User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 


PENGANTAR

Setelah berita kematian Sri Paus Yohanes Paulus II pada 2 April 2005 silam, beramai-ramai orang membicarakannya sebagai tokoh yang paling banyak berjasa dalam menciptakan perdamaian dunia. Ia juga seorang tokoh yang mampu berdialog dengan agama-agama lain seperti Islam, Yahudi, Ortodoks, Budha dan merangkul mereka semua dalam menciptakan persaudaraan sejati. Selain itu, salah satu jasa beliau yang tidak pernah kita lupakan adalah dalam bidang moral. Ajaran moralnya tegas dan cenderung dinilai konservatif. Namun justru karena ketegasannya, ia mampu membangun tatanan moral yang jelas di tengah dunia yang moralitas peradaban manusianya semakin hancur. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Yohanes Paulus II adalah seorang “navigator moral” di tengah badai yang melanda dunia ini. Dia adalah seorang “arsitek” Gereja di zaman kita.

MEMBANGUN MORALITAS DUNIA MODERN

Ajaran moral Yohanes Paulus II muncul tatkala dunia diguncang oleh ide mengenai “relativisme moral”. Ide ini muncul ketika di awal abad ke-20 pandangan filosof Friedrich Nietsche menjadi “dewa baru” yang melanda pikiran manusia. Friedrich Nietsche memproklamirkan “kematian Allah”. Ide “kematian Allah” membuat moralitas hancur berantakan. Sebab apa yang disebut dengan moralitas referensinya adalah Allah. Ketika “Allah mati” dengan sendirinya moralitas tuntas, selesai. Lalu Nietsche mengedepankan kebebasan manusia dalam pengertian bahwa manusia menjadi tuan atas dirinya sendiri. Oleh karena manusia menjadi tuan atas dirinya maka apa yang disebut “baik, buruk, dosa”, dan segala yang berkaitan dengan moral tergantung sepenuhnya pada manusia. Dengan demikian moralitas tergantung pada “aku yang bebas”. Sebab tidak ada referensi lagi yang dapat dijadikan sebagai sumber moralitas manusia. Segalanya menjadi relatif.

Pandangan di atas dilawan oleh ajaran moral Paus Yohanes Paulus II yang didasarkan pada penghormatan terhadap martabat pribadi manusia. Allah adalah referensi utama moralitas. Dalam hal ini Injil dan Tradisi Gereja menjadi sumber refleksi utama mengenai moralitas. Oleh karena itu, Yohanes Paulus II mewartakan Injil Kehidupan (Evangelium Vitae/EV) kepada segala bangsa. Evangelium Vitae adalah nama Ensiklik Paus Yohanes Paulus II berisi tentang moralitas Kristiani. Sesuai dengan namanya, dalam Ensiklik ini dia mewartakan bahwa Injil adalah kabar gembira yang mewartakan kehidupan dan keselamatan kepada manusia bukan mewartakan kematian atau maut.

Seluruh naskah Evangelium Vitae berbicara tentang martabat hidup manusia dan pembelaannya terhadap usaha-usaha mengurangi hak hidup yang tak dapat diganggu gugat dari setiap manusia. Hidup manusia dipandang sebagai jantung pewartaan Injil dan harus dibela sejak dari awal munculnya sampai saat berakhirnya. Masalah-masalah mengenai pembunuhan, pengguguran, euthanasia, hukuman mati merupakan beberapa dari sekian masalah modern yang dilawan oleh Yohanes Paulus II. Ia juga menganjurkan adanya gerakan-gerakan yang mempromosikan hidup manusia sebagai nilai tertinggi di dunia ini dan mengajak bersikap waspada terhadap perundang-undangan yang ingin merongrong hak individu sejak masih berupa embrio sampai pada akhir hayatnya.

  

ANCAMAN BAGI KEHIDUPAN MANUSIA

Zaman sekarang ini sangatlah mendesak pewartaan tentang “Injil Kehidupan” karena semakin bertambah dan semakin gawatnya ancaman-ancaman terhadap hidup manusia terutama bila kehidupan itu lemah dan tanpa perlindungan. Konsili Vatikan II dengan tegas mengecam serangan-serangan yang melawan hidup manusia. Misalnya dikatakan, “Apa saja yang berlawanan dengan kehidupan itu sendiri, seperti, bentuk pembunuhan dalam bentuk mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, euthanasia, dan bunuh diri yang disengaja…perbuatan-perbuatan itu berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta” (GS, 27).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak membantu manusia tetapi di lain pihak, ternyata kemajuan itu memunculkan bentuk-bentuk baru serangan melawan martabat manusia. Masalah baru yang disoroti Yohanes Paulus II yang mengancam kehidupan manusia adalah yang berkaitan dengan profesi medis. Profesi medis menurut panggilannya ditujukan untuk membela dan memelihara hidup manusia. Akan tetapi, dewasa ini profesi medis makin mudah menyediakan diri untuk menjalankan tindakan-tindakan yang justru melawan kehidupan manusia.

