Print
Hits: 8137

User Rating: 4 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Inactive
 

 

I. Keunggulan Ekaristi Kudus; Pengaruh dari Komuni Kudus

Dari semua sakramen, sakramen indah di atas altar adalah yang paling unggul. Sakramen-sakramen lain mengandung karunia-karunia Allah, sedangkan Ekaristi Kudus mengandung Allah itu sendiri. Oleh karena itu, St. Thomas dari Aquino berkata bahwa sebenarnya sakramen-sakramen lain telah ditetapkan oleh Yesus Kristus untuk mempersiapkan orang kepada Ekaristi Kudus. Menurut Santo Thomas, seorang Pujangga Gereja yang suci itu, Sakramen Ekaristi sesungguhnya merupakan makanan bagi hidup rohani. Sebab dari sakramen inilah mengalir segenap kesempurnaan jiwa. Semua kesempurnaan berisikan suatu persatuan dengan Allah, maka dari semua sarana yang bisa dipakai untuk persatuan dengan Allah, tiada yang lebih baik selain Komuni Kudus. Oleh Komuni Kuduslah seseorang benar-benar disatukan dengan Kristus, seperti yang dikatakan-Nya sendiri, “Dia yang makan tubuh-Ku … tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia.”(Yoh. 6:57) Begitu pula yang pernah ditegaskan oleh St. Yohanes Krisostomus, yakni bahwa Yesus telah memberikan tubuh-Nya bagi kita dalam rupa roti supaya kita bisa menjadi satu tubuh dengan Dia. Dan St. Sirilus dari Aleksandria mengajarkan bahwa seperti dua buah lilin melebur bersama menjadi satu, begitu juga kita, oleh Komuni Suci, dengan cara yang sama bersatu dengan Yesus Kristus.


a. Memelihara hidup dalam rahmat Allah

Tuhan Yesus Penyelamat kita telah menetapkan sakramen ini dalam rupa makanan, untuk memperlihatkan, bahwa sebagaimana makanan jasmani diubah ke dalam tubuh kita, begitu juga roti surgawi menyatu dengan tubuh kita. Akan tetapi, dengan perbedaan ini, bahwa makanan duniawi diubah menjadi zat-zat bagi tubuh kita, sementara roti ilahi mengubah siapa pun yang memakan-Nya serupa dengan Yesus Kristus. Inilah alasannya mengapa Tuhan sampai berkata kepada seorang bernama Rupert, “Makanlah dan oleh rahmat kamu akan menyerupai diri-Ku dalam kodrat.” Hal tersebut pulalah yang Tuhan kita sendiri hendak katakan kepada St. Agustinus pada satu kesempatan: “Aku tidak akan berubah ke dalam dirimu, tetapi kamulah yang berubah ke dalam Aku.” Pengaruh utama dari sakramen ini adalah untuk memelihara suatu hidup yang penuh rahmat di dalam jiwa. Maka disebut roti, seperti halnya roti duniawi yang menopang hidup jasmani, roti surgawi pun memelihara hidup bagi jiwa, yakni kepada suatu kehidupan dalam rahmat Allah.


b. Obat ilahi yang menyembuhkan dan melindungi 

Menurut Konsili Trente, Ekaristi merupakan obat ilahi yang menyucikan jiwa dari dosa ringan sekaligus yang melindunginya dari dosa berat. Seperti aliran air, sakramen ini mematikan api hawa nafsu yang olehnya kita dikuasai. Biarlah siapa pun yang memiliki nyala hawa nafsu seperti itu menyambut Komuni Kudus, agar ia pun boleh mengalami suatu gelora yang sama yang menghancur nafsu-nafsunya. “Jika ada di antaramu”, kata St. Bernardus dari Clairvaux, “tidak lagi mengalami sebegitu sering dan sebegitu kuatnya dorongan-dorongan kemarahan, iri hati, hawa nafsu, biarlah dia bersyukur atas tubuh Kristus yang diterimanya yang berbuah dalam jiwanya.” Pujangga Gereja yang suci ini juga mengajarkan bahwa Komuni memberikan kita kekuatan untuk menolak semua serangan si iblis. “Komuni Kudus memukul mundur setiap serangan iblis.” St. Yohanes Krisostomus menegaskan bahwa ketika kita menerima Ekaristi Kudus, si iblis pastilah menyingkir sedangkan para malaikat segera datang membantu kita. Terlebih lagi, sakramen ini ternyata mengalirkan ke dalam jiwa suatu kedamaian batin yang luar biasa, dorongan kuat untuk berbuat kebajikan dan kerelaan besar untuk melakukannya.Akibatnya, kita pun menjadi lebih mudah untuk melangkah pada jalan kesempurnaan.


