Print
Hits: 12828

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

Masalah identitas embrio berkaitan erat sekali dengan makin marak dan makin biasanya berbagai jenis praktik aborsi. Sejak lama orang sudah menggunakan berbagai jenis obat tradisional untuk menggugurkan kandungan. Dan sekarang, melakukan aborsi menjadi lebih mudah lagi karena pertolongan alat-alat kedokteran. Pertanyaan kita sekarang adalah, Apakah benar bahwa aborsi itu adalah pembunuhan terhadap manusia? Apakah benar bahwa janin atau embrio itu adalah manusia? Apakah janin, dalam semua tahap perkembangannya mulai dari pembuahan sampai dengan saat kelahirannya adalah individu yang berhak mendapat perlindungan sebagaimana layaknya manusia yang hidup?

Sebagai orang yang mengaku memiliki iman Kristen dan menghidupi iman itu, kita dengan tegas harus mengatakan bahwa embrio atau janin, sejak terbentuknya melalui proses pembuahan sampai dia lahir, adalah sungguh manusia, individu. Sehingga ketika ada orang yang menggugurkan kandungan atau melakukan aborsi, dia melakukan suatu pembunuhan. Sikap Gereja yang membela kehidupan embrio ini mengakibatkan Gereja diserang habis-habisan oleh mereka yang lebih mendukung praktik aborsi secara bebas. Padahal Gereja memiliki dasar atau alasan dan bukti-bukti yang kuat sebelum mengambil keputusan untuk membela kehidupan sebuah embrio.

Dasar atau alasan pertama adalah adanya bukti yang diperoleh melalui ilmu pengetahuan bahwa embrio itu adalah makhluk hidup. Sejak dari saat pembuahan, embrio sudah memiliki ciri khas seorang manusia. Sebelum adanya kemajuan teknologi di bidang Kedokteran dan di bidang Biologi moderen, banyak sekali terjadi perdebatan tentang kapan persisnya kehidupan manusia itu dimulai. Pendapat yang umum mengatakan bahwa janin baru memiliki nyawa ketika sudah bergerak dan gerakan itu dapat dirasakan oleh ibunya. Berdasarkan teori atau pendapat ini maka aborsi dapat dikatakan bukanlah suatu pembunuhan.

Akan tetapi, dengan adanya kemajuan teknologi, hampir semua ahli di bidang Biologi sependapat bahwa hidup manusia sudah dimulai sejak selesainya proses pembuahan. Mereka melihat bahwa dalam diri embrio sudah ada secara lengkap cikal bakal semua organ tubuh manusia, yang pada saatnya, secara mengagumkan akan bertumbuh menjadi tangan-kaki yang sesungguhnya dan sebagainya.

Kehidupan seorang manusia sudah dimulai sejak selesainya proses pembuahan sel telur ibu oleh sel sperma ayah. Makhluk hidup baru terjadi dengan terbentuknya struktur genetis yang baru dan unik. Secara alamiah makhluk hidup yang baru ini adalah seorang pribadi manusia dengan segala program yang sudah tertulis di dalamnya untuk menjadi manusia ketika saatnya tiba. Hasil pembuahan yang adalah manusia baru ini disebut zigot. Jikalau tidak ada campur tangan dari pihak luar, zigot akan mulai membelah dan bertumbuh menjadi seorang manusia yang utuh, bukannya bertumbuh menjadi monyet atau jenis binatang lainnya. Dari sini, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya dan secara alamiah zigot memiliki kodrat sebagai manusia. Dia sudah mandiri dan merupakan individu yang baru. Itu berarti bahwa janin ini sudah memiliki hak untuk hidup yang harus dihormati dan dijaga oleh manusia lainnya seperti seorang manusia.

Banyak orang mungkin meragukan segi kemandirian seorang embrio dengan bertanya-tanya: “Bukankah selama dia belum lahir, embrio tidak bisa mandiri karena sepenuhnya tergantung kepada sang ibu?” Memang benar bahwa janin itu sangat tergantung pada ibunya, seperti dapat kita lihat bahwa janin makan dari makanan yang dimakan ibunya, ia bernapas juga melalui ibunya dan sebagainya. Akan tetapi kalau kita lihat lagi, maka mata kita akan terbuka untuk melihat suatu kenyataan bahwa ternyata janin itu berhasil mengubah makanan yang diterima melalui si ibu, menjadi miliknya sendiri. Menurut caranya sendiri, seorang janin atau embrio mengubah sari makanan itu untuk keperluan tubuhnya sendiri, sepertinya dia mengetahui apa yang dibutuhkannya supaya dia bisa bertumbuh sampai akhirnya dia dilahirkan. Jadi, janin tidak menerima begitu saja apa yang berasal dari ibunya, tetapi mengubah apa saja yang diterimanya dari ibu sesuai dengan kebutuhan dan sistem yang ada di dalam tubuhnya sendiri, sehingga apa yang dia terima itu bukan lagi “kepunyaan ibunya” tetapi “kepunyaannya sendiri”. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan-penjelasan secara ilmiah itu, kita dapat mengatakan bahwa dari sejak selesainya proses pembuahan, setiap embrio atau janin baru sudah memiliki identitas biologisnya sendiri-sendiri.

Alasan atau dasar kedua dari keputusan Gereja yaitu adanya kenyataan bahwa Kitab Suci sendiri, yang adalah buku sumber iman kristen kita juga menunjukkan bahwa memang janin yang masih berada di dalam kandungan ibu sudah menunjukkan bahwa dia memiliki identitas psikologis. Hal ini dapat kita temukan dalam Injil Lukas yang mengatakan: ”Dan ketika Elisabeth mendengar salam dari Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabeth pun penuh dengan Roh Kudus” (Luk 1:41). Dan “Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan” (Luk 1:44).

Dari kutipan yang pertama, Lukas 1:41, kita dapat mengetahui bahwa anak yang ada di dalam kandungan Elisabeth melonjak kegirangan. Lonjakan kegirangan karena anak itu yang adalah Yohanes Pembaptis mengetahui bahwa yang datang ke rumah orang tuanya adalah Yesus sendiri, Tuhannya. Walaupun yang berbicara adalah Maria dan Yesus masih ada dalam rahim Maria, Yohanes sudah dapat merasakan kehadiran Yesus. Luar biasakan? Itu artinya bahwa bayi atau janin atau embrio yang ada di dalam rahim ibunya pun sudah dapat merasa dan dapat mengerti.

Sekarang, yang mungkin menjadi keheranan kita, bagaimana Yohanes dapat mengetahui bahwa yang datang itu adalah Yesus sendiri, Allah Tuhannya? Tidak lain adalah karena kehadiran Roh Kudus yang menyadarkan Yohanes Pembaptis dan kemudian juga menyadarkan Elisabeth. Dari kenyataan ini, kita melihat bahwa sejak dalam kandungan si ibu, seorang embrio atau janin sudah memiliki kepekaan terhadap Roh Kudus dan dijiwai oleh-Nya yang adalah Roh Allah sendiri. Dari semua makhluk ciptaan Allah di alam semesta, hanya kepada manusialah Allah sudah memberikan atau mengaruniakan Roh Kudus-Nya sehingga hanya manusialah yang dapat merasakan dan dibimbing oleh Roh Kudus itu.

Jadi, jikalau seorang embrio itu dapat merasakan kehadiran Roh Kudus dan dapat dibimbing oleh Roh yang sama itu maka sudah pasti bahwa embrio atau janin adalah manusia. Seorang embrio atau janin, sudah memiliki identitas psikologis sendiri yang nantinya akan berkembang dan menjadikannya menjadi seorang pribadi yang secara psikologis dewasa dan matang.

