apalagi bagi umat Katolik. Rasanya dalam pikiran kita belum hilang, gambaran Paus Yohanes Paulus II yang baru beberapa tahun yang lalu digantikan oleh Paus Benediktus XVI. Dua paus terakhir ini sangat dikenal banyak orang karena peran dan karyanya, baik di dalam Gereja Katolik maupun di luar Gereja Katolik, misalnya dalam dialog antar agama dan sebagainya. Bahkan dalam salah satu pidatonya, Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush, yang beragama Kristen non Katolik, menyebutkan bahwa paus di Vatikan merupakan kekuatan moral dunia.

Seorang tokoh yang disebut sebagai “paus” dalam Gereja Katolik benar-benar menduduki posisi sentral dan penting. Tetapi, apakah setiap orang-khususnya orang Katolik-mengerti dengan benar dan sungguh-sungguh siapa dan apa artinya kehadiran paus? Berbagai kebingungan-bahkan secara ekstrem ada yang kehilangan iman Katolik hanya karena tidak bisa membela diri sewaktu diserang oleh orang beragama lain sehubungan dengan eksistensi paus-menunjukkan pengertian dangkal yang dimiliki oleh banyak orang Katolik.

Paus dalam Kitab Suci

Tidak pernah ada kata “paus” dalam Kitab Suci. Akan tetapi, di dalam Kitab Suci tidak ada pula kata-kata: “Tritunggal”, “sakramen”, “evangelisasi”, “liturgi”, dan kata-kata lain yang lumrah dipakai dalam Gereja zaman ini. Tiadanya suatu kata atau istilah dalam Kitab Suci tidak berarti bahwa ia bukan bagian ajaran ataupun Tradisi Gereja.

Kata “paus” memang tidak ada dalam Kitab Suci, tetapi teks yang berbicara tentang otoritas dan keutamaan peran Petrus amat banyak. Dalam daftar para rasul ia selalu ditempatkan pada posisi pertama (lih. Mat 10:2-4; Mrk 3:16-19; Luk 6:14-16; Kis 1:13). Bahkan di dalam Luk 9:32, hanya dikatakan: “Petrus dan teman-temannya...” Ia tampil sebagai pemimpin dan mewakili para rasul dalam banyak kesempatan, misalnya dalam Mrk 8:29; Luk 12:41; Yoh 6:69; Kis 2:14; 5:29. Beberapa kali ketika Yesus bertanya kepada para murid, Petruslah yang ditanya-Nya sebagai wakil dari mereka (bdk. Mrk 14:37; Luk 7:40). Santo Petrus hadir dalam kisah-kisah terpenting dalam Perjanjian Baru. Petruslah yang pertama kali berkhotbah kepada orang banyak saat Pentakosta dan kepada Petruslah Tuhan menampakkan diri untuk menyatakan bahwa pembaptisan juga harus diberikan kepada bangsa lain (Kis 10:44-48).

Mengapa Petrus yang dipilih? Mengapa bukan Yohanes, yang menurut Tradisi ialah “Murid yang dikasihi” dalam Injil Yohanes? Mengapa bukan Natanael atau Bartolomeus yang digelari “seorang Israel yang sejati” (Yoh 1:47) oleh Yesus sendiri? Inilah misteri panggilan Tuhan. Petrus, seorang nelayan kasar dari Galilea diangkat-Nya menjadi pondasi Gereja, justru untuk menunjukkan kebesaran Tuhan sendiri. Petrus memperoleh otoritas tertinggi dalam Gereja bukan karena kepantasan dirinya. Ia bahkan pernah menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Petrus memperoleh status tersebut semata-mata karena pemberian Tuhan Yesus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18).

