Print
Hits: 27515

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Pengantar

Kehidupan dan kematian manusia adalah kehendak Tuhan. Artinya, tak seorang pun dapat mengakhiri hidup manusia sekalipun seseorang dalam keadaan fisik yang sangat mengenaskan. Dewasa ini semakin banyak orang yang mudah mengakhiri hidup sesamanya. Terutama orang-orang tua atau orang-orang yang menderita begitu lama. Mareka adalah korban. Hak hidup mereka dicabut dari dunia ini lantaran kondisi mereka yang buruk. Kematian seperti ini biasa disebut eutanasia. 

Gereja Katolik berjuang untuk memerangi fenomena ini. Gereja tetap menghargai kehidupan manusia sebagai anugerah Tuhan. Artinya, kehidupan dan kematian adalah hak Tuhan. Bukan hak manusia, siapa pun dia. Eutanasia berarti tidak dibenarkan. Kalau demikian, mengapa praktek ini semakin marak terjadi? Bagaimana menanggulangi fenomena ini?

Beberapa persoalan ini akan dijelaskan dalam tulisan ini. Sebelum melanjutkan pemaparan tema ini, pertama-tama perlu dijelaskan arti eutanasia itu.  Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata  “EU” yang berarti secara baik dan “THANATOS” yang berarti mati. Eutanasia berarti kematian yang baik atau mati secara baik. Dalam kamus Oxford English Dictionary, eutanasia berarti kematian yang lembut dan nyaman.

Sejarah singkat Eutanasia

Gagasan dan praktek eutanasia sudah ada dalam budaya Yunani kono. Pada zaman Yunani-Romawi, penekanan eutanasia terletak pada kehendak kematian seseorang yang mau melepaskan diri dari penderitaan, terutama mereka yang mengalami penyakit yang parah. Hal ini dilakukan agar tidak membebani orang lain. Praktek seperti ini tidak semua disetujui. Pythagoras melawan tindakan ini. Ia melihat bahwa kehidupan manusia itu memiliki nilai keabadian. Eutanasi adalah tindakan yang tidak menghargai arti kehidupan manusia. Seorang filsuf, Aristoteles. Ia menolak tindakan eutanasia. Alasannya ialah hidup manusia memiliki nilai luhur.

  Selain dunia filsafat, dunia medis pun sungguh membela kehidupan. Hippokrates berjuang dan berusaha untuk memberikan pelayanan medis untuk kesehatan manusia. Bahkan, ia mengakat sumpah untuk mengupayakan kesehatan manusia. Sekarang ini, sumpah itu menjadi sumpah jabatan bagi para dokter. Beberapa gagasan ini menunjukan bahwa sejak zaman klasik ada upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan memperjuangkan hidup manusia. Bagaimana pendapat Gereja Katolik berkaitan dengan eutanasia?

Pendapat Gereja Katolik

Sejak awal Gereja sangat menghargai martabat manusia. Gereja hidup berdasar pada Sabda Tuhan. Tuhan bersabda “janganlah membunuh” (Kel 21:13). Dibalik perintah ini terkandung cinta Tuhan yang mendalam pada manusia dan penghormatan yang tinggi terhadap hidup manusia.  Yesus sendiri menegaskan supaya hidup saling mengasihi. “ Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15:12). Apabila seseorang mengalami cinta Tuhan maka dia akan mampu hidup dalam cinta dan mengasihi sesamanya.

Pastor Hermas (sekitar abad I) melawan tindakan bunuh diri karena melawan kehidupan yang diberikan oleh Allah sendiri. Pandangan ini juga berkembang dalam pemikiran Santo Yustinus Martir (sekitar abad II) yang mendasarkan pemikirannya pada Kitab Suci bahwa manusia adalah milik Allah seutuhnya.  Selain itu, St. Agustinus (abad IV) menolak secara tegas tindakan bunuh diri yang melawan cinta Allah dalam hidup  manusia (Kej 1). Hidup manusia adalah pemberian Allah. Allah menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Oleh karena itu, hidup perlu dijunjung tinggi. St. Thomas Aquinas (abad XII), juga melihat tindakan bunuh diri adalah kekerasan terhadap cinta Allah. Manusia menjauhi kasih Allah dalam hidupnya.

