Print
Hits: 8596

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

PENDAHULUAN 

Suatu hari dalam konseling pribadi dengan seorang umat, saya bertanya kepada konseli saya, “Sudah berapa lama Anda tidak mengaku dosa?” Jawabnya, “Sudah 10 tahun.” “Apa alasan Anda menunda-nunda pengakuan dosa sampai selama itu?” tanya saya lagi. Ia pun menjawab,”‘Kita kan sudah diselamatkan oleh Kristus. Ngapain ngaku dosa lagi? Bukankah dalam surat Paulus kepada orang Roma dikatakan, ‘Karena kami yakin bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat’ (Rm 3:28).” 

Masalah inilah yang akan kita lihat bersama sekarang. Pembenaran karena iman adalah salah satu pokok pertentangan teologi antara Gereja Katolik dan Gereja Reformasi yang mendapat tanggapan secara istimewa dalam Konsili Trente (1545-1563). Penulis akan mencoba mengemukakan intisari pokok pertentangan teologi tersebut dengan mengemukakan pandangan dari dua tokoh terkenal, yakni Santo Thomas Aquinas (teolog skolastik) dari pihak Gereja Katolik dan Martin Luther dari pihak Gereja Reformasi, serta bagaimana masalah tersebut dibahas dalam Konsili Trente yang di kemudian hari akan menjadi pandangan Gereja Katolik. Persoalan ini menjadi aktual bagi orang Katolik dewasa ini sebab kedua pandangan tersebut membawa konsekuensi yang besar dalam penghayatan iman Katolik yang benar dan sesuai dengan ajaran Gereja Katolik yang otentik. 


THOMAS AQUINAS, TENTANG IMAN 

Thomas dan tradisi sebelumnya mengerti akan iman sebagai assentire primae veritati (menyetujui kebenaran pertama). Oleh karena itu, jelas bagi Thomas bahwa iman mempunyai aksen intelektual; merupakan tindakan yang dilakukan oleh intelek manusia. Namun menurut Thomas, iman itu juga tidak bisa dipandang sebagai tindakan intelek saja, karena prima veritas itu tidak lain adalah ALLAH sendiri, Sehingga dengan demikian iman yang terarah kepada prima veritas itu mengandung juga suatu ikatan afektif eksistensial (yang menyangkut daya kehendak manusia) dengan Allah. Jadi, iman bagi Thomas merupakan suatu persetujuan akal budi manusia kepada kebenaran pertama (kebenaran ilahi—wahyu ilahi), tetapi tindakan intelek saja tidak cukup. Akal budi harus digerakkan oleh kehendak supaya ia menyetujui kebenaran yang diwahyukan Allah (cum assentione cogitare, Summa Theol. 2a,2ac,2,1). Dengan demikian, oleh adanya Unsur kehendak dalam actus iman ini, ada kebebasan dalam iman. 

Oleh karena itu, menurut St. Thomas, iman yang meritorius (yang memperoleh pahala, yang membenarkan) membutuhkan dua unsur, yakni akal budi dan kehendak. Memang Thomas mengenal juga iman yang hanya menyangkut akal budi saja, tetapi menurut dia iman seperti itu tidak berguna di hadapan Allah, tidak mendatangkan keselamatan. Iman semacam itu, yang hanya mengakui adanya Allah, namun tidak percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya, dimiliki juga oleh orang berdosa atau setan sekalipun, sebagaimana disimpulkan dalam Yakobus 2:19. 

Bagi Thomas, suatu tindakan iman (actus fidei) hanya bisa berkenan kepada Allah (actus meritorius) jikalau actus itu berasal dan kehendak bebas yang digerakkan oleh rahmat Allah. Iman merupakan tindakan akal budi yang menyetujui kebenaran ilahi oleh karena perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah melalui rahmat (Summa Theol. 2a,2ae,2,9). Tindakan kehendak ini kemudian disebut caritas (cinta). Thomas mengemukakan, supaya iman itu menjadi actus meritorius, iman itu harus dibarengi cinta. Caritas adalah forma fidei. Maka, teologi Skolastik membuat rumusan ini: fides caritate formata (inti atau hakekat iman itu adalah cinta). Formula inilah yang justru ditolak oleh Martin Luther dan menjadi batu sandungan bagi dia. 

 

MARTIN LUTHER, TENTANG IMAN 

Pandangan Luther tentang iman sebenamya bertolak dari pengalaman pribadinya bahwa kebenaran/keadilan Allah tidak merupakan suatu keadilan yang mengadili dan menghukum, melainkan yang membuat manusia benar (misalnya dalam Rm 1:17). Selanjutnya, seturut Rm 3:28 (dan teks lainnya: Rm 5:1; Gal 2:16; 3:11; 3:24) Luther menekankan kembali bahwa pembenaran itu dihadiahkan oleh Allah kepada manusia. Kenyataan ini diungkapkan dengan formula: kita diselamatkan oleh iman (sola fide), bukan oleh perbuatan kita. Dengan formula ini Luther mau menonjolkan Allah sebagai pemberi tunggal yang membenarkan secara gratis, tanpa menuntut pahala manusia terlebih dahulu. Allah bertindak aktif di dalam pembenaran, sedangkan manusia tinggal pasif, karena manusia tidak bisa dibenarkan oleh perbuatannya sendiri. 

Luther mengkritik teologi tentang iman. Iman dan perbuatan telah dicampuradukkan, akibatnya Injil yang benar (pembenaran rahmat Allah dalam Kristus) dikhianati. Oleh sebab itu, Luther menuntut supaya formula Fides caritate formata diganti dengan Sola fide sebab kalau iman baru membenarkan apabila dibarengi cinta maka perbuatan manusia menyelamatkan dan dengan demikian perbuatan manusia menyingkirkan jasa Yesus Kristus. 

 

TANGGAPAN TERHADAP PENDAPAT LUTHER

Luther menolak formula skolastik ini karena ia menafsir dan mengerti caritas sebagai cinta kepada sesama dan sebagai perintah. Padahal sebenarnya dalam konteks teologi skolastik, formula fides caritate formata, mau mengatakan, “Allah yang mengundang dan menggerakkan manusia untuk bertobat, tidak hanya menggerakkan akal budi manusia, melainkan juga kehendak manusia.” Dengan kata lain, pertobatan dan pembenaran menyangkut diri manusia seutuhnya. Luther tidak tahu lagi konteks ini sehingga ia menolak formula tersebut karena ia menganggap formula itu mengaburkan sifat hadiah dan pembenaran dan menjadikan pembenaran sebagai hasil dan suatu perbuatan manusia. 

Luther mau menghidupkan kembali kesadaran akan sifat hadiah dan pembenaran. Untuk menekankan bahwa pembenaran dan iman yang membenarkan merupakan hadiah bebas dan Allah, seutuhnya dikerjakan oleh Allah dalam diri manusia, Luther meremehkan kehendak bebas manusia, seakan-akan kehendak bebas manusia bisa memperkecil jasa Allah dalam membangkitkan iman. 

 

PEMBENARAN DAN IMAN, MENURUT KONSILI TRENTE 

Dekrit tentang pembenaran yang disahkan oleh Konsili Trente pada tanggal 13 Januari 1547, dimaksudkan sebagai penolakan posisi para reformator sekaligus penjelasan tentang pembenaran dan peranan iman di dalam pembenaran. Mengenai pembenaran, Trente menegaskan (sama seperti pendapat para reformator) bahwa pembenaran sungguh-sungguh merupakan karya Allah demi keselamatan manusia, tetapi Konsili tidak menerima kesimpulan bahwa manusia sama sekali pasif dan tidak turut serta dalam proses pembenaran. Manusia juga terlibat secara aktif sebab ia menerima hadiah dari Allah itu secara bebas. Dengan kata lain, ia juga bisa menolaknya (bdk. Dekrit Konsili Trente no. 1929). “Siapa yang percaya dan dibaptis diselamatkan dan siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk 16:16). 

Dan mengenai iman, Konsili sepaham dengan kaum Skolastik (Thomas Aquinas) yang mengerti iman sebagai persetujuan intelek kepada kebenaran-kebenaran yang diwahyukan. Iman itu perlu demi pembenaran, tetapi iman itu saja tidak cukup. Pembenaran tidak menjadi sola fide, melainkan iman harus dilengkapi dengan harapan dan cinta. 