Seorang penulis Kristen non Katolik bernama Loraine Boettner pernah mempersoalkan Mat 16:18 ini. Pendapatnya sampai sekarang masih digunakan di kalangan Kristen non Katolik untuk melawan supremasi Petrus dan pengganti-penggantinya. Dalam bahasa Yunani (Injil Matius ditulis dalam bahasa Yunani, meskipun ada ahli yang mengatakan bahwa Injil tersebut merupakan terjemahan dari Injil yang sudah hilang, berbahasa Aram/Ibrani), kata yang dipakai untuk “batu karang” ialah “petra”. Ada pun nama Petrus ada Petros. Jadi, bunyinya seperti ini: “Engkau adalah Petros dan di atas petra ini Aku akan …” Dalam bahasa Yunani, petros berarti batu kerikil, yang mudah tergeser. Petra sebaliknya, berarti batu pondasi yang tak tergoyahkan. Petros ialah kata benda bersifat maskulin, sedangkan petra bersifat feminin. Bagi Boettner, kata petra yang feminin tidak mungkin mengacu pada Petrus. Menurut dia, kata ini tampaknya mengacu pada pernyataan iman Petrus, bukan pribadi Petrus sendiri.

Argumen Boettner tampak meyakinkan. Namun, dia lupa bahwa semua perkataan Yesus dalam Injil Matius ialah terjemahan dari bahasa Aram. Yesus berkata kepada Petrus pada waktu itu dalam bahasa Aram! Di dalam bahasa Aram tidak ada perbedaan antara kata pertama dan kedua. Bunyi kalimat itu seharusnya: “Engkau adalah Kepha dan di atas kepha ini Aku akan …” Masalahnya, dalam bahasa Yunani “batu karang” punya sifat feminin. Ketika menyebut nama Petrus, tidak mungkin bagi Matius untuk memakai kata “petra”. Sebagai gantinya, dia memakai kata “Petros”.

Sebagai manusia, Petrus lemah. Yesus sangat memahami hal tersebut sehingga Ia mengingatkannya untuk waspada, “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Luk 22:31-32). Ini sangat penting karena berkaitan dengan janji Yesus kepadanya:

“Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat 16:18-19).

“Alam maut tidak akan menguasainya”. Artinya, status Petrus dan para penggantinya bersifat kekal. Meskipun Takhta Petrus ini akan digoncang Iblis, mereka tidak akan berhasil meruntuhkannya. Sebabnya ialah: doa Yesus! Brian Van Hove, seorang imam Katolik, mencatat bahwa dalam kurun waktu 250 tahun terakhir ini setidaknya ada tiga kali prediksi yang tercatat dalam sejarah bahwa paus yang terpilih waktu itu akan menjadi paus yang terakhir (Paus Klemens XIII 1769-1774; Paus Pius VI 1775-1799; Paus Leo XIII 1878-1903). Kita semua tahu bahwa hal itu tidak pernah terjadi.

“Kepadamu akan kuberikan kunci Kerajaan Surga”. Hanya satu kali kata “kunci” atau “anak kunci” dipakai dalam Perjanjian Lama (Yes 22:22) dan enam kali dalam Perjanjian Baru (Mat 16:19; Luk 11:52; empat kali dalam Why: 1:18; 3:7; 9:1; 20:1). Ada kemiripan besar antara Yes 22:22 dan dua teks dalam Perjanjian Baru, yakni Mat 16:19 dan Why 3:7. Dalam Kitab Nabi Yesaya, kunci tersebut diberikan kepada Elyakim bin Hilkia, kepala istana pada zaman Raja Hizkia. Kunci di sini berarti kuasa untuk membuat aturan, mengganjar, dan menghukum. Ide yang sama tampak jelas dalam Why 3:7. Di sana Yesus digambarkan sebagai pemegang kunci atas alam maut. Dialah yang membuka pintu supaya Jemaat Filadelfia dapat masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Di dalam Injil Matius, ternyata Yesus memberikan kunci yang menjadi milik-Nya ini kepada Petrus! Petruslah yang diberi kuasa untuk membuat aturan, mengganjar, dan menghukum! Bedanya dengan kuasa milik Elyakim, kuasa Petrus ini berlaku baik di dunia maupun di sorga, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat 18:18).