c. Sumber cintakasih ilahi

Seperti yang diajarkan St. Thomas, Komuni Kudus mengalirkan cinta kasih ilahi ke dalam hati. Yesus Kristus pernah memprotes bahwa Dia datang ke dalam dunia bukan demi maksud lain selain untuk menyalakan dalam jiwa api suci dari cinta kasih ilahi. “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah aku harapkan, api itu telah menyala.”(Luk.12:49) Pater Venerabilis Olimpio, dari Ordo Theatines, seringkali mengatakan bahwa tidak ada misteri penebusan yang lebih tepat untuk menyalakan kita dengan cinta Kristus, selain dari Sakramen Ekaristi, yang di dalamnya Dia memberikan diri sepenuhnya bagi kita dan mencurahkan dengan berlimpah seluruh cinta-Nya. Oleh karena itu, berbicara tentang penetapan sakramen ini, St. Yohanes pun berkata: “Yesus telah tahu bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai akhir.”(Yoh. 13:1). Dia mencintai mereka sampai akhir, menurut beberapa penafsir, bisa dimaksudkan bahwa Kristus telah mencintai mereka dengan seluruh kekuatan-Nya. Dengan demikian Konsili Trente menyatakan bahwa dalam sakramen ini Yesus telah “mencurahkan dengan berlimpah segenap kekayaan cinta ilahi-Nya untuk manusia.”

Komuni Kudus oleh St. Thomas disebut “Sakramen cintakasih”(Sacramentum charitatis) dan “Cinta dari segala cinta.”(Amor amorum) oleh St. Bernardus. Sedangkan St. M. Magdalena de Pazzi menyebut hari menerima Komuni Kudus sebagai “hari cinta” dan dia juga menegaskan bahwa sesudah Komuni jiwa bisa berseru bersama Yesus-yang-sekarat-di-salib “selesailah sudah.” “Setelah memberikan diri-Nya sendiri untukku, Tuhan tidak mempunyai apa-apa lagi yang dapat diberikan padaku; aku pun tiada menginginkan apa pun lagi dari-Nya.” 

II. Ajaran Gereja berkaitan dengan boleh tidaknya sering menerima Ekaristi

Bolehkah menerima Kristus sering kali dengan penuh kerinduan dalam Komuni Kudus?

Kita tahu dari Kisah Para Rasul, bahwa dalam tahun-tahun pertama Gereja, biasanya segenap umat Kristen hadir dalam persekutuan setiap hari. “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah, dan memecahkan roti dari rumah ke rumah.” (Kis. 2:46). Dalam terjemahan versi Syria “memecahkan roti” dikatakan “memecahkan roti yang terberkati.” Para penafsir Kitab Suci memaksudkan “memecahkan roti” sebagai Ekaristi Kudus. Jelas, menurut St. Thomas di dalam Gereja Awali semua yang menghadiri “Misa” menerima Komuni. Hal ini kemudian ditegaskan kembali oleh Dionisius dari Areopagita dan oleh St. Hieronimus (meninggal 420M) dalam surat-suratnya kepada Lucina dan Pammachius, yang di dalamnya diceritakannya bahwa praktik kesalehan seperti itu tetap dipelihara baik di Roma maupun di Spanyol, bahkan sudah pada masa hidupnya.

Lambat laun kesalehan umat mulai mendingin. Kesuaman mereka menjadi begitu parahnya pada zaman Paus Fabian sehingga beliau memerintahkan umat untuk sedikitnya tiga kali dalam setahun menyambut Ekaristi Kudus, yaitu pada hari raya Paskah, Pentakosta, dan Natal. Setelah tahun-tahun itu, kesuaman terhadap Natal menjadi sedemikian hebat sampai-sampai Paus Innocentius III, pada tahun 1215, mengharuskan segenap umat beriman, dengan sanksi hukum yang sangat berat, untuk pergi menyambut Komuni minimal saat Paska. Dekrit yang dikeluarkan Innocentius kemudian dipertegas kembali oleh Konsili Trente. Semua keputusan Paus dan Konsili ini tidak membuktikan bahwa praktik dari seringnya Komuni sungguh tidaklah terpuji; melainkan hanya memperlihatkan hilangnya semangat yang dulunya amat mengobarkan orang-orang Kristen pertama.

Para pengaku iman zaman sekarang, ada yang setuju dan tidak terhadap seringnya menyambut Komuni. Saya sepaham dengan mereka yang setuju. Sebab pendapat tersebut merupakan keputusan para Paus dan para Bapa Gereja. 
Kontroversi yang berkepanjangan itu akhirnya diselesaikan secara definitif oleh Wakil Kristus yang suci, Paus Pius X, lewat dekrit berikut.

III. Dekrit dari Kongregasi Suci, berkaitan dengan Ekaristi harian

Konsili Trente, yang melihat harta rahmat yang tak terkatakan yang disediakan bagi umat beriman yang menyambut Ekaristi Mahakudus, mengeluarkan deklarasi berikut ini:

“Sinode suci ini mendambakan bahwa pada setiap perayaan Misa semua umat yang menghadirinya hendaklah saling bersekutu, tidak hanya secara rohani, dengan cara afeksi yang mendalam, namun juga secara sakramental, yakni dengan penerimaan aktual dari Ekaristi.”(Sess. XXII, 6) Kata-kata deklarasi itu dengan cukup jelas menerangkan harapan Gereja bahwa semua orang Kristen hendaknya setiap hari dikuatkan oleh perjamuan surgawi ini, sehingga berbuah secara melimpah bagi pengudusan hidup mereka. 

Harapan dari Konsili ini sepenuhnya amat sesuai dengan dambaan Kristus ketika Dia menetapkan Sakramen Ilahi ini. Sebab Kristus sendiri telah lebih dari sekali, tanpa embel-embel, menekankan perlunya sesering mungkin memakan tubuh-Nya dan minum darah-Nya, terutama dengan kata-kata ini: “Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.”(Yoh. 6:58)

Seperti tubuh yang setiap hari bertumbuh dengan makan roti (nasi), dan seperti orang Yahudi yang ketika di padang gurun setiap hari ditopang-hidup oleh manna, maka jiwa orang Kristen pun sudah selayaknya mendapat hidup dari roti surgawi ini sehingga disegarkan olehnya. Terlebih lagi, dalam Doa Bapa Kami kita pun diajak untuk berani meminta “roti ini setiap hari.” Para Bapa Gereja dengan suara bulat mengajarkan bahwa sebagaimana roti jasmani yang menopang hidup kita, roti Ekaristi pun perlu menjadi santapan harian kita.

Selain itu, sudah menjadi dambaan Yesus Kristus dan Gereja-Nya bahwa kita semua orang Kristen sepantasnya setiap hari hadir dalam perjamuan suci tersebut. Semuanya diarahkan demi maksud utama agar umat dipersatukan dengan Allah melalui Sakramen ini. Sehingga umat boleh memperoleh kekuatan untuk melawan hawa nafsu mereka, untuk membersihkan diri dari noda dosa setiap hari, dan untuk menjauhkan mereka dari dosa berat yang bisa saja menimpa akibat kelemahan manusiawi. Jadi, tujuan utamanya bukanlah demi kemuliaan dan penghormatan kepada Tuhan saja; juga bukanlah oleh karena Sakramen ini telah memberikan ganjaran kebajikan kepada orang-orang yang telah menerimanya (bdk. St. Agustinus, Khotbah No. 57 tentang Injil Matius: “De Orat. Dom.” atau “Doa Tuhan,” no. 7). Oleh karena itu, Konsili suci Trente menyebut Ekaristi sebagai “obat penangkal, yang dengannya kita dibebaskan dari kesalahan-kesalahan setiap hari dan yang dengannya kita dijaga dari dosa yang mematikan.”(Sess. XIII, cap.2)

Jemaat Kristen pertama sangat mengerti dengan baik harapan Allah itu. Buktinya mereka setiap hari berkumpul di sekitar Altar Suci yang menjadi sumber kehidupan dan kekuatan. “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan untuk memecahkan roti.”(bdk. Kis. 2:42) Praktek ini lalu dilanjutkan pada zaman-zaman berikutnya, dengan buah-buah yang besar seperti kesucian dan kesempurnaan hidup. Para Bapa Suci dan penulis Gerejani ikut memberi kesaksian tentang hal ini.

Akan tetapi, ketika rasa kesalehan memudar dalam beberapa era berikutnya, khususnya di bawah rongrongan Jansenisme, perdebatan pun mulai muncul menyangkut soal penerimaan yang benar dari Komuni: apakah beberapa kali saja pada waktu-waktu tertentu atau setiap hari. Banyak orang bersaing mengajukan kondisi-kondisi yang makin ketat yang perlu dipenuhi. Ternyata cuma sedikit saja orang yang setuju pada pendapat yang memperbolehkan penerimaan Ekaristi harian dan pada pendapat agar memperoleh dari Sakramen yang paling menyembuhkan ini buah-buahnya yang berlimpah. Sedangkan sisanya, cukup puas dengan pendapat untuk ambil bagian dalam Ekaristi hanya satu kali setahun, atau satu kali sebulan, atau seminggu sekali. Hal ini diberlakukan dengan ketat, tak terkecuali para pengusaha maupun mereka yang telah menikah.