Bahwa iman belum cukup demi pembenaran, dikatakan dalam Bab 7 Dekrit Konsili: “Iman tanpa harapan dan cinta tidak mempersatukan secara sempurna dengan Kristus dan tidak membuat orang menjadi anggota hidup pada Tubuh-Nya. Karena benar apa yang ditulis iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak 2:17) dan tak berguna dan bagi orang-orang yang ada dalam Kristus Yesus, hal bersunat dan tidak bersunat tidak mempunyai arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih (Gal 5:6) ... Inilah iman seturut tradisi apostolik. Hidup abadi tidak bisa diberikan oleh iman tanpa harapan dan kasih” (ND 1934). 

Dalam bab 8, Konsili menegaskan bahwa iman sungguh bersifat fundamental supaya manusia dibenarkan dan bahwa pembenaran itu bersifat gratis, tidak menuntut jasa apa-apa dan manusia sehingga jelas bahwa harapan dan kasih dalam bab 7 tidak boleh ditafsirkan sebagai perbuatan manusia yang harus dilakukan manusia terlebih dahulu supaya Allah berkenan untuk membenarkan mereka. 

Santo Paulus mengatakan bahwa manusia dibenarkan oleh iman dan dengan cuma-cuma (Rm 3:22.24). Gereja Katolik mempertahankan itu sebulat hati karena iman merupakan awal keselamatan bagi manusia, dasar dan akar setiap pembenaran. Tanpa iman tak seorang pun bisa berkenan kepada Allah (Ibr 11:6) dan masuk ke dalam persekutuan dengan putera-puteri-Nya. “Dibenarkan dengan cuma-cuma” karena tidak sesuatu pun yang mendahului pembenaran, entah iman, entah perbuatan. Karena kalau ia (pembenaran) diberikan sebagai rahmat maka ia tidak diberikan berdasarkan perbuatan, sebab jika demikian rahmat bukan rahmat lagi (Rm 11:6; ND 1935). 

Lalu apakah dengan demikian bisa dikatakan bahwa seseorang pasti dibenarkan atau sebaliknya, pasti tidak akan dibenarkan? Konsili juga menolak pendapat bahwa bisa ada kepastian atau keyakinan yang terlalu besar bahwa kita sungguh-sungguh dibenarkan. Suatu rasa pasti atau keyakinan semacam itu dicurigai oleh Konsili sebagai kesombongan yang justru menghindarkan seseorang untuk bertobat dan memperoleh pengampunan dosa. Keyakinan dan rasa pasti seperti itu dianggap Konsili sebagai kepercayaan yang kosong dan jauh dan segala kesalehan (bdk. ND 1936). Demikian juga Konsili menolak bahwa seorang manusia bisa mengetahui terlebih dahulu (praedestinatio) bahwa ia sudah ditetapkan oleh Allah untuk diselamatkan atau sebaliknya, untuk binasa. 


PENUTUP 

“Kita dibenarkan karena iman dan karena perbuatan-perbuatan kita ... Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:14-26). Perbuatan yang dimaksud di sini adalah caritas, cinta kepada Allah yang telah lebih dahulu mengundang manusia untuk bertobat. Cinta itu dinyatakan dalam perbuatan-perbuatan kasih; kasih kepada Allah dan kepada manusia, sebagai silih atas dosa. Sebab, jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1 Yoh 4:20).

Sebagai konsekuensi dan pemahaman ini, Gereja Katolik sangat menekankan peranan Sakramen Tobat, sebagai sarana adikodrati dalam Gereja, untuk memperoleh pengampunan. Gereja juga mendoakan—secara istimewa dalam Perayaan Ekaristi— para pengikut Kristus yang telah meninggal dunia dan masib berada dalam api pemurnian karena dosa-dosa yang mereka lakukan sebelumnya, supaya mereka diselamatkan oleh Allah. Akan tetapi perlu ditekankan bukan karena kita, melainkan semata-mata karena jasa Yesus Kristus, oleh sengsara—wafat—kebangkitan-Nya, yang dihadirkan secara nyata dalam Perayaan Ekaristi. Dalam Yesus Kristus dan dengan perantaraan-Nyalah Allah berkenan kepada kita.