Alasan atau dasar terakhir dari keputusan Gereja untuk membela kehidupan embrio adalah karena asal-usul ilahi dari hidup setiap manusia di dunia ini. Walaupun kita membicarakan alasan ini sebagai alasan yang terakhir, tidak berarti bahwa alasan ini memiliki nilai atau bobot yang lebih rendah dari dua alasan yang lainnya. Alasan terakhir ini justru menjadi alasan atau dasar utama dari ajaran Gereja tentang embrio. Alasan pertama dari segi biologis dan alasan kedua yang bersifat biblis diperlukan untuk peneguhan. Walaupun jiwa spiritual tidak dapat ditentukan melalui pengamatan eksperimental, namun kesimpulan secara biologis tentang embrio memberikan petunjuk yang sangat berharga untuk mengetahui adanya pribadi sejak penampilan pertama hidup manusia.

Apakah yang dimaksud dengan asal-usul ilahi manusia? Artinya, Allah sendirilah yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri. “Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kej 1:26). Dalam diri setiap manusia, tercetak gambar dan rupa Allah. Karena hanya Allah yang mengenal dengan sungguh diri-Nya sendiri maka dengan sendirinya tidak ada satu pun yang bisa menciptakan manusia kalau bukan Allah sendiri. Karena Allah adalah Sang Pencipta maka hanya Dia sendiri juga yang memiliki hak untuk menentukan mati hidupnya seorang manusia. Sebagai Pencipta, Allahlah pemilik hidup manusia. Manusia bukanlah pemilik absolut kehidupannya, tetapi ia hanya sekedar penjaga dan administrator yang mengatur dan menjaga hidupnya. Dari ayat itu pula kita dapat mengetahui bahwa hidup manusia adalah anugerah Allah dan sudah seharusnyalah manusia menerima karunia itu dengan penuh rasa syukur.

Hidup manusia berasal dari Allah maka hidup manusia adalah suci dan kesucian itu berakar pada asal-usulnya yang ilahi, jadi bukan sesuatu yang ditambahkan pada suatu saat tertentu atau dalam perjalanan waktu. Kesucian yang ada bersama dengan adanya manusia itu hanya akan berakhir dengan berakhirnya juga hidup manusia. Oleh karena itu, barangsiapa membunuh seorang janin atau embrio, artinya sama dengan dia telah menghapus atau melenyapkan satu gambar Allah dan merampas hak Allah untuk menentukan hidup manusia. Siapakah manusia itu sampai dia mau menjadikan dirinya seperti Allah dalam menentukan hidup seorang manusia yang lain ?

Terjadinya embrio-embrio baru dalam hubungan seks antara pria dan wanita sebenarnya adalah pelaksanaan dari perintah Allah sendiri karena memang Allah memerintahkan manusia untuk berkembang menjadi lebih banyak, untuk beranakcucu dan memenuhi seluruh bumi. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi…” (Kej 1:28).

Dalam Kitab Suci kita dapat menemukan dengan mudah bahwa anak adalah berkat dari Tuhan dan jaminan kemakmuran, sehingga seseorang yang tidak memiliki anak akan merasa mendapat kutukan (bdk. Mzm 127:3-5). Oleh karena itu, kehamilan selalu disambut gembira dengan ucapan doa dan nyanyian (bdk. Kej 21:6-7; 1Sam 1:2; Luk 1). Dalam Kitab Suci tidak pernah disebutkan bahwa kehamilan adalah suatu masalah atau suatu beban. Anak selalu dimengerti sebagai berkat dari Tuhan, sebab pencipta kehidupan adalah Allah sendiri. Oleh karena itu, kalau ada hidup yang baru mulai di dalam rahim ibu, itulah karya penciptaan Allah. Manusia memiliki keistimewaan untuk berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah, yaitu dalam prokreasi, yakni dalam melangsungkan kehamilan dan kelahiran anak. Manusia adalah pembantu Allah dalam menciptakan manusia baru. Oleh karena itu, penghentian paksa akan kehamilan atau aborsi, bukan hanya berarti berbuat kekejaman terhadap sesama ciptaan, tetapi juga merusak karya Allah.