Petrus memiliki tempat yang utama dalam jajaran para rasul. Ini tidak bisa dipungkiri. Sebagaimana para rasul kemudian digantikan oleh uskup mereka, Petrus pun memiliki penerus. Pada awalnya Petrus berdomisili di Antiokhia. Lalu, ia pindah ke kota Roma, memimpin Jemaat di Roma selama dua puluh lima tahun sampai wafat sebagai martir sekitar tahun 65 M. Sejak saat itu, Uskup Roma dipandang memiliki wewenang khusus sebagai pengganti Petrus. Misalnya, St. Klemens I, yang menjadi Uskup Roma IV pada tahun 88-97 M. Dalam salah satu suratnya, yang sekarang lazim dikenal sebagai “1 Klemens”, memberikan teguran tegas kepada umat di Korintus yang jelas berada di luar wilayahnya. Namun, tegurannya dihormati oleh umat Korintus, sebagaimana diakui oleh Dionisius, uskup yang berkuasa di Korintus kurang dari seratus tahun setelah surat Klemens itu ditulis.

Kunci atau wewenang yang dimiliki oleh Petrus dan para penggantinya diteguhkan oleh Yesus setelah kebangkitan-Nya. Pada saat menampakkan diri kepada para murid, Yesus menarik Petrus untuk berbicara secara khusus. Di dalam pembicaraan itu, Yesus sampai tiga kali meneguhkan kuasa penggembalaan Petrus: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:15-17). Dengan itu, dia menjadi Gembala Agung Gereja atas segala persoalan iman dan moral.

Saat bimbang karena serbuan banyak paham teologi yang sesat, St. Hieronimus (342-420) menyatakan kesetiaannya kepada Takhta Petrus yang waktu itu dijabat Paus Damasus:

“Musuh-musuh yang tak kenal lelah menguntitku dalam jarak dekat, dan serangan yang kualami di padang gurun semakin menjadi. Sebab terpaan Arian menggila, dan kuasa-kuasa dunia mendukungnya. Gereja terkoyak menjadi tiga kubu, dan ketiga-tiganya berusaha menjadikan diriku milik mereka… Sementara aku terus berseru: ‘Dia yang setia penuh pada Takhta Petrus, dialah yang kuterima.’”(Surat XVI: Kepada Paus Damasus)

Sebagai pengganti Petrus, seorang paus menjadi juru kunci terakhir atas segala perdebatan menyangkut iman dan moral Gereja. Dia pulalah yang harus mensahkan hukum yang mengikat seluruh Gereja. Semua uskup lain harus memandang dia sebagai penentu keputusan tertinggi. Karena wewenang dan tuntutan tugasnya ini, seorang paus memiliki karunia infalibilitas (kebal salah).

Infalibilitas

Banyak orang Protestan (bahkan ada juga orang-orang Katolik) yang salah paham tentang ajaran Gereja Katolik mengenai infalibilitas paus. Mereka mengira dengan itu, Gereja Katolik mau mengatakan bahwa paus itu suci dan tidak pernah salah dalam segala tindakannya. Bukankah setiap orang telah berdosa? (bdk. Rm 3:23)

Memang benar, Gereja mengakui bahwa tidak ada orang yang tidak berdosa, kecuali Bunda Maria dan Yesus. Itu berarti paus pasti pernah berdosa pula. Hal itu sangat jelas. Tidak pernah Gereja mengatakan bahwa paus bebas dari dosa. Banyak paus yang dalam masa-masa kegelapan Gereja, memang hidup dengan keadaan tidak terpuji. Jelas, kebal salah tidak berarti tidak berdosa. Kebal salah di sini hanya berarti bahwa karena kuasa Roh Kudus, paus tidak mungkin salah dalam mengajarkan masalah iman dan moral. Infalibilitas ini merupakan suatu konsekuensi wajar dari janji Tuhan kepada Petrus dan para penggantinya yang mewarisi kunci Kerajaan Surga. Seorang paus tidak mungkin salah dalam memberikan patokan moral dan iman, demi Gereja. Ini karunia yang diberikan bersamaan dengan pemberian janji Tuhan kepada Petrus. Karunia ini bahkan tidak berlaku tanpa syarat-syarat khusus. Gereja Katolik mengajarkan bahwa paus hanya kebal salah ketika syarat-syarat berikut dipenuhi semua:

 

Melihat syarat-syarat di atas bisa dilihat konsep infalibilitas ini tidak biasa. Memang itulah yang benar. Karunia infalibilitas ini hanya berlaku dalam kondisi luar biasa. Pada dua abad terakhir ini hanya tercatat dua kali paus mengumumkan penggunaan karunia ajaran ini. Pertama untuk mengumumkan dogma Maria Dikandung tanpa Noda (Paus Pius IX, 1854) dan kedua ketika Paus Pius XII mengumumkan dogma Maria Diangkat ke Surga tahun 1950.

Kedua dogma yang terakhir diumumkan sebenarnya bukan hal yang baru. Sudah sejak lama Gereja yakin akan keadaan Maria yang tanpa noda dan diangkat ke Surga, hanya sekarang diteguhkan secara resmi saja. Dalam Gereja ada yang disebut depositum fidei, warisan iman dari zaman para rasul. Tidak semua deposit tersebut dijabarkan karena dunia tidak akan sanggup memuat semua buku yang diperlukan untuk itu (bdk. Yoh 21:25).

Sebenarnya depositum fidei inilah yang memiliki infalibilitas yang sesungguhnya. Dialah warisan iman rasuli berdasarkan pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus. Deposit ini dipelihara oleh Gereja. Karena itu, Gereja sebagai Gereja kebal salah pula. Secara khusus, deposit iman ini dipelihara dan diwariskan turun-temurun oleh para uskup. Berdasarkan ini, kolegialitas para uskup yang berkumpul, berbicara, dan memutuskan sesuatu berkenaan soal iman dan moral juga memiliki karunia infalibilitas. Keputusan mereka dapat dibaca dalam dokumen-dokumen hasil Konsili. Paus kadang-kadang berbicara mewakili mereka semua (Gereja dan kolegialitas para uskup). Di sinilah ia tidak bisa salah. Dalam arti ini, sebenarnya paus hanya meneruskan keyakinan Gereja universal.

Kedua dogma tentang Maria di atas misalnya, tidak dikeluarkan begitu saja. Ribuan angket disebarkan ke seluruh dunia, dikumpulkan kembali. Kemudian hasil angket didiskusikan oleh teolog-teolog terkemuka. Hasil diskusi mereka kemudian dibaca dan dipertimbangkan matang oleh paus sebelum akhirnya disetujui dan diumumkan. Prosesnya sangat lama, tetapi Gereja selalu memiliki waktu untuk itu.

Infalibilitas paus hanya soal iman dan moral. Ini jelas. Terkadang paus bisa mengeluarkan pendapat yang keliru tentang ilmu pengetahuan. Kekeliruan yang sangat terkenal ialah ketika Tribunal Gereja (Pengadilan Tertinggi Gereja Katolik) menghukum Galileo Galilei dan menyatakan bahwa keyakinannya bahwa bumilah yang mengelilingi matahari (heliosentris) itu keliru. Peristiwa ini sering dipakai orang-orang fundamentalis untuk menyerang infalibilitas paus. Namun, mereka salah mengerti dalam beberapa hal. Pertama, ini bukan soal iman dan moral. Ini soal pengetahuan. Kedua, bukan paus yang memutuskan, minimal secara implisit, melainkan pengadilan Gerejalah yang bekerja. Ketiga, keputusan ini tidak pernah dinyatakan oleh Gereja sebagai keputusan infalibilis. Dalam sejarah, Gereja sering minta maaf untuk kekeliruan yang pernah dilakukannya. Dalam kasus Galileo, Gereja bahkan menerbitkan edisi perangko khusus Galileo sebagai pernyataan sesal atas kekeliruannya.