User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Article Index

Saat topeng dilepaskan memang sakit. Dengan melepaskan topeng bukan berarti perjuangan kita sudah selesai, bahkan bisa jadi semakin berat. Seorang ibu muda yang ditinggal mati suaminya selama ini memakai topeng sebagai wanita yang gagah dan mandiri. Tak pernah setitik pun air mata jatuh di pipinya, dan dengan mengagumkan ia selalu berhasil tampil ceria di lingkungannya, menyembunyikan semua perasaannya rapat-rapat. Keluarganya sangat bangga kepadanya karena sikapnya ini. Namun kemudian, sekujur tubuhnya terasa sakit, kepalanya, tulang-tulangnya, bahkan kuku pun terasa linu. Dokter-dokter yang dikunjunginya tak mengerti penyakit apa yang dideritanya. Setelah didoakan penyembuhan batin, barulah ibu itu menangis dan menumpahkan seluruh kesedihannya. Setelah itu segala penyakit yang dideritanya pun sembuh. Rupanya ibu itu menderita penyakit psikosomatik, yaitu penyakit yang diderita seseorang akibat tekanan batin. Setelah kembali ke tempat asalnya, ibu ini ingin melepaskan topengnya dan tampil apa adanya. Apabila hatinya sedang susah karena beban pekerjaan, dengan terbuka kesusahan hatinya itu diungkapkan kepada keluarganya. Akan tetapi, keluarganya yang sudah terbiasa dengan topengnya jadi heran dan bahkan kecewa, karena ternyata ibu ini tidak seperkasa anggapan mereka sebelumnya. Hal ini memang menyakitkan. Seolah-olah kita merasa tertipu, karena katanya dengan membuka topeng hubungan dengan sesama akan terbina lebih baik, tetapi ini mengapa malah tambah berantakan? Tidak, tidak, tidak berantakan. Justru inilah awal mula terciptanya relasi yang tulus itu. Biarlah orang-orang terdekat yang kita kasihi melihat kita apa adanya. Dengan demikian, mereka dapat menempatkan dirinya dengan benar dalam menjalin hubungan dengan kita. Melangkahlah terus dan jangan menyerah.

Setelah beberapa waktu lamanya mendaki lautan pasir yang rasanya tiada berakhir itu, saya merasakan tiba-tiba penyakit lama saya kambuh. Saya bingung, bagaimana ini? Saya tahu saya harus beristirahat dan berhenti. Kemungkinan besar saya tidak akan dapat terus mendaki sampai ke puncak karena medannya terlalu berat untuk tubuh saya yang sakit. Akan tetapi, gengsi saya memberontak. Masakan saya tidak bisa sampai ke puncak? Padahal teman-teman saya semuanya terus mendaki dengan semangatnya. Sejak di kaki gunung mental kami sudah dikondisikan bahwa kami harus mencapai puncak apa pun yang terjadi. Apalagi, puncak gunung itu sudah kelihatan kini; tak seberapa jauh lagi! Saya paksakan kaki saya melangkah, namun tiba-tiba saya jatuh dan tak bisa bangun lagi. Akhirnya, walau dengan sangat terpaksa, saya putuskan untuk duduk diam dan tidak bangkit lagi. Saya mengerti, kekuatan tubuh saya tidak sebesar hasrat saya. Apa boleh buat… “Ayo Na, jalan! Tinggal dikit lagi! Gimana sih kamu?” Teman-teman semua berteriak dari atas puncak gunung mendorong saya untuk terus berjalan. Bagi mereka sungguh tak masuk akal untuk berhenti diam padahal puncak sudah tak jauh lagi. Akan tetapi, saya tahu persis bagaimana kondisi tubuh saya. Saya pernah terpaksa berbaring sebulan lamanya gara-gara penyakit ini dan sekarang saya tak mau hal itu terulang lagi. Oleh karena itu, walaupun di mata teman-teman keputusan saya ini tak masuk akal, saya tetap putuskan untuk istirahat.

Seringkali kita tidak tampil sebagai diri sendiri karena pengaruh lingkungan hidup kita. Mau tak mau, sadar tak sadar, kita dikondisikan untuk tampil dengan bentuk tertentu sesuai dengan tuntutan lingkungan itu. Ketika saya masih SMP, adik kelas saya seorang anak perempuan suatu hari pulang sekolah dengan menangis. Setelah ditanya ibunya, ternyata ketika di sekolah anak itu terpaksa berkata, “Nggak la yau….” dengan gaya khas remaja yang sedang trend saat itu, agar ia bisa serupa dan diterima di lingkungan teman-temannya. Padahal di dalam hatinya, ia benci sekali mendengar kata itu. Banyak orang saat ini mengangguk sebagai tanda setuju padahal hati menggeleng, dengan dalih keamanan dan kerukunan. Jarang ada orang yang berhasrat tampil apa adanya dan menyumbang keanekaragaman. Padahal, bukankah persatuan dan kerukunan dapat lebih terjalin jika kita bisa menghargai dan menerima perbedaan satu sama lain? Kita tampil sesuai dengan kondisi lingkungan yang membentuk kita. Apalagi kalau kita mempunyai luka batin karena kurang kasih sayang di masa lampau; betapa takutnya kita untuk tampil apa adanya. Kita berusaha keras bersikap sesuai dengan tuntutan lingkungan agar kita selalu diterima oleh semua orang. Dan tuntutan dunia ini semakin lama semakin tinggi. Orang baru akan dihargai apabila ia kaya, pintar, berkedudukan, berkuasa, berpenampilan menarik, berwibawa, punya banyak ketrampilan, dan masih sederet tuntutan lagi. Dengan berusaha keras semua orang berlomba meraihnya, padahal apakah kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dapat menjamin seseorang memancarkan kemuliaan Allah? Nyatanya, semakin seseorang menghambakan diri kepada yang duniawi, semakin citra Allah pudar dalam dirinya. Inilah saatnya kita berani mengambil keputusan untuk berbeda dengan orang lain jika kita memang berbeda. Berani menjadi diri sendiri!

Syukurlah setelah beristirahat sejenak, kesehatan saya pulih dan tubuh pun terasa segar kembali. Puji Tuhan! Maka saya segera bangkit dan meneruskan pendakian, menyusul teman-teman yang sudah lebih dahulu sampai di puncak. Sesampainya di puncak hati saya diliputi dengan rasa syukur dan kekaguman. Betapa indah dan agungnya karya Allah ini. Di kejauhan tampak puncak gunung kembar Sundoro-Sumbing, sementara awan-awan putih menari-nari lembut di sekitar leher gunung di bawah kami. Kawah Candradimuka menganga lebar dengan gagah perkasa menatap langit yang biru cerah. Di hadapan keindahan dan keagungan karya Allah yang luar biasa ini, segera kami tersadar akan kekecilan diri. Cakrawala yang luas, lautan pasir lembut menghampar, awan-awan putin menari, kawah raksasa, betapa kecilnya manusia di hadapan semua ini. Padahal, segala ciptaan ini hanyalah jejak-jejak Allah saja. Betapa lebih kecilnya lagi kita di hadapan Allah sendiri. Namun, mengapakah kita yang begitu kecil dan lemah ini dikasihi Allah sedemikian besarnya? Ah, hanya Dia yang tahu….

www.carmelia.net © 2008
Supported by Mediahostnet web hosting