Selanjutnya ada pula yang jatuh pada posisi ekstrem. Dengan keyakinan bahwa Komuni harian merupakan suatu ajaran dari Tuhan, dan bahwa tidak boleh ada satu hari pun yang berlalu tanpa menerima Sakramen tersebut, serta tanpa mencamkan praktek-praktek yang dilarang Gereja, mereka ngotot bahwa Ekaristi Kudus perlu diterimakan bahkan juga pada hari Jumat Agung. Pada kenyataannya mereka benar-benar merayakannya pada hari Jumat Agung itu.

Dalam situasi seperti ini, Takhta Suci tidak lalai menjalankan fungsi kepengawasannya. Maka dengan suatu dekrit dari Kongregasi Suci, yang dimulai dengan kata-kata “Cum ad aures”, yang diterbitkan pada 12 Februari 1679, dengan persetujuan dari Paus Innocentius XI, Takhta Suci mengutuk serta menghentikan kesalahan-kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran seperti itu. Juga pada waktu yang sama Kepausan mengumumkan bahwa segenap umat beriman dari pelbagai kelas masyarakat mana pun – entah itu pengusaha atau orang berkeluarga tanpa kecuali – diperbolehkan menyambut Komuni berulang kali menurut devosi masing-masing dan seturut nasihat bapa pengakuan mereka. Lalu pada tanggal 7 Desember 1690, dengan dekrit dari Paus Alexander VIII, “Santissimus Dominus”, dalil Baius pun dikutuk, khususnya perihal syarat yang mewajibkan adanya suatu cinta yang murni dan sempurna kepada Allah tanpa campuran cacat-cela, bagi mereka yang mau menghadiri Misa.

Ternyata racun Jansenisme yang pada awalnya memang bermaksud menunjukkan kemuliaan dan dan penghormatan terhadap Ekaristi Kudus, dan yang telah mempengaruhi pikiran orang-orang saleh ini, tidak hilang begitu saja. Kontroversi menyangkut perdebatan tersebut tetap ada kendati dengan dikeluarkannya deklarasi oleh Takhta Suci itu, sehingga mendorong para teolog handal untuk menegaskan penilaiannya, yakni bahwa Komuni harian hanya diperbolehkan pada kasus-kasus tertentu saja, dan oleh karena pelbagai kondisi lain.

Di pihak lain, tidak kurang pulalah adanya orang-orang terpelajar dan saleh, yang ternyata lebih setuju untuk memperbolehkan praktek ini. Sebab ini dianggapnya memberikan penghormatan dan menyenangkan Allah. Selain itu mereka pikir toh tak ada ajaran Gereja yang secara tegas merumuskan mana penerimaan Ekaristi yang benar: apakah Komuni yang harian, seminggu sekali, ataukah yang sebulan sekali.

Dalam hidup keseharian kami kontroversi tetap berjalan, namun lebih disertai rasa kehangatan dan tanpa rasa kebencian. Memang biar bagaimana pun hal itu tetap mengusik pikiran para bapa pengakuan dan hatinurani umat. Ini menyebabkan gangguan yang tidak kecil bagi hidup kesalehan dan devosi umat Kristen. Kemudian beberapa orang terhormat, para gembala jiwa, mendesak Yang Mulia Paus Pius X, untuk intervensi menyelesaikan persoalan Komuni harian ini dengan supremasi kekuasaannya. Bisa saja hal ini lebih bermanfaat dan lebih menyenangkan Tuhan, sehingga bisa mengurangi kemerosotan yang tidak kecil yang mungkin bisa terjadi pada kesalehan umat. Atau mungkin lebih baik dipromosikan dan dipropagandakan di mana-mana khususnya pada akhir-akhir ini ketika Gereja dan iman Katolik mendapat serangan dari pelbagai pihak, juga ketika cinta yang sejati terhadap Allah dan kesalehan sejati amat merosot di beberapa belahan dunia. Lalu Bapa Suci meneruskannya ke Kongregasi Suci untuk segera ditutup dengan keputusan yang definitif. Beliau lebih dari siapa pun memang amat mendambakan, seturut semangat dan keramahannya yang besar, bahwa umat benar-benar perlu diundang ambil bagian dalam perjamuan suci sesering mungkin, bahkan setiap hari, sehingga boleh memperoleh buah-buahnya yang paling melimpah.

Selanjutnya Kongregasi Suci Kepausan dalam sidang paripurna, yang diselenggarakan pada tanggal 16 Desember 1905, menerima masalah tersebut dan memeriksanya dengan seksama. Sehingga setelah mempertimbangkan segalanya, lalu disahkan oleh Paus Pius X pada tanggal 20 Desember 1905. (Sumber: The True Spouse of Jesus Christ; Brooklyn: Redemptorist Fathers, 1929; pg.563-574).