Hasil akhir dari ancaman-ancaman tersebut di atas cukup tragis. Kenyataan penghancuran sekian banyak hidup manusia yang masih harus lahir atau berada pada tahap akhir hidupnya sangat serius dan mencemaskan. Di lain pihak menurut Yohanes Paulus II yang tidak kalah serius dan sangat memprihatinkan adalah tentang suara hati mansusia itu sendiri. Suara hatinya semakin gelap dan tumpul, sehingga semakin sukar untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat.

Terhadap semua ancaman terhadap martabat pribadi dan kehidupan manusia, maka Yohanes Paulus II menyerukan kepada semua orang demi nama Allah: “hormatilah, lindungilah, cintailah dan layanilah kehidupan, tiap hidup manusia! Hanya dengan inilah manusia menemukan keadilan, perkembangan, kebebasan yang sejati, damai dan kebahagiaan!” (EV, 5)

KISAH KAIN DAN HABEL

Kisah Kain memukul adiknya, Habel hingga mati (Kej 4:2-16) dipakai Yohanes Paulus II sebagai bahan refleksinya mengenai hancurnya moralitas manusia. “Tiba-tiba Kain memukul Habel adiknya, lalu membunuh dia” (Kej 4:8). Ini merupakan akar kekerasan yang melawan kehidupan. Maut datang ke dunia akibat kedengkian setan dan dosa orang tua kita yang pertama. Maut memasuki dunia melalui kekerasan ketika “Habel dibunuh oleh Kain, saudaranya”.

Saudara membunuh saudara! Sesungguhnya−seperti kisah pembunuhan Habel oleh Kain−setiap pembunuhan melanggar kekerabatan rohani yang menghimpun umat manusia menjadi satu keluarga. Di sini kekerabatan darah dan daging dilanggar. Ketika Tuhan bertanya, “di mana adikmu?” dia menjawab, “Aku tidak, tahu! Apakah aku penjaga adikku?” Kain mau menutup kejahatannya dengan berdusta. Hal ini terjadi sampai dewasa ini ketika segala macam ideologi mencoba membenarkan dan menyelubungi kejahatan-kejahatan yang paling keji melawan manusia. Di satu pihak Kain memang tidak mau berpikir tentang adiknya dan menolak tanggung jawab yang ada pada tiap orang terhadap sesamanya. Dewasa ini banyak orang menolak tanggung jawab atas saudara-saudari mereka, seperti tiadanya solidaritas terhadap anggota-anggota masyarakat yang paling lemah, terhadap orang yang lanjut usia, orang sakit, anak-anak, dan lain lain.

Tuhan bersabda kepada Kain, “Apakah yang telah kau perbuat? Darah adikmu itu berteriak dari tanah” (Kej 4:10). Suara darah yang ditumpahkan manusia tetap berteriak dari angkatan ke angkatan dengan cara-cara yang selalu baru dan berbeda-beda. Suara-suara itu menuntut balas kepada Allah atas tindakan manusia yang menyerang dan membunuh sesamanya, yaitu serangan atau pembunuhan pada awal kehidupan (aborsi) dan akhir kehidupan (eutanasia) sebagai pelanggaran kekerabatan orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tua. Serangan-serangan itu menyerbu hidup manusia pada saat-saat yang paling rapuh dan sama sekali tidak mempunyai upaya untuk membela diri. Lebih serius lagi, kenyataan bahwa serangan-serangan itu dilancarkan di tengah keluarga dan melibatkan keluarga itu sendiri. Padahal setiap keluarga dipanggil untuk menjadi “kenisah kehidupan”. Maka, bukan hanya darah Habel−manusia pertama yang dibunuh tanpa bersalah−yang berteriak kepada Allah sumber dan pembela kehidupan tetapi darah setiap orang yang telah dibunuh sejak Habel juga berteriak kepada Allah.