Paus Pius XII memberikan tanggapan atas tindakan eutanasia yang dilakukan secara sistematis pada masa kekuasaan Nazi dalam ensiklik Mystici Corporis pada 20 Juli 1943.  Selanjutnya Paus menanggapi “eugenic euthanasia”, mengatakan bahwa eutanasia merupakan tindakan kekerasan melawan Allah. Peristiwa ini sungguh  mengerikan pada Perang Dunia II dan pembantaian hebat yang dilakukan oleh Hitler terhadap orang-orang Yahudi. Paus melontarkan pemikirannya dengan mengutip Kitab Suci mengenai Kain yang membunuh Habel, adiknya (Kej 4:10).  Paus mengedepankan keluhuran tubuh manusia yang harus dihormati.  

Konsili Vatikan II (1965) prihatin akan adanya bahaya yang mengancam kehidupan manusia yang akan datang dengan perkembangan metode eutanasia (GS art. 27). Keprihatinan Gereja semakin mendalam ketika melihat adanya gerakkan yang kuat untuk terus melegalkan eutanasia. Sebagai reaksi atas situasi ini, Kongregasi untuk Ajaran Iman mengeluarkan deklarasi tentang eutanasia pada 5 Mei 1980. Kongrasi mengajak umat untuk memperhatikan hidup manusia. Hidup manusia itu sangat bernilai.

Paus Paulus VI, memberi Amanat kepada Sidang Umum PBB, 4 Oktober 1965, “kemajuan teknik dan dan ilmu manusia yang canggih tetap memperhatikan pengabdian pada manusia. Maka intervensi untuk memperjuangkan nilai-nilai dan hak-hak pribadi manusia harus dijaga. Orientasi dan pemikiran yang jernih untuk menolong kehidupan manusia pertama-tama mengalir dari semua kaum beriman kristiani dan juga kepada mereka yang mengakui perutusan Gereja, yang ahli dalam kemanusiaan, dalam pengabdian cintakasih dan kehidupan” (Lihat, Kotbah Misa Penutupan tahun Suci, 25 Desember 1975).  

Paus Yohanes Paulus II menerbitkan ensiklik Evangelium Vitae(EV) 25 Maret  1995. Dalam EV. art. 15 Paus menyatakan bahwa eutanasia dapat menjadi ancaman hidup yang serius bagi manusia. Paus tidak setuju dengan eutanasia bahkan karena alasan belaskasihan bagi pasien yang mengalami penderitaan atau cacat atau mengalami sakratulmaut. Selanjutnya Paus menandaskan bahwa “eutanasia merupakan pelanggaran berat terhadap hukum ilahi, apabila tindakan itu berupa pembunuhan sengaja terhadap seorang manusia” (EV. art.65). Beberapa pendapat yang dilontarkan menunjukkan bahwa Gereja prihatin dan mendorong umat manusia untuk sungguh-sungguh menghargai kehidupan manusia, terutama mereka yang tidak berdaya lagi karena penderitaan mereka. Perhatian tersebut diwujudkan melalui seruan untuk menghentikan praktek eutanasia dan juga mengupayakan pelayanan yang memberi kenyamanan bagi para penderita.

Upaya untuk Menghindari Eutanasia

Manusia diciptakan untuk mengabdi kehidupan. Hidup yang dijalaninya suatu anugerah indah dan  pemberian Tuhan. Artinya, kehidupan dan kematian manusia tergantung pada Tuhan. Dan, tidak satu manusia pun di dunia ini yang berhak untuk mengakhiri hidup sesamanya. Apalagi kematian tragis yang diciptakannya. Kita semua prihatin akan fenomena pembunuhan, yakni eutanasia yang dilakukan oleh orang-orang yang ingin menghabisi kehidupan sesamanya. Kita perlu berdoa agar mereka sadar dan bertobat. Dengan demikian, mereka dapat mengabdi pada kehidupan manusia seutuhnya.  Beberapa hal yang diupayakan, sebagai berikut:

Pertama, manusia belajar mengasihi sesama. “Yesus mengajar para pengikutnya agar hidup mengasihi sesama manusia seperti diri sendir” (Mrk 12:30). Mencintai berarti memperlakukan dia seperti kita memperlakukan diri sendiri. Hal ini akan tercapai apabila seseorang mengalami kasih Yesus dalam seluruh hidupnya. Sesungguhnya siapa pun manusia di dunia ini akan menghadapi kematian. Kesadaran inilah yang memotivasinya untuk menghormati sesamanya terutama yang sakit parah.

Kedua, Tuhan yang memberi kehidupan. Allah telah menciptakan manusia menurut gambar-Nya: “Ia menciptakan mereka sebagai lelaki dan perempuan” (Kej. 1:27), dan mempercayakan kepada mereka tugas “menaklukan bumi” (Kej 1:28). Segala keahlian yang dimiliki manusia mengarah pada penugasannya untuk mengabdi kehidupan.  Augerah kehidupan yang dipercayakan Allah Bapa kepada manusia, menuntut manusia untuk mengabdi nilai luhur hidup itu dan mengemban tanggung jawab atasnya.  Sejak semula hidup manusia merupakan anugerah Allah yang sangat bernilai. Allah tidak membiarkan umat-Nya mengalami kematian tragis melainkan kematian yang layak dan wajar. Bukti bahwa “Allah mencintai manusia yakni mengutus Yesus Putera-Nya , barangsiapa percaya pada-Nya memperoleh hidup kekal” (Yoh 3:16). Allah sungguh mengasihi manusia dengan jalan mengutus Yesus ke dunia dan mati untuk menebus dosa manusia. Sesungguhnya, cinta seperti ini mengalir juga dalam seluruh hidup manusia. Kalau mau mengabdi dan menolong sesama, kita perlu memberi perhatian sampai tuntas. 

Ketiga, pendampingan manusiawi dan rohani. Kedua pendampingan ini memberikan kekuatan dan ketenangan bagi penderita. Pendampingan manusia meliputi perawatan dan ada bersama penderita. Perhatian seperti ini merupakan kekuatan yang nyata bagi penderita. Pendampingan lain yang ialah pendampingan rohani. Pendampingan seperti ini menguatkan batin penderita. Dia perlu diingatkan bahwa bagi orang beriman, penderitaan merupakan bentuk konkret partisipasi dalam penderitaan Kristus. Selain itu, mendoakan dan menghibur dia. Doa membantu penderita untuk menghadapi semuanya dalam iman dan menguatkan imannya. Dengan demikian dia menghadapi dengan ketenangan batin yang mendalam.

Keempat, segala perbuatan manusia akan dipertanggung jawabkan pada saat mengakhiri perziarahan di dunia. “Apa pun yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang hina ini, kamu lakukan untuk aku” (Mat 25:40). Setiap perbuatan baik yang dilakukan untuk sesama kita lakukan untuk Yesus. Sebaliknya, segala tindakan jahat yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan. Kita sudah menyimak beberapa pendapat Gereja berkaitan dengan eutanasia. Apa pun alasannya, eutanasia tidak dibenarkan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai agar manusia bertindak dan berbuat yang benar seperti nasihat Injil dan Gereja-Nya. Eutanasia adalah pembunuhan. Pembunuhan adalah dosa berat. Maka siapa yang membunuh akan dihadapkan pada pengadilan, baik di dunia ini, terlebih lagi pada pengadilan terakhir. Setiap perbuatan jahat ganjarannya ialah hukuman. Apa yang diserukan Gereja mestinya membuka mata dan hati manusia. Manusia hidup hanya sementara. Supaya berkenan pada Allah perlu hidup dalam kebenaran, kebaikan dan hormat terhadap sesama. “Manusia dipanggil kepada kepenuhan hidup, yang jauh melampaui dimensi-dimensi hidupnya di dunia, sebab terdiri dari partisipasi dalam kehidupan Allah sendiri” (EV. 2).

Penutup

Eutanasia adalah pembunuhan. Tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip kasih Allah. Allah menciptakan dan mengasihi manusia. Allah penguasa atas hidup dan mati manusia. Siapa pun manusia di dunia ini tidak berhak untuk mengakhiri hidup sesamanya. Gereja selalu berjuang untuk hidup dalam terang Sabda Tuhan ini. Apa pun alasannya Gereja tetap menolak eutanasia. Lalu apa yang dilakukan? Berhadapan dengan fakta ini perlu pendampingan penuh kasih untuk  penderita. Dengan demikian dia dapat menghadapi kematiannya dengan tenang.