Print
Hits: 11664

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

 

Adalah tidak cukup bahwa kita mengakui kekecilan dan ketidakmampuan kita, bahwa kita menyadari kemiskinan dan keburukan kita dan bahkan bila kita senang melihat diri kita dalam keadaan ini. Kesenangan untuk menerima kebenaran ini memiliki — tidak diragukan lagi — keuntungan yang tak ternilai dalam menempatkan dan menjaga agar kita tetap berada pada jalan yang seharusnya; tetapi hal ini (kesadaran akan keterbatasan dan kekecilan diri) juga bisa mengakibatkan kepercayaan kepada diri sendiri yang berlebih-lebihan. Namun, melampaui dan mengatasi hal itu, suatu kesadaran akan keterbatasan diri sendiri membuat kita semua harus, tidak boleh tidak, mengandalkan bantuan Tuhan untuk menopang kita dalam usaha kita menuju kesempurnaan.

Seorang anak, dalam kelemahan dan kemiskinannya, lari kepada ayahnya untuk meminta pertolongan. Demikian juga yang seharusnya terjadi dalam hidup rohani. Seorang anak Allah tahu bahwa ia mempunyai seorang Bapa di surga. Ia mendekati Allah dengan penuh kepercayaan dan mengharapkan bantuan-Nya sehingga ia yang lemah dan tanpa daya dapat melakukan apa yang tak mampu dilakukannya dengan kekuatannya sendiri. Bahkan dengan sedikit pengetahuan akan hati Bapa surgawinya akan memberikan ia kepercayaan yang tanpa batas di dalam Dia, karena bila Allah adalah seorang Bapa, Ia pasti memiliki kualitas yang memadai untuk mengasihi sebagai seorang Bapa kepada anak-anaknya, seperti kelemahlembutan, kesetiaan, penuh perhatian. Oleh karena Ia adalah Allah, sifat-sifat ini menjadi tidak terbatas pada-Nya. Ia memiliki kebijaksanaan dan kekuasaan yang tak terbatas; Ia mengetahui segalanya; sanggup melakukan segalanya, dan sifat-sifat-Nya ini tunduk kepada cinta kasih-Nya yang penuh kerahiman. Ini berarti bahwa kepercayaan seorang anak Allah tidak mengenal batasan.

Selain itu, Allah telah membuktikan kepada kita bahwa kerahiman-Nya tak terbatas. Bapa telah memberikan kepada kita Putera tunggal-Nya, dan membiarkan Dia untuk menderita siksaan-siksaan yang paling keji. Anak ini, dan pihak-Nya, “menghancurkan diri-Nya sendiri”, membungkus diri-Nya dengan kesengsaraan manusia. la mengorbankan diri-Nya di atas Salib. Ia memberikan diri-Nya kepada kita sebagai santapan, supaya kita dapat diubah di dalam Dia dan disatukan dengan Tubuh Mistik-Nya.

Seperti seekor “Anjing Pelacak dan Surga,” cinta kasih Allah senantiasa memburu jiwa-jiwa kita. Bapa senantiasa membungkus kita di dalam kelembutan-Nya yang tak terbatas. Yesus tidak pernah berhenti mencintai kita. Ia selalu siap untuk mencurahkan rahmat-Nya atas diri kita, menerangi, menghibur, menopang dan mengubah kita, dan pada akhirnya membawa kita untuk ambil bagian dalam kemenangan dan kemuliaan-Nya.
Teresia, dalam usianya yang muda telah mendapatkan pengertian akan kerahiman tak terbatas dan Bapa surgawi dan ia mengerti dengan lebih jelas lagi sejalan dengan perkembangannya dalam pengenalan yang mesra akan Allah. Adalah melalui prisma kerahiman itu ia merenungkan dan memuja kesempurnaan-kesempurnaan lain dan Allah. Dalam terang itu, setiap sifat dan Allah tampak berseri-seri dalam cinta kasih serta membangkitkan rasa hormat.

Namun, kerahiman Allah bukanlah satu-satunya dan keyakinan kita. Bapa memberikan Putera-Nya “dan dengan Dia semua yang baik.” Kita bisa, karena itu, mengandalkan jasa-jasa dan Yesus Knistus. Semuanya itu milik kita dan kita dapat memperlihatkannya di hadapan Bapa sebagai milik kita.

Berdasarkan hal in bagaimana kita dapat menaruh keraguan akan pemeliharaan Tuhan? Bukankah justru sebaliknya kita harus terdorong untuk memiliki kebutuhan yang besar akan kepercayaan ini? Jelas hal ini semakin terbukti sebagaimana bila kita mengingat bahwa semua yang dapat kita minta dan Tuhan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan apa yang telah Tuhan berikan atau janjikan kepada kita. Memang benar bahwa Tuhan juga Maha adil, tetapi kekakuan keadilan-Nya telah diperlunak dengan campuran cinta kasih dan kerahiman-Nya. “Keadilan itu sendiri,” kata Theresia, “bahkan tampak bagi saya lebih terselubung oleh cinta kasih daripada kesempurnaan ilahi lainnya.” Bila keadilan menuntut bahwa Allah meminta kepada kita apa yang menjadi hak-Nya dan bahwa Ia membuat kita menebus kesalahan-kesalahan kita, ia (keadilan) juga mempertimbangkan keterbatasan manusiawi kita. Ia mempertimbangkan kelalaian kita, kelemahan kita dan semua keadaan yang dapat memperkecil kesalahan dan si pendosa. Allah mengetahui lebih daripada siapa pun, tanah liat dengan mana kita dibentuk dan beban-beban yang menekan kehendak kita dan yang menghambat kebebasan kita.

“Keadilan itu, yang telah menakuti banyak sekali jiwa,” tulis Teresia, bagi saya merupakan sumber sukacita dan kepercayaan. Keadilan mempunyai arti yang lebih daripada sekedar bertindak tegas dalam menghukum yang bersalah. Ia juga mempertimbangkan niat-niat yang baik serta berkeinginan untuk memberikan imbalan atas kebajikan kita. Saya mengharapkan, dalam kadar yang sama besar, keadilan dan Allah kita yang baik maupun kerahiman-Nya.” “Justru karena Ia adil, maka Ia berbelas kasih dan penuh dengan kelemah lembutan, lambat dalam menghukum dan berlimpah dalam pengampunan. Karena Allah mengetahui kelemahan kita. Ia mengetahui bahwa kita hanyalah debu. Sebagaimana seorang ayah sayang kepada anak-anaknya, demikian jugalah belas kasihan Tuhan terhadap kita.

Jadi, apakah kita merenungkan kerahiman Allah, yang menyebabkan Ia senantiasa menghendaki kebaikan kita dan cenderung menaruh belas kasihan kepada kita, ataupun apakah kita melihat keadilan-Nya kita memiliki semua alasan dalam dunia ini untuk menaruh kepercayaan yang paling penuh di dalam Dia.

Teresia sedemikian diresapi oleh kebajikan kepercayaan ini, sehingga menurut Muder Agnes, “Hal itu telah meninggalkan tanda yang khusus dalam jiwanya.” “Jalanku,” ia sendiri menulis, “Adalah jalan yang penuh kepercayaan dan cinta.” Ia mencoba menekankan hal ini kepada semua orang yang berbicana dengannya, menegaskan bahwa “kita tidak akan pernah memiliki kepercayaan yang terlalu besar kepada Allah yang baik yang begitu berkuasa dan penuh belas kasihan” dan bahwa “kita menerima dan Dia sebanyak yang dapat kita harapkan akan kita terima dari Dia.”

Ia menegaskan pula bahwa “kekurangan kepercayaan menyinggung perasaan Yesus dan melukai Hati-Nya.” Akhirnya, sejauh yang juga menyangkut dirinya sendiri, “untuk membatasi kerinduan-kerinduan dan harapan-harapan kita berarti bahwa kita menolak ketakterbatasan kebaikan Allah.”

Dalam halaman-halaman yang mengagumkan tempat ia menulis sebagai permintaan dan Suster Maria dari Hati Kudus, ia menenangkan dalam suatu cara yang menarik bahwa bukan tanpa batasan, sejauh mana kita harus memiliki kepercayaan dalam cinta. Ia melukiskan dirinya sendiri sebagai seekor burung kecil, ditutupi hanya 0leh bulu yang tipis namun dengan mata dan hati seekor elang berani untuk menatap matahan Cinta Kasih dan sangat berharap untuk terbang kepada-Nya. Namun sayangnya, ia hampir tidak mampu untuk mengangkat sayap-sayapnya, tapi hal ini tidak menyedihkannya. Dengan keberanian yang mantap, ia tetap di tempatnya, dengan pandangan senantiasa terarah kepada matahari tanpa mempedulikan awan, angin dan hujan. Apabila, dalam saat-saat tertentu, awan yang gelap menutupi matahari, burung itu tetap tidak tergoyahkan, karena ia tahu bahwa mataharinya tetap bersinar (walaupun tidak dapat terlihat). Bahkan apabila diterpa oleh badai dan diserang godaan-godaan, dan bahkan tampak sudah kehilangan pegangan akan apa yang akan terjadi, ia tetap tinggal dalam tempatnya yang sempit itu dan terus menatap ke arah sinar yang tidak dapat lagi dilihat oleh mata. Ini adalah, jadinya, sebuah kesempatan untuk mendorong kepercayaannya sampai kepada titik puncaknya, dan di dalamnya ia menemukan sukacita yang sempurna.

Tetapi mungkin juga bahwa burung kecil tadi, akibat tidak mampu bangkit, melupakan mataharinya, tenggelam dalam kesukaran duniawi dan membiarkan sayap-sayapnya menjadi basah kuyup. Walaupun demikian, Ia tidak boleh jatuh dalam keputusasaan. Ia tidak boleh sembunyi, untuk meratapi ketidakmampuannya dan kemudian mati dalam kesedihan. Sebaliknya ia harus berpaling kembali kepada mataharinya, mengeringkan sayap-sayapnya dalam sinar dan bintang kesayangannya dan mengutarakan ketidak-setiaannya kepadanya, “karena dalam keberanian untuk percaya kepadanya, ia percaya bahwa ia akan menarik kasih yang lebih besar lagi dan Dia yang tidak datang untuk mereka yang benar, namun untuk mereka yang berdosa.”

Dan seandainya, setelah semuanya itu, harapannya tetap tinggal tak terpenuhi, bila bintang itu tetap tersembunyi... makhluk kecil itu memutuskan untuk tetap tinggal di tempatnya, menggigil kedinginan, namun bersukacita dalam penderitaan yang sepantasnya ia terima.

Akhirnya, dapat pula terjadi kepada burung itu, tidak mampu untuk melihat bintang itu, karena terselubung sama sekali, berakhir — kecewa kepada dinnya sendiri — dengan menutup matanya dan menyerah kepada rasa kantuknya. Itu tidak menjadi soal. Bila ia bangun dan menyadari apa yang telah terjadi, jauh dan meratapinya, ia haruslah memulai kembali pelayanan cinta kasihnya dan tinggal tetap dalam suatu keadaan damai di dalam. Dan Teresia menyimpulkan: “O Yesus, betapa bahagianya burung kecil-Mu itu dalam kelemahan dan kekecilannya! Apa yang akan terjadi padanya, seandainya ia besar? Ia tidak akan memiliki keberanian untuk bertindak dalam sikapnya yang seperti anak kecil terhadap Engkau!”


Teresia juga berpikir bahwa keberanian yang ia miliki datang dan kenyataan bahwa Yesus telah melimpahinya dengan kasih. Sebab itu, ia dengan spontan berseru: “O Yesus, biarlah kukatakan kepadaMu, dalam rasa syukurku yang tak terhingga, bahwa cinta-Mu membuatku menjadi sedemikian bodoh. Dalam kebodohan itu, bagaimana mungkin aku dapat mencegah hatiku untuk terbang kepadaMu? Bagaimana aku dapat membuat batasan kepercayaanku? Betapa sayangnya bahwa saya tidak dapat mengungkapkan keramahan-Mu yang tak terkatakan kepada semua jiwa-jiwa yang kecil... Saya merasa yakin bahwa apabila — walaupun ini mustahil — Engkau menemukan satu jiwa yang lebih lemah dan tak berarti daripada milikku, Engkau akan merendamnya dengan sukacita yang bahkan lebih besar lagi, asalkan jiwa ini mau meninggalkan dirinya sendiri dengan kepercayaan yang mutlak kepada kerahiman-Mu yang tak terbatas.”

Teresia yakin bahwa setiap jiwa manusia mampu mencapai kesucian, asalkan ia rendah hati dan percaya.

Membaca kisah hidup dari Joan d’Arc, Teresia pertama-tama berharap untuk meniru perbuatannya yang gagah berani, namun Tuhan membuat ia mengerti bahwa kemuliaannya sendiri akan tercapai, menjadi seorang kudus yang besar. “Kerinduan ini,” tulisnya, “nampaknya mengada-ada bagi seseorang yang lemah dan tidak sempurna seperti saya ini, namun, saya selalu merasakan suatu keberanian yang sama untuk percaya bahwa saya pada suatu hari akan menjadi seorang kudus. Saya tidak bergantung dan jasa-jasa pribadi saya, saya tidak memilikinya; namun saya berharap di dalam Dia yang adalah Sang Kebajikan dan Kudus itu sendiri. Adalah Dia sendiri, dipuaskan oleh usaha-usaha saya yang kecil, akan mengangkat saya kepada diri-Nya dan merendam saya dalam kebaikan-kebaikan-Nya yang tak terbatas, akan membuat saya menjadi seorang kudus... Jika semua jiwa-jiwa yang lemah dan tanpa daya merasa seperti apa yang saya rasakan, saya yang terkecil dan semuanya, tidak satu pun yang akan berputus asa sebelum mencapai puncak gunung cinta kasih, karena Yesus tidak menuntut tindakan-tindakan yang besar, namun hanya kelepasan dan hati yang penuh syukur.

Bagaimana dengan mereka yang telah lama menunda untuk membalas cinta kasih Tuhan? Menurut Teresia, tidak ada alasan untuk berkecil hati dan takut: “Ada jiwa-jiwa kepada mana Tuhan mempraktekkan kesabaran-Nya yang tak terbatas dan kepada mana Ia memberikan terang-Nya hanya secara bertahap.”

Apakah dosa-dosa berat, bahkan sejumlah besar kesalahan-kesalahan yang menyedihkan, merupakan halangan untuk percaya kepada Tuhan? Teresia menjawab: “Saya mengetahui dengan pasti bahwa bahkan jika saya dengan sadar melakukan semua dosa yang dapat diperbuat oleh manusia, saya akan pergi dan menerjunkan diriku ke dalam pelukan Yesus dengan sebuah hati yang terluka oleh pertobatan, karena saya tahu betapa girangnya Ia ketika anak-Nya yang hilang kembali kepada-Nya. Karena kebaikan Tuhan, dalam kodrat kerahiman-Nya, telah melindungi jiwaku dan dosa maut, sehingga saya terbang kepada-Nya dengan sayap-sayap kepercayaan dan cinta kasih. . .” Kepercayaannya didasari bukan atas kebajikan-kebajikan yang dipraktekkannya dalam hidupnya, melainkan atas cinta kasih Allah yang penuh belas kasih.

Tetapi kita tidak seharusnyakah menjadi patah semangat ketika kehidupan rohani kita telah gagal untuk berkembang seperti yang seharusnya kita dambakan? Masih bukan merupakan sesuatu yang dapat dijadikan alasan bagi kita untuk kehilangan kepercayaan kepada-Nya, walaupun dengan segala usaha-usaha yang kita lakukan kita masih tetap jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan yang sama dan mengalami kekeringan rohani. Keputusasaan bersumber dan cinta diri, dan penolakan untuk mengenal keadaan sebenarnya dan jiwa kita. Hal ini menunjukkan bahwa kita memberontak terhadap kekecilan kita sendiri dan kemiskinan rohani. “Kesedihan yang membuat kita putus asa,” Teresia mengatakan, “Adalah luka yang ditimbulkan cinta-diri kita.” Ia juga menyatakan bahwa dengan meratapi ketidak sempurnaan diri kita, kita melumpuhkan jiwa kita. “Kita membuat kerugian yang lebih besar kepada diri kita sendiri dengan menyerah kepada keputus asaan daripada apabila kita jatuh akibat kelemahan, karena dengan demikian kita menghilangkan dari diri kita sendiri kegembiraan yang kita perlukan untuk bangkit kembali setelah kejatuhan kita.

Hal ini menunjukkan kepada kita, betapa tidak sempurnanya kepercayaan kita di dalam Tuhan, mengingat bahwa sampai kepada suatu tingkatan yang besar sekali Tuhan telah menolong kita sebanding dengan kesadaran untuk tetap tinggal kecil dan bersandar kepada-Nya; Ia mengukur pemberian-pemberian-Nya berdasarkan ukuran dan kepercayaan yang Ia temukan dalam diri kita,” kata Teresia. Jadi, apabila kita menolak untuk menerima tingkatan kita yang rendah, apabila kita gagal untuk percaya kepada-Nya, ditakutkan bahwa Tuhan akan membatasi bantuan yang Ia berikan kepada jiwa-jiwa kita.

Bahkan dalam permulaan masa kanak-kanaknya, Teresia telah melatih dirinya kepada suatu sikap kepercayaan mutlak dalam Tuhan dalam semua keadaan. Ia telah mendapatkan apa yang baru bisa dicapai orang lain dalam waktu yang lama, bahwa keputus asaan tidak ada gunanya, tidak menguntungkan jiwa. Pada malam dan Komuni Pertamanya ia menulis dalam buku hariannya: “Saya tidak akan pernah menjadi putus asa,” suatu keputusan yang dengan setia ia pegang dengan kuat sepanjang hidupnya. Kepercayaannya yang seperti seorang anak kecil kepada Tuhan tidak pernah dilemahkan oleh kejadian-kejadian lahiriah, ketidaksempurnaannya ataupun bahkan oleh kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Sebaliknya ia belajar dan peristiwa-peristiwa semacam itu untuk mengenali kelemahan alamiahnya dan untuk memandang cacat cela dan orang lain dengan pengertian dan cinta kasih yang lebih besar: “Ingatan akan kesalahan-kesalahanku merendahkan hatiku; ia menyebabkan aku tidak pernah bersandar pada kekuatanku sendiri, yang bukan lain hanyalah kelemahan, tetapi secara khusus hal ini (kesalahan-kesalahan, red.) mengajar saya suatu pelajaran yang lebih lanjut mengenai kerahiman dan cinta kasih Tuhan.” “Pada saat kita, dengan kepercayaan seperti seorang anak kecil, melemparkan kesalahan-kesalahan kita ke dalam tungku api cinta kasih yang menyala-nyala, bagaimana mereka (kesalahan-kesalahan, red,) akan gagal dimusnahkan selama-lamanya?”

“Saya tidak selalu setia,” ia menulis di tempat lain, “Saya sering gagal dalam melakukan satu dan pengorbanan-pengorbanan kecil yang memberikan damai yang begitu besar kepada jiwa; tetapi saya tidak berputus asa. Daripada berputus asa, saya menyerahkan diri saya ke dalam lengan-lengan Yesus: Saya menanggung pencobaan dan mendapatkan damai yang lebih sedikit pada saat itu dan mencoba untuk lebih waspada pada lain kesempatan... 0 muderku yang terkasih, betapa manisnya jalan cinta kasih itu! Kita dapat jatuh, tentu saja; kita dapat melakukan banyak ketidak setiaan, tetapi, ”Ia menambahkan, mengutip Santo Yohanes dan Salib, cinta tahu bagaimana caranya untuk menarik keuntungan dan segalanya dan ia dengan cepat menghapuskan apa saja yang mungkin akan tidak disukai Yesus.” Sehingga, yang tinggal di dalam lubuk hati kita yang terdalam hanyalah suatu damai yang rendah hati dan mendalam.”

“Sekilas pandangan cinta kasih kepada Yesus dan pengertian akan kesengsaraan kita yang mendalam membuat perbaikan atas segala-galanya,” “Kita hanya perlu untuk memohon pengampunan dan semuanya diperbaiki oleh tindakan cinta kasih tersebut. Yesus membuka hati-Nya untuk kita. Ia melupakan ketidak setiaan kita dan tidak mau mengingat-ingatnya. Ia bahkan akan bertindak lebih jauh lagi: Ia akan mengasihi kita dengan cinta kasih yang bahkan lebih besar daripada sebelum kita melakukan kesalahan tersebut.” “Saya mempercayakan ketidaksetiaanku kepada Yesus, karena dalam keberanianku untuk menyerahkan diri kepada-Nya saya percaya bahwa dengan cara ini saya akan mendapatkan kekuatan yang lebih besar terhadap hati-Nya dan menarik secara lebih penuh cinta kasih-Nya yang datang bukan untuk orang benar melainkan untuk orang berdosa.” Dalam kalimat-kalimat ini ia menyingkapkan di depan mata kita kerahiman yang tak terbatas dan Hati Kristus.

 

Santa kita ini telah menuliskan bagian-bagian yang sangat menggembirakan berkenaan dengan tema ini dan dari bagian-bagian itu kami memilih contoh-contoh berikut ini:

“Saya memastikan kepadamu, ia mengatakan kepada seorang susternya, bahwa Tuhan kita yang baik jauh lebih baik daripada yang mampu engkau bayangkan. Ia akan puas dengan satu pandangan, satu desahan cinta... Bagi diriku sendiri aku menemukan bahwa jalan menuju Yesus adalah melalui Hati-Nya. Bandingkan dengan seorang anak kecil yang telah menjengkelkan ibunya dengan menampilkan tingkah laku yang buruk atau ketidak taatan. Apabila anak itu bersembunyi di sebuah sudut dengan perasaan takut akan hukuman, ia akan merasa bahwa ibunya tidak akan pemah memaafkannya. Tetapi sebaliknya apabila ia membuka kedua tangannya yang kecil kepada ibunya dan dengan senyum mengatakan, “Cintailah, ciumlah daku, mami, aku tidak akan melakukannya lagi,” tidak akankah ibunya mendekap si kecil ke hatinya dengan penuh kasih sayang, dan melupakan apa yang telah dilakukan anaknya? Dan lagipula, meskipun ia menyadari sepenuhnya bahwa si kecilnya yang tersayang akan berbuat kesalahan lagi pada kesempatan yang berikutnya, hal itu tidak mempunyai arti apa-apa bila anak itu berkenan di hatinya. Anak itu tidak akan pernah dihukum.

Berhubungan dengan ini ia mengatakan dengan selera humor yang tak dibuat-buat, “Tuhan kita mempunyai satu kelemahan besar. Ia buta dan sama sekali tidak mengetahui apa pun tentang aritmatika. Ia tidak tahu bagaimana caranya untuk menjumlahkan, namun untuk membutakan Ia dan mencegah-Nya untuk menambahkan jumlah yang paling kecil... engkau harus memenangkan Hati-Nya. Ini adalah titik kelemahanNya.”

“Untuk memenangkan hati Yesus” kelihatannya merupakan suatu ungkapan yang sanggup menerangkan isi hatinya membaca bahwa ia menggunakannya berkali-kali. Lagipula, ia mengaku secara terus terang bahwa dirinya sendiri menggunakan muslihat ini: “Dengan jalan inilah saya dapat memegang kuat-kuat Tuhan kita yang baik dan dengan menggunakan jalan inilah saya akan diterima dengan baik oleh Dia.”

Ia mempertahankan kepercayaan yang sama itu dan kedamaian yang tak tergoyahkan dalam periode kekeringan yang lama yang membuatnya tidak mampu untuk berdoa dan melakukan kebajikan apa pun. “Bahkan apabila api cinta kasih kelihatannya sudah padam, saya akan tetap menuangkan bahan bakar ke dalamnya dan Yesus akan memperhatikan untuk menyalakannya kembali.” Dan ketika keadaan kekeringan itu terus berlanjut, ia dengan tenang mengomentarinya: “Yesus akan menjadi lelah lebih cepat untuk membuat saya menunggu daripada saya menjadi lelah menunggu-Nya.”

Akhirnya, pada saat-saat tertentu ia memiliki hampir suatu firasat bahwa kekeringan ini akan tetap bersamanya sampai nafasnya yang terakhir. Namun hal ini tidak membuatnya putus asa: “Tak dapat diragukan, Yesus tidak akan bangun sebelum kediaman agungku dalam kekekalan namun, daripada meratapnya, saya malahan merasakan sukacita yang besar.”

“Ya, biarkan Ia bersembunyi! Dengan senang hati aku akan menunggu-Nya. Sampai Hari yang besar itu saat matahari tidak terbit dan kegelapan iman harus mati.”

Mengikuti teladan Teresia, marilah kita menjadikan kepercayaan kita sebanding dengan keagungan dan Makhluk Ilahi dan memadamkannya dengan jurang kelemah lembutan dan Hati Allah! Kita harus menolak untuk menyatakannya dengan keterbatasan konsep-konsep kita yang miskin. Kita harus ingat bahwa Allah dengan senang hati memberikan kepada anak-anak-Nya apa pun yang mereka butuhkan, apa pun yang akan membuat mereka bahagia. Ia dimuliakan saat Ia membagi-bagikan kepada mereka anugerah-anugerah-Nya yang tak terukur. Yesus tidak pernah merasa terganggu saat kita meminta hal-hal yang sejalan dengan rancangan-Nya. Bila Ia dengan sering telah memberikan kepada kita berkat-berkat preventif kepada kita saat kita gagal untuk berdoa, maka dengan kesiapan yang jauh lebih besarlah Ia akan mendengarkan permohonan-permohonan kita.

Mengingat bahwa anak-anak pada umumnya selalu mendesak orang tua mereka dengan keberanian yang mirip dengan saat mereka masih dalam masa kanak-kanaknya, dan bahwa pada bagian mereka, orangtua seringkali bertingkah bodoh dan memperlihatkan kelemahan dengan menyerah kepada keinginan anak-anak mereka,” Teresia percaya bahwa Allah juga memiliki kelemahan-Nya terhadap mereka yang mendekati-Nya dengan watak seorang anak kecil: “Saat kita mengharapkan sesuatu dan Allah yang baik yang Ia tidak berniat untuk memberikannya kepada kita, Ia sungguh berkuasa dan kaya sehingga Ia berhutang kepada kemuliaan-Nya untuk tidak mengecewakan kita dan Ia mengabulkan keinginan-keinginan kita... tetapi kita harus mengatakan kepada-Nya: “Saya sangat menyadari bahwa saya tidak pantas untuk rahmat ini. Saya semata-mata hanya membuka tanganku kepadaMu, Seperti seorang anak pengemis kecil, dan saya yakin bahwa Engkau akan memuaskanku secara penuh.”

Ada kemungkinan bahwa Tuhan tidak langsung menjawab kita. Kadang-kadang Ia membuat kita menunggu. Ia lebih tahu daripada kita akan apa yang baik bagi kita dan waktu yang tepat untuk memberikan bantuan. Lagipula, Ia tidak harus memperhatikan unsur waktu untuk melakukan karya-Nya dalam jiwa kita. “Yesus tidak membuat waktu sebagai pertimbangan-Nya, karena tidak ada waktu di surga. Ia semata-mata hanya memperhatikan cinta.”

Sungguh disesalkan betapa banyaknya jiwa yang kurang dalam kepercayaannya. Sikap semacam mi tidaklah sejalan dengan kerahiman tak terbatas dan Tuhan atau nilai perantara dan jasa-jasa Kristus yang tak terukur. Kekurangan dalam kepercayaan dalam jiwa semacam ini seringkali disebabkan oleh terlalu banyaknya perhatian akan ketidak layakan mereka dan kemiskinan karya-karya mereka.

Kemudian marilah kita menyadari kebenaran bahwa keberhasilan kita, betapapun hebatnya, bukanlah dasar Sesungguhnya dan kepercayaan kita. Hal ini haruslah bergantung sepenuhnya dan cinta kasih Allah yang berbelas kasih, atas dasar iman dalam Yesus Kristus. Teresia tidak pernah mempelajari Teologi namun ia telah diterangi oleh kebijaksanaan yang secara murah hati Allah curahkan ke dalam jiwa-jiwa yang ‘kecil’ dan ‘sederhana.’ Sehingga ia tahu lebih banyak daripada banyak teolog dan teoritikus dan kehidupan rohani apa yang merupakan peran masing-masing dan Allah dan manusia di dalam karya penyempurnaan kita, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjamin keberhasilannya. Baginya, perkembangan yang cepat dalam jalan cinta kasih bergantung kepada tetap tinggal sangat kecil dan menaruh kepercayaan kita kepada Tuhan: “Adalah Yesus yang melakukan segalanya dalam diri saya; saya tidak melakukan apa pun, selain tetap tinggal kecil dan lemah.”


Ia semata-mata hanya mengulangi dalam kata-katanya sendiri apa yang Santo Paulus ajarkan lama sebeluninya: “Karena saya lemah, maka saya kuat” (2 Kor 12:10), “kesanggupan kita adalah dan Allah” (2 Kor 3:5) dan melalui kasih karunia Kristuslah kita diselamatkan.” “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman... itu bukan hasil pekerjaanmu, jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef.2:8-9).

Itu tidak berarti bahwa Teresia menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan baik tidak ada gunanya, karena hal ini bertentangan untuk menyatakan kebenaran. Ia mengharapkan agar setiap orang dengan segenap kekuatannya berusaha untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka, untuk menghasilkan kebajikan-kebajikan dan mencapai kekudusan: “Marilah kita berjuang tanpa henti-hentinya. Marilah kita teruskan, bagaimanapun lelahnya kita dalam perjuangan itu. Dimanakah jasa kita bila kita berjuang hanya pada saat kita merasa berani? Tidak apa-apa bila engkau tidak memiliki keberanian, bertindaklah seolah-olah engkau memilikinya.”

Meskipun demikian, ia mengakui bahwa bukanlah dan karya-karya kita bila kita mengharapkan kemajuan kita. Alasan kita berkarya adalah untuk membuktikan kepada Tuhan bahwa kita memiliki kemauan yang baik. “Jadilah seperti seorang anak kecil,” nasehatnya kepada seorang novis. Praktekkanlah seluruh kebajikan dan dengan demikian selalu mengangkat kakimu yang kecil untuk mendaki tangga kekudusan; namun janganlah mengira bahwa engkau akan mampu untuk menaiki anak tangga yang pertama sekalipun. Tidak! Allah yang baik tidak memerlukan darimu lebih daripada kemauanmu yang baik. Dan puncak tangga-tangga itu, Ia memandang kepadamu dengan cinta kasih. Dengan cepat, digembirakan oleh usaha-usahamu yang tidak ada artinya, Ia akan turun dan membawamu dalam tangan-Nya. Ia akan mengangkatmu. Namun bila engkau berhenti untuk mengangkat kakimu yang kecil itu, Ia akan meninggalkanmu di atas tanah dalam waktu yang lama.”

“Kita harus melakukan segala sesuatu dengan segenap kemampuan kita,” ia juga menegaskan, “Kita harus memberikan tanpa menghitung kerugiannya; kita harus terus-menerus meninggalkan diri kita. Dalam satu kata, kita harus membuktikan cinta kita dengan semua perbuatan-perbuatan baik yang dapat kita lakukan; namun, karena semua yang dapat kita lakukan sangatlah sedikit, sangatlah penting bahwa kita menaruh kepercayaan di dalam Dia sendiri yang menyucikan seluruh karya-karya itu dan bahwa kita menyadari bahwa kita sungguh-sungguh adalah hamba-hamba yang tidak berguna, berharap bahwa Allah yang baik akan memberikan kepada kita melalui rahmat semua yang kita rindukan.”

Ia menegaskan ajaran ini dengan menggunakan sebuah contoh dan Injil. Para Rasul sedang menjala ikan di Danau Galilea. Mereka telah bekerja keras sepanjang malam tanpa hasil; namun, percaya akan Sabda Kristus, mereka kemudian melemparkan jala mereka dan dalam sekejap menjala sejumlah besar ikan. “Yesus ingin menunjukkan kepada mereka bahwa hanya Ia sendiri sajalah yang dapat membuat usaha-usaha kita menghasilkan buah.”

Ungkapan ini adalah jelas dan gamblang dan tidak meninggalkan suatu ruangan pun untuk keraguan. Ini adalah mereka yang menuntut berdasarkan usaha-usaha sukarela seakanakan segala sesuatunya bergantung kepada usaha-usaha tersebut. Teresia, sebaliknya, menyatakan bahwa bagaimanapun perlunya usaha-usaha ini, tidaklah mencukupi untuk perkembangan rohani seseorang. Tuhanlah yang memegang peranan utama: “Bila saya menyelesaikan seluruh pekerjaan Santo Paulus, saya akan tetap memandang diriku sebagai seorang hamba yang tidak berguna... Sungguh tepatlah hal ini yang merupakan kesalahan besar dan Santo Petrus: ia terlalu mengandalkan kekuatan dan kesetiaannya sendiri. Tuhan membiarkan ini supaya kita dapat melihat betapa sedikitnya yang dapat dilakukan oleh manusia tanpa bantuan-Nya. Ia rindu untuk mengajar kita bahwa kita haruslah mengandalkan Ia sendiri saja.”

Ia menyatakan bahwa ia memiliki pengalaman yang berkenaan dengan hal ini. Ia telah berjuang tanpa hasil bertahun-tahun lamanya untuk memperbaiki kepekaannya yang berlebih-lebihan. Pada akhimya Yesus, menghargai usaha-usahanya dan tersentuh oleh doa-doanya, menyembuhkannya dalam sekejap mata.

Ajaran Teresia secara eksplisit bahkan mungkin lebih tegas lagi. Menjelang akhir hidupnya, seseorang berkata kepadanya: “Engkau pasti telah benjuang sangat keras untuk mencapai tingkatan kesempurnaanmu.” Ia membalas dengan suatu nada suara yang tak dapat diungkapkan: “Tidak sama sekali.” Ia menjelaskan kemudian dalam kata-kata yang penuh kesan, yang sepertinya merupakan ringkasan dan semua doktrinnya: “Kesempurnaan tidak terdiri atas tindakan ini atau itu. Ia terdiri atas suatu sikap hati yang membuat kita menjadi rendah hati dan kecil di dalam tangan-tangan Tuhan, menyadari kelemahan kita dan percaya bahkan sampai kepada tahapan keberanian akan kebaikan dari Bapa kita.”

Pada saat kita mengerti akan kata-kata yang memberikan pencerahan ini yang dikatakan dalam suatu kepercayaan yang begitu mendalam, kita tidak dapat meragukan bahwa Santa Teresia dan Kanak-Kanak Yesus memiliki ini sebagai misinya untuk mengungkapkan kepada kita kerahiman dan kelembutan dan Bapa Surgawi kita dan untuk mengilhami kita dengan kepercayaan yang tak terbatas kepada-Nya. Ia memiliki jiwa dan seorang anak kecil yang sederhana dan penuh kasih. Ia telah menembus ke dalam rahasia-rahasia ilahi dan ia mengerti bahwa Tuhan membungkukkan dirinya ke bawah kepada sebuah jiwa sebanding dengan kemiskinannya dan sampai kepada batas bahwa jiwa ini, menyadari kelemahannya, memiliki kepercayaan yang lebih besar kepada-Nya.

Oleh karena itu, marilah kita membangkitkan di dalam diri kita sebuah jiwa dan seorang anak kecil, sebuah hati yang sederhana dan penuh kepercayaan di dalam Allah yang baik, mengulangi bersama Santo Paulus: “Saya mengetahui di dalam siapa yang telah saya percayai.” Sebesar apa pun kelemahan-kelemahan kita atau bagaimanapun usaha-usaha kita kelihatan sia-sia; betapa seringnya pun kita mengulang-ulangi kesalahan, kita tidak boleh berputus asa untuk mencapai tujuan kita. Marilah kita menerima kelebihan kita yang selalu merasa diri tidak sempuma, dan merasa demikian bahkan sampai pada akhir hidup kita.

Apa yang Tuhan harapkan dari kita adalah cinta dan kepercayaan dan kemauan yang baik. Teresia menulis beberapa bulan sebelum kematiannya: “Saya berusaha untuk menjadikan hidupku sebagai suatu tindakan cinta kasih dan saya tidak kuatir lagi akan kekecilan saya. Sebaliknya saya bersukacita dalam menjadi kedil. Saya berani untuk berharap bahwa pengasinganku akan menjadi pendek: namun bukan karena saya telah siap untuk surga. Saya merasa bahwa saya tidak akan menjadi siap apabila Tuhan sendiri tidak berkenan untuk mengubah saya. Ia dapat melakukan ini dalam sekejap. Setelah semua rahmat-rahmat yang dengannya Ia telah memenuhi saya, saya juga menantikan bahwa Ia menganugerahi saya dengan kerahiman-Nya yang tak terbatas.

Kita harus secara terus-menerus mengingat hal yang penting ini, bahwa kita mencapai kekudusan pada saat yang telah ditentukan oleh Tuhan. Ia sanggup untuk memberikannya kepada kita dalam sekejap, bahkan pada saat kematian kita. Bila kita menyerahkan diri kita kepada Tuhan, meletakkan kepercayaan kita kepada-Nya, membuat usaha-usaha kecil kita namun mengharapkan segalanya dan belas kasihan-Nya, Ia akan memberikan kepada kita, saat itu juga, segala sesuatu yang masih kurang dalam kesempurnaan kita. Menurut Santa Theresia, Ia dapat membuat kita mencapai puncak dan gunung cinta kasih: “Jiwa-jiwa yang paling kudus menjadi sempuma hanya di dalam surga.” (Dikutip dan diterjemahkan dari  Complete Spiritual Doctrine of St. Therese of Lisieux oleh Antonio Villanueve).