Lebih luas lagi menurut Yohanes Paulus II dewasa ini telah muncul “kebudayaan maut”. Kebudayaan ini bekerja dalam bidang-bidang seperti: budaya, ekonomi, politik. Banyak orang berbicara tentang “perang kaum berkuasa melawan kaum miskin”. Kehidupan yang sebenarnya memerlukan penampungan, cinta kasih, dan kepedulian yang lebih besar dianggap sudah tidak ada gunanya atau dipandang sebagai beban yang tidak tertanggung karena kehidupan itu ditolak dengan cara tertentu. Orang, yang karena sakit, cacat, dianggap mencemarkan kesejahteraan atau dipandang sebagai musuh yang harus dilawan atau disingkirkan. Dengan demikian dilontarkan pula “persekongkolan menentang kehidupan”. Persekongkolan menentang kehidupan ini bukan hanya dalam hubungan kekerabatan dalam keluarga atau antar-individu, melainkan meluas bahkan bersifat internasional, seperti peperangan, kampanye legalisasi aborsi, perkawinan sesama jenis, seks bebas, dan sebagainya.

“Apakah aku penjaga adikku?” (Kej 4:9) adalah pandangan yang jahat tentang kebebasan. Paham kebebasan dewasa ini menurut Yohanes Paulus II secara sempit berarti kebebasan mutlak yang menjunjung tinggi individu tersendiri dan tidak meluangkan tempat bagi solidaritas dan pelayanan kepada sesama. “Kebudayaan maut” menampilkan paham kebebasan individualitis, dan akhirnya kebebasan itu menjadi kebebasan mereka yang kuat melawan mereka yang lemah, yang tidak mempunyai pilihan lain selain menyerah.

“Apakah aku penjaga adikku?” Memang, setiap orang “penjaga saudaranya”, sebab Allah mempercayakan kita satu terhadap yang lain. Dalam rangka itulah Allah menganugerahkan setiap orang kebebasan, yaitu kebebasan yang mencakup dimensi relasional (hubungan), melalui pemberian dirinya dan sikap terbuka bagi sesama. Akan tetapi, bila kebebasan itu dimutlakkan secara individualitis, kebebasan itu akan dikosongkan dari maknanya yang asli dan arti serta martabatnya sendiri ditentang. Kebebasan individualistis akan mengingkari dan menghancurkan diri sendiri dan pada akhirnya mendatangkan kehancuran bagi orang lain.

Jadi, masyarakat menjadi massa orang-orang yang saling berdampingan semata-mata. Setiap orang akan menegaskan posisinya tanpa tergantung pada orang lain dan de facto bermaksud mengunggulkan kepentingannya sendiri. Dengan begitu hilanglah acuan kepada nilai-nilai bersama. Inilah relativisme moral itu. Pada tahap ini menurut Yohanes Paulus II, “apa pun dapat dirundingkan, apa pun terbuka untuk ditawarkan; bahkan juga hak-hak perdana dan mendasar, hak atas hidup.” Inilah yang terjadi pada tingkat pemerintah. “Hak hidup dipertanyakan atau ditolak berdasarkan pemungutan suara di parlemen atau mengikuti kehendak masyarakat mayoritas. Inilah hasil relativisme yang mengerikan, yang merajalela tanpa ada tentangan: berhentilah pula apa yang disebut 'hak' sebab tidak kokoh lagi didasarkan pada martabat pribadi yang tidak dapat diganggu gugat melainkan di bawah kehendak sebagian masyarakat yang berkuasa” (EV 20).

Jadi, bagaimana mungkin kita masih berbicara tentang martabat pribadi manusia yang tidak boleh diganggu-gugat, kalau pembunuhan mereka yang paling lemah dan paling tidak berdosa diizinkan? Atas nama “keadilan” dipraktikkan diskriminasi yang sebenarnya paling berlawanan dengan keadilan. Adakah orang-orang yang sudah selayaknya dibela, dan orang-orang lain tidak diakui martabatnya? Inilah yang menurut Yohanes Paulus II sebagai “kematian kebebasan sejati”.

Aku akan bersembunyi dari hadapan-Mu (Kej 4:14) merupakan surutnya kesadaran akan Allah dan akan manusia. Surutnya kesadaran akan Allah dan akan manusia merupakan ciri khas dunia kita yang didominasi oleh sekularisme yang menjerat manusia. Bila kesadaran akan Allah hilang, maka ada kecenderungan pula untuk kehilangan kesadaran akan sesama manusia, martabat dan hidupnya. Hidup manusia pun akan terancam dan diracuni. Dalam Gadium et Spes (GS) dikatakan, “Tanpa sang Pencipta akan musnahlah ciptaan…bila Allah dilupakan ciptaan sendiri sudah tidak dapat dimengerti lagi” (GS 36).

Maka, berkenaan dengan hidup saat kelahiran atau kematian, manusia tidak mampu lagi mengajukan pertanyaan mengenai makna hidupnya yang sejati. Kelahiran dan kematian bukan lagi menjadi pengalaman-pengalaman primer yang minta “dihayati” melainkan menjadi benda-benda untuk “dimiliki” dan “ditolak”.

Surutnya kesadaran akan Allah dan akan manusia menggiring manusia pada “materialisme praktis” yang menumbuhkan individualisme, hedonisme (kenikmatan), dan utilitarisime (paham mengenai hidup manusia disempitkan pada soal “kegunaan”. Bayi, orang cacat, orang yang lanjut usia, dianggap tidak berguna, maka harus dimusnahkan). Maka benarlah apa yang dikatakan Paulus, “Karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas” (Rm 1:28).

Dalam hal ini, badan tidak lagi dimengerti sebagai pribadi tetapi dimerosotkan pada materialisme belaka yang dipakai menurut tolak ukur kenikmatan. Seksualitas dikosongi nilai pribadinya dan digunakan semau sendiri. Seksualitas tidak lagi sebagai bahasa cinta kasih, yakni penyerahan diri dan penerimaan orang lain tetapi sebagai sumber kenikmatan yang memuaskan naluri-naluri pribadi yang didorong oleh cinta diri. Demikian juga makna asli seksualitas untuk menyatukan dan mengadakan keturunan dikhianati dan kesuburannya ditentukan pada pilihan sesuka hati pasangan. Kalau begitu, lahirnya keturunan menjadi “musuh” yang harus dihindari dalam tindakan seksualitas.

Dalam perspektif materialistis hubungan-hubungan antar-pribadi sangat disempitkan. Menurut Yohanes Paulus yang paling banyak dirugikan adalah kaum perempuan, anak-anak, mereka yang sakit dan menderita, dan yang lanjut usia. Dalam hal ini pula, “sesama” dipandang bukan menurut “keberadaan” mereka melainkan menurut apa yang mereka “miliki, perbuat dan hasilkan” (EV 23).

HARAPAN KEHIDUPAN

Penulis surat kepada orang-orang Ibrani mewartakan: “Kamu sudah datang ke Bukit Sion, kota Allah yang hidup,... dan kepada Yesus Pengantara Perjanjian Baru dan kepada darah pemercikan yang berbicara lebih kuat dari pada darah Habel” (Ibr 12:22, 24). Darah Kristus membawa kehidupan. Darah itu mengalir dari lambung Kristus yang berbicara lebih menyentuh hati dari pada darah Habel. Darah Kristus menunjukkan betapa berhargalah manusia dalam pandangan Allah, dan betapa tiada taranya nilai hidupnya. Dengan darah Kristus, orang beriman belajar mengenali dan menghargai martabat yang diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah”.

Di samping tanda kehancuran moralitas peradaban manusia, Yohanes Paulus II juga melihat adanya tanda-tanda kemenangan sebagai harapan kehidupan dalam situasi umat manusia dewasa ini. Ada beberapa hal yang dilihat oleh Yohanes Paulus II mengenai harapan akan kehidupan dewasa ini, yaitu: “Masih banyaknya pasangan suami-isteri yang dengan kebesaran jiwa dan kesadaran bertanggung jawab bersedia menerima anak-anak sebagai ‘anugerah tertinggi kehidupan’. Masih banyak keluarga-keluarga yang bersedia menampung anak-anak yang diterlantarkan, penyandang cacat, orang-orang lanjut usia yang tinggal sebatang kara. Banyak pusat-pusat pendukung hidup yang dengan pengurbanan yang mengagumkan memberi dukungan moril dan materil kepada ibu-ibu yang berada dalam kesukaran dan tergoda untuk menjalankan pengguguran. Telah banyak pula muncul kelompok-kelompok sukarelawan-sukarelawati yang siap siaga memberi penampungan kepada orang-orang tanpa keluarga yang berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Ilmu kedokteran tetap melangsungkan upaya-upayanya untuk menemukan usaha-usaha yang makin efektif, yang memberi banyak janji bagi masa depan, untuk membantu mereka yang sedang menderita guna memelihara kehidupan. Di banyak tempat, telah muncul gerakan-gerakan dan prakarsa-prakarsa untuk membangkitkan kesadaran sosial untuk membela hidup. Makin banyaknya usaha yang menyebarkan kepekaan baru untuk menentang perang tanpa pertumpahan darah. Juga semakin meningkatlah perlawanan umum terhadap hukuman mati” (EV 27-28).

  

PENUTUP

Moralitas yang dibangun Yohanes Paulus II didasarkan pada penghormatannya yang besar terhadap martabat pribadi manusia. Hidup manusia itu suci karena diciptakan Allah, maka tidak dapat diganggu-gugat. Panggilan manusia adalah memelihara dan menghormati kehidupan. Hanya dengan memelihara dan menghormati kehidupan, manusia mencapai kesempurnaan dalam menghayati hidup Kristen yang sejati.

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting