Print
Hits: 15329

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

1. Pengantar

Pembicaraan mengenai eutanasia pasti erat hubungannya dengan hidup manusia. Permasalahannya ialah tidak hanya sekedar benar atau salah dan diperbolehkan atau tidaknya tindakan eutanasia ini, karena tindakan ini tidak mudah dicari solusinya. Apalagi dengan adanya pro dan kontra terhadap eutanasia. Di negeri Belanda, eutanasia telah dilegalisasi dengan perkembangan jumlah kasus yang terjadi sejak tahun 1990 (2.300 kasus) dan meningkat pada tahun 1995 (3.600 kasus). Dapat dipastikan jumlahnya akan terus meningkat hingga tahun ini. Hal ini mengundang tanggapan yang serius dari pihak Gereja Katolik dan dari pihak yang mendukung eutanasia dengan alasan bahwa manusia mempunyai hak untuk mati (the right to die).

Menurut pandangan Kristiani, hidup adalah anugerah Allah. Oleh karena itu, hanya Allah Sang Sumber Hiduplah yang berkuasa atas hidup dan matinya seseorang. Manusia tidak mempunyai hak secara sengaja dan langsung menghentikan proses kehidupannya. Oleh karena itu, segala bentuk eutanasia langsung, baik aktif maupun pasif tidak dapat dibenarkan. Gereja Katolik justru ingin membela kehidupan manusia yang sedang terancam.

Dalam praksis kehidupan, kita dituntut memberikan pelayanan rohani bagi orang sakit. Dukungan dan bantuan iman sangat berharga bagi penderita karena dapat menguatkan mereka untuk menerima kenyataan yang dihadapi dan mendukung mereka agar semakin mengalami karya keselamatan Allah. Maka, pemahaman yang baik tentang eutanasia ini dapat membantu kita untuk mengambil sikap yang tepat berdasarkan penilaian moral yang benar sesuai ajaran Gereja Katolik mengenai permasalahan hidup dan matinya seseorang.

2. Keluhuran Hidup dan Kematian

2.1. Keluhuran Hidup Manusia

Hidup manusia sangat bernilai dan perlu diperjuangkan terus-menerus demi keluhuran manusia itu sendiri. Hidup adalah milik Allah yang melimpahkan kasih karunia-Nya kepada manusia. Demikian pula dengan kematian manusia, sepenuhnya adalah milik Allah. Hidup manusia itu suci karena hidup tidak hanya dipandang untuk saat ini saja tetapi juga untuk hidup kekal. Lihatlah, betapa indahnya dan berharganya arti hidup ini apabila dikaitkan dengan kelahiran dan penciptaan. Manusia sebagai ciptaan Allah dipanggil dan dituntut memperjuangkan dan memelihara hidupnya, baik hidup sekarang maupun hidup yang akan datang.

·Pandangan Perjanjian Lama

Dalam Kejadian 7:21 dan Mazmur 69:35, para penulis kitab melihat bahwa hidup manusia adalah pemberian Allah dan pemberian Allah itu sungguh besar, karena Allah menciptakan manusia secitra atau segambar dengan Allah sendiri (Kej 1:26). Selain itu, umat Perjanjian Lama mengakui bahwa Allah itu adalah Allah yang hidup. Hal ini tampak dalam panggilan Musa. Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah yang hidup, Allah Abraham, Ishak, dan Allah Yakub (Kel 2:23-4:17, Bil 14:21.28, bandingkan dengan 1Sam 14:39).

·Pandangan Perjanjian Baru

Hidup itu ada karena Allah memberikan Roh kehidupan. Dalam Injil Lukas dikatakan bahwa Rohlah yang memberikan hidup dan bukan hanya di dunia ini tetapi hingga akhir zaman (Luk 9:25). Roh yang memberikan hidup tampak jelas dalam Injil mengenai kanak-kanak Yesus. Roh Kudus turun atas Maria dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaunginya. (Luk 1:41; Mat 1:20; Yoh 1:1-18). Hidup juga mempunyai fungsi sosial, yaitu penyerahan hidup untuk kepentingan bersama. Yesus mengajarkan, “Kasihanilah seorang akan yang lain” (Yoh 15:17) dan Paulus menekankan hidup sebagai upaya hidup bersama (1Tim 2:2). Sementara surat pertama Yohanes menguatkan pandangan yang sama. Perjanjian Baru sungguh mau meneruskan Perjanjian Lama dengan sudut pandang yang baru bahwa hidup manusia bergantung kepada Allah. Manusia tidak dapat memperpanjang atau memperpendek hidupnya (Mat 6:25; Luk 12:25; Yoh 4:15), hidup juga berarti sehat dan sembuh (Yoh 4:50), dan orang yang bersatu dengan Yesus memperoleh kehidupan (Mrk 8:35; Yoh 12:25; 1Yoh 3:16; 2Kor 12:15; Flp 2:30; dan Why 12:11).

·Pandangan Gereja Katolik

Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensikliknya Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) pada tahun 1995. Ensiklik ini mau mengatakan bahwa hidup ini sangat bernilai. Oleh karena itu, manusia tidak boleh semena-mena terhadap kehidupan. Sebab, Allah telah memberikan dirinya yang total dengan menciptakan manusia seturut gambar dan rupa-Nya dan telah menebus manusia yang berdosa dengan darah Putera-Nya melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Gereja juga menekankan hidup manusia tidak boleh dimusnahkan baik dengan kekerasan maupun dengan ancaman.

2.2. Kematian

1. Kematian dalam Kitab Suci

Manusia ditetapkan untuk mati satu kali saja. (Ibr. 9:27) Dalam tradisi Kitab Suci, ada penyamaan antara mati dan maut (Yoh 11:16). Menurut Paulus, kematian atau maut adalah upah dosa (Rm 6:23).

a. Kematian Badan

Menurut Kitab Suci, kematian diakibatkan oleh dosa manusia (Kej 2:27 dan Rm 5:12). Ada kaitan erat antara kematian dan dosa. Dosa manusia mendatangkan kematian atau maut. Ini berarti kematian merupakan hancurnya seluruh eksistensi manusia, baik badan maupun jiwa. Paulus, membandingkan antara Adam dan Kristus (lih. Rm 5:12-21). Adam mati karena dosa dan dosa masuk ke dunia. Sedangkan Kristus mati dan memberikan hidup baru bagi manusia, yakni kehidupan yang kekal. Kematian karena dosa lebih mengerikan daripada kematian badani. Artinya, kematian akibat dosa adalah kematian badani dan rohani.

b. Kematian Rohani

Paulus mengajarkan bahwa Allah menjatuhkan hukuman kepada manusia yang berbuat dosa dan ganjarannya adalah maut (Rm 1:32 dan bandingkan dalam 1Yoh 5:16). Suasana ini dilukiskan dengan ‘kematian kedua’ (Yud 12; Why 2:11; 20:14; 21:8 dan lih. Mat 25:41). Sepertinya hukuman karena dosa ini mengerikan padahal gambaran ini mau mengungkapkan misteri Allah yang sangat dalam, yakni Allah Putera yang mau mengosongkan diri-Nya dan menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia akibat dosa-dosanya (Flp 2:6-11). Inilah karya penebusan Allah yang sungguh besar kepada manusia. Dengan gambaran ini para penulis Perjanjian Baru mau mengajarkan sikap moral kepada umatnya.

2. Kematian dalam Pandangan Kristiani

Pandangan kristiani mengenai kematian diinspirasikan kepada iman para penulis Perjanjian Baru. Dalam hal ini, kematian berarti suatu perutusan untuk menerima penebusan atau penghakiman sesuai dengan pilihan hidup seseorang. Orang yang egois, sudah tentu menutup dirinya terhadap belaskasihan Allah dan menolak keselamatan yang datang dan dijanjikan oleh Allah. Pengalaman Yesus ketika disalibkan, penyerahan diri-Nya menunjukkan pengharapan akan kebangkitan setelah kematian-Nya. Ini berarti, iman Kristiani mengajarkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan, melainkan ‘saat perjumpaan dengan Allah yang penuh cinta’. Kematian bukanlah akhir melainkan awal kehidupan baru dalam kasih Allah yang tak terbatas. Kematian berarti memasuki hidup abadi bersama Kristus, untuk mengenal Bapa (Yoh 14:7). Dengan mati bersama Kristus, kita bangkit bersama Dia dan memperoleh hidup yang baru (Rm 6:1-14). Manusia tidak lagi merasakan kasih Allah dan karya penebusan-Nya jika ia berdosa dan dosa merupakan penghalang yang mengakibatkan putusnya hubungan manusia dengan Penciptanya.

2.3. Penderitaan

Semua orang pasti tidak mau menderita. Menderita berarti suatu keadaan yang tidak membahagiakan. Dengan kata lain, setiap orang merindukan kebahagiaan. Namun kenyataannya, penderitaan selalu datang tanpa kita duga sebelumnya. Menurut Perjanjian Lama, penderitaan digambarkan sebagai suatu keadaan ketika orang begitu jauh dari Allah karena dosa yang diperbuatnya. Akhirnya penderitaan menjadi pengalaman eksistensial manusia oleh karena keterbatasannya. Dalam Perjanjian Baru, dengan penderitaan Yesus, manusia diselamatkan dari maut dan bersatu dengan Allah Bapa. Yesus mengajarkan kita untuk menerima salib kehidupan dan berjuang melepaskan derita agar memperoleh keselamatan yang dijanjikan Bapa kepada manusia. Penderitaan manusia mempunyai makna yang mendalam apabila penderitaan itu disatukan dengan penderitaan Yesus (Rm 6:5-10). Oleh karena itu, hidup adalah anugerah Allah, tidak boleh disia-siakan dan harus diperjuangkan terus-menerus. Hanya Allah yang menentukan hidup manusia dan manusia harus bertanggungjawab atas kehidupan, baik kehidupannya sendiri maupun kehidupan orang lain. Jadi, yang menentukan kematian bukan manusia, melainkan Allah sendiri.

3. Eutanasia dalam Terang Iman Kristiani

Eutanasia telah menjadi permasalahan moral yang hangat dibicarakan. Sebelum mengambil tindakan moral untuk eutanasia, perlu kita mengetahui pokok permasalahan eutanasia ini.

3.1. Pengertian Eutanasia

Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata “EU” yang berarti secara baik dan “THANATOS” yang berarti mati. Jadi, eutanasia berarti kematian yang baik atau mati secara baik. Orang Inggris mengenal eutanasia dengan istilah “mercy killing” dengan maksud yang sama, yakni tindakan mengakhiri hidup manusia agar lepas dari penderitaan yang dialami. Eutanasia juga dimengerti sebagai kematian yang lembut dan nyaman atau dengan pengertian yang lebih halus, yakni upaya pencapaian kematian karena kasihan kalau dia hidup dalam penderitaan. Eutanasia kadang-kadang diartikan sebagai tindakan bunuh diri.

3.2. Sejarah Eutanasia

Dilihat dari sejarahnya, eutanasia sudah dikenal pada zaman Yunani-Romawi. Eutanasia pada zaman itu dilaksanakan atas dasar motivasi pribadi untuk berkurban dan pribadi yang mau memberikan diri untuk sesamanya. Namun, Pytagoras dan Aristoteles melawan eutanasia ini karena melawan nilai keabadian dan keluhuran hidup manusia. Sementara Plato melawan tindakan bunuh diri, tetapi mengizinkan eutanasia apabila kasus penderita hebat. Di kalangan medis, melalui sumpah Hippokrates yang menjadi sumpah jabatan para dokter hingga saat ini, berupaya memberikan pelayanan kesehatan dengan baik dan memperjuangkan hidup orang lain. Pada abad pertengahan, Thomas More dari Inggris juga membela kehidupan manusia dengan menolak eutanasia. Pada zaman pencerahan, David Hume memberikan tanggapan terhadap eutanasia dengan pernyataan bahwa “…tak seorangpun dapat mengakhiri kehidupan manusia, melakukannya berarti lebih buruk daripada penghancuran hidup manusia…”

Dari pihak Gereja Katolik, melalui ensiklik “Mystici Corporis” Paus Pius XII mengecam pembantaian orang Yahudi “eugenic eutanasia” yang dilakukan Nazi Jerman pada masa Perang Dunia II sebagai tindakan kekerasan melawan Allah. Sejak awal Gereja sudah mengecam tindakan bunuh diri atau eutanasia ini. Salah satu tokohnya ialah Pastor Hermas (140-55). St. Yustinus Martir dan St. Agustinus pun menolak secara tegas eutanasia ini, karena melawan cinta Allah yang memberi kehidupan, manusia adalah milik Allah secara utuh. Thomas Aguinas menambahkan bahwa kasih Allah yang ditolak oleh manusia ini mendatangkan dosa, yakni menyebabkan manusia jauh dari Allah dan tidak lagi hidup dalam kasih. Pada zaman ini melalui ensiklik Paus Yohanes Paulus II “Evangelium Vitae” pada tahun 1995, Gereja menegaskan kembali pentingnya membela kehidupan manusia yang telah dirusak oleh manusia itu sendiri melalui tindakan eutanasia. Oleh karena itu, Gereja menolak dengan tegas eutanasia ini.

3.3. Bentuk Eutanasia

Menurut Kongregasi Suci Ajaran Iman yang dikeluarkan pada 5 Mei 1980, dikenal beberapa bentuk eutanasia:

1. Eutanasia Aktif atau Positif

Tindakan medis atau pemberian obat untuk mempercepat kematian seseorang dan secara moral sama dengan pembunuhan. Dibedakan menjadi eutanasia aktif/positif langsung dan tak langsung.

a.Eutanasia aktif/positif langsung

Eutanasia aktif/positif langsung ini dibedakan lagi, yakni atas kehendak pasien (Voluntary Active Eutanasia) dan tanpa kehendak pasien (Involuntary Active Eutanasia).

b.Eutanasia aktif/positif tidak langsung

Tindakan medis dengan tujuan mengurangi rasa sakit dengan akibat samping yang dapat mempercepat proses kematian.

2. Eutanasia Pasif atau Negatif

Tindakan untuk menghentikan kegiatan medis yang membantu pasien bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu. Tindakan ini masih dibenarkan sejauh merupakan tindakan luar biasa dan diatur sesuai dengan keadaan pasien. Dalam kalangan umum, eutanasia pasif tidak dipakai lagi, diganti dengan istilah Letting Die, yakni upaya memberikan kesempatan kepada pasien untuk memutuskan pilihannya dalam menghadapi sakitnya.

3.4. Pandangan Gereja Katolik terhadap Eutanasia

Para Bapa Konsili prihatin akan adanya bahaya yang mengancam kehidupan manusia yang akan datang dengan berkembangnya metode eutanasia. Melalui dokumen “Gaudium et Spes” (GS art. 27), dengan tegas para Bapa Konsili menolak eutanasia dan memandangnya sebagai ancaman yang sangat serius di masa mendatang. Keprihatinan ini semakin besar, tatkala melihat gerakan yang kuat melegalkan tindakan eutanasia dengan merebaknya paham “the right to die”. Melalui deklarasi tentang eutanasia pada tanggal 5 Mei 1980, Kongregasi Suci Ajaran Iman mengajak umat memperhatikan hidup manusia. Hidup manusia itu sangat bernilai. Orang tidak boleh semena-mena merampas hidup manusia.

Dalam deklarasi ini diberikan dasar-dasar yang tegas tentang eutanasia dan mengajarkan bahwa eutanasia aktif langsung ditolak dengan tegas karena sama dengan pembunuhan. Diajarkan pula, mempersatukan penderitaan dengan penderitaan Kristus. Melalui penderitaan yang dialami sebagai batu uji iman dan jalan untuk semakin mengenal Kristus lebih penuh. Dengan wafat dan kebangkitan-Nya, Yesus menjadi Juruselamat dunia. Penderitaan yang dialami perlu disyukuri, karena boleh turut serta merasakan penderitaan bersama Kristus. Hidup manusia dihormati, karena hidup tidak untuk saat ini saja, tetapi untuk selama-lamanya. Hidup dan mati berada di tangan Tuhan (Rm 14:8; Flp 1:20). Dalam Hukum Gereja pun tindakan eutanasia tidak dapat dibenarkan karena sama dengan tindakan pembunuhan/tindak pidana dan dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (lih. KHK 1983 kanon 1397).

4. Penutup

Sekalipun tuntutan “the right to die” atau hak untuk mati semakin berkembang, namun Gereja Katolik masih berpegang teguh pada prinsip bahwa kematian adalah hak Allah. Manusia berhak mengembangkan hidupnya, bukan untuk mencabut hidupnya. Ini berarti, eutanasia ditolak secara tegas karena ini sama dengan pembunuhan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kehidupan dan moral manusia. Dalam hal ini, dokter mempunyai tugas untuk menyelamatkan kehidupan, bukan menghancurkan kehidupan. Maka, menjelaskan eutanasia ini kepada seluruh lapisan masyarakat sangat penting dan mendesak, selain usaha kampanye untuk membela kehidupan manusia dinilai sangat perlu. Selain itu, etika medis harus dijunjung tinggi agar semua orang merasakan keadilan dan kesejahteraan bersama. Di samping itu, para tenaga medis hendaknya lebih meningkatkan profesionalitas dalam pelayanannya.

(Sumber: F.A. Eka Yuantoro, MSF., Eutanasia, Jakarta: Obor